Masih terdiam tanpa ada yang berniat membuka suara. Arinda menoleh kearah Deondra yang duduk nyaman di sampingnya. Dia sudah kesal sekarang, sedang apa Tuan Mudanya di sini kalau bicara saja tidak mau!
"Sedang apa Anda di sini berlama-lama, Tuan? Tidakkah Anda takut para pelayan lain-"
"Apakah mereka berani membuat kesimpulan tentang diriku?" Deondra menyahut, memotong ucapan Arinda yang sudah dia ketahui akan di bawa kemana.
"Lagipula, kau yang akan di untungkan jika terjerat gosip bersamaku. Sepertinya kau tidak akan merasa rugi untuk hal itu," lanjutnya seraya tersenyum angkuh.
"Aku justru malas sekali berurusan denganmu." Suara cibiran terdengar jelas oleh Deondra. Di tatapnya wajah Arinda yang tengah melihat kearah depan.
"Kau benar-benar tidak tahu diri, ya?" Deondra bertanya dengan nada sinis, membuat kerutan di dahi Arinda timbul. "Soal apa, ya, Tuan?"
"Cih, baru kali ini aku menolong seseorang dan tak m
Deondra merenung di balkon kamarnya, menatap puncak bukit yang menghijau akibat hutan yang masih terjaga. Sesekali kicau burung terdengar nyaring, angin berhembus, dedaunan jatuh. Hatinya serasa hidup, tak seperti di kota yang hanya berhadapan dengan realita. Puncak ini, terkenal akan keindahannya. Hanya saja, perkampungan warga ada satu kilo meter dari jarak villa. Maka dari itu hanya satu-satu orang yang di lihatnya selama di sini. Membawa cangkul dan memakai topi anyaman bambu, menuju perkebunan mereka di sisi bukit.Alrix memasuki kamarnya saat tak mendengar suara perintah, padahal dia sudah mengetuk pintu. Di tangannya, sekeranjang buah strawberry segar terlihat menggiurkan. Meletakkannya di atas meja, Alrix melihat Arinda yang masih tak sadarkan diri."Berapa lama lagi gadis ini sadar? Apakah dia baik-baik saja?" batinnya bertanya, lalu menghela napas. "Tuan Muda?" Alrix mengambil lagi keranjang itu lalu berjalan kearah balkon dan mendapati Deondra di
Beberapa hari lagi menuju dua bulan sejak mereka pulang dari liburan di atas puncak. Arinda masih sama seperti gadis tiga bulan lalu. Masih berusaha untuk melupakan rasa sakit dan menerima semua kenyataan yang sudah terjadi padanya. Sadar bahwa Deondra selalu berusaha mendekati dan menarik perhatiannya, tapi hati yang retak tak mudah lagi merasakan kagum apalagi cinta. Bukankah semua itu hanyalah tinggal menunggu kata menerima? Jika sekali saja dia menerima pesona Deondra dan menerima perlakuan baiknya, maka tinggal menunggu waktu dia akan kembali jatuh dan tersakiti.Hari ini, sudah hampir menjelang siang. Arinda tengah mengepel rumah dengan kain. Dia berjongkok, melayangkan tangannya kekiri kanan untuk menggapai lantai yang harus di bersihkan. Selama ini, dia selalu mendapat tugas-tugas kecil, sekedar membantu dan juga menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan. Entah perasaannya saja atau tidak, yang pasti ini semua ada kaitannya dengan Deondra dan Alrix yang sedikit berubah
"Saya akan menemui Ayah nanti sore, sekaligus menemui sahabat saya. Apakah Tuan Muda tidak marah jika saya selalu pergi?" Bangkit dari duduknya, Arinda mensejahterakan dirinya dengan Alrix."Santai saja, Tuan Muda tidak marah. Lagipula kau pergi setelah semua tugasmu selesai. Hanya saja satu hal yang harus kamu ingat, jangan pulang terlalu malam."Arinda mengusap air matanya, lalu tersenyum kecil. "Baik, saya akan selalu mengingatnya. Terima kasih, Tuan. Saya pamit bekerja lagi," ujarnya sambil menunduk.Alrix mengangguk mengizinkan. Membiarkan Arinda melangkah keluar dari ruangan yang membuat Deondra harus menyembunyikan tubuhnya di balik lemari hias yang ada di dekat sana. Dalam persembunyian, dia dapat melihat Arinda yang terus berjalan menuju dapur. Sesekali tangannya terangkat seperti menyeka air mata.Deondra keluar dari balik rak. Dia mengusap rambut dan wajahnya dengan gusar untuk mengurangi perasaan bersalah. Memasuki ruan
