Beberapa harir Eric tak ada dirumah. Dan beberapa hari pula Ghea merasa bebas karena sejak ia sadar, lelaki itu mengawasinya dengan ketat. Hidup di rumah mewah tanpa seorangpun yang bisa diajak bersenang-senang membuatnya sangat bosan. Ingin keluar sebantar saja, tetapi ia tak bisa. Gerbang dijaga ketat oleh anak buah Eric. Bahkan ada beberapa orang yang setiap 3 jam sekali berkeliling menyusuri luar rumah maupun dalam rumah. Semua itu membuat Ghea tak bisa berkutik. Karena mereka selalu ready lapor pada tuannya jika ada sesuatu yang aneh.
Dan hal yang paling menyebalkan adalah ia tak diijinkan memiliki ponsel demi keamanan, katanya. Keamanan apanya? Ghea berdecih soal itu. Hari ini adalah hari ke sepuluhlelaki itu tak pulang karena ada kepentinga. Ghea ingin keluar hanya untuk refreshing ke mall atau kemanapun.
“Ken…” panggilnya kepada salah satu anak buah Eric yang bertugas menjaganya. Ralat, mengawasinya.
Pemilik nama yang awalnya menatap ruangan itu menoleh. “Iya, Nona?”
“Aku ingin pergi keluar.” Kalimat bernada perintah itu sontak membuat pendengarnya itu agak terkejut. Mengapa ingin keluar? Padahal perintah tuannya sangat jelas tidak mengijinkan.
“Nona, tuan tidak mengijinkan itu.,” jawab Ken dengan lembut.
“Pokoknya aku ingin kamu antar aku ke mall. Katakana ke eric, aku bosan.”
Ken menuruti Ghea untuk menghubungi Eric. Sebenarnya Ghea menyakini kalau jawaban ‘boleh’ itu hanya 1%. Hidup bersama lelaki itu beberapa minggu membuatnya memahami kalau lelaki itu tak suka dibantah. Tetapi, kebosanannya kali ini sungguh melewati batas.
Tetapi ternyata jawaban Eric adalah ‘boleh’ dengan tambahan ‘harus dikawal Ken dan tidak membuat Ken kesulitan. Jadi yang seperti ini, Eric sedang ingin menjaganya atau menjaga Ken? Ghea merasa jengah dengan kelakuan Eric yang berlebihan.
-v-
Sebenarnya Ghea bukan gadis yang suka beli barang-barang mahal. Bukan pula gadis yang suka uang. Ketika di mall saat inipun ia tak tahu mau beli apa. Karena melihat banyak barangpun membuatnya bingung. Tujuannya keluar saat ini bukanlah beli barang-barang mewah. Untuk apa beli, Eric sudah menyediakan semua barang mewah dan branded di kamarnya dengan sangat lengkap. Walaupun itu semua hanya menjadi pajangan disana.
Tetapi tujuannya adalah pergi, kabur, menjauh dari Eric yang sebelum perginya slalu membuatnya kesal dengan aneh-aneh. Bahkan lelaki itu sering membentaknya. Apalah daya, hatinya rapuh. Sedikit bentakan membuatnya serasa tumbang. Keadaan baik-baik saja diantara dia dan Eric hanya dipermukaannya. Lelaki itu sangat pandai menyembunyikan kekerasannya dari orang lain.
Satu ide tercetus di kepalanya. Ia tersenyum miring. Mungkin ini adalah ide konyol yang bisa saja ampuh dan berhasil. Ia sendiri merasa muntab karena Ken tak menjauh sedikitpun darinya, membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Ken masih saja focus memperhatikannya dengan detail.
Ghea masuk kesalah satu toko pakaian disana. Kemudian memilihkan satu set jas, kemeja dan celana yang bagus. Sebetulnya ia hanya mengarang saja. Karena ia tak pandai menilai pakaian bagus atau tidak. Ia mengambil satu jas dan diukurkan di tubuh Ken.
