Melihat kearah Thania yang sudah dekat, sorot mata kesal kembali tercipta. "Kenapa kau begitu lama? Aku hanya memintamu mengambil air minum, 'kan?!"
Thania menunduk, takut melihat aura kemarahan dari sorot mata Tuan Mudanya. Sementara itu, Lukhe seakan menyadari bahwa Arinda meremas tangannya, seakan ikut merasa takut.
"Maaf, Tuan Muda. Tadi pihak kasir meminta saya untuk bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi akibat perkelahian Tuan Lukhe dan bodyguard Nyonya Dena-"
Tangan Deondra terangkat memintanya untuk menghentikan ucapan. Deondra bangkit, mulai berjalan kearah pintu masuk pusat perbelanjaan. Lukhe yang melihat kondisi tak kondusif, langsung meletakkan tangan Arinda dan bangkit menyusulnya.
"Deon, biar aku yang mempertanggung jawabkan semuanya. Jangan merepotkan dirimu sendiri," ujarnya mencegah langkah Deondra yang hampir memasuki gedung.
Deondra menatapnya penuh kekesalan, walaupun sebenarnya kekesalan itu buk
"Jangan terlalu lemah, Arinda. Itu hanya akan membuatmu jatuh dan semakin terpuruk!"Mengacuhkan ucapan Tuan Muda nya, Arinda mendongak menatap langit-langit mobil. Tangan kanannya masih meremas dadanya, seakan mengurangi rasa sakit.Dia pernah mendengar sebuah kalimat. 'Jangan pernah berhenti berharap, berharaplah, jadikan harapanmu itu sebagai sebuah keyakinan yang akan membawamu pada kebahagiaan. Kita memang tak bisa mencegah sesuatu yang buruk terjadi, mungkin masa lalumu buruk, hancur dan gelap tanpa sinar. Tapi yakinlah, di balik sebuah musibah pahit akan datang sebuah hikmah dan juga kebahagiaan di masa depan. Melangkahlah, gapai masa depan itu dengan mimpi dan harapan yang kau genggam.'"Anda yang membuat separuh dari kelemahan yang saya rasakan ini," ucapnya pelan, tapi itu berhasil membuat mulut Deondra bungkam.Entah mengapa, setiap kali Arinda melayangkan ucapannya tentang kejadian di malam itu. Deondra seakan kehilangan kepe
Kepala pelayan memberikan obat di tangan Arinda dan juga bibirnya. Tak peduli gadis muda itu meringis, yang pasti luka di punggung tangannya cukup parah dan harus di obati agar tidak infeksi. Menekankan kapas berisi alkohol, lalu menutupnya dengan kain kasa dan plester. Sesudahnya, dia bangun dari duduk dan menatap wajah Arinda yang sembab oleh air mata."Mandi atau ganti pakaianmu, Arin. Kau bisa beristirahat setelahnya," ucapnya sambil menutup kotak obat itu dan berniat pergi."Kepala," panggil Arinda lirih membuat kepala pelayan itu terhenti."Maafkan saya, saya selalu tidak profesional dalam beberapa bulan ini. Tolong, jangan berniat untuk memecat saya. Saya mohon," ucapnya patah-patah, Arinda merasa amat bersalah beberapa hari ini.Semenjak di malam dia mengalami kejadian menyakitkan itu, dari sanalah Adinda tak pernah lagi fokus dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Terlebih saat dia mendapati Deondra yang seakan memperhatikan ge
Deondra berbalik, menatap Alrix dengan tatapan tajam. "Aku harus memiliki alasan yang kuat untuk melakukan hal itu, kau tahu?!" tukasnya kesal.Dalam hatinya, dia ingin tapi dia sadar itu takkan mudah."Oh ya? Alasan seperti apa?" Alrix bertanya, menutup tirai tempatnya mengintip ketiga orang yang tengah berpelukan itu. "Jika Anda tidak keberatan, saya bersedia membantu," tambahnya dengan di tambahi bubuhan senyum kecil di sana.Deondra terdiam, lalu menghela napasnya kasar. "Itu tidak perlu bantuan siapapun. Karena kalau memang terjadi, maka itu akan terjadi. Sudahlah, aku lelah. Aku akan beristirahat dan memikirkan hal apa yang akan kulakukan pada selebriti ceroboh itu."Berbalik lagi, Deondra menggelengkan kepalanya sejenak. Pemikiran yang terlintas di kepalanya tadi, benar-benar tak pernah di bayangkannya sebelumnya."Menikah dengan Arinda? Sepertinya hal itu akan sulit terjadi," ucapnya pelan, mulai melangkah kearah tan
Arinda menganggukkan kepalanya. "Kenapa, Om?"Jackson tersenyum aneh mendengar pertanyaan Arinda. "Tidak apa-apa," balasnya seakan menyimpan rahasia."Sampai kapan kamu akan bekerja di rumahnya?" tanya Jack, sengaja mengalihkan pembicaraan."Emm, sampai ayahku bangun. Ya, setidaknya sampai semua biaya pengobatannya selesai, ayah bisa melakukan kegiatan seperti biasanya dan juga tabunganku untuk merawatnya cukup. Arin juga tidak tahu kapan, Om.""Kamu tidak mau berhenti? Mencari pekerjaan lain, begitu?"Gadis itu tersenyum kecut, mencoba menenangkan hati tentang semua yang tadi dipikirkannya. "Mana ada yang mempercayai Arin lagi sejak tuduhan plagiat itu," ucapnya pelan.Jack terdiam, sedikit membenarkan ucapan Arinda. "Kamu benar juga. Tapi, bagaimana bisa kamu melamar pekerjaan di kediaman Jefferson? Apakah tidak ada yang mengetahui tentang masalahmu?"Arinda diam sejenak, terbayang lagi tent
