Deondra duduk di atas sofa menunggu Arinda. Melihat perjuangan gadis itu untuk membeli obatnya, rasanya semua rasa sakitnya hilang. Dia sembuh saat menatap wajahnya dan mendengarkan suaranya. Di tambah lagi gadis itu berlari hanya untuk membelikan obatnya. Deondra tak tahu. Apakah ini adalah sebuah perasaan khawatir? Atau hanya sekedar tanggung jawab Arinda untuknya sebagai pelayan kepada majikan?
Suara mobil terdengar di bawah sana, membuatnya beranjak dan kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap pintu, dia menunggu Arinda datang dan kembali merawatnya.
Suara ketukan di susul terbukanya pintu, Deondra menatap wajahnya yang terlihat berkeringat. Bahkan ada bekas bercak darah di lututnya.
"Darimana kau?" tanyanya pura-pura tidak tahu.
Arinda menghela napasnya sejenak. "Apotek, Tuan Muda. Em, ini obat pereda demam untuk Anda," ucapnya sambil menyodorkan satu kantung plastik putih berlogo apotek ternama.
Saa
Mendudukkan tubuhnya di kursi, Deondra mengambil air hangat yang di hidangkan Arinda di atas meja. Dia tak meminum alkohol yang sudah di tuangnya, menggunakan gesture mata, dia meminta Alrix duduk di depannya.Alrix beranjak menuju sofa setelah menutup, diambilnya piring yang sudah di siapkan Arinda dan menterahkannya pada Deondra."Ambil alkohol ini, kau yang menghabiskannya," ujarnya, membuat Alrix meraihnya.Deondra diam, memakan makan malam pertama sejak beberapa hari di tinggalkan Arinda. Selama gadis itu tak ada di rumahnya, selera makannya hilang. Dia sering pusing dan juga masuk angin. Dia begitu malas melakukan apapun, bahkan hanya untuk membersihkan diri."Sebenarnya dokumen apa yang kau maksudkan tadi?" Deondra bertanya, memakan potongan daging dengan sumpit."Itu hanya alibi, sebenarnya rancangan gaun pengantin yang di buat Arinda sudah di temukan. Ada di rumah milik Denastry selama ini. Dia memanipulasinya
Deondra melangkah menuruni tangga dengan kaos hitam dan celana training putih. Menyetel jamnya sambil berjalan, dia mengalihkan pandangan saat mencium aroma masakan. Melangkah lebih cepat, dia melihat Arinda yang berdiri membelakanginya. Tangannya terampil memotong bawang bombai, bergerak kesana kemari untuk menyiapkan makan pagi.Entah ada di mana para pelayan, sedari tadi malam dia mengerjakannya sendiri. Menyapu, memasak, menjemur dan sebagainya. Apakah ini hukuman untuknya karena sudah pergi begitu lama?"Aa, Bunda!" Dia memekik saat menoleh dan mendapati Deondra di sisi kirinya.Deondra menatapnya malas, wajah gadis itu memucat seketika karena kaget."Aku tampan makanya kau kaget, bukan?" ujarnya sinis, menyandarkan salah satu sikunya di atas meja party tempat Arinda memasak."Oh, Tuan Muda?" Gadis itu menghela napasnya yang tak beraturan. "Maaf, saya kira tadi hantu. Sedari tadi malam saya mendengar suara-suara a
Arinda masuk ke dalam kamarnya. Dia lelah sekali hari ini, banyaknya pekerjaan yang harus dia lakukan cukup membuat pusing dan sedikit pegal di kakinya. Melangkah kearah kamar mandi, dia membasuh wajahnya untuk menormalkan rasa itu."Sepertinya aku anemia," bisiknya menatap kaca. "Kepalaku sakit sekali, sudah lama aku tidak makan obat penambah darah. Aku akan memesannya lewat aplikasi saja nanti."Duduk di atas closet, Arinda diam berpikir. Dia tak tahu perasaan apa, yang pasti ada sesuatu yang tidak enak di dalam dirinya. Dia seakan merasakan sesuatu yang aneh, tapi tidak tahu apa."Bagaimana kalau aku mencintaimu?" Selintas bayangan yang terjadi tadi pagi membuatnya berdecak kesal."Semakin lama Tuan Muda juga semakin berani. Bagaimana mungkin seorang Deondra Jefferson menyukaiku? Dasar pria aneh!" ungkapnya menahan kekesalan.Perhatian dan pendekatan yang di lakukan Tuan Mudanya itu tidak ada kesan apapun dalam hatinya. K