“Nona, apakah anda ingin membeli ini?” Tanya Ken.
“Iya. Untuk Eric,” bohongnya sambil sibuk kembali memilih dan di ukurkan di badan Ken.
“Nona, tubuh saya dengan tubuh Tuan Eric berbeda jauh,” ungkapnya.
Ghea tak peduli. “Aku tahu. Tapi perawakan laki-laki tak jauh beda,” dalihnya. Ken tak bisa menjawab kata-katanya. “Kamu coba yang ini!”
Ken melihat jas itu sekilas. “Sepertinya satu set ini kekecilan jika untuk Tuan Eric, Nona.”
Ghea mendengus kesal. Kenapa lelaki yang menjaganya ini cerdas sekali. “Kamu coba ini! Kalau modelnya bagus, aku akan pesan ukuran yang lebih besar, ukuran Eric.”
Ken mengangguk. “Nona jangan kemana-mana!” pintanya. Lelaki itu masuk ke ruang ganti.
Bibir Ghea tersunging puas. Ia pun melangkah sedikit berlari menjauh dari toko itu. Bahkan dieskalator ia tak sabaran mengikuti lambt jalannya, ia tetap melangkah lebih cepat. Hingga akhirnya ia keluar dari mall itu. Untungnya ia tadi hanya di lantai 2. Jadi untuk keluar dari mall ini tak memakan waktu lama.
Ghea merasa sangat bahagia dengan kebebasan yang dirainya sendiri. Tak menyangka, kaburnya kali ini sangat mulus. Tapi ia melupakan sesuatu. Eric tak memberikannya sepeserpun uang. Seluruh pembayaran di mall dan kemanapun selalu dibayarkan Ken itu. Ia merutuki dirinya yang kabur tanpa memikirkan uang.
“Sepertinya kamu sedang dikejar seseorang ya?” Tanya seorang pemuda yang duduk di bangku pinggir jalan.
Mata Ghea menelisik lelaki itu. Melihat dari senyumnya, lelaki itu lebih manusiawi daripada Eric. Ia mendekat dan duduk disampingnya. Ia menghembuskan nafas lelah. “Tidak punya uang, tidak punya tempat tinggal, dan tidak punya pekerjaan. Aku harus memulai kisah hidupku dari mana,” keluhnya.
Lelaki disampingnya terkekeh. Gaya bahasa dan nada suara gadis itu unik ditelinganya. Walau bercerita seperti itu, lelaki 28 tahunan itu tak melihat ada sarat matre di mata gadis itu. Jadi, kemungkinan gadis itu benar-benar butuh bantuan.
“Nama kamu siapa? Aku Dean.” Ia mengulurkan tangannya.
“Ghea,” balasnya.
“Nona…” Panggil Ken yang tiba-tiba muncul didekatnya. Ghea terkejut, begitu juga dengan lelaki itu.
Sontak keberadaan Ken yang lumayan cepat dari dugaan Ghea itu membuatnya berdiri. Sedetik, dua detik ia memikirkan cara agar lelaki disampingnya menolong. Buntu. Dean berdiri disisi Ghea menatap Ken, entah dengan tatapan seperti apa itu.
“Dean… tolong… dia hampir memperkosaku… tolong… aku baru saja kabur dari dia… dia menculikku sejak kemarin…” kata Ghea merajuk pada Dean seraya bergelayut ditangannya dengan wajah semelas mungkin.
Lelaki itu terkejut, dan Ken gelagapan karena suara Ghea cukup keras dan membuat orang-orang yang lewat disana berhenti.
“Nona, jangan seperti itu,” tegur Ken selembut mungkin.
Tapi sayang sekali, wajah melas Ghea lebih meluluhkan semua orang yang memandang mereka. Beberapa berbisik dan bahkan mengucapkan kata serapan pada Ken. Daaan, Dean menggandeng Ghea pergi dari sana. Saat Ken akan menyusul, semua orang disana langsung menghalanginya demi menyelamatkan gadis bernama Ghea.