Meraih jas dari dalam lemari, Deondra memakainya ogah-ogahan. Di pikirannya hanya ada gadis itu, juga di hati, pelupuk mata dan juga mimpi. Sudah hampir tiga hari dia tak melihatnya, hanya mendengar kabarnya. Gadis bersurai bersurai cokelat dengan rambut bergelombang itu tak lagi dia lihat di hadapannya. Dia merasa ada yang kurang, seakan apa yang di jalaninya tiga hari ini, tak sama dengan yang di lalui beberapa bulan ini.Mendesah kesal, Deondra menatap cermin di hadapannya dengan malas. "Kapan dia akan pulang? Aku sudah lama tidak melihat senyuman lebarnya itu," ujarnya sambil menarik napas.Menggelengkan kepalanya, Deondra berusaha menenangkan isi kepalanya yang penuh dengan bayangan Arinda. Dia merindukan gadis itu, bahkan dia sadar tentang rasa kerinduan itu. Kali ini dia tak bisa menahannya, menahan isi hatinya yang bergejolak tak biasa. Dia sadar, sedikit banyak di dalam hatinya sudah ada cinta yang tersemat untuk gadis itu. Hanya saja, dia terlalu
Arinda turun setelah mereka memarkirkan sepeda di dekat tiang listrik. Tak jauh dari sana, sekeluarga pencari barang bekas tengah terduduk di atas trotoar jalanan. Mendekati mereka, Arinda tersenyum seraya mengulurkan bungkusan makanan yang langsung membuat lelaki paruh baya itu tersentak."Permisi, Pak. Ini ada sedikit makanan untuk Bapak, di terima, ya?" ujarnya membuat lelaki paruh baya itu menerimanya dengan tangan gemetar."Terimakasih, terimakasih, Nona. Semoga rezekinya bertambah luas," ucapnya diikuti oleh anak dan istrinya.Arinda tersenyum ramah, balas membungkuk sebelum membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi. Walaupun memakai uang Tuan Mudanya, entah mengapa hatinya bahagia bisa berbagi dengan seseorang yang membutuhkan. Menghampiri Reta, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Meninggalkan Alrix yang berada di dalam mobil, tak jauh dari sana."Arinda? Memberi makan orang lain?" batinnya sambil melepas kaca mata cokelat
Arinda melihat kartu nama itu, lalu menatap poster besar di atas gerbang perumahan mewah yang di datanginya. Dia ragu, bagaimana kalau harganya mahal?"Reta," panggilnya sambil memasang wajah imut.Reta yang masih menaiki sepeda menatapnya, lalu menaikkan dagu sebagai penanda tanya.Arinda menampilkan deretan giginya. "Aku yakin di sini mahal. Jadi, karena aku lupa membawa uang, pakai uang kamu dulu sesuai dengan yang kita sepakati. Tapi-"Arinda tak melanjutkan ucapannya, dia ragu. "Tapi apa, Arin? Perumahan ini lebih cocok untukmu. Tempatnya cukup asri dan dekat dengan jalan besar yang ada toko dan warung-warungnya. Yang tadi sedikit terpelosok, lebih baik yang ini saja," ujarnya sambil memarkirkan sepeda."Aku tahu," balasnya merengut. "Tapi, kalau sewanya mahal bagaimana? Aku 'kan tidak bawa uang sama sekali," ucapnya dengan mencebikkan bibir.Reta berdecak pelan, lalu menarik tangan Arinda dan membawa
Beberapa hari lagi setelah menyelesaikan apa yang dia butuhkan, Arinda memutuskan untuk pulang ke rumah Deondra. Dia sudah terlalu lama di luar, bagaimanapun dia masih berstatus pelayan. Dia tetap merasa tidak enak jika berlama-lama meninggalkan tanggung jawabnya yang besar."Kamu sehat?" Mommy Reta bertanya, menatap wajah Arinda yang tak secerah biasanya."Sehat, Tante. Terima kasih sudah menerima Arin beberapa hari ini. Lain kali Arin akan datang lagi," ucapnya sambil memeluk Frianca, Ibu Reta.Frianca balas memeluknya, menepuk tulang belikat Arinda lembut. "Kabar itu sudah sedikit reda, kamu tidak lagi menjadi bahan pergunjingan orang-orang. Sekarang kabar tentang Denastry yang masih hangat, entah kemana selebriti itu pergi melarikan diri," ucapnya sambil melepas pelukan.Arinda terdiam, tapi senyum terbit di bibirnya. "Biarkan saja, Tante. Mudah-mudahan Tante Dena menyesapi kesalahannya dan juga memaafkan Arin. Kami berdua tida
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi