Allen membuang nafas sejenak. “Sebenarnya aku bukan orang yang lari dari masalah. Namun keadaan itu membuatku tak bisa mengabaikan keselamatan keluargaku. Mungkin aku bisa bertahan walau jadi buronan. Tapi, berbeda dengan anak dan istriku. Saat itu Ghea masih berumur 14 tahun, dan istriku hamil besar.”
“Tadi saya kemari sempat dihadang oleh mereka. Mungkin mereka juga mulai mendapatkan petunjuk keberadaan tuan,” Kata Eric sedikit khawatir.
Lelaki paruh baya itu hanya tersenyum getir. “Kalau mereka benar-benar mencari kemari, aku juga tidak bisa bergi. Lihatlah!” ia menunjuk kakinya yang tak bisa digerakkan. “Aku tidak mungkin memberikan beban kepada putriku untuk menyelamatkanku.”
“Kelompok saya akan segera kemari menolong tuan.” Eric berusaha meyakinkan.
Lagi-lagi Allen tersenyum. Keadaan seperti ini memang hal yang tak bisa dihindari lagi. Pergi dengan menyerahkan diri pada musuh bukanlah pilihan, dan lari dari keadaan juga tak bisa dilakukan. Usai istrinya meninggal 4 tahun lalu beserta bayinya, ia sudah tak memiliki perasaan untuk hidup lebih lama. Jika bukan karena Ghea, mungkin ia juga akan menyerah pada hidupnya sendiri.
“Tidak ada gunanya,Eric. Tapi, aku minta kamu mengabulkan satu permintaanku … tolong jaga putriku.” Permintaaan itu seolah masuk tepat sasaran menuju hati Eric paling dalam.
“Tuan, anda harus tetap hidup dan menjaga putri anda sendiri,” ucap eric dengan kuat penuh keyakinan. “Anak buah saya juga akan segera kemari.”
“Aku yakin kamu tidak akan merencanakan itu saat ini juga.” Kalimat itu terdengar sangat benar. Keduanya saling menatap seolah fikiran mereka terhubung saling mengetahui rencana-rencananya. “Aku mohon sama kamu, jaga putriku! Dia berusia 18 tahun. Jangan biarkan ia hidup sendirian. Aku ingin ia hidup normal tanpa beban.”
Eric diam tak berkutik. Menjaga seseorang bukanlah hal mudah. Namun, menjaga seorang gadis dan akan bersamanya bukanlah hal mudah. Ia adalah lelaki normal yang juga punya hasrat terhadap lawan jenis. Eric mengangguk menerima.
“Sebenarnya, aku ingin kamu menikahi dia,” ucap Allen yang membuat Eric menatap tegang. “Tapi sepertinya itu terlalu memaksamu. Jadi, aku hanya memintamu untuk menjaganya.”
Eric mengangguk mengerti.
“Ada satu hal yang ingin aku berikan padamu. Kamu ingat chip yang pernah kamu temukan di loker markas dulu?” Tanya Allen mencoba menguji ingatan Eric.
Lelaki itu mengangguk serius. “Pasword chip itu tidak akan bisa dipecahkan oleh siapapun dan benda berteknologi tinggi. Pembentukan chip itu bukan teknologi biasa. Yang membuat chip itu adalah profesor dari luar negeri. Yang professor itu sudah meninggal 4 tahun lalu itu juga.”
“Tapi, Tuan. Setahu saya, chip itu sudah lama hilang.”
“Iya. Memang hilang. Karena chip itu ada padaku.”
Mata Eric terbelalak. Ia sangat terkejut dengan apa yang didengarnya. Chip itu sudah lama diincar para mafia demi menguasai dunia mafia agar dapat mengendalikan semua kelompok.
“Ini sebabnya tuan dikejar dan difitnah agar menyerahkan diri?” Tanya Eric yang masih sangat syok dengan apa yang ditangkap telinganya.
Kepala Allen mengangguk. “Jika kamu mengetahui seperti apa isi chip itu, mungkin kamu akan berfikir seperti aku. Jika bukan karena aku mengambil chip itu, mungkin dunia mafia akan saling membunuh. Entah akan berapa banyak korban usai itu. Setelah aku mengetahui isinya, aku segera pergi ke Amerika bertemu professor itu dan meminta ganti password. Setelah itu aku menyembunyikannya di gelang giok milik Ghea.”