Melangkah keluar kamar, Arinda membenarkan letak surainya sambil berjalan menuju dapur. Dia menemui kepala pelayan yang hanya mengangguk saat melihat Arinda sudah dekat.Sebelumnya dia sudah tahu dari Alrix, jadi tidak perlu banyak-banyak bertanya."Eh, Arin."Langkahnya terhenti, melihat kepala pelayan yang memanggilnya. "Ada apa, Kepala?" tanyanya sopan, mengikuti langkah Kepala pelayan yang mulai mendekat."Boleh titip Youghyt? Aku ingin membuat salad buah. Kebetulan habis," ucapnya sambil mengulurkan uang."Oh, boleh. Satu saja, Kepala?""Hmm." Dia mengangguk, melihat penampilan Arinda dari atas sampai bawah."Hati-hati, jangan pulang terlalu malam." Pesan terakhir membuat Arinda mengangguk sopan."Baik, saya pergi dulu, Kepala. Mudah-mudahan ada kabar baik setelah dua minggu kemarin," balasnya membuat gumam Amin terdengar.Setelah itu, Arinda kembali melangkah menuju pintu d
"Kamu benar," ucap Arinda, tersenyum lebih lebar. "Aku akan menangis setelah merasa lelah. Tapi hanya menangis, belum saatnya aku menyerah, bukan?"Frielza tersenyum, diikuti Reta. "Kalau bisa jangan menyerah. Terus berjuang, kalahkan kekejaman takdir yang menimpamu."Arinda mengangguk, lalu menghela napasnya untuk menghilangkan segala rasa sesak. Entah mengapa, setelah mendengar penuturan kedua temannya ini, hatinya seakan lega, tidak ada beban yang berat lagi di sana. Memang, saat terkena musibah, tempat bersandar amat di butuhkan untuk berkeluh kesah. Selain itu, dia juga bisa mendapat pencerahan dan juga kata-kata yang mengandung penyemangat.Arinda bangga akan hal ini, bangga karena memiliki dua orang teman yang mencintainya tulus apa adanya. Saat sudah jatuh miskin beginipun, dua temannya itu masih mau berteman dengannya. Tidak ada raut wajah jijik dan juga menjauh dari mereka."Kita masuk sekarang, yuk! Setelahnya kita ke ca
Merasa cukup mengatakan apa yang harus dia katakan. Arinda melihat lagi arloji miliknya. Sudah hampir jam enam, sudah satu jam setengah dia di dalam. Kedua temannya tidak boleh ikut karena prosedur rumah sakit. Memilih untuk menunggu di luar, Reta dan Frielza membiarkan Arinda masuk dan bicara nyaman berdua dengan ayahnya. Mereka tidak ingin temannya yang manja tapi tak pernah menangis di hadapan mereka itu canggung, karena keduanya yakin pasti Arinda akan mengadu dan mengeluarkan semua kesedihan yang di rasakannya. "Arin pulang dulu, ya, Ayah. Secepatnya Arin akan datang lagi." Ucapan Arinda kembali terdengar di telinganya, ayahnya bingung, anaknya pulang kemana? Apakah ke rumahnya? Tapi, jika benar di rumahnya, kenapa ada nada kesedihan di nada suaranya? "Pulanglah, Nak. Istirahatlah, Ayah akan segera bangun. Jaga diri kamu sampai Ayah sadar nanti, ya?" Menyahuti ucapan putrinya, Ayahnya hanya bisa bicara dalam hati. Dirasaka
Masih berdiri di jalan masuk menuju cafe, Sudash sudah tak melihat lagi gadis itu. Entah duduk di mana, yang pasti dia sudah memiliki rencana untuk sebuah nomor yang ada di dalam ponselnya."Hey, kembalikan ponselku!"Dia berbalik, ketika ponsel yang tadi di genggamnya di rampas seseorang dari arah belakang. Mulutnya bungkam dengan mata membulat, saat melihat siapa yang sudah berdiri di depannya dan memegang ponselnya dengan dua jari dan bergaya angkuh."Sedang apa kau di sini?" Rendah suara Deondra terdengar, menatap tajam ke dalam mata Sudash yang sedang berusaha menarik napasnya yang sesak tiba-tiba.Gila, kenapa atmosfer di sini berubah menjadi dingin?"Aku, tadi aku sedang bertemu dengan kenalan baru. Kau tahu, dia sangat mirip dengan gadis muda yang menjadi pelayan di rumahmu," ucapnya santai walaupun jantungnya mulai tak stabil."Benarkah? Apakah kau yakin dia mirip? Atau memang benar dirinya?" Masi
"Saya paham, Tuan Muda. Dengan senang hati saya akan membantu Anda untuk melakukan hal itu," balas Alrix tapi Deondra hanya tersenyum singkat menjawabnya.Sampai di rumah, dia langsung keluar setelah Alrix membuka pintunya. Memasuki ruang tamu, dilihatnya Arinda tengah membawa beberapa pakaian di dalam keranjang. Padahal dia masih memakai pakaian hijau yang di kenakannnya saat pergi tadi."Pakaian siapa itu? Tidakkah kau berniat ganti baju sebelum kembali melakukan tugas?" Deondra bertanya, saat Arinda berdiri di dekat tangga untuk membiarkannya berjalan duluan."Ini pakaian milik Anda, Tuan. Tadinya Kak Lenore yang akan membawanya ke kamar, cuma kakinya terkilir karena menabrak meja setrika," ucapnya sopan, bahkan dia menundukkan kepalanya dalam.Raut wajah Deondra hampir tertawa mendengarnya. Bagaimana bisa pelayannya itu sangat ceroboh? Ck, ternyata bukan hanya gadis di hadapannya ini yang di capnya sebagai pelayan ceroboh. Folo
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi