"Ada baiknya anda menyelesaikan masalah ini, Tuan Muda. Agar anda bisa segera beristirahat, besok kita kedatangan perwakilan dari perusahaan Mahershala Company. Anda harus tampil baik besok, bukan?"
Deondra diam menggerakkan mouse yang ada di atas meja. Mematikan video yang terhubung dengan CCTV di ruangan Lukhe, dia membuka sebuah aplikasi penyimpanan berkas yang harus ditinjau ulang.
Kembali menyelesaikan data, Deondra mencoba fokus pada layar laptop di hadapannya. Tapi, tetap saja ada yang terlintas di pikirannya.
Apakah benar suatu saat nanti aku akan menikah? Dengan siapa? Jika bisa memilih, dia ingin tetap seperti ini, tidak tua, tidak butuh pendamping. Namun, sebuah perasaan ingin memiliki Arinda ada dan tersimpan jauh di dalam hatinya.
"Apakah dia bisa jatuh cinta padaku? Sekarang, bagaimana perasaanku padanya? Apakah aku juga mencintainya?" Membatin dalam keheningan, Deondra merasakan lebih dalam tentang hatinya.
"Ta-tante Dena?" Arinda bertanya dengan suara bergetar tak percaya. Wanita di hadapannya? Bukankah seseorang yang sudah menghancurkan kariernya? "Ya, aku Denastry. Saingan Ibumu saat menjadi model di stasiun televisi itu." Angkuh wanita itu berkata, menatap remeh gadis yang punggung tangannya masih diinjaknya tanpa rasa belas kasih. "Kau? Bukankah kau Arinda Arsymita? Jadi, putri keluarga Davatry menjadi seorang pelayan?" Arinda tak menjawab, tangannya yang terinjak itu cukup sakit. Dia memegang kaki Dena yang menginjaknya, lalu berkata. "Tangan saya sakit, Tante. Bisakah tante melepaskannya? Saya mohon ...." Dena malah menyeringai datar, menatap wajah Arinda yang tengah bersimpuh di bawahnya. "Melepaskannya? Bagaimana bisa? Kau akan lari setelahnya, bukan?" Tak mengurangi tekanan ujung sepatu yang menginjak kakinya. Dena justru semakin menekannya. "Dengar Arinda, kau tidak punya kekuas
Deondra sudah memasuki ruangannya seraya melonggarkan jas. Alrix sibuk mengurus meeting yang akan di adakan, dia pamit saat Deondra tiba di depan pintu ruangannya. Duduk di kursi kebesaran miliknya, Deondra baru akan menyalakan laptopnya dan memfokuskan diri untuk melihat laporan-laporan yang sudah di siapkan Alrix.Walaupun raganya di kantor, pikirannya melayang kemana-mana. Ada satu hal yang tengah di pikirkannya mengenai obrolan kecil dengan Alrix tadi malam. Apakah benar, dia akan menikah dengan seseorang yang di cintainya suatu nanti? Dengan siapa?"Agh, shit! Siapa yang kucintai memangnya? Tidak ada, bukan? Wanita gila pembunuh itu sudah menghancurkan rasa cinta yang kuberikan untuknya, tidak ada lagi rasa cinta yang kurasakan." Menggelengkan kepalanya, Deondra berusaha menghilangkan semua pemikiran yang tak penting itu.Dia kembali bekerja, meninjau laporan dari atas hingga bawah. Mempelajari dan mengoreksi apa yang tak sesuai. Sesaat di
Melihat kearah Thania yang sudah dekat, sorot mata kesal kembali tercipta. "Kenapa kau begitu lama? Aku hanya memintamu mengambil air minum, 'kan?!"Thania menunduk, takut melihat aura kemarahan dari sorot mata Tuan Mudanya. Sementara itu, Lukhe seakan menyadari bahwa Arinda meremas tangannya, seakan ikut merasa takut."Maaf, Tuan Muda. Tadi pihak kasir meminta saya untuk bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi akibat perkelahian Tuan Lukhe dan bodyguard Nyonya Dena-"Tangan Deondra terangkat memintanya untuk menghentikan ucapan. Deondra bangkit, mulai berjalan kearah pintu masuk pusat perbelanjaan. Lukhe yang melihat kondisi tak kondusif, langsung meletakkan tangan Arinda dan bangkit menyusulnya."Deon, biar aku yang mempertanggung jawabkan semuanya. Jangan merepotkan dirimu sendiri," ujarnya mencegah langkah Deondra yang hampir memasuki gedung.Deondra menatapnya penuh kekesalan, walaupun sebenarnya kekesalan itu buk
"Jangan terlalu lemah, Arinda. Itu hanya akan membuatmu jatuh dan semakin terpuruk!"Mengacuhkan ucapan Tuan Muda nya, Arinda mendongak menatap langit-langit mobil. Tangan kanannya masih meremas dadanya, seakan mengurangi rasa sakit.Dia pernah mendengar sebuah kalimat. 'Jangan pernah berhenti berharap, berharaplah, jadikan harapanmu itu sebagai sebuah keyakinan yang akan membawamu pada kebahagiaan. Kita memang tak bisa mencegah sesuatu yang buruk terjadi, mungkin masa lalumu buruk, hancur dan gelap tanpa sinar. Tapi yakinlah, di balik sebuah musibah pahit akan datang sebuah hikmah dan juga kebahagiaan di masa depan. Melangkahlah, gapai masa depan itu dengan mimpi dan harapan yang kau genggam.'"Anda yang membuat separuh dari kelemahan yang saya rasakan ini," ucapnya pelan, tapi itu berhasil membuat mulut Deondra bungkam.Entah mengapa, setiap kali Arinda melayangkan ucapannya tentang kejadian di malam itu. Deondra seakan kehilangan kepe