Otak Eric berfikir keras. Semua penjelasan ini sungguh diluar nalarnya. “Tuan, saya akan berusaha…”
“Eric…” Allen memotong ucapan Eric.”Pasword chip itu ada di punggung Ghea.” Mata Eric membulat. “Tepatnya dibawah bahu kanannya.”
Mendengar kalimat itu membuat tubuh Eric menegang. Sebagai lelaki normal, mendengar kata-kata seperti itu jelas membuat ia membayangkannya. Ia menelan air liurnya dengan sulit. “Eee…mm…Tuan…” Ia malah semakin gugup usai membayangkan hal yang tak seharusnya dibayangkan. “Kita bisa mencari cara untuk menyelamatkan tuan dengan segera agar tidak menarik perhatian mereka,” ucapnya memberi sebuah harapan.
“Eric, tidak semua masalah perlu di selesaikan dengan tuntas. Ada kalanya harus pasrah usah berusaha sekuat tenaga dengan keras … Aku hanya minta kamu jaga putriku. Dengan begitu aku bisa lebih tenang. Selain itu, mafia-mafia lainnya tidak ada yang tahu kalau Ghea adalah putriku.”
“Tuan, bagaimana kalau chip itu dihancurkan?” saran Eric.
Allen terkekeh. “Kamu pemuda yang cerdas, Eric. Jangan sampai hanya karena aku adalah atasanmu dulu dan kamu merendahkan diri merasa pemikiranmu kurang daripada aku. Aku tahu, kamu pasti mengerti kenapa chip itu tidak dihancurkan.”
Allen sama seperti dulu, selalu memehaminya. Bahkan hanya dialah yang dulu percaya dan mengakui keunggulan kemampuannya dan kepiawaiannya dalam strategi.
“Ayah, makan malamnya sudah siap.” Seorang gadis berdiri dengan mengenakan celemek ditubuhnya.
Tanpa sengaja tatapan gadis itu bertubrukan dengan pandangan Eric padanya. Eric segera mengalihkan pandangannya ke langit-langit ruangan itu. Sedangkan gadis itu masih sempatnya tersenyum kikuk dan menyapanya. “Nanti makanan untuk kamu, biar diantar kesini,” katanya yang mau tak mau Eric menoleh dan mengangguk berucap terima kasih.
“Tinggallah disini beberapa waktu sampai kamu pulih. Untuk selanjutnya kita bisa bicarakan lain waktu.”
-v-
Ghea menyantap makanannya dengan tenang. Ia melihat ayahnya lebih banyak diam daripada biasanya. Ingin bertanya, tetapi ia takut ayahnya khawatir balik padanya. Hari-hari sebelumnya ia sering melihat ayahnya muntah darah. Tiap kali ia bertanya, ayahnya selalu berkata baik-baik saja dan malah mengkhawatirkan dirinya yang tiap hari berjuang mencari penghasilan lebih di sebuah restorant demi membeli obat untuknya.
“Ayah…” panggil Ghea pelan.
Allen menoleh.
“Makanlah yang banyak.” Hanya itulah yang akhirnya keluar dari bibirnya. daripada ia bertanya kenapa, yang malah membuat ayahnya marah atau meneteskan air mata karena merasa tak berguna. Ah tidak, ia tak pernah merasa ayah selemah itu. Ia melakukan semua pekerjaan juga karena keinginannya sendiri dan taka da kata ‘merepotkan’ baginya.
Allen mengangguk. Ia kembali diam sibuk dengan fikirannya sendiri. “Sayang, apakah kau sudah memberikan Eric makan malamnya?”
Ghea diam sejenak. Lalu baru mengerti kalau lelaki itu namanya Eric. “Oh, sudah. Dia juga sudah memakannya.”
Allen kembali mengangguk.untuk mengatakan apa yang ada diunek-uneknya pun sulit. “Ghea sayang, ayah ingin bicara serius.”
Gerakan tangan Ghea terhenti diudara. Tidak biasanya suasana menjadi setegang ini. Mendengar ayahnya akan bicara serius saja membuatnya seolah tersihir reflek menurut. Ia meletakkan sendoknya. Dan menatap wajah ayahnya yang mulai menua.
