Eric tersenyum tipis. Ghea terlalu meremehkan pantauan Eric. Tanpa sepengetahuan gadis itu, jam tangan yang diberikan kepadanya ada sebuah titik terpenting yang membuat gadis itu takkan bisa lepas dari pengawasannya.
Flashback on
Eric menyambar tangan Ghea paksa dan memakaikannya arloji putih yang sangat indah-menurut Ghea. Gadis itu memandangi jam itu kagum.
“Jangan sekali-kali melepas arloji ini,” kata Eric penuh ketegasan
Ghea masih larut memandangi jam itu. Tersenyum. “Kenapa kamu tidak bertanya aku menyukainya atau tidak?” Tanyanya polos.
“Itu pertanyaan tidak penting. Suka ataupun tidak, kamu harus tetap memakainya,” tandasnya, dingin.
Mata Ghea menatap Eric lama. “Aku suka kok.”
Eric berdecih dalam hati. Pilihannya sangat tepat. Memangnya siapa yang tidak tertarik dengan arloji seindah itu. Ghea yang memiliki karakter feminim dan polos sangat cocok dengan arloji putih dengan hiasan serpihan permata merah muda. Tanpa babibu gadis didepannya juga tak bertanya mengapa harus memakainya karena telah mengklaim suka.
Alisnya diangkat sebelah. Siapa sangka, di arloji itu ada GPS yang setiap detik bisa melacak keberadaannya. Dengan arloji itu pula ia bisa memastikan kalau gadis itu akan baik-baik saja ditangannya. Eric berdecih. GPSnya menyambung ke ponselnya.
Flashback off
Mata Eric menatap titik merah berkedip di layar ponselnya. Ia sudah menduga lokasi keberadaan gadisnya. Tetapi mengapa harus ditempat yang sangat dihindarinya? Tempat yang seharusnya menjadi sumber kenyamanan namun berganti kebengisan haus kekuasaan. Ghea ada ditempat yang sangat-sangat tak ingin ia injak sedikitpun sejak dulu.
“Ke rumah,” titah Eric cepat.
Semua orang dirunag itu melongo. Ke rumah? Jika sekarang sudah dirumahnya sendiri. Maka yang dimaksud rumah dalam kata-kata pemimpinnya adalah… Fin membuang nafas pelan. “Gadis yang ini benar-benar mengibarkan bendera perang” ia menggeleng-gelengkan kepala pelan.
-v-
Ghea melangkah menuju rumah mewah dengan pandangan takjub, sebenarnya tidak juga. Rumah Eric lebih indah dari ini. Rumah Eric memiliki nuansa yang menerangi seluruh ruangan walau monokrom. Rumah Eric serasa lebih beraura hidup daripada disini yang baginya kurang pencahayaan dan interior yang membingungkan.
“Kamu bisa bekerja disini.” Ucapan Dean membuyar lamuanannya tentang rumah eric. Rumah Eric? Kenapa ia malah membandingkan?.
Ghea mengangguk.
“Dean…” panggil seseorang dibelakang mereka. Ghea dan Dean menoleh.
Sosok dua orang yang kira-kira berusia hampir setengah abad itu mendekat dengan senyum. “Ini siapa?” Tanya seorang wanita yang mungkin itu adalah ibu Dean lembut.
Ketika bibir Dean terangkat ingin menyuarakan, suara lain menyahut dari balik pintu. “Kekasihku,” sahut si empu suara yang detik selanjutnya muncul dengan wajah merah padam. Tanpa ijin mereka, pemilik suara yang tak lain Eric itu menyerobot memecah kedekatan mereka menarik pergelangan Ghea dengan erat.
“Eric?” kedua orang tua itu sangat terkejut. Berbeda dengan Dean yang berwajah pias. Sejak tadi ia memang sudah menduga kalau gadis itu pasti ada hubungannya dengan Eric. Siapa lagi yang akan dipanggil ‘Nona’ oleh Ken jika bukan kekasih tuannya. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang terkejut dengan kehadiran Eric usai 4 tahun tak pernah menginjak rumah ini.
Ghea yang berada dalam suasana panas membara itu meringis. Ia melihat tiap mata yang saling menatap itu tersirat kebencian yang mendalam. Pergelangan tangannya juga mulai memerah karena cekalan Eric mengerat mengikuti suasana hatinya yang berkobar. Tangannya yang lain reflek mencengkeram jas lelaki yang berdiri disisinya.