Kepala pelayan memberikan obat di tangan Arinda dan juga bibirnya. Tak peduli gadis muda itu meringis, yang pasti luka di punggung tangannya cukup parah dan harus di obati agar tidak infeksi. Menekankan kapas berisi alkohol, lalu menutupnya dengan kain kasa dan plester. Sesudahnya, dia bangun dari duduk dan menatap wajah Arinda yang sembab oleh air mata."Mandi atau ganti pakaianmu, Arin. Kau bisa beristirahat setelahnya," ucapnya sambil menutup kotak obat itu dan berniat pergi."Kepala," panggil Arinda lirih membuat kepala pelayan itu terhenti."Maafkan saya, saya selalu tidak profesional dalam beberapa bulan ini. Tolong, jangan berniat untuk memecat saya. Saya mohon," ucapnya patah-patah, Arinda merasa amat bersalah beberapa hari ini.Semenjak di malam dia mengalami kejadian menyakitkan itu, dari sanalah Adinda tak pernah lagi fokus dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Terlebih saat dia mendapati Deondra yang seakan memperhatikan ge
Deondra berbalik, menatap Alrix dengan tatapan tajam. "Aku harus memiliki alasan yang kuat untuk melakukan hal itu, kau tahu?!" tukasnya kesal.Dalam hatinya, dia ingin tapi dia sadar itu takkan mudah."Oh ya? Alasan seperti apa?" Alrix bertanya, menutup tirai tempatnya mengintip ketiga orang yang tengah berpelukan itu. "Jika Anda tidak keberatan, saya bersedia membantu," tambahnya dengan di tambahi bubuhan senyum kecil di sana.Deondra terdiam, lalu menghela napasnya kasar. "Itu tidak perlu bantuan siapapun. Karena kalau memang terjadi, maka itu akan terjadi. Sudahlah, aku lelah. Aku akan beristirahat dan memikirkan hal apa yang akan kulakukan pada selebriti ceroboh itu."Berbalik lagi, Deondra menggelengkan kepalanya sejenak. Pemikiran yang terlintas di kepalanya tadi, benar-benar tak pernah di bayangkannya sebelumnya."Menikah dengan Arinda? Sepertinya hal itu akan sulit terjadi," ucapnya pelan, mulai melangkah kearah tan
Arinda menganggukkan kepalanya. "Kenapa, Om?"Jackson tersenyum aneh mendengar pertanyaan Arinda. "Tidak apa-apa," balasnya seakan menyimpan rahasia."Sampai kapan kamu akan bekerja di rumahnya?" tanya Jack, sengaja mengalihkan pembicaraan."Emm, sampai ayahku bangun. Ya, setidaknya sampai semua biaya pengobatannya selesai, ayah bisa melakukan kegiatan seperti biasanya dan juga tabunganku untuk merawatnya cukup. Arin juga tidak tahu kapan, Om.""Kamu tidak mau berhenti? Mencari pekerjaan lain, begitu?"Gadis itu tersenyum kecut, mencoba menenangkan hati tentang semua yang tadi dipikirkannya. "Mana ada yang mempercayai Arin lagi sejak tuduhan plagiat itu," ucapnya pelan.Jack terdiam, sedikit membenarkan ucapan Arinda. "Kamu benar juga. Tapi, bagaimana bisa kamu melamar pekerjaan di kediaman Jefferson? Apakah tidak ada yang mengetahui tentang masalahmu?"Arinda diam sejenak, terbayang lagi tent
Meraih jas dari dalam lemari, Deondra memakainya ogah-ogahan. Di pikirannya hanya ada gadis itu, juga di hati, pelupuk mata dan juga mimpi. Sudah hampir tiga hari dia tak melihatnya, hanya mendengar kabarnya. Gadis bersurai bersurai cokelat dengan rambut bergelombang itu tak lagi dia lihat di hadapannya. Dia merasa ada yang kurang, seakan apa yang di jalaninya tiga hari ini, tak sama dengan yang di lalui beberapa bulan ini.Mendesah kesal, Deondra menatap cermin di hadapannya dengan malas. "Kapan dia akan pulang? Aku sudah lama tidak melihat senyuman lebarnya itu," ujarnya sambil menarik napas.Menggelengkan kepalanya, Deondra berusaha menenangkan isi kepalanya yang penuh dengan bayangan Arinda. Dia merindukan gadis itu, bahkan dia sadar tentang rasa kerinduan itu. Kali ini dia tak bisa menahannya, menahan isi hatinya yang bergejolak tak biasa. Dia sadar, sedikit banyak di dalam hatinya sudah ada cinta yang tersemat untuk gadis itu. Hanya saja, dia terlalu