“Lelaki disana itu namanya Eric. Dia sama seperti ayah.” Ghea tak mengerti mengapa ayahnya memperkenalkan lelaki itu. “Ayah ingin kamu juga mempercainya dalam hal apapun. Dulu ayah pernah menyelamatkannya. Dan dia kesini punya tujuan untuk menyelamatkan ayah.”
“Itu bagus, Ayah. Kesulitan yang selama ini ayah alami akan segera berakhir,” ucapnya penuh kebahagiaan.
Allen tersenyum. “Sebelum itu, ayah mau kau ikut dengannya.”
“Apa?” ia agak tak terima. “Ayah juga ikut dengannya?”
“Tentu saja,” jawabnya berbohong.
Ghea memiringkan kepalanya sedikit. “Kalau begitu bersama-sama saja,” katanya ringan.
“Tidak bisa. Ini akan lebih merepotkan. Kamu pergi dengannya dulu. Selanjutnya ayah menyusul.”
Alis Ghea terangkat. “Baiklah.”
Dengan mudahnya Ghea percaya. Karena sejak dulu, gadis itu memang penurut.
Eric berada dirumah Allen selama 3 hari untuk penyembuhan. Hingga akhirnya Eric dihubungi anak buahnya untuk segera pergi dari tempat itu karena musuh sudah mengetahui rumah Allen dan mengelilinginya. Eric dan Allen bicara empat mata mencari cara untuk keluar karena sudah dikepung.“Ayah, kita dikepung,” kata Ghea yang terdengar khawatir namun berusaha menenangkan diri dan memaksakan berani. “Aku akan….”“Ghea…”Panggil Allen dengan serius.Baru kali ini ayahnya memanggil langsung dengan namanya. Biasanya selalu memanggil ‘sayang’ ataupun ‘Ghea sayang’. Jika seperti ini, berari ayahnya sungguh memberi peringatan pertama agar ia menuruti perkataannya tanpa bertanya-tanya. Ghea mendekat.“Ikuti Eric! Percayai dia!”Alis Eric berkerut. “Ayah, kita pergi sama-sama.”“Ayah tidak ada waktu untuk menjelaskan, sayang. Ayah harap kamu baik-baik saja.” Tanpa menunggu jawaban putrinya, ia menoleh pada Eric. “Jaga dia!”&
Markas kelompok mafia ‘Eagle’ ini memiliki tempat steril. Bukan tanpa alasan disana juga ada rumah sakit kecil yang digunakan anggotanya untuk berobat dan menyembuhkan luka. Disana juga ada doter yang biasa menangani mereka. Namun hari ini doter Al tidak ada ditempat. Jadi ruangan itu sedang kosong. Anak buah Eric tak berani membantah saat pemimpinnya menyuruhnya menyiapkan segala yang diperlukannya. “Eric, kamu terluka. Gadis ini biar aku yang menangani,” ucap Fin yang melihat darah mengucur dari punggung Eric. Ia merupakan anak buah Eric, juga teman akrabnya. Jadi wajar jika ia menggunakan bahasa santai pada Eric. “Jangan urus aku dulu,” jawab Eric cepat. Ia mul
Eric berdiri merenggangkan ototnya sejenak di balkon kamarnya. Hari ini ia merasa sangat baik moodnya. Melihat langit yang cerah, burung-burung membentuk barisan sedang berimigrasi, dan suasana yang sangat tenang seolah ia tak memiliki beban ataupun musuh yang slalu diwaspadai. “Sejak kapan aku tidak pernah merasa selepas ini?” dialognya yang ditujukan pada dirinya sendiri. Tanpa sengaja matanya menangkap sebuah balkon yang sebenarnya sangat tak ada rasa special-spesialnya sama sekali. Ia yang sering diam di balkonnya setiap hari, dan pastinya tanpa dipandangpun, balkon kamar sebelahnya selalu ada. Namun hari ini berbeda. Balkon itu seolah memiliki muansa yang mengunci pandangannya. Bukan balkonnya, tetapi seseorang didalam kamar itu.