Dean bukan tak tahu kalau gadis digenggamannya ini sebenarnya bohong masalah tadi. Tetapi kenapa? Apakah gadis ini ada hubungannya dengan Eric. Ia yang bergelut di dunia yang sama dengan eric jelas tahu siapa seseorang yang memanggil ‘Nona’ tadi. Apakah ‘nona’ yang ini adalah kekasih Eric? Bukankah ini menarik? Kenapa untuk sekian kalinya eric mendapat keberuntungan? Ghea yang secerdas ini sungguh dimiliki Eric?
-v-
“Tuan, Nona kabur,” ucap anak buahnya dengan merunduk.
Eric yang baru saja merenggangkan otot usai berjam-jam berkutat dengan berkas kasus, kini mendapat kabar yang sungguh menyulut emosinya. Terkejut, dan marah. Ia menatap Ken tajam melebihi sebilah pisau. Ia menyesal karena membiarkan gadis itu pergi ke mall dan meremehkan kemampuan berfikirnya.
“BAGAIMANA BISA?” bentaknya menggelegar. Kemurkaan Eric tak pernah ada lawannya. Otaknya yang sedang ruwet memikirkan kelompoknya, kini ditambah kaburnya gadis itu yang mebuatnya sangat murka. Atmosfer panas memenuhi ruang tamu.
Eric sangat murka. Lelaki itu menggebrak meja hingga pecah berkeping-keping dan tangan kekar itu meneteskan darah segar, tangannya terkepal diatas pahanya menahan amarahnya muncul semakin besar, rahangnya mengeras hingga urat pembuluh darahnya tercetak jelas dibalik kulitnya yang putih.
“Saya dibohongi, tuan. Nona menyuruh saya mengganti pakaian di toko pakaian. Katanya jika modelnya cocok, nona akan membelikan tuan. Setelah itu nona kabur.” Ken tak berani menatap tuannya yang sedang mode sangat murka. Kilatan tajam muncul bak dewa kematian yang membuat semua orang tak berani berkata lebih panjang lagi.
“BAGAIMANA BISA KAMU MENJADI SEBODOH ITU?” Eric menarik kerah baju Ken tak bisa mengendalikan amarahnya. Nafas lelaki itu tak beraturan karena saking emosinya mencapai ubun-ubun. Ia memberi bogem di wajah Ken dengan keras sampai hidung lelaki itu mengeluarkan darah. Kemudian memukulnya menendang perutnya dan bagian-bagian lainnya. “BODOH! BODOH!”
“Stop, Ric!... Stop!” Fin menghentikan aksi brutal Eric. “Tidak ada gunanya kamu sebrutal ini.” Ia beralih pada anak buah lainnya. “Cari Ghea sampai dapat!” perintahnya.
“Tuan..” Ken berusaha berdiri. “Nona bersama Tuan Dean,” ungkapnya dengan menahan perih disekujur tubuhnya.
Kalimat itu semakin menambah kemarahan Eric. Ia terkejut, begitu pula Fin. Bagaimana bisa? Sedangkan Ghea sama sekali tak pernah mengenal lelaki itu. Ini bencana besar. Dean pasti menggunakan gadis itu sebagai umpan agar ia datang. Tetapi, Dean tak pernah tahu tentang ia punya kekasih. Apakah ini kebetulan?
"Saat saya menemukan nona, nona mengarang cerita dan berteriak kalau saya akan menculiknya. jadi semua orang ditempat itu berbondong-bondong menjauhkan saya dari nona," imbuh Ken. Tangan Eric mengepal. Ia menyesal meremehkan Ghea. Sangat menyesal. Ia tak menyangka kecerdasan Ghea sampai dibatas itu.
Eric menatap ponselnya. Ada yang Ghea tak tahu dari sesuatu yang selalu dipakainya. Ia sengaja mengenakan itu untuk keselamatannya. Sebuah denah dengan titik merah muncul dilayar ponselnya. Eric tak pernah kalah dalah hal apapun. Ia tersenyum misterius.