“Dean, bagaimana bisa kamu berebutan gadis dengan anak tak tau diuntung itu,” kata wanita paruh baya dengan lembut namun terdapat sorot kemarahan. Bukan pada putranya, melainkan orang lain.
Perasaan Eric tercabik-cabik mendengar kata ‘anak tak tahu diuntung’ yang terlontar mulus dari bibir wanita itu. Ibunya. Dadanya bergerak naik turun menahan amarah. “Aku pergi,” tak mau berlama-lama, ia pamit sedater mungkin tanpa nada tinggi sedikitpun. Ia membalikkan badan dan menggeret Ghea yang sejak tadi serasa lemas melihat adegan ibu anak yang tak biasa itu.
-v-
Selama perjalanan, Eric diam tanpa bicara sedikitpun. Fin ynag menyetir juga diam. Suasana mobil serasa kuburan saking sepinya. Tetapi Ghea lebih merasakan aura panas yang tertahan dalam diri Eric. Sejak tadi ia memperhatikan lelaki itu yang duduk dengan mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat. Sangat erat hingga Ghea melihat otot otot tangannya yang tercetak disana. Matanya terpejam, namun Ghea terlanjur memahami akan lelaki itu. Kalau dia sedang meredam amarah. Bukan, lebih dari itu, murka.
Ghea mendekat takut-takut, kemudian meraih tangan Eric dan mengurainya lembut. Berharap emosi lelaki itu juga redam. Tetapi ia terlalu berani, detik selanjutnya mata Eric terbuka maksimal memancarkan ketajamannya yang jauh melewati batas prediksi Ghea. TanganEric mencekal kuat menahan lengan kanannya hingga ia lebih condong ke tubuh lelaki itu.
Wajah terkejut Ghea tak mampu melunturkan gejolak perasaannya yang tersulut api sejak tadi. Ghea berusaha melepaskan cekalan itu dan menjauhkan jarak darinya, tetapi kekuatan Ericlah yang menang. Ia melihat pergelangan tangannya memerah terkena gesekan arloji miliknya. Ada perih disana dan ia tak berani buka suara.
“KENAPA KAMU KABUR?” pertanyaan kilat itu bukan lagi dengan teriakan saja. Tetapi membentak pemuh amarah. Wajah Eric yang putih bersih berubah merah padam. Keterdiaman Ghea semakin membuatnya murka. Ia merengkuh gadis itu dengan erat, memblokir segala ruang geraknya. “KAMU KIRA AKU BODOH TIDAK TAHU KEBERADAANMU?” bentaknya lantang. Untungnya mobil melaju sangat kencang. Jadi taka da ynag dengar.
Kabut tipis muncul di mata Ghea. Ingin memberontak, tetapi Eric terlalu mengerikan, terlalu menakutkan saat diujung kemarahannya. “JAWAB!!!” bentaknya lagi tepat didekat muka Ghea. Gadis di rengkuhannya itu semakin kaku tak mampu bicara. Menatap mata Eric, wajahnya, rengkuhannya yang erat tanpa celah bernafas, dan bentakan itu yang sontak menghancurkan hatinya dengan telak.
Mobil berhenti. Ghea Eric melepas rengkuhan ynag menelan banyak nafasnya. Lelaki itu keluar dengan langkah cepat, membuka pintu sebelahnya dan menariknya paksa.
“Eric, jangan…” kata Ghea lirih dengan air mata yang muali menetes. Perlakuan ini… menyiksanya.
“DIAM!!!” sahut eric dengan menggelegar hingga seluruh pembantu rumah keluar melihat apa yang terjadi.
Eric terus menyeret gadisnya sangat erat, sangat ketat, dan sangat menyakitkan menyusuri rumah mewah itu. Langkah lebarnya Eric membuat gadis itu terseok-seok mengikutinya. Entah sudah berapa kali kakinya terseleo gara-gara mengenakan high hill di kakinya. Terus berjalan dengan kaki membiru hingga berkali-kali tersungkur dan terjatuh tanpa dipedulikan lelaki itu. Berkali-kali jalannya tersendat, ia di paksa bangkit hingga membuat kakinya makin ngilu.
Dalam tarikan kasar Eric itu, Ghea tak bisa menahan sakit kakinya. Ia jatuh terduduk tepat di bagian tangga bawah. Lelaki yang menyeretnya itu tak sabaran dan langsung membopong tubuhnya. Dan bukan ke kamarnya. Tapi… ke kamar Eric. Ia memberontak keras. Tapi kekuatannya sudah habis terkuras tangisannya sejak pulang dari rumah Dean. Untuk menggunakan sisa kekuatannya itu tak mempengaruhi Eric sedikitpun.
Hingga akhirnya….
Ia terkejut di dudukkan di bathtub dan lelaki itu mengguyurkan air dingin ke kepala Ghea dengan beringas. Mata Eric yang masih memerah itu menatap Ghea seperti sebilah pisau yang begitu mudah menancap lawan sekali tusuk. Air mata Ghea berbaur dengan dinginnya air yang membuatnya menggigil. Tubuhnya semakin kaku bersamaan dengan iar sedingin es yang terkumpul di bathtub.
“KAMU KIRA MEREKA SIAPA? MEREKA ITU LEBIH KEJAM DARIPADA AKU,” bentak Eric di dekat wajah Ghea.
Tubuh Ghea memutih pucat, bibirnya membiru dan sejenak-sejenak matanya tertutup demi menahan tubuhnya yang sejak dulu tak bisa menerima hawa dingin. Jika bukan karena tubuhnya ditahan Eric, mungkin tubuhnya juga akan roboh. Lelaki didepannya masih berteriak-teriak yang membuat pertahanan hatinya hancur seketika. Ucapan kejamnya membuat kepercayaan yang dulu dikatakan ayahnya runtuh tak tersisa. Bukankah Eric lebih kejam?
Hingga kemudian, ia merasakan sesuatu hangat mengalir dari hidungnya. ia menduga ini pasti mimisan sama seperti dulu-dulu jika kedinginan, matanya tak mampu bertahan lebih lama, nafasnya melambat, sampai akhirnya ia tak merasakan apa-apa lagi.
Eric memejamkan mata menenangkan diri. Ada sesal ynag kini bersarang dalam dirinya. Tetapi, kaburnya Ghea sungguh membuatnya tersulut emosi hingga tak memikirkan hal lain selain menyiksa gadis itu agar tak mengulang kelakuannya. Tidak tahukah gadis itu, kalau orang yang ditujunya malah musuk yang seharusnya dijauhi. Usai tadi gadis itu mimisan, ia langsung memanggil dokter dari rumah sakit terdekat saking khawatirnya. Padahal sejak dulu rumahnya tak pernah diinjak sedikitpun oleh seorang dokter. Alasannya adalah ada banyak musuh yang kemungkinan menyamar. Selain itu, jika ada banyak orang yang keluar masuk rumahnya, itu lebih membahayakan. Namun karena gadis, prinsip itu seolah tersingkirkan. “Eric, dia akan baik-baik saja,” kata Fin menenangkan. Baru ka
“Apakah ayah baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjemputnya juga?” Tanya Ghea yang sontak membuyar lamunan Eric saat menonton TV. Sebenarnya jika dikatakan menonton TV, Eric lebih banyak melihat ponselnya dan melamun. Televisi seolah menjadi pengisi suara ruangannya yang sedang hening. Mengenai kabar tentang Tuan Allen masih dalam pencarian, tetapi Eric sengaja tidak sekalipun menyinggung beliau pada putrinya. Keberadaan Tuan Allen masih misteri dan belum tahu seperti apa keadaannya. Kemungkinan dibawa musuh, karena tidak ada tanda-tanda darah di lokasi. Pertanyaan pertama kalinya selama Ghea bersama lelaki itu kini terlontar juga. Awalnya Ghea ingin Eric yang berterus terang tentang ayahnya. Namun lelaki di dekatnya ini memilih bungkam.&nb
Tangan Ghea basah saking nervousnya. Kini ia sedang deperbaiki make upnya usai mengenakan gaun putih yang cukup merepotkan baginya. Gaun yang kini dikenakan memang sangat indah, permata yang menghiasi gaun itu kerlap kerlip sangat jernih dan kainnya juga bisa berubah warna dengan mempesona, ia menyukainya. Hanya gaun ini yang murni dari pilihan Eric sendiri usai kemarin perang debat di butik. Rambut Ghea dibiarkan menjuntai dengan diberi mutiara dan mahkota yang membuat seua orang pasti takjub. Lehernya juga dipakaikan kalung emas putih. Ia menyentuh kalung itu.keindahan kalung itu seolah mengunci pandangannya. Ia tersenyum kecil. “Ayah, putrimu menikah hari ini. Apakah ayah hari ini bahagia? Semoga ayah baik-baik saja. Kata orang terpercayamu ini, jika suatu saat ayah kembali, dia juga mau menikahiku untuk mengulangnya. Jadi ayah b
Eric melirik Ghea yang sudah mengenakan kimono di tubuhnya. Setidaknya dengan mengenakan itu, Ghea tidak akan kesulitan bergarak daripada mengenakan gaunnya. Ia memantau kembali ke kamarnya lagi. Ada lima orang serba hitam yang sedang mencari-cari. Ghea jug ikut berdiri disamping lelaki serius itu. Ia menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. “Bagaimana bisa mereka tahu kita disini?” desis Ghea. Mengetahui dimana musuh bukanlah hal yang sulit.ia menyesal karena dihari pernikahannya ini ia melonggarkan penjaggaan walau ia tahu kemungkinan ada penyergapan. Untuk menghubungi Fin juga tidak mungkin karena ponsel keduanya ada di kamar. Ia harus memutar otak agar bisa selamat. Ia memang bisa menyelamatkan diri. Tetapi kini disini ia bersama orang lain. Ia
Mata Ghea terbuka usai 12 jam pingsan. Pemandangan pertamanya adalah perempuan yang mengenakan jas hitam sedang menatapnya. Ia merasa kepalanya sangat pusing dan dan matanya masih ingin terpejam. Namun, ketika ingatan sebelum ia pingsan, ia tak mau memejamkan mata. ‘Bagaimana keadaan Eric?’ batinnya yang merampal sebagai doa. Ia tetap diam tak berkutik dalam kesadarannya itu. Tubuhnya merasa sangat lemas, kepalanya berat, dan tenggorokannya kering keronta. Ia tak mau menguras energy untuk menyerang sedang ia sedang tak berdaya. Lebih baik tenang dulu, dan mencari ide untuk kabur segera. Perempuan disampingnya itu menggerakkan tangannya guna mengetes pandangan Ghea yang kosong dan tak merespon. Karena Ghea seperti mayat hidup, ia memanggil dokter.
Fin menatap sahabatnya yang kini terbaring tak sadarkan diri lagi. Baru saja lelaki itu siuman sehari, kini ia harus menjahit lukanya karena terbuka. Ghea, istrinya kini juga dirawat ditempat yang sama, sama-sama masih terpejam posisi jatuhnya Ghea kemarin jelas sesuatu yang tak bisa dihindari. Kepala bagian bawahnya membentur laci dengan keras hingga mengeluarkan banyak darah, nyaris tak tertolong jika ia tak segera masuk ke ruangan dan mendapati mereka. “Kita harus balas dendam,” ujar George geram. “Kita harus menunggunya sadar. Eric takkan bisa lega jika bukan dia sendiri yang meringkus pemimpin mereka sendiri.” Suara Fin terdengar tenang namun tak pernah memberi kesan santai, pandangannya tajam tak melewatkan sedetikpun menunggu Eric sadar. Beb
Ghea duduk termenung di balkon kamarnya, menatap bintang yang sebenarnya sudah ia lihat setiap malam. Ia selalu merasa bosan, beberapa hari ini Eric sibuk di markasnya dan tidak pulang. Ada perasaan bahagia karena taka da oaring yang terus menyiksanya, juga merasa ada sesuatu yang hilang. Saat ia membalikkan badan, ia terkejut mendapati Eric berdiri di pintu dengan keadaan kacau. Tubuhnya penuh lebam, wajahnya juga ada bagian-bagian yang sudah mengungu. Ghea mendekat dengan takut. Bagaimanapun Eric suaminya, meilhatnya seperti ini jelas membuat perasaannya khawatir. Wajah Eric yang masih menyisakan beringas-beringas terus menghantui bayangan-bayangan dikepala Ghea. “Kamu tidak apa-apa?” Tanya Ghea mendekat. Ia menyentuh bibir itu yang tengah mengeluarkan darah. Ia perna