Eric sibuk menelfon Fin untuk datang kerumahnya lagi. Sebenarnya tempat tinggalnya berada disamping markas. Namun markasnya yang sangat besar dan rumahnya juga lumayan besar juga takkan mungkin untuk menyuruh orang memanggilnya. Lelaki itu barusan kembali ke markas karena ada anak buahnya yang menemukan sebuah petunjuk. “Eric, kamu bukan sedang sakit hati kan sampai memanggilku dua kali dalam satu jam?” cecar Fin dengan bersungut-sungut. Lelaki yang memanggilnya itu hanya diam tak memedulikannya. Ia ingin mengatakan sesuatu yang sangat krusial bagi kelompok eagle nya. Tetapi lagi-lagi keyakiannya diterkam keraguan yang membayanginya. Tatapannya tak menentu kesegala penjuru halaman taman. Di tempatnya ia memandang lurus ada Ghea yang berlarian mengejar Boush, a
Beberapa harir Eric tak ada dirumah. Dan beberapa hari pula Ghea merasa bebas karena sejak ia sadar, lelaki itu mengawasinya dengan ketat. Hidup di rumah mewah tanpa seorangpun yang bisa diajak bersenang-senang membuatnya sangat bosan. Ingin keluar sebantar saja, tetapi ia tak bisa. Gerbang dijaga ketat oleh anak buah Eric. Bahkan ada beberapa orang yang setiap 3 jam sekali berkeliling menyusuri luar rumah maupun dalam rumah. Semua itu membuat Ghea tak bisa berkutik. Karena mereka selalu ready lapor pada tuannya jika ada sesuatu yang aneh. Dan hal yang paling menyebalkan adalah ia tak diijinkan memiliki ponsel demi keamanan, katanya. Keamanan apanya? Ghea berdecih soal itu. Hari ini adalah hari ke sepuluhlelaki itu tak pulang karena ada kepentinga. Ghea ingin keluar hanya untuk refreshing ke mall atau kemanapun.&
Eric tersenyum tipis. Ghea terlalu meremehkan pantauan Eric. Tanpa sepengetahuan gadis itu, jam tangan yang diberikan kepadanya ada sebuah titik terpenting yang membuat gadis itu takkan bisa lepas dari pengawasannya.Flashback on Eric menyambar tangan Ghea paksa dan memakaikannya arloji putih yang sangat indah-menurut Ghea. Gadis itu memandangi jam itu kagum. “Jangan sekali-kali melepas arloji ini,” kata Eric penuh ketegasan Ghea masih larut memandangi jam itu. Tersenyum. “Kenapa kamu tidak bertanya aku menyukainya atau tidak?” Tanyanya polos. “Itu pertanyaan tidak penting. Suk
Eric memejamkan mata menenangkan diri. Ada sesal ynag kini bersarang dalam dirinya. Tetapi, kaburnya Ghea sungguh membuatnya tersulut emosi hingga tak memikirkan hal lain selain menyiksa gadis itu agar tak mengulang kelakuannya. Tidak tahukah gadis itu, kalau orang yang ditujunya malah musuk yang seharusnya dijauhi. Usai tadi gadis itu mimisan, ia langsung memanggil dokter dari rumah sakit terdekat saking khawatirnya. Padahal sejak dulu rumahnya tak pernah diinjak sedikitpun oleh seorang dokter. Alasannya adalah ada banyak musuh yang kemungkinan menyamar. Selain itu, jika ada banyak orang yang keluar masuk rumahnya, itu lebih membahayakan. Namun karena gadis, prinsip itu seolah tersingkirkan. “Eric, dia akan baik-baik saja,” kata Fin menenangkan. Baru ka
“Apakah ayah baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjemputnya juga?” Tanya Ghea yang sontak membuyar lamunan Eric saat menonton TV. Sebenarnya jika dikatakan menonton TV, Eric lebih banyak melihat ponselnya dan melamun. Televisi seolah menjadi pengisi suara ruangannya yang sedang hening. Mengenai kabar tentang Tuan Allen masih dalam pencarian, tetapi Eric sengaja tidak sekalipun menyinggung beliau pada putrinya. Keberadaan Tuan Allen masih misteri dan belum tahu seperti apa keadaannya. Kemungkinan dibawa musuh, karena tidak ada tanda-tanda darah di lokasi. Pertanyaan pertama kalinya selama Ghea bersama lelaki itu kini terlontar juga. Awalnya Ghea ingin Eric yang berterus terang tentang ayahnya. Namun lelaki di dekatnya ini memilih bungkam.&nb
“Kita jalan-jalan saja,” saran ghea sekaligus keinginannya keluar rumah untuk refreshing ketika Eric mengeluh bosan. Selama ini ia tak pernah keluar rumah karena Eric melarang dan rumah dijaga ketat. Eric hanya memutar bola mata. Sebenarnya ia juga ingin mengajak Ghea jalan-jalan. Tetapi keberadaan Tuan Allen yang masih belum diketahui, dan keluarganya sendiri yang baru-baru ini gencar ingin membunuhnya membuat keadaan masih belum sepenuhnya aman.ia khawatir Ghea akan diculik dan dijadikan Sandera. “Belum bisa.” Ghea membuang nafas pasrah. “Aku ingin jalan-jalan. Kenapa masih belum boleh? Kalau kamu khawatir, kamu yang ajak aku pergi.” Ia kembali membujuk.