“Ghea, tunggu saja…” tatapan tajamnya menghunus tanda bahaya. Bibirnya menyinggung senyum tipis
Eric tersenyum tipis. Ghea terlalu meremehkan pantauan Eric. Tanpa sepengetahuan gadis itu, jam tangan yang diberikan kepadanya ada sebuah titik terpenting yang membuat gadis itu takkan bisa lepas dari pengawasannya.Flashback on Eric menyambar tangan Ghea paksa dan memakaikannya arloji putih yang sangat indah-menurut Ghea. Gadis itu memandangi jam itu kagum. “Jangan sekali-kali melepas arloji ini,” kata Eric penuh ketegasan Ghea masih larut memandangi jam itu. Tersenyum. “Kenapa kamu tidak bertanya aku menyukainya atau tidak?” Tanyanya polos. “Itu pertanyaan tidak penting. Suk
Eric memejamkan mata menenangkan diri. Ada sesal ynag kini bersarang dalam dirinya. Tetapi, kaburnya Ghea sungguh membuatnya tersulut emosi hingga tak memikirkan hal lain selain menyiksa gadis itu agar tak mengulang kelakuannya. Tidak tahukah gadis itu, kalau orang yang ditujunya malah musuk yang seharusnya dijauhi. Usai tadi gadis itu mimisan, ia langsung memanggil dokter dari rumah sakit terdekat saking khawatirnya. Padahal sejak dulu rumahnya tak pernah diinjak sedikitpun oleh seorang dokter. Alasannya adalah ada banyak musuh yang kemungkinan menyamar. Selain itu, jika ada banyak orang yang keluar masuk rumahnya, itu lebih membahayakan. Namun karena gadis, prinsip itu seolah tersingkirkan. “Eric, dia akan baik-baik saja,” kata Fin menenangkan. Baru ka
“Apakah ayah baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjemputnya juga?” Tanya Ghea yang sontak membuyar lamunan Eric saat menonton TV. Sebenarnya jika dikatakan menonton TV, Eric lebih banyak melihat ponselnya dan melamun. Televisi seolah menjadi pengisi suara ruangannya yang sedang hening. Mengenai kabar tentang Tuan Allen masih dalam pencarian, tetapi Eric sengaja tidak sekalipun menyinggung beliau pada putrinya. Keberadaan Tuan Allen masih misteri dan belum tahu seperti apa keadaannya. Kemungkinan dibawa musuh, karena tidak ada tanda-tanda darah di lokasi. Pertanyaan pertama kalinya selama Ghea bersama lelaki itu kini terlontar juga. Awalnya Ghea ingin Eric yang berterus terang tentang ayahnya. Namun lelaki di dekatnya ini memilih bungkam.&nb
Tangan Ghea basah saking nervousnya. Kini ia sedang deperbaiki make upnya usai mengenakan gaun putih yang cukup merepotkan baginya. Gaun yang kini dikenakan memang sangat indah, permata yang menghiasi gaun itu kerlap kerlip sangat jernih dan kainnya juga bisa berubah warna dengan mempesona, ia menyukainya. Hanya gaun ini yang murni dari pilihan Eric sendiri usai kemarin perang debat di butik. Rambut Ghea dibiarkan menjuntai dengan diberi mutiara dan mahkota yang membuat seua orang pasti takjub. Lehernya juga dipakaikan kalung emas putih. Ia menyentuh kalung itu.keindahan kalung itu seolah mengunci pandangannya. Ia tersenyum kecil. “Ayah, putrimu menikah hari ini. Apakah ayah hari ini bahagia? Semoga ayah baik-baik saja. Kata orang terpercayamu ini, jika suatu saat ayah kembali, dia juga mau menikahiku untuk mengulangnya. Jadi ayah b