Sampai di pintu dapur, Deondra tak melihat tanda-tanda gadis itu. Hanya ada beberapa pelayan yang sudah kembali memenuhi rumahnya. Mungkin Arinda istirahat, dari semalam dia melakukan semua tugas-tugas ini seorang diri."Ada yang Anda butuhkan, Tuan Muda?" tanya Kepala Pelayan, menghampirinya di dekat pintu."Kau melihat Arinda?""Oh, dia sedang bersiap-siap. Katanya ingin membeli sesuatu di luar. Dia sakit, wajahnya lumayan pucat tadi," ucapnya sopan.Deondra diam, menimbang sesuatu. Sekilas, di lihatnya gadis itu melangkah ke arah depan. Deondra berbalik, mengikuti langkahnya yang mulai sampai di pintu depan. Arinda yang tak menyadari langkahnya di ikuti Deondra terlihat tenang, dia menyeka keringat di dahinya dan memegang perutnya yang sedikit sakit."Mau kemana?" Deondra bertanya, menghadang langkahnya ketika baru keluar dari pintu.Arinda yang tengah meremas perutnya menengadah, di hadapannya Deondra sudah
Hari semakin gelap, hujan juga semakin deras. Deondra menatap kearah depannya setelah lama berkhayal. Dia penasaran, kenapa gadis itu begitu lama? Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya?Memutuskan keluar dari mobil, Deondra menatap kearah dalam sambil menutup pintunya. Melangkah masuk, beberapa pengunjung apotek langsung mengenalinya dan memberikan anggukan hormat. Deondra tak mempedulikan mereka, dia melangkah menuju pegawai apotek yang tengah menuliskan sesuatu."Apakah ada seorang wanita kemari tadi?" Suaranya bertanya dingin, tak ada sopan santunnya meskipun wanita itu lebih tua."Ya, beberapa menit lalu, Tuan Jefferson. Dia membeli obat penambah darah," balasnya sopan.Deondra menatap sekitarnya, berpikir mana tahu Arinda duduk di salah satu kursi untuk minum obat. Tapi nyatanya, gadis berambut cokelat itu tak dia temukan di setiap sudut."Dimana dia sekarang? Kau melihat jalan perginya?""Kesana, mungkin
Tangannya bergetar tak percaya hingga menjatuhkan alat testpack yang di pegangnya. Bahkan tubuhnya bergetar dengan menggigit jari-jari tangannya dan menatap kosong kearah depan."Po-positif? Bagaimana bisa apa ini terjadi sama seperti yang di katakan pegawai apotek tadi? Aku, hamil?"Arinda menggeleng kuat, bahkan tubuhnya melorot jatuh. Memeluk lututnya, gadis bersurai cokelat itu menangis. Seluruh tubuhnya bergetar dengan sesenggukan yang semakin kuat."Bagaimana ...? Bagaimana ini bisa terjadi? Kejadian itu sudah lama sekali, kenapa aku harus hamil?!" Meraung tertahan, dia tak bisa berpikir lagi. Hanya tangisan kehancuran yang keluar dari mulutnya, isak dan air mata mengiringinya sepanjang malam ini."Bagaimana bisa ...? Bagaimana bisa ...? Kenapa kau melakukan ini padaku Deondra! Kenapa?" Tangisnya semakin menjadi, dia hancur, tak lagi punya masa depan. "Bagaimana aku akan menghadapi hari-hariku kedepannya? Ayah, Reta, Om Jack
Arinda terbangun saat merasakan tetes-tetes air menyentuh kakinya. Seperti orang linglung, dia mengerjabkan matanya berulang, memastikan ruangan tempatnya terjaga."Kamar mandi?" gumamnya, lalu menatap kearah samping.Disana ada testpack yang tergeletak, membuat tangannya terulur dan menggapainya.Gadis itu menutup mulutnya menahan tangis. Testpack itu benar-benar nyata. Dia tidak bermimpi, dia benar-benar hamil."Kenapa? Seharusnya ini mimpi saja. Aku tidak seharusnya mengalami hal seperti ini," ucapnya lirih.Mual kembali menerpanya, membuatnya bangkit dan memuntahkan semua yang ingin keluar dari perutnya. Tidak ada apapun, hanya air bening yang keluar dan menyebabkan lehernya sakit.Menangis lagi, dia membasuh wajahnya dengan air mata yang tetap mengalir. Bersanggakan wastafel, dia menahan tubuhnya agar tidak jatuh."Aku akan memastikannya ke dokter. Aku akan pergi."Melangkah
Arinda belum menjawab. Hanya tangis dan kehancuran yang di tampilkannya dari sorot mata sebagai jawaban.Sudash mengepalkan tangannya erat. Dia tak tega melihatnya menangis! Hal ini mengingatkannya pada sang Adik yang sudah lama tak di temuinya. Saat sang adik menangis dan mengadu padanya. Dia akan mengelap ingus dan air mata yang berantakan di wajahnya."Tuan tidak akan percaya. Tidak akan ada yang percaya dengan apa yang menimpa saya. Bahkan Tuan Muda sekalipun," ujar Arinda, sesak dan lirih.Seperti di remas sesuatu, hati Sudash seperti berdenyut. "Apa yang sudah menimpamu, Arinda? Kenapa kau begitu hancur?" batinnya, masih memperhatikan Arinda yang menangis terisak.Setengah jam diam dengan mendengar suara tangisan Arinda. Sudash membiarkannya mengeluarkan sesak yang mungkin menyiksa dadanya. Menurut yang dia pelajari, jangan halangi wanita yang menumpahkan kesedihan dengan tangis. Walaupun tulang rusuk mereka lebih banyak dari