Ghea dikejutkan dengan datangnya seseorang yang mengatakan akan meriasnya. Katanya, ia mendapat perintah dari Eric untuk meriasnya. Bahkan Ghea sendiri tidak diberitahu apa-apa tentang itu. Dan sekarang beginilah keadaannya, usai berdebat dengan perias tentang polesan yang jangan tebal dan lain-lain, ia disuruh mengenakan gaun panjang nan indah warna cream berpadu pernak-pernik yang membuatnya sangat memukau. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan hiasan butiran permata yang berkilau. Ia sendiri sampai tertegun melihat bayangannya di cermin yang sangat cantik. “Anda sangat cantik,” puji perias yang berada di belakangnya. Ditengah terpesonanya ia terhadap dirinya sendiri, pintu kamar berderit
“Kita jalan-jalan saja,” saran ghea sekaligus keinginannya keluar rumah untuk refreshing ketika Eric mengeluh bosan. Selama ini ia tak pernah keluar rumah karena Eric melarang dan rumah dijaga ketat. Eric hanya memutar bola mata. Sebenarnya ia juga ingin mengajak Ghea jalan-jalan. Tetapi keberadaan Tuan Allen yang masih belum diketahui, dan keluarganya sendiri yang baru-baru ini gencar ingin membunuhnya membuat keadaan masih belum sepenuhnya aman.ia khawatir Ghea akan diculik dan dijadikan Sandera. “Belum bisa.” Ghea membuang nafas pasrah. “Aku ingin jalan-jalan. Kenapa masih belum boleh? Kalau kamu khawatir, kamu yang ajak aku pergi.” Ia kembali membujuk.
Ghea masih tertidur pulas dibalik selimut yang meutupi tubuhnya. Eric tersenyum mengingat beberapa jam yang panas diantara ia dan gadis yang dicintainya. Ia sangat menyayanginya. Tetapi ia masih memiliki misi tuk menjadikan Ghea kuat. Ia tak ingin Ghea selalu mengandalkannya dalam segala sesuatu. Ia ingin gadis itu juga menguasai beladiri dan senjata agar bisa menjaga dirinya sendiri. Sampai saat ini gadis itu masih saja taka da niatan ingin bisa dan slalu mengandalkannya. Tidakkan ia tahu banyak musuh yang mengincarnya? Eric bangkit mengambil pakaian cdan celananya yang berserekan, kemudian menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian ia sudah siap dengan pakaian serba hitam. Malam ini ia akan kembali ke markas. “Bik …” panggilny
Ghea dikejutkan dengan datangnya seseorang yang mengatakan akan meriasnya. Katanya, ia mendapat perintah dari Eric untuk meriasnya. Bahkan Ghea sendiri tidak diberitahu apa-apa tentang itu. Dan sekarang beginilah keadaannya, usai berdebat dengan perias tentang polesan yang jangan tebal dan lain-lain, ia disuruh mengenakan gaun panjang nan indah warna cream berpadu pernak-pernik yang membuatnya sangat memukau. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan hiasan butiran permata yang berkilau. Ia sendiri sampai tertegun melihat bayangannya di cermin yang sangat cantik. “Anda sangat cantik,” puji perias yang berada di belakangnya. Ditengah terpesonanya ia terhadap dirinya sendiri, pintu kamar berderit
Ghea duduk termenung di balkon kamarnya, menatap bintang yang sebenarnya sudah ia lihat setiap malam. Ia selalu merasa bosan, beberapa hari ini Eric sibuk di markasnya dan tidak pulang. Ada perasaan bahagia karena taka da oaring yang terus menyiksanya, juga merasa ada sesuatu yang hilang. Saat ia membalikkan badan, ia terkejut mendapati Eric berdiri di pintu dengan keadaan kacau. Tubuhnya penuh lebam, wajahnya juga ada bagian-bagian yang sudah mengungu. Ghea mendekat dengan takut. Bagaimanapun Eric suaminya, meilhatnya seperti ini jelas membuat perasaannya khawatir. Wajah Eric yang masih menyisakan beringas-beringas terus menghantui bayangan-bayangan dikepala Ghea. “Kamu tidak apa-apa?” Tanya Ghea mendekat. Ia menyentuh bibir itu yang tengah mengeluarkan darah. Ia perna
Fin menatap sahabatnya yang kini terbaring tak sadarkan diri lagi. Baru saja lelaki itu siuman sehari, kini ia harus menjahit lukanya karena terbuka. Ghea, istrinya kini juga dirawat ditempat yang sama, sama-sama masih terpejam posisi jatuhnya Ghea kemarin jelas sesuatu yang tak bisa dihindari. Kepala bagian bawahnya membentur laci dengan keras hingga mengeluarkan banyak darah, nyaris tak tertolong jika ia tak segera masuk ke ruangan dan mendapati mereka. “Kita harus balas dendam,” ujar George geram. “Kita harus menunggunya sadar. Eric takkan bisa lega jika bukan dia sendiri yang meringkus pemimpin mereka sendiri.” Suara Fin terdengar tenang namun tak pernah memberi kesan santai, pandangannya tajam tak melewatkan sedetikpun menunggu Eric sadar. Beb
Mata Ghea terbuka usai 12 jam pingsan. Pemandangan pertamanya adalah perempuan yang mengenakan jas hitam sedang menatapnya. Ia merasa kepalanya sangat pusing dan dan matanya masih ingin terpejam. Namun, ketika ingatan sebelum ia pingsan, ia tak mau memejamkan mata. ‘Bagaimana keadaan Eric?’ batinnya yang merampal sebagai doa. Ia tetap diam tak berkutik dalam kesadarannya itu. Tubuhnya merasa sangat lemas, kepalanya berat, dan tenggorokannya kering keronta. Ia tak mau menguras energy untuk menyerang sedang ia sedang tak berdaya. Lebih baik tenang dulu, dan mencari ide untuk kabur segera. Perempuan disampingnya itu menggerakkan tangannya guna mengetes pandangan Ghea yang kosong dan tak merespon. Karena Ghea seperti mayat hidup, ia memanggil dokter.
Eric melirik Ghea yang sudah mengenakan kimono di tubuhnya. Setidaknya dengan mengenakan itu, Ghea tidak akan kesulitan bergarak daripada mengenakan gaunnya. Ia memantau kembali ke kamarnya lagi. Ada lima orang serba hitam yang sedang mencari-cari. Ghea jug ikut berdiri disamping lelaki serius itu. Ia menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. “Bagaimana bisa mereka tahu kita disini?” desis Ghea. Mengetahui dimana musuh bukanlah hal yang sulit.ia menyesal karena dihari pernikahannya ini ia melonggarkan penjaggaan walau ia tahu kemungkinan ada penyergapan. Untuk menghubungi Fin juga tidak mungkin karena ponsel keduanya ada di kamar. Ia harus memutar otak agar bisa selamat. Ia memang bisa menyelamatkan diri. Tetapi kini disini ia bersama orang lain. Ia
Tangan Ghea basah saking nervousnya. Kini ia sedang deperbaiki make upnya usai mengenakan gaun putih yang cukup merepotkan baginya. Gaun yang kini dikenakan memang sangat indah, permata yang menghiasi gaun itu kerlap kerlip sangat jernih dan kainnya juga bisa berubah warna dengan mempesona, ia menyukainya. Hanya gaun ini yang murni dari pilihan Eric sendiri usai kemarin perang debat di butik. Rambut Ghea dibiarkan menjuntai dengan diberi mutiara dan mahkota yang membuat seua orang pasti takjub. Lehernya juga dipakaikan kalung emas putih. Ia menyentuh kalung itu.keindahan kalung itu seolah mengunci pandangannya. Ia tersenyum kecil. “Ayah, putrimu menikah hari ini. Apakah ayah hari ini bahagia? Semoga ayah baik-baik saja. Kata orang terpercayamu ini, jika suatu saat ayah kembali, dia juga mau menikahiku untuk mengulangnya. Jadi ayah b
“Apakah ayah baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjemputnya juga?” Tanya Ghea yang sontak membuyar lamunan Eric saat menonton TV. Sebenarnya jika dikatakan menonton TV, Eric lebih banyak melihat ponselnya dan melamun. Televisi seolah menjadi pengisi suara ruangannya yang sedang hening. Mengenai kabar tentang Tuan Allen masih dalam pencarian, tetapi Eric sengaja tidak sekalipun menyinggung beliau pada putrinya. Keberadaan Tuan Allen masih misteri dan belum tahu seperti apa keadaannya. Kemungkinan dibawa musuh, karena tidak ada tanda-tanda darah di lokasi. Pertanyaan pertama kalinya selama Ghea bersama lelaki itu kini terlontar juga. Awalnya Ghea ingin Eric yang berterus terang tentang ayahnya. Namun lelaki di dekatnya ini memilih bungkam.&nb