Eric melirik Ghea yang sudah mengenakan kimono di tubuhnya. Setidaknya dengan mengenakan itu, Ghea tidak akan kesulitan bergarak daripada mengenakan gaunnya. Ia memantau kembali ke kamarnya lagi. Ada lima orang serba hitam yang sedang mencari-cari. Ghea jug ikut berdiri disamping lelaki serius itu. Ia menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. “Bagaimana bisa mereka tahu kita disini?” desis Ghea. Mengetahui dimana musuh bukanlah hal yang sulit.ia menyesal karena dihari pernikahannya ini ia melonggarkan penjaggaan walau ia tahu kemungkinan ada penyergapan. Untuk menghubungi Fin juga tidak mungkin karena ponsel keduanya ada di kamar. Ia harus memutar otak agar bisa selamat. Ia memang bisa menyelamatkan diri. Tetapi kini disini ia bersama orang lain. Ia
Mata Ghea terbuka usai 12 jam pingsan. Pemandangan pertamanya adalah perempuan yang mengenakan jas hitam sedang menatapnya. Ia merasa kepalanya sangat pusing dan dan matanya masih ingin terpejam. Namun, ketika ingatan sebelum ia pingsan, ia tak mau memejamkan mata. ‘Bagaimana keadaan Eric?’ batinnya yang merampal sebagai doa. Ia tetap diam tak berkutik dalam kesadarannya itu. Tubuhnya merasa sangat lemas, kepalanya berat, dan tenggorokannya kering keronta. Ia tak mau menguras energy untuk menyerang sedang ia sedang tak berdaya. Lebih baik tenang dulu, dan mencari ide untuk kabur segera. Perempuan disampingnya itu menggerakkan tangannya guna mengetes pandangan Ghea yang kosong dan tak merespon. Karena Ghea seperti mayat hidup, ia memanggil dokter.
Fin menatap sahabatnya yang kini terbaring tak sadarkan diri lagi. Baru saja lelaki itu siuman sehari, kini ia harus menjahit lukanya karena terbuka. Ghea, istrinya kini juga dirawat ditempat yang sama, sama-sama masih terpejam posisi jatuhnya Ghea kemarin jelas sesuatu yang tak bisa dihindari. Kepala bagian bawahnya membentur laci dengan keras hingga mengeluarkan banyak darah, nyaris tak tertolong jika ia tak segera masuk ke ruangan dan mendapati mereka. “Kita harus balas dendam,” ujar George geram. “Kita harus menunggunya sadar. Eric takkan bisa lega jika bukan dia sendiri yang meringkus pemimpin mereka sendiri.” Suara Fin terdengar tenang namun tak pernah memberi kesan santai, pandangannya tajam tak melewatkan sedetikpun menunggu Eric sadar. Beb
Ghea duduk termenung di balkon kamarnya, menatap bintang yang sebenarnya sudah ia lihat setiap malam. Ia selalu merasa bosan, beberapa hari ini Eric sibuk di markasnya dan tidak pulang. Ada perasaan bahagia karena taka da oaring yang terus menyiksanya, juga merasa ada sesuatu yang hilang. Saat ia membalikkan badan, ia terkejut mendapati Eric berdiri di pintu dengan keadaan kacau. Tubuhnya penuh lebam, wajahnya juga ada bagian-bagian yang sudah mengungu. Ghea mendekat dengan takut. Bagaimanapun Eric suaminya, meilhatnya seperti ini jelas membuat perasaannya khawatir. Wajah Eric yang masih menyisakan beringas-beringas terus menghantui bayangan-bayangan dikepala Ghea. “Kamu tidak apa-apa?” Tanya Ghea mendekat. Ia menyentuh bibir itu yang tengah mengeluarkan darah. Ia perna
“Kita jalan-jalan saja,” saran ghea sekaligus keinginannya keluar rumah untuk refreshing ketika Eric mengeluh bosan. Selama ini ia tak pernah keluar rumah karena Eric melarang dan rumah dijaga ketat. Eric hanya memutar bola mata. Sebenarnya ia juga ingin mengajak Ghea jalan-jalan. Tetapi keberadaan Tuan Allen yang masih belum diketahui, dan keluarganya sendiri yang baru-baru ini gencar ingin membunuhnya membuat keadaan masih belum sepenuhnya aman.ia khawatir Ghea akan diculik dan dijadikan Sandera. “Belum bisa.” Ghea membuang nafas pasrah. “Aku ingin jalan-jalan. Kenapa masih belum boleh? Kalau kamu khawatir, kamu yang ajak aku pergi.” Ia kembali membujuk.
Ghea masih tertidur pulas dibalik selimut yang meutupi tubuhnya. Eric tersenyum mengingat beberapa jam yang panas diantara ia dan gadis yang dicintainya. Ia sangat menyayanginya. Tetapi ia masih memiliki misi tuk menjadikan Ghea kuat. Ia tak ingin Ghea selalu mengandalkannya dalam segala sesuatu. Ia ingin gadis itu juga menguasai beladiri dan senjata agar bisa menjaga dirinya sendiri. Sampai saat ini gadis itu masih saja taka da niatan ingin bisa dan slalu mengandalkannya. Tidakkan ia tahu banyak musuh yang mengincarnya? Eric bangkit mengambil pakaian cdan celananya yang berserekan, kemudian menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian ia sudah siap dengan pakaian serba hitam. Malam ini ia akan kembali ke markas. “Bik …” panggilny
Ghea dikejutkan dengan datangnya seseorang yang mengatakan akan meriasnya. Katanya, ia mendapat perintah dari Eric untuk meriasnya. Bahkan Ghea sendiri tidak diberitahu apa-apa tentang itu. Dan sekarang beginilah keadaannya, usai berdebat dengan perias tentang polesan yang jangan tebal dan lain-lain, ia disuruh mengenakan gaun panjang nan indah warna cream berpadu pernak-pernik yang membuatnya sangat memukau. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan hiasan butiran permata yang berkilau. Ia sendiri sampai tertegun melihat bayangannya di cermin yang sangat cantik. “Anda sangat cantik,” puji perias yang berada di belakangnya. Ditengah terpesonanya ia terhadap dirinya sendiri, pintu kamar berderit
Ghea duduk termenung di balkon kamarnya, menatap bintang yang sebenarnya sudah ia lihat setiap malam. Ia selalu merasa bosan, beberapa hari ini Eric sibuk di markasnya dan tidak pulang. Ada perasaan bahagia karena taka da oaring yang terus menyiksanya, juga merasa ada sesuatu yang hilang. Saat ia membalikkan badan, ia terkejut mendapati Eric berdiri di pintu dengan keadaan kacau. Tubuhnya penuh lebam, wajahnya juga ada bagian-bagian yang sudah mengungu. Ghea mendekat dengan takut. Bagaimanapun Eric suaminya, meilhatnya seperti ini jelas membuat perasaannya khawatir. Wajah Eric yang masih menyisakan beringas-beringas terus menghantui bayangan-bayangan dikepala Ghea. “Kamu tidak apa-apa?” Tanya Ghea mendekat. Ia menyentuh bibir itu yang tengah mengeluarkan darah. Ia perna
Fin menatap sahabatnya yang kini terbaring tak sadarkan diri lagi. Baru saja lelaki itu siuman sehari, kini ia harus menjahit lukanya karena terbuka. Ghea, istrinya kini juga dirawat ditempat yang sama, sama-sama masih terpejam posisi jatuhnya Ghea kemarin jelas sesuatu yang tak bisa dihindari. Kepala bagian bawahnya membentur laci dengan keras hingga mengeluarkan banyak darah, nyaris tak tertolong jika ia tak segera masuk ke ruangan dan mendapati mereka. “Kita harus balas dendam,” ujar George geram. “Kita harus menunggunya sadar. Eric takkan bisa lega jika bukan dia sendiri yang meringkus pemimpin mereka sendiri.” Suara Fin terdengar tenang namun tak pernah memberi kesan santai, pandangannya tajam tak melewatkan sedetikpun menunggu Eric sadar. Beb
Mata Ghea terbuka usai 12 jam pingsan. Pemandangan pertamanya adalah perempuan yang mengenakan jas hitam sedang menatapnya. Ia merasa kepalanya sangat pusing dan dan matanya masih ingin terpejam. Namun, ketika ingatan sebelum ia pingsan, ia tak mau memejamkan mata. ‘Bagaimana keadaan Eric?’ batinnya yang merampal sebagai doa. Ia tetap diam tak berkutik dalam kesadarannya itu. Tubuhnya merasa sangat lemas, kepalanya berat, dan tenggorokannya kering keronta. Ia tak mau menguras energy untuk menyerang sedang ia sedang tak berdaya. Lebih baik tenang dulu, dan mencari ide untuk kabur segera. Perempuan disampingnya itu menggerakkan tangannya guna mengetes pandangan Ghea yang kosong dan tak merespon. Karena Ghea seperti mayat hidup, ia memanggil dokter.
