Eric sibuk menelfon Fin untuk datang kerumahnya lagi. Sebenarnya tempat tinggalnya berada disamping markas. Namun markasnya yang sangat besar dan rumahnya juga lumayan besar juga takkan mungkin untuk menyuruh orang memanggilnya. Lelaki itu barusan kembali ke markas karena ada anak buahnya yang menemukan sebuah petunjuk.
“Eric, kamu bukan sedang sakit hati kan sampai memanggilku dua kali dalam satu jam?” cecar Fin dengan bersungut-sungut.
Lelaki yang memanggilnya itu hanya diam tak memedulikannya. Ia ingin mengatakan sesuatu yang sangat krusial bagi kelompok eagle nya. Tetapi lagi-lagi keyakiannya diterkam keraguan yang membayanginya. Tatapannya tak menentu kesegala penjuru halaman taman. Di tempatnya ia memandang lurus ada Ghea yang berlarian mengejar Boush, anjing hitam besar miliknya. Keduanya dengan cepat akrab padahal Boush bukan anjing yang mudah bergaul dengan orang lain. Ini langka.
Fin dapat melihat Eric yang sebenarnya tak memperhatikan pusat lurusnya. Pandangannya kosong menyimpan sebuah rahasia yang masih meragukan hatinya. Ia bukan tak mengerti jika Eric memiliki berbagai beban yang membuat hatinya membatu bertahun-tahun ini. Ingin melenyapkan orang yang disayanginya bukanlah hal mudah bagi hatinya walau telah membuat luka menganga bahkan bernanah disana.
“Eric..” panggilnya dengan nada teguran.
Visual masa lalunya buyar begitu saja. Jika, dan jika sesuatu itu sungguh berkaitan dengannya, jika. Ia hanya berharap kata’jika’itu sungguhan ada di langkahnya selanjutnya. Sesuatu yang baginya amat berharga demi keselamatan kelompoknya, sesuatu yang baginya bernilai demi segenggam erat dendam yang lama menikam hatinya pelan-pelan.
“Eric..” panggilan kedua ini lebih mengarah ke bentakan kecil.
Sang objek panggilan itu menoleh. “Ya…”
“Langsung saja, katakan ingin apa yang membuatmu gelisah kali ini?” bertahun-tahun bersahabat dengan Eric bukanlah hal sulit untuk memahami fikirannya. Ia tak bertanya mengapa memanggilnya, namun ke pusat fikiran Eric.
Eric terpekur sejenak. Katakan? Tidak? Beberapa menit yang lalu ia ingin mengatakan sebenarnya. Tetapi dengan banyaknya pertimbangan lagi, ia menjadi ragu. Lebih baik ia menyimpan rahasia ini sendirian tanpa ada yang mengetahui walaupun sahabat setianya.
“Katakan apa yang mereka temukan?” Tanya Eric yang malah membuat fin terheran-heran. Harusnya dia kan yang bertanya?
“Di CCTV terlihat ada seorang lelaki serba hitam masuk ke ruang senjata. Dan saat dilihat di CCTV ruangan itu dalam 5 detik error tak memperlihatkan sesuatu. Detik selanjutnya seperti biasa. Lelaki itu tidak ada.”
Eric berfikir keras. Jika berurusan dengan CCTV, sepertinya mereka bekerja sama dengan seorang heacker yang sangat ahli dan handal sampai bisa membobol CCTV ruangan itu. Tetapi siapa musuh yang memiliki heacker sehebat itu? Karena setahunya heacker kelompoknyalah yang paling handal disbanding lainnya.
“Sudah Tanya Neil?” Eric menoleh pada Fin.
“Sudah. Tapi masih belum ada kabar. Kemungkinan heacker yang disana juga sedang memblokir heacker kita,” Jawab Fin. “Apakah kita perlu heacker yang lebih ahli lagi?”
Eric tertawa sumbang. “Semakin banyak orang semakin lebar peluang menyerang,” jelasnya.
“Lelaki hitam itu sepertinya sangat mengenal markas kita. Apakah mungkin dia dari kelompok kita?” Eric tak bisa memprediksi itu. Namun, kemungkinan itu juga bisa saja benar. Siapa yang mengenal seluk beluk markas sendiri jika bukan penghuninya?
Fikiran Eric buyar saat melihat sosok gadis yang sedang duduk kelelahan dibangku taman. Bibirnya melengkung keatas tanpa ia sadari. Boush bergerak manja mengajak Ghea untuk berlari-lari lagi. Namun gadis itu hanya mengelus kepala Boush. ‘Aku lelah,’ ucap gadis itu yang masuk ke telinganya. Balkon kamarnya memang tak jauh dari tempat Ghea duduk.
“Nanti kita bahas lagi.”
Eric pergi begitu saja meninggalkan Fin yang kebingungan dengan percakapannya kali ini. Ini adalah kali pertama Eric memotong pembahasan penting dan berkata seolah-olah bukan emergence.
Eric berjalan menuju taman dengan tenang. Ditengah jalannya, ia berpapasan dengan salah satu pembantunya. “Mau kemana?” tanyanya yang tenang namun memberi aura dingin sedingin Everest bagi pembantunya.
“Baru saja memperbaiki gagang spatula yang lepas.” Wanita paruh baya itu memperlihatkan lakban digenggamannya.
Satu ide muncul dikepala Eric cemerlang. “Sudah selesai kan?” pembantu lama itu mengangguk. “Berikan lakbannya!”
Usai lakban ditangan, Eric melanjutkan langkahnya yang tertunda. “Ghea…” panggilnya seolah-olah perintah sacral yang tak bisa di bantah.
Ghea memang menoleh dengan cepat. Namun kecepatannya kalah dengan Eric yang langsung menarik kedua tangannya dan melakbannya. Sontak saja gadis itu terkejut dan memberontak. “Kenapa ini kok…” belum rampung sasalnya, lelaki itu menutup mulut Ghea dengan lakban kemudian menatap gadis itu dengan geli menahan tawa.
Tampang kesal dan menahan marah Ghea terlihat menggemaskan dimata Eric.
“Mmmmm…mmm…” Ghea berusaha mengutarakan komentar tak terima diperlakukan seperti itu pada Eric dengan bibir yang tertutup rapat laknban. Tetapi lelaki itu dengan santainya mengangkat bahu ringan tak peduli.
“Tugas pertama kamu adalah melepas lakban ini,” jelas Eric tak masuk akal di kepala Ghea. “Bagaimana caranya? Kamu cari tahu sendiri. Gunakan otak pintarmu untuk mencari sejuta ide, sejuta cara, sejuta metode demi lepas dari lakban ini.”
Eric langsung melangkah pergi meninggalkan Ghea yang kebingungan itu dengan tawa yang hampir saja memuncrat. Ini konyol. Sangat konyol. Gadis itu sampai menendangnya, memuluk punggungnya demi mendapat jawaban. Tetapi ia tak akan lunak. Setidaknya dengan cara seperti ini, gadis mungil itu bisa belajar satu cara melepaskan diri jika suatu saat ia tak sengaja diculik.
Tanpa diketahui Ghea, sejak berjam-jam yang lalu Eric terus memantaunya dari balkon kamarnya. Menahan tawanya berkali-kali tiap melihat cara-cara bodoh Ghea ingin melepas lakban itu. Tatapannya tak lepas demi hiburan yang lama tak ada hal yang membuatnya tertawa. Cara pertama Ghea adalah duduk dengan kaki kanan diletakkan diantara kedua tangannya yang dilakban dan mendorongya, gagal. Kedua, meletakkan ranting diantara kedua tangannya lalu digesekkan, gagal. Ketiga, mengangkat kedua tangannya diatas kepala lalu menggeseknya, jelas gagal. Dan beralih dengan ide-ide yang membuat para pembantu yang lewat itu hanya tersenyum menahan tawa. Mereka tak berani membantu karena mereka juga tahu itu pasti kelakuan tuannya.
Sampai akhirnya gadis itu meluruskan kakinya di hamparan rerumputan dan meletakkan tubuhnya begitu saja. Ia merilekkan tubuhnya yang sudah bersusah payah tapi gagal sejak tadi. Ghea menatap langit biru yang seolah juga menertawakannya. Jika seandainya bibirnya tidak dilakban, mungkin sudah mencurut satu senti.
“Eh, Ghea?” Fin berdiri didekat kepala Ghea. Eric yang melihat adegan pertemuan mereka itu menegang. Gadis berambut panjang itu sontak bangkit dengan tatapan penuh Tanya. Ingin bertanya, tapi bibir dilakban. “Aku sahabat sekaligus anak buah Eric.” Ia memperkenalkan diri. “Namaku Fin. Aku sudah tahu nama kamu dari Eric.” Ghea mengangguk.
Fin menatap keadaan Ghea yang dilakban. Ia tersenyum menebak pasti ini kelakuan sahabatnya. Tetapi tanpa diberitahu, ia bisa memahami niat Eric itu. Ghea menyodorkan kedua tangannya yang dilakban berharap dapat bantuan. Tatapan gadis didepannya ini juga sudah merebak hampir menangis karena sejak tadi tak menemukan cara.
Bibir Fin hanya tersenyum. “Aku tidak bisa membantumu melepaskannya.” Ucapan itu mebuat diri Ghea lesu. “Tapi aku bisa memberimu cara melepaskannya.” Mata Ghea berbinar menerima. “Dalam menyerang, kita perlu mengenali lawan kita. Cari tahu kelemahannya.” Kalimat itu sudah cukup membuat Ghea mengerti.
“Coba kamu fikirkan, apa kelemahan dari perekat?”
Ghea berfikir keras sampai memejamkan mata. Tanpa diketahui keduanya, Eric merutuk sahabatnya yang membocorkan pengetahuannya.”
Tiba-tiba mata Ghea membulat bersinar. Ia langsung berlari menuju westafel, mengucurkan air disana. Walaupun cukup lama membasahi lakban itu, akhirnya bisa lepas juga. Kelegaan dengan cepat menyeruak kedadanya. “Akhirnya…” ia kembali ke tempat Fin berdiri. “Terima kasih.” Saat matanya tanpa sengaja melihat ke atas, ia menangkap Eric dibalkonsedang memandangnya dengan tersenyum meremehkan.
Wajah malaikat Ghea berubah. “Saatnya pembalasan,” desisnya. Ia berlari memasuki rumah. Larinya gadis itu tak sedikitpun membuat Eric curiga. Hingga kemudian ia dikejutkan kedua pintu kamarnya bersuara ‘Brak..’ ditutup seseorang dengan keras. Sayangnya jaraknya dengan pintu cukup jauh berbanding dengan misi pmbalasan Ghea yang sangat singkat.
“Ghea…” teriaknya.
“Aku lakban disini. Semoga kamu betah dikamar,” sindir Ghea lembut tapi tajam. Ghea puas melihat hasil misinya. Lakban direkatkan memutar pada kedua pegangan pintu yang entah berapa putaran.
Beberapa harir Eric tak ada dirumah. Dan beberapa hari pula Ghea merasa bebas karena sejak ia sadar, lelaki itu mengawasinya dengan ketat. Hidup di rumah mewah tanpa seorangpun yang bisa diajak bersenang-senang membuatnya sangat bosan. Ingin keluar sebantar saja, tetapi ia tak bisa. Gerbang dijaga ketat oleh anak buah Eric. Bahkan ada beberapa orang yang setiap 3 jam sekali berkeliling menyusuri luar rumah maupun dalam rumah. Semua itu membuat Ghea tak bisa berkutik. Karena mereka selalu ready lapor pada tuannya jika ada sesuatu yang aneh. Dan hal yang paling menyebalkan adalah ia tak diijinkan memiliki ponsel demi keamanan, katanya. Keamanan apanya? Ghea berdecih soal itu. Hari ini adalah hari ke sepuluhlelaki itu tak pulang karena ada kepentinga. Ghea ingin keluar hanya untuk refreshing ke mall atau kemanapun.&
Eric tersenyum tipis. Ghea terlalu meremehkan pantauan Eric. Tanpa sepengetahuan gadis itu, jam tangan yang diberikan kepadanya ada sebuah titik terpenting yang membuat gadis itu takkan bisa lepas dari pengawasannya.Flashback on Eric menyambar tangan Ghea paksa dan memakaikannya arloji putih yang sangat indah-menurut Ghea. Gadis itu memandangi jam itu kagum. “Jangan sekali-kali melepas arloji ini,” kata Eric penuh ketegasan Ghea masih larut memandangi jam itu. Tersenyum. “Kenapa kamu tidak bertanya aku menyukainya atau tidak?” Tanyanya polos. “Itu pertanyaan tidak penting. Suk
Eric memejamkan mata menenangkan diri. Ada sesal ynag kini bersarang dalam dirinya. Tetapi, kaburnya Ghea sungguh membuatnya tersulut emosi hingga tak memikirkan hal lain selain menyiksa gadis itu agar tak mengulang kelakuannya. Tidak tahukah gadis itu, kalau orang yang ditujunya malah musuk yang seharusnya dijauhi. Usai tadi gadis itu mimisan, ia langsung memanggil dokter dari rumah sakit terdekat saking khawatirnya. Padahal sejak dulu rumahnya tak pernah diinjak sedikitpun oleh seorang dokter. Alasannya adalah ada banyak musuh yang kemungkinan menyamar. Selain itu, jika ada banyak orang yang keluar masuk rumahnya, itu lebih membahayakan. Namun karena gadis, prinsip itu seolah tersingkirkan. “Eric, dia akan baik-baik saja,” kata Fin menenangkan. Baru ka
“Apakah ayah baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjemputnya juga?” Tanya Ghea yang sontak membuyar lamunan Eric saat menonton TV. Sebenarnya jika dikatakan menonton TV, Eric lebih banyak melihat ponselnya dan melamun. Televisi seolah menjadi pengisi suara ruangannya yang sedang hening. Mengenai kabar tentang Tuan Allen masih dalam pencarian, tetapi Eric sengaja tidak sekalipun menyinggung beliau pada putrinya. Keberadaan Tuan Allen masih misteri dan belum tahu seperti apa keadaannya. Kemungkinan dibawa musuh, karena tidak ada tanda-tanda darah di lokasi. Pertanyaan pertama kalinya selama Ghea bersama lelaki itu kini terlontar juga. Awalnya Ghea ingin Eric yang berterus terang tentang ayahnya. Namun lelaki di dekatnya ini memilih bungkam.&nb
Tangan Ghea basah saking nervousnya. Kini ia sedang deperbaiki make upnya usai mengenakan gaun putih yang cukup merepotkan baginya. Gaun yang kini dikenakan memang sangat indah, permata yang menghiasi gaun itu kerlap kerlip sangat jernih dan kainnya juga bisa berubah warna dengan mempesona, ia menyukainya. Hanya gaun ini yang murni dari pilihan Eric sendiri usai kemarin perang debat di butik. Rambut Ghea dibiarkan menjuntai dengan diberi mutiara dan mahkota yang membuat seua orang pasti takjub. Lehernya juga dipakaikan kalung emas putih. Ia menyentuh kalung itu.keindahan kalung itu seolah mengunci pandangannya. Ia tersenyum kecil. “Ayah, putrimu menikah hari ini. Apakah ayah hari ini bahagia? Semoga ayah baik-baik saja. Kata orang terpercayamu ini, jika suatu saat ayah kembali, dia juga mau menikahiku untuk mengulangnya. Jadi ayah b
Eric melirik Ghea yang sudah mengenakan kimono di tubuhnya. Setidaknya dengan mengenakan itu, Ghea tidak akan kesulitan bergarak daripada mengenakan gaunnya. Ia memantau kembali ke kamarnya lagi. Ada lima orang serba hitam yang sedang mencari-cari. Ghea jug ikut berdiri disamping lelaki serius itu. Ia menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. “Bagaimana bisa mereka tahu kita disini?” desis Ghea. Mengetahui dimana musuh bukanlah hal yang sulit.ia menyesal karena dihari pernikahannya ini ia melonggarkan penjaggaan walau ia tahu kemungkinan ada penyergapan. Untuk menghubungi Fin juga tidak mungkin karena ponsel keduanya ada di kamar. Ia harus memutar otak agar bisa selamat. Ia memang bisa menyelamatkan diri. Tetapi kini disini ia bersama orang lain. Ia
Mata Ghea terbuka usai 12 jam pingsan. Pemandangan pertamanya adalah perempuan yang mengenakan jas hitam sedang menatapnya. Ia merasa kepalanya sangat pusing dan dan matanya masih ingin terpejam. Namun, ketika ingatan sebelum ia pingsan, ia tak mau memejamkan mata. ‘Bagaimana keadaan Eric?’ batinnya yang merampal sebagai doa. Ia tetap diam tak berkutik dalam kesadarannya itu. Tubuhnya merasa sangat lemas, kepalanya berat, dan tenggorokannya kering keronta. Ia tak mau menguras energy untuk menyerang sedang ia sedang tak berdaya. Lebih baik tenang dulu, dan mencari ide untuk kabur segera. Perempuan disampingnya itu menggerakkan tangannya guna mengetes pandangan Ghea yang kosong dan tak merespon. Karena Ghea seperti mayat hidup, ia memanggil dokter.
Fin menatap sahabatnya yang kini terbaring tak sadarkan diri lagi. Baru saja lelaki itu siuman sehari, kini ia harus menjahit lukanya karena terbuka. Ghea, istrinya kini juga dirawat ditempat yang sama, sama-sama masih terpejam posisi jatuhnya Ghea kemarin jelas sesuatu yang tak bisa dihindari. Kepala bagian bawahnya membentur laci dengan keras hingga mengeluarkan banyak darah, nyaris tak tertolong jika ia tak segera masuk ke ruangan dan mendapati mereka. “Kita harus balas dendam,” ujar George geram. “Kita harus menunggunya sadar. Eric takkan bisa lega jika bukan dia sendiri yang meringkus pemimpin mereka sendiri.” Suara Fin terdengar tenang namun tak pernah memberi kesan santai, pandangannya tajam tak melewatkan sedetikpun menunggu Eric sadar. Beb
“Kita jalan-jalan saja,” saran ghea sekaligus keinginannya keluar rumah untuk refreshing ketika Eric mengeluh bosan. Selama ini ia tak pernah keluar rumah karena Eric melarang dan rumah dijaga ketat. Eric hanya memutar bola mata. Sebenarnya ia juga ingin mengajak Ghea jalan-jalan. Tetapi keberadaan Tuan Allen yang masih belum diketahui, dan keluarganya sendiri yang baru-baru ini gencar ingin membunuhnya membuat keadaan masih belum sepenuhnya aman.ia khawatir Ghea akan diculik dan dijadikan Sandera. “Belum bisa.” Ghea membuang nafas pasrah. “Aku ingin jalan-jalan. Kenapa masih belum boleh? Kalau kamu khawatir, kamu yang ajak aku pergi.” Ia kembali membujuk.
Ghea masih tertidur pulas dibalik selimut yang meutupi tubuhnya. Eric tersenyum mengingat beberapa jam yang panas diantara ia dan gadis yang dicintainya. Ia sangat menyayanginya. Tetapi ia masih memiliki misi tuk menjadikan Ghea kuat. Ia tak ingin Ghea selalu mengandalkannya dalam segala sesuatu. Ia ingin gadis itu juga menguasai beladiri dan senjata agar bisa menjaga dirinya sendiri. Sampai saat ini gadis itu masih saja taka da niatan ingin bisa dan slalu mengandalkannya. Tidakkan ia tahu banyak musuh yang mengincarnya? Eric bangkit mengambil pakaian cdan celananya yang berserekan, kemudian menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian ia sudah siap dengan pakaian serba hitam. Malam ini ia akan kembali ke markas. “Bik …” panggilny
Ghea dikejutkan dengan datangnya seseorang yang mengatakan akan meriasnya. Katanya, ia mendapat perintah dari Eric untuk meriasnya. Bahkan Ghea sendiri tidak diberitahu apa-apa tentang itu. Dan sekarang beginilah keadaannya, usai berdebat dengan perias tentang polesan yang jangan tebal dan lain-lain, ia disuruh mengenakan gaun panjang nan indah warna cream berpadu pernak-pernik yang membuatnya sangat memukau. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan hiasan butiran permata yang berkilau. Ia sendiri sampai tertegun melihat bayangannya di cermin yang sangat cantik. “Anda sangat cantik,” puji perias yang berada di belakangnya. Ditengah terpesonanya ia terhadap dirinya sendiri, pintu kamar berderit
Ghea duduk termenung di balkon kamarnya, menatap bintang yang sebenarnya sudah ia lihat setiap malam. Ia selalu merasa bosan, beberapa hari ini Eric sibuk di markasnya dan tidak pulang. Ada perasaan bahagia karena taka da oaring yang terus menyiksanya, juga merasa ada sesuatu yang hilang. Saat ia membalikkan badan, ia terkejut mendapati Eric berdiri di pintu dengan keadaan kacau. Tubuhnya penuh lebam, wajahnya juga ada bagian-bagian yang sudah mengungu. Ghea mendekat dengan takut. Bagaimanapun Eric suaminya, meilhatnya seperti ini jelas membuat perasaannya khawatir. Wajah Eric yang masih menyisakan beringas-beringas terus menghantui bayangan-bayangan dikepala Ghea. “Kamu tidak apa-apa?” Tanya Ghea mendekat. Ia menyentuh bibir itu yang tengah mengeluarkan darah. Ia perna