Ghea masih tertidur pulas dibalik selimut yang meutupi tubuhnya. Eric tersenyum mengingat beberapa jam yang panas diantara ia dan gadis yang dicintainya. Ia sangat menyayanginya. Tetapi ia masih memiliki misi tuk menjadikan Ghea kuat. Ia tak ingin Ghea selalu mengandalkannya dalam segala sesuatu. Ia ingin gadis itu juga menguasai beladiri dan senjata agar bisa menjaga dirinya sendiri. Sampai saat ini gadis itu masih saja taka da niatan ingin bisa dan slalu mengandalkannya. Tidakkan ia tahu banyak musuh yang mengincarnya? Eric bangkit mengambil pakaian cdan celananya yang berserekan, kemudian menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian ia sudah siap dengan pakaian serba hitam. Malam ini ia akan kembali ke markas. “Bik …” panggilny
Ghea dikejutkan dengan datangnya seseorang yang mengatakan akan meriasnya. Katanya, ia mendapat perintah dari Eric untuk meriasnya. Bahkan Ghea sendiri tidak diberitahu apa-apa tentang itu. Dan sekarang beginilah keadaannya, usai berdebat dengan perias tentang polesan yang jangan tebal dan lain-lain, ia disuruh mengenakan gaun panjang nan indah warna cream berpadu pernak-pernik yang membuatnya sangat memukau. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan hiasan butiran permata yang berkilau. Ia sendiri sampai tertegun melihat bayangannya di cermin yang sangat cantik. “Anda sangat cantik,” puji perias yang berada di belakangnya. Ditengah terpesonanya ia terhadap dirinya sendiri, pintu kamar berderit
Ghea duduk termenung di balkon kamarnya, menatap bintang yang sebenarnya sudah ia lihat setiap malam. Ia selalu merasa bosan, beberapa hari ini Eric sibuk di markasnya dan tidak pulang. Ada perasaan bahagia karena taka da oaring yang terus menyiksanya, juga merasa ada sesuatu yang hilang. Saat ia membalikkan badan, ia terkejut mendapati Eric berdiri di pintu dengan keadaan kacau. Tubuhnya penuh lebam, wajahnya juga ada bagian-bagian yang sudah mengungu. Ghea mendekat dengan takut. Bagaimanapun Eric suaminya, meilhatnya seperti ini jelas membuat perasaannya khawatir. Wajah Eric yang masih menyisakan beringas-beringas terus menghantui bayangan-bayangan dikepala Ghea. “Kamu tidak apa-apa?” Tanya Ghea mendekat. Ia menyentuh bibir itu yang tengah mengeluarkan darah. Ia perna
Fin menatap sahabatnya yang kini terbaring tak sadarkan diri lagi. Baru saja lelaki itu siuman sehari, kini ia harus menjahit lukanya karena terbuka. Ghea, istrinya kini juga dirawat ditempat yang sama, sama-sama masih terpejam posisi jatuhnya Ghea kemarin jelas sesuatu yang tak bisa dihindari. Kepala bagian bawahnya membentur laci dengan keras hingga mengeluarkan banyak darah, nyaris tak tertolong jika ia tak segera masuk ke ruangan dan mendapati mereka. “Kita harus balas dendam,” ujar George geram. “Kita harus menunggunya sadar. Eric takkan bisa lega jika bukan dia sendiri yang meringkus pemimpin mereka sendiri.” Suara Fin terdengar tenang namun tak pernah memberi kesan santai, pandangannya tajam tak melewatkan sedetikpun menunggu Eric sadar. Beb
Mata Ghea terbuka usai 12 jam pingsan. Pemandangan pertamanya adalah perempuan yang mengenakan jas hitam sedang menatapnya. Ia merasa kepalanya sangat pusing dan dan matanya masih ingin terpejam. Namun, ketika ingatan sebelum ia pingsan, ia tak mau memejamkan mata. ‘Bagaimana keadaan Eric?’ batinnya yang merampal sebagai doa. Ia tetap diam tak berkutik dalam kesadarannya itu. Tubuhnya merasa sangat lemas, kepalanya berat, dan tenggorokannya kering keronta. Ia tak mau menguras energy untuk menyerang sedang ia sedang tak berdaya. Lebih baik tenang dulu, dan mencari ide untuk kabur segera. Perempuan disampingnya itu menggerakkan tangannya guna mengetes pandangan Ghea yang kosong dan tak merespon. Karena Ghea seperti mayat hidup, ia memanggil dokter.
Eric melirik Ghea yang sudah mengenakan kimono di tubuhnya. Setidaknya dengan mengenakan itu, Ghea tidak akan kesulitan bergarak daripada mengenakan gaunnya. Ia memantau kembali ke kamarnya lagi. Ada lima orang serba hitam yang sedang mencari-cari. Ghea jug ikut berdiri disamping lelaki serius itu. Ia menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. “Bagaimana bisa mereka tahu kita disini?” desis Ghea. Mengetahui dimana musuh bukanlah hal yang sulit.ia menyesal karena dihari pernikahannya ini ia melonggarkan penjaggaan walau ia tahu kemungkinan ada penyergapan. Untuk menghubungi Fin juga tidak mungkin karena ponsel keduanya ada di kamar. Ia harus memutar otak agar bisa selamat. Ia memang bisa menyelamatkan diri. Tetapi kini disini ia bersama orang lain. Ia
Tangan Ghea basah saking nervousnya. Kini ia sedang deperbaiki make upnya usai mengenakan gaun putih yang cukup merepotkan baginya. Gaun yang kini dikenakan memang sangat indah, permata yang menghiasi gaun itu kerlap kerlip sangat jernih dan kainnya juga bisa berubah warna dengan mempesona, ia menyukainya. Hanya gaun ini yang murni dari pilihan Eric sendiri usai kemarin perang debat di butik. Rambut Ghea dibiarkan menjuntai dengan diberi mutiara dan mahkota yang membuat seua orang pasti takjub. Lehernya juga dipakaikan kalung emas putih. Ia menyentuh kalung itu.keindahan kalung itu seolah mengunci pandangannya. Ia tersenyum kecil. “Ayah, putrimu menikah hari ini. Apakah ayah hari ini bahagia? Semoga ayah baik-baik saja. Kata orang terpercayamu ini, jika suatu saat ayah kembali, dia juga mau menikahiku untuk mengulangnya. Jadi ayah b
“Apakah ayah baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjemputnya juga?” Tanya Ghea yang sontak membuyar lamunan Eric saat menonton TV. Sebenarnya jika dikatakan menonton TV, Eric lebih banyak melihat ponselnya dan melamun. Televisi seolah menjadi pengisi suara ruangannya yang sedang hening. Mengenai kabar tentang Tuan Allen masih dalam pencarian, tetapi Eric sengaja tidak sekalipun menyinggung beliau pada putrinya. Keberadaan Tuan Allen masih misteri dan belum tahu seperti apa keadaannya. Kemungkinan dibawa musuh, karena tidak ada tanda-tanda darah di lokasi. Pertanyaan pertama kalinya selama Ghea bersama lelaki itu kini terlontar juga. Awalnya Ghea ingin Eric yang berterus terang tentang ayahnya. Namun lelaki di dekatnya ini memilih bungkam.&nb