Eric melirik Ghea yang sudah mengenakan kimono di tubuhnya. Setidaknya dengan mengenakan itu, Ghea tidak akan kesulitan bergarak daripada mengenakan gaunnya. Ia memantau kembali ke kamarnya lagi. Ada lima orang serba hitam yang sedang mencari-cari. Ghea jug ikut berdiri disamping lelaki serius itu. Ia menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. “Bagaimana bisa mereka tahu kita disini?” desis Ghea. Mengetahui dimana musuh bukanlah hal yang sulit.ia menyesal karena dihari pernikahannya ini ia melonggarkan penjaggaan walau ia tahu kemungkinan ada penyergapan. Untuk menghubungi Fin juga tidak mungkin karena ponsel keduanya ada di kamar. Ia harus memutar otak agar bisa selamat. Ia memang bisa menyelamatkan diri. Tetapi kini disini ia bersama orang lain. Ia
Tangan Ghea basah saking nervousnya. Kini ia sedang deperbaiki make upnya usai mengenakan gaun putih yang cukup merepotkan baginya. Gaun yang kini dikenakan memang sangat indah, permata yang menghiasi gaun itu kerlap kerlip sangat jernih dan kainnya juga bisa berubah warna dengan mempesona, ia menyukainya. Hanya gaun ini yang murni dari pilihan Eric sendiri usai kemarin perang debat di butik. Rambut Ghea dibiarkan menjuntai dengan diberi mutiara dan mahkota yang membuat seua orang pasti takjub. Lehernya juga dipakaikan kalung emas putih. Ia menyentuh kalung itu.keindahan kalung itu seolah mengunci pandangannya. Ia tersenyum kecil. “Ayah, putrimu menikah hari ini. Apakah ayah hari ini bahagia? Semoga ayah baik-baik saja. Kata orang terpercayamu ini, jika suatu saat ayah kembali, dia juga mau menikahiku untuk mengulangnya. Jadi ayah b
“Apakah ayah baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjemputnya juga?” Tanya Ghea yang sontak membuyar lamunan Eric saat menonton TV. Sebenarnya jika dikatakan menonton TV, Eric lebih banyak melihat ponselnya dan melamun. Televisi seolah menjadi pengisi suara ruangannya yang sedang hening. Mengenai kabar tentang Tuan Allen masih dalam pencarian, tetapi Eric sengaja tidak sekalipun menyinggung beliau pada putrinya. Keberadaan Tuan Allen masih misteri dan belum tahu seperti apa keadaannya. Kemungkinan dibawa musuh, karena tidak ada tanda-tanda darah di lokasi. Pertanyaan pertama kalinya selama Ghea bersama lelaki itu kini terlontar juga. Awalnya Ghea ingin Eric yang berterus terang tentang ayahnya. Namun lelaki di dekatnya ini memilih bungkam.&nb