Fin menatap sahabatnya yang kini terbaring tak sadarkan diri lagi. Baru saja lelaki itu siuman sehari, kini ia harus menjahit lukanya karena terbuka. Ghea, istrinya kini juga dirawat ditempat yang sama, sama-sama masih terpejam posisi jatuhnya Ghea kemarin jelas sesuatu yang tak bisa dihindari. Kepala bagian bawahnya membentur laci dengan keras hingga mengeluarkan banyak darah, nyaris tak tertolong jika ia tak segera masuk ke ruangan dan mendapati mereka. “Kita harus balas dendam,” ujar George geram. “Kita harus menunggunya sadar. Eric takkan bisa lega jika bukan dia sendiri yang meringkus pemimpin mereka sendiri.” Suara Fin terdengar tenang namun tak pernah memberi kesan santai, pandangannya tajam tak melewatkan sedetikpun menunggu Eric sadar. Beb
Mata Ghea terbuka usai 12 jam pingsan. Pemandangan pertamanya adalah perempuan yang mengenakan jas hitam sedang menatapnya. Ia merasa kepalanya sangat pusing dan dan matanya masih ingin terpejam. Namun, ketika ingatan sebelum ia pingsan, ia tak mau memejamkan mata. ‘Bagaimana keadaan Eric?’ batinnya yang merampal sebagai doa. Ia tetap diam tak berkutik dalam kesadarannya itu. Tubuhnya merasa sangat lemas, kepalanya berat, dan tenggorokannya kering keronta. Ia tak mau menguras energy untuk menyerang sedang ia sedang tak berdaya. Lebih baik tenang dulu, dan mencari ide untuk kabur segera. Perempuan disampingnya itu menggerakkan tangannya guna mengetes pandangan Ghea yang kosong dan tak merespon. Karena Ghea seperti mayat hidup, ia memanggil dokter.
Eric melirik Ghea yang sudah mengenakan kimono di tubuhnya. Setidaknya dengan mengenakan itu, Ghea tidak akan kesulitan bergarak daripada mengenakan gaunnya. Ia memantau kembali ke kamarnya lagi. Ada lima orang serba hitam yang sedang mencari-cari. Ghea jug ikut berdiri disamping lelaki serius itu. Ia menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. “Bagaimana bisa mereka tahu kita disini?” desis Ghea. Mengetahui dimana musuh bukanlah hal yang sulit.ia menyesal karena dihari pernikahannya ini ia melonggarkan penjaggaan walau ia tahu kemungkinan ada penyergapan. Untuk menghubungi Fin juga tidak mungkin karena ponsel keduanya ada di kamar. Ia harus memutar otak agar bisa selamat. Ia memang bisa menyelamatkan diri. Tetapi kini disini ia bersama orang lain. Ia
Tangan Ghea basah saking nervousnya. Kini ia sedang deperbaiki make upnya usai mengenakan gaun putih yang cukup merepotkan baginya. Gaun yang kini dikenakan memang sangat indah, permata yang menghiasi gaun itu kerlap kerlip sangat jernih dan kainnya juga bisa berubah warna dengan mempesona, ia menyukainya. Hanya gaun ini yang murni dari pilihan Eric sendiri usai kemarin perang debat di butik. Rambut Ghea dibiarkan menjuntai dengan diberi mutiara dan mahkota yang membuat seua orang pasti takjub. Lehernya juga dipakaikan kalung emas putih. Ia menyentuh kalung itu.keindahan kalung itu seolah mengunci pandangannya. Ia tersenyum kecil. “Ayah, putrimu menikah hari ini. Apakah ayah hari ini bahagia? Semoga ayah baik-baik saja. Kata orang terpercayamu ini, jika suatu saat ayah kembali, dia juga mau menikahiku untuk mengulangnya. Jadi ayah b
“Apakah ayah baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjemputnya juga?” Tanya Ghea yang sontak membuyar lamunan Eric saat menonton TV. Sebenarnya jika dikatakan menonton TV, Eric lebih banyak melihat ponselnya dan melamun. Televisi seolah menjadi pengisi suara ruangannya yang sedang hening. Mengenai kabar tentang Tuan Allen masih dalam pencarian, tetapi Eric sengaja tidak sekalipun menyinggung beliau pada putrinya. Keberadaan Tuan Allen masih misteri dan belum tahu seperti apa keadaannya. Kemungkinan dibawa musuh, karena tidak ada tanda-tanda darah di lokasi. Pertanyaan pertama kalinya selama Ghea bersama lelaki itu kini terlontar juga. Awalnya Ghea ingin Eric yang berterus terang tentang ayahnya. Namun lelaki di dekatnya ini memilih bungkam.&nb