Beberapa hari lagi setelah menyelesaikan apa yang dia butuhkan, Arinda memutuskan untuk pulang ke rumah Deondra. Dia sudah terlalu lama di luar, bagaimanapun dia masih berstatus pelayan. Dia tetap merasa tidak enak jika berlama-lama meninggalkan tanggung jawabnya yang besar.
"Kamu sehat?" Mommy Reta bertanya, menatap wajah Arinda yang tak secerah biasanya.
"Sehat, Tante. Terima kasih sudah menerima Arin beberapa hari ini. Lain kali Arin akan datang lagi," ucapnya sambil memeluk Frianca, Ibu Reta.
Frianca balas memeluknya, menepuk tulang belikat Arinda lembut. "Kabar itu sudah sedikit reda, kamu tidak lagi menjadi bahan pergunjingan orang-orang. Sekarang kabar tentang Denastry yang masih hangat, entah kemana selebriti itu pergi melarikan diri," ucapnya sambil melepas pelukan.
Arinda terdiam, tapi senyum terbit di bibirnya. "Biarkan saja, Tante. Mudah-mudahan Tante Dena menyesapi kesalahannya dan juga memaafkan Arin. Kami berdua tida
Deondra duduk di atas sofa menunggu Arinda. Melihat perjuangan gadis itu untuk membeli obatnya, rasanya semua rasa sakitnya hilang. Dia sembuh saat menatap wajahnya dan mendengarkan suaranya. Di tambah lagi gadis itu berlari hanya untuk membelikan obatnya. Deondra tak tahu. Apakah ini adalah sebuah perasaan khawatir? Atau hanya sekedar tanggung jawab Arinda untuknya sebagai pelayan kepada majikan?Suara mobil terdengar di bawah sana, membuatnya beranjak dan kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap pintu, dia menunggu Arinda datang dan kembali merawatnya.Suara ketukan di susul terbukanya pintu, Deondra menatap wajahnya yang terlihat berkeringat. Bahkan ada bekas bercak darah di lututnya."Darimana kau?" tanyanya pura-pura tidak tahu.Arinda menghela napasnya sejenak. "Apotek, Tuan Muda. Em, ini obat pereda demam untuk Anda," ucapnya sambil menyodorkan satu kantung plastik putih berlogo apotek ternama.Saa
Mendudukkan tubuhnya di kursi, Deondra mengambil air hangat yang di hidangkan Arinda di atas meja. Dia tak meminum alkohol yang sudah di tuangnya, menggunakan gesture mata, dia meminta Alrix duduk di depannya.Alrix beranjak menuju sofa setelah menutup, diambilnya piring yang sudah di siapkan Arinda dan menterahkannya pada Deondra."Ambil alkohol ini, kau yang menghabiskannya," ujarnya, membuat Alrix meraihnya.Deondra diam, memakan makan malam pertama sejak beberapa hari di tinggalkan Arinda. Selama gadis itu tak ada di rumahnya, selera makannya hilang. Dia sering pusing dan juga masuk angin. Dia begitu malas melakukan apapun, bahkan hanya untuk membersihkan diri."Sebenarnya dokumen apa yang kau maksudkan tadi?" Deondra bertanya, memakan potongan daging dengan sumpit."Itu hanya alibi, sebenarnya rancangan gaun pengantin yang di buat Arinda sudah di temukan. Ada di rumah milik Denastry selama ini. Dia memanipulasinya
Deondra melangkah menuruni tangga dengan kaos hitam dan celana training putih. Menyetel jamnya sambil berjalan, dia mengalihkan pandangan saat mencium aroma masakan. Melangkah lebih cepat, dia melihat Arinda yang berdiri membelakanginya. Tangannya terampil memotong bawang bombai, bergerak kesana kemari untuk menyiapkan makan pagi.Entah ada di mana para pelayan, sedari tadi malam dia mengerjakannya sendiri. Menyapu, memasak, menjemur dan sebagainya. Apakah ini hukuman untuknya karena sudah pergi begitu lama?"Aa, Bunda!" Dia memekik saat menoleh dan mendapati Deondra di sisi kirinya.Deondra menatapnya malas, wajah gadis itu memucat seketika karena kaget."Aku tampan makanya kau kaget, bukan?" ujarnya sinis, menyandarkan salah satu sikunya di atas meja party tempat Arinda memasak."Oh, Tuan Muda?" Gadis itu menghela napasnya yang tak beraturan. "Maaf, saya kira tadi hantu. Sedari tadi malam saya mendengar suara-suara a
Arinda masuk ke dalam kamarnya. Dia lelah sekali hari ini, banyaknya pekerjaan yang harus dia lakukan cukup membuat pusing dan sedikit pegal di kakinya. Melangkah kearah kamar mandi, dia membasuh wajahnya untuk menormalkan rasa itu."Sepertinya aku anemia," bisiknya menatap kaca. "Kepalaku sakit sekali, sudah lama aku tidak makan obat penambah darah. Aku akan memesannya lewat aplikasi saja nanti."Duduk di atas closet, Arinda diam berpikir. Dia tak tahu perasaan apa, yang pasti ada sesuatu yang tidak enak di dalam dirinya. Dia seakan merasakan sesuatu yang aneh, tapi tidak tahu apa."Bagaimana kalau aku mencintaimu?" Selintas bayangan yang terjadi tadi pagi membuatnya berdecak kesal."Semakin lama Tuan Muda juga semakin berani. Bagaimana mungkin seorang Deondra Jefferson menyukaiku? Dasar pria aneh!" ungkapnya menahan kekesalan.Perhatian dan pendekatan yang di lakukan Tuan Mudanya itu tidak ada kesan apapun dalam hatinya. K
Sampai di pintu dapur, Deondra tak melihat tanda-tanda gadis itu. Hanya ada beberapa pelayan yang sudah kembali memenuhi rumahnya. Mungkin Arinda istirahat, dari semalam dia melakukan semua tugas-tugas ini seorang diri."Ada yang Anda butuhkan, Tuan Muda?" tanya Kepala Pelayan, menghampirinya di dekat pintu."Kau melihat Arinda?""Oh, dia sedang bersiap-siap. Katanya ingin membeli sesuatu di luar. Dia sakit, wajahnya lumayan pucat tadi," ucapnya sopan.Deondra diam, menimbang sesuatu. Sekilas, di lihatnya gadis itu melangkah ke arah depan. Deondra berbalik, mengikuti langkahnya yang mulai sampai di pintu depan. Arinda yang tak menyadari langkahnya di ikuti Deondra terlihat tenang, dia menyeka keringat di dahinya dan memegang perutnya yang sedikit sakit."Mau kemana?" Deondra bertanya, menghadang langkahnya ketika baru keluar dari pintu.Arinda yang tengah meremas perutnya menengadah, di hadapannya Deondra sudah
Hari semakin gelap, hujan juga semakin deras. Deondra menatap kearah depannya setelah lama berkhayal. Dia penasaran, kenapa gadis itu begitu lama? Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya?Memutuskan keluar dari mobil, Deondra menatap kearah dalam sambil menutup pintunya. Melangkah masuk, beberapa pengunjung apotek langsung mengenalinya dan memberikan anggukan hormat. Deondra tak mempedulikan mereka, dia melangkah menuju pegawai apotek yang tengah menuliskan sesuatu."Apakah ada seorang wanita kemari tadi?" Suaranya bertanya dingin, tak ada sopan santunnya meskipun wanita itu lebih tua."Ya, beberapa menit lalu, Tuan Jefferson. Dia membeli obat penambah darah," balasnya sopan.Deondra menatap sekitarnya, berpikir mana tahu Arinda duduk di salah satu kursi untuk minum obat. Tapi nyatanya, gadis berambut cokelat itu tak dia temukan di setiap sudut."Dimana dia sekarang? Kau melihat jalan perginya?""Kesana, mungkin
Tangannya bergetar tak percaya hingga menjatuhkan alat testpack yang di pegangnya. Bahkan tubuhnya bergetar dengan menggigit jari-jari tangannya dan menatap kosong kearah depan."Po-positif? Bagaimana bisa apa ini terjadi sama seperti yang di katakan pegawai apotek tadi? Aku, hamil?"Arinda menggeleng kuat, bahkan tubuhnya melorot jatuh. Memeluk lututnya, gadis bersurai cokelat itu menangis. Seluruh tubuhnya bergetar dengan sesenggukan yang semakin kuat."Bagaimana ...? Bagaimana ini bisa terjadi? Kejadian itu sudah lama sekali, kenapa aku harus hamil?!" Meraung tertahan, dia tak bisa berpikir lagi. Hanya tangisan kehancuran yang keluar dari mulutnya, isak dan air mata mengiringinya sepanjang malam ini."Bagaimana bisa ...? Bagaimana bisa ...? Kenapa kau melakukan ini padaku Deondra! Kenapa?" Tangisnya semakin menjadi, dia hancur, tak lagi punya masa depan. "Bagaimana aku akan menghadapi hari-hariku kedepannya? Ayah, Reta, Om Jack
Arinda terbangun saat merasakan tetes-tetes air menyentuh kakinya. Seperti orang linglung, dia mengerjabkan matanya berulang, memastikan ruangan tempatnya terjaga."Kamar mandi?" gumamnya, lalu menatap kearah samping.Disana ada testpack yang tergeletak, membuat tangannya terulur dan menggapainya.Gadis itu menutup mulutnya menahan tangis. Testpack itu benar-benar nyata. Dia tidak bermimpi, dia benar-benar hamil."Kenapa? Seharusnya ini mimpi saja. Aku tidak seharusnya mengalami hal seperti ini," ucapnya lirih.Mual kembali menerpanya, membuatnya bangkit dan memuntahkan semua yang ingin keluar dari perutnya. Tidak ada apapun, hanya air bening yang keluar dan menyebabkan lehernya sakit.Menangis lagi, dia membasuh wajahnya dengan air mata yang tetap mengalir. Bersanggakan wastafel, dia menahan tubuhnya agar tidak jatuh."Aku akan memastikannya ke dokter. Aku akan pergi."Melangkah
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi