"Ini Bagas ke mana sih? Ditelfon daritadi gak diangkat. Padahal tadi pagi bilangnya bakal pulang jam enam. Ini udah setengah delapan belum sampe juga. Kasihan Arin udah nunggu lama." Karina mendumel karena sudah beberapa kali menelepon Bagas, namun tak kunjung diangkat."Mungkin lagi meeting sama klien, bun. Gak papa Arin balik sendiri aja. Nanti pesan taksi.""Gak. Bunda gak mau. Kaki kamu kan masih sakit, bunda gak mau kamu malah kenapa-napa. Coba aja kalau ayah udah balik pasti udah anterin kamu daritadi.""Gimana kalau Fira temenin kak Arin? Nanti Arin nginap di sana. Besok pagi-pagi Fira langsung ke kampus," tawar Fira."Jangan Fir, aku gak mau ngerepotin kamu. Apalagi jarak dari rumah ke kampus kamu itu jauh aku gak mau kamu sampe telat ke kampus gara-gara aku." Arin menolak."Bentar, ada yang datang. Fir, tolong bukain pintu," suruh Karina ketika mendengar pintu diketuk."Iya bun."Tak lama kemudian Fira kembali, dia tidak sendirian melainkan bersama Aaron."Eh, Aaron.""Malam
Pagi ini Arin berangkat ke restauran bersama Bagas. Padahal Arin sudah menolak, tapi Bagas memaksa karena tidak mau terjadi sesuatu pada Arin. Apalagi kaki Arin masih dalam proses pemulihan. Bahkan, Bagas mengantar Arin sampai ke dalam restauran. Biasanya kalau mengantar hanya sampai parkiran, tapi Arin tidak mau terbawa perasaan karena perhatian Bagas. Arin yakin perhatian Bagas semata-mata karena kondisi kakinya. Bukan karena Bagas betul-betul khawatir dengannya. Atau jangan-jangan Bagas sengaja agar dia luluh dan memaafkannya?"Rin? Mau saya anter ke ruangan?" tanya Bagas ketika mereka sudah berada di dalam restauran."Gak usah, makasih. Saya bisa sendiri." Arin menolak."Rin."Arin yang hendak ke ruangannya menoleh pada Bagas. "Em, nanti selesai kantor saya jemput.""Hm." Arin pun pergi ke ruangannya."Pak Bagas gak usah khawatir. Mbak Arin gak bakal bisa marah lama-lama kok. Orangnya gak bisa dendaman."Bagas menoleh pada karyawan Arin lalu tersenyum tipis. Bagas juga berharap s
Bagas berlari menghampiri mereka, lalu mendorong Brian menjauhi Arin."Mau ngapain kamu? Kamu mau macam-macam sama istri saya?" marah Bagas.Brian segera menggeleng. "Pak Bagas salah paham. Ini gak seperti yang pak Bagas pikir. Saya tadi cuma bantuin Arin buat niup matanya yang kelilipan." Brian menjelaskan agar Bagas tidak salah paham lagi dengannya.Arin yang masih mengucek matanya langsung menatap Bagas tajam. "Maksud kamu apa? Emang kamu pikir Brian mau ngapain?""Maaf, kalau saya bikin pak Bagas salah paham. Saya permisi." Brian pun pergi meninggalkan keduanya."Saya pikir dia mau macam-macam sama kamu.""Emang kalau dia mau macam-macam kenapa? Ada masalah?""Kamu istri saya. Gak seharusnya kamu berduaan sama dia. Kalau orang lain liat dan salah paham gimana?""Terus kalau lo cari tahu tentang mantan lo, boleh? Kalau lo masih belum bisa lupain dia disaat lo udah punya istri, boleh? Lo itu egois tahu gak?!""Bagas?"Bagas seketika tersadar. Ternyata dia cuma halusinasi. "Pak Baga
Arin sedang memasak mie instan. Ketika selesai, dia hendak mengambil mangkuk yang ada di laci. Karena laci cukup tinggi Arin sedikit kesusahan untuk menggapainya. Saat dia hampir berhasil dia malah tidak sengaja menyenggol mangkuk lain. Hampir saja mangkuk tersebut mengenai kepalanya, namun Bagas dengan sigap menolongnya."Yah, pecah mangkuknya.""Gak papa, yang penting kamu gak kenapa-napa," ucap Bagas.Arin hendak membersihkan pecahan mangkuk, namun Bagas menahannya. "Udah gak usah, biar saya aja yang bersihin. Kamu makan aja.""Tapi gue yang pecahin."Bagas mengambil sapu untuk membersihkan pecahan mangkuk tersebut.Arin masih diam di tempatnya memperhatikan Bagas hingga selesai."Kok diam? Mienya gak mau dipindahin ke mangkuk? Atau mau saya ....""Gak usah, gue bisa sendiri." Arin langsung menolak seolah tahu apa yang akan Bagas katakan.Bagas mengangguk. "Jangan sering-sering makan mie instan. Gak baik buat kesehatan.""Lo mau? Kalau gak mau juga gak papa."***Arin sama sekali t
Sepulang dari bertemu dengan Ela, Arin menuju dapur untuk mengambil minum. Ketika berada di dapur, perhatian Arin teralihkan pada meja makan yang dipenuhi oleh banyak makanan. Apa mungkin Bagas yang memesan semua makanan ini? Kenapa dia memesan sampai sebanyak ini? Memangnya dia mampu menghabiskan semuanya?"Kamu udah pulang?" Arin beralih menatap Bagas yang terlihat segar mungkin baru selesai mandi."Kalau udah di rumah berarti udah pulang," balas Arin sinis."Ya udah, kamu bersih-bersih dulu. Habis itu baru kita makan malam. Tadi saya pesanin makanan yang kamu suka.""Udah kenyang."Bagas terdiam sejenak. Biasanya dia yang sering berkata seperti itu setiap Arin mengajaknya untuk makan bersama, tapi sekarang malah Arin yang berkata seperti itu. Dan entah kenapa ucapan itu membuatnya merasa cukup sedih. Apa mungkin Arin juga merasakan hal yang sama ketika dia berkata seperti itu?"Tapi saya udah pesan banyak makanan. Saya gak mungkin makan sendiri.""Emang saya minta dipesanin?"***"
"Bagas, gak sarapan dulu? Aku udah masakin nasi goreng," ucap Arin ketika Bagas sudah bersiap-siap hendak pergi ke kantor.Bagas menggeleng. "Udah kenyang." Setelah berucap demikian Bagas pun pergi.Arin berdecak kesal. "Belum makan apa-apa kok udah bilang kenyang." Arin melahap nasi gorengnya sembari menggerutu. "Emang masakan gue gak enak apa? Setiap gue masakin gak pernah dimakan. Apa jangan-jangan dia mikir gue mau ngeracunin dia?" Arin segera menggeleng tidak mau peduli. "Bodoh amat! Yang penting gue udah ngelakuin tugas gue sebagai istri."Arinda Pratiwi nama lengkapnya. Hampir setengah tahun Arin menjalani pernikahan dengan seorang pria bernama Bagaskara Pratama, namun dia tidak merasakan kalau pernikahan mereka begitu indah. Mungkin orang-orang akan berpikir kalau Bagas adalah suami yang baik dan romantis, tapi itu semua hanyalah palsu. Karena Bagas hanya berpura-pura bersikap romantis padanya di depan orang-orang. Tapi, ketika hanya mereka berdua boro-boro romantis. Mengobrol
Arin menghela napas lega ketika selesai menata semua makanan di meja. Tadi Arin pulang lebih cepat dari restauran karena dia harus mempersiapkan makan malam. Malam ini keluarganya dan juga keluarga Bagas akan makan malam bersama di rumah. Sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka menikah kalau mereka harus berkumpul setidaknya sebulan sekali. Dan kali ini tempat berkumpulnya adalah di rumah Bagas dan juga Arin.Karena sudah selesai, Arin pun pergi mandi sebelum keluarganya datang. Tak butuh waktu lama untuk Arin selesai mandi.Arin menatap layar ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi Bagas belum juga pulang. Padahal Bagas sudah tahu kalau hari ini mereka akan makan malam bersama keluarga. Sebelum mandi tadi Arin sudah menghubungi Bagas untuk mengingatkan, tapi tidak ada balasan darinya."Coba telfon deh." Arin pun menelepon Bagas, namun tidak diangkat.Ketika sedang sibuk dengan ponselnya, terdengar bel rumah berbunyi."Sebentar." Arin segera pergi untuk membuka pintu.
"Kok kamu ada di sini?" Arin cukup terkejut begitu melihat Bagas berada di rumah orangtuanya. Saat di depan tadi Arin memang melihat mobil yang begitu mirip dengan mobil Bagas, tapi sama sekali tidak terlintas di pikirannya kalau mobil itu adalah mobil Bagas.Bagas tersenyum. "Iya, aku ke sini mau minta maaf sama papa dan mama karena kemarin gak ikut makan malam.""Asik! Ada kue kesukaan gue nih. Tahu aja lagi pengin gue. Thanks ya kak." Baru saja Aaron ingin mengambil kotak kue yang dipegang Arin, tapi gagal karena Arin langsung menjauhkannya."Gue bakal kasih, tapi lo siapin kuenya terus bawa ke sini. Sisanya boleh lo makan.""Siap!""Jadi apa papa sama mama mau maafin Bagas?" tanya Bagas.Hery dan Rika tersenyum lalu mengangguk. "Kita sama sekali gak marah sama kamu kok. Kita ngerti kalau kamu sibuk. Lagipula kan kita masih bisa kumpul lagi bulan depan.""Makasih pa, ma.""Kuenya sudah datang." Aaron membawa sepiring kue yang sudah dipotong. "Bang, cobain dulu kuenya. Gue jamin lo
Sepulang dari bertemu dengan Ela, Arin menuju dapur untuk mengambil minum. Ketika berada di dapur, perhatian Arin teralihkan pada meja makan yang dipenuhi oleh banyak makanan. Apa mungkin Bagas yang memesan semua makanan ini? Kenapa dia memesan sampai sebanyak ini? Memangnya dia mampu menghabiskan semuanya?"Kamu udah pulang?" Arin beralih menatap Bagas yang terlihat segar mungkin baru selesai mandi."Kalau udah di rumah berarti udah pulang," balas Arin sinis."Ya udah, kamu bersih-bersih dulu. Habis itu baru kita makan malam. Tadi saya pesanin makanan yang kamu suka.""Udah kenyang."Bagas terdiam sejenak. Biasanya dia yang sering berkata seperti itu setiap Arin mengajaknya untuk makan bersama, tapi sekarang malah Arin yang berkata seperti itu. Dan entah kenapa ucapan itu membuatnya merasa cukup sedih. Apa mungkin Arin juga merasakan hal yang sama ketika dia berkata seperti itu?"Tapi saya udah pesan banyak makanan. Saya gak mungkin makan sendiri.""Emang saya minta dipesanin?"***"
Arin sedang memasak mie instan. Ketika selesai, dia hendak mengambil mangkuk yang ada di laci. Karena laci cukup tinggi Arin sedikit kesusahan untuk menggapainya. Saat dia hampir berhasil dia malah tidak sengaja menyenggol mangkuk lain. Hampir saja mangkuk tersebut mengenai kepalanya, namun Bagas dengan sigap menolongnya."Yah, pecah mangkuknya.""Gak papa, yang penting kamu gak kenapa-napa," ucap Bagas.Arin hendak membersihkan pecahan mangkuk, namun Bagas menahannya. "Udah gak usah, biar saya aja yang bersihin. Kamu makan aja.""Tapi gue yang pecahin."Bagas mengambil sapu untuk membersihkan pecahan mangkuk tersebut.Arin masih diam di tempatnya memperhatikan Bagas hingga selesai."Kok diam? Mienya gak mau dipindahin ke mangkuk? Atau mau saya ....""Gak usah, gue bisa sendiri." Arin langsung menolak seolah tahu apa yang akan Bagas katakan.Bagas mengangguk. "Jangan sering-sering makan mie instan. Gak baik buat kesehatan.""Lo mau? Kalau gak mau juga gak papa."***Arin sama sekali t
Bagas berlari menghampiri mereka, lalu mendorong Brian menjauhi Arin."Mau ngapain kamu? Kamu mau macam-macam sama istri saya?" marah Bagas.Brian segera menggeleng. "Pak Bagas salah paham. Ini gak seperti yang pak Bagas pikir. Saya tadi cuma bantuin Arin buat niup matanya yang kelilipan." Brian menjelaskan agar Bagas tidak salah paham lagi dengannya.Arin yang masih mengucek matanya langsung menatap Bagas tajam. "Maksud kamu apa? Emang kamu pikir Brian mau ngapain?""Maaf, kalau saya bikin pak Bagas salah paham. Saya permisi." Brian pun pergi meninggalkan keduanya."Saya pikir dia mau macam-macam sama kamu.""Emang kalau dia mau macam-macam kenapa? Ada masalah?""Kamu istri saya. Gak seharusnya kamu berduaan sama dia. Kalau orang lain liat dan salah paham gimana?""Terus kalau lo cari tahu tentang mantan lo, boleh? Kalau lo masih belum bisa lupain dia disaat lo udah punya istri, boleh? Lo itu egois tahu gak?!""Bagas?"Bagas seketika tersadar. Ternyata dia cuma halusinasi. "Pak Baga
Pagi ini Arin berangkat ke restauran bersama Bagas. Padahal Arin sudah menolak, tapi Bagas memaksa karena tidak mau terjadi sesuatu pada Arin. Apalagi kaki Arin masih dalam proses pemulihan. Bahkan, Bagas mengantar Arin sampai ke dalam restauran. Biasanya kalau mengantar hanya sampai parkiran, tapi Arin tidak mau terbawa perasaan karena perhatian Bagas. Arin yakin perhatian Bagas semata-mata karena kondisi kakinya. Bukan karena Bagas betul-betul khawatir dengannya. Atau jangan-jangan Bagas sengaja agar dia luluh dan memaafkannya?"Rin? Mau saya anter ke ruangan?" tanya Bagas ketika mereka sudah berada di dalam restauran."Gak usah, makasih. Saya bisa sendiri." Arin menolak."Rin."Arin yang hendak ke ruangannya menoleh pada Bagas. "Em, nanti selesai kantor saya jemput.""Hm." Arin pun pergi ke ruangannya."Pak Bagas gak usah khawatir. Mbak Arin gak bakal bisa marah lama-lama kok. Orangnya gak bisa dendaman."Bagas menoleh pada karyawan Arin lalu tersenyum tipis. Bagas juga berharap s
"Ini Bagas ke mana sih? Ditelfon daritadi gak diangkat. Padahal tadi pagi bilangnya bakal pulang jam enam. Ini udah setengah delapan belum sampe juga. Kasihan Arin udah nunggu lama." Karina mendumel karena sudah beberapa kali menelepon Bagas, namun tak kunjung diangkat."Mungkin lagi meeting sama klien, bun. Gak papa Arin balik sendiri aja. Nanti pesan taksi.""Gak. Bunda gak mau. Kaki kamu kan masih sakit, bunda gak mau kamu malah kenapa-napa. Coba aja kalau ayah udah balik pasti udah anterin kamu daritadi.""Gimana kalau Fira temenin kak Arin? Nanti Arin nginap di sana. Besok pagi-pagi Fira langsung ke kampus," tawar Fira."Jangan Fir, aku gak mau ngerepotin kamu. Apalagi jarak dari rumah ke kampus kamu itu jauh aku gak mau kamu sampe telat ke kampus gara-gara aku." Arin menolak."Bentar, ada yang datang. Fir, tolong bukain pintu," suruh Karina ketika mendengar pintu diketuk."Iya bun."Tak lama kemudian Fira kembali, dia tidak sendirian melainkan bersama Aaron."Eh, Aaron.""Malam
"Gak ke kampus, Fir?" tanya Arin ketika Safira duduk di sampingnya.Safira menggeleng. "Besok baru ke kampus.""Oh, kirain kamu ke kampus, kalau kamu pergi aku bakal sendirian di rumah.""Syukurnya enggak, kan. Jadi aku bakal nemenin kak Arin seharian di rumah.""Sebenarnya sih bosen juga ya kalau cuma di rumah. Gak tahu mau ngapain.""Iya sih, aku juga biasanya gitu kalau gak ke kampus. Kadang kalau mau hang out sama temen juga gak diizinin sama bunda. Katanya aku keluar terus gak mau quality time sama orang tua. Padahal kalau aku di rumah ayah sama bunda sibuk sendiri. Malah aku sering ditinggal sendirian disuruh jaga rumah.""Sama tuh kayak aku dulu waktu kuliah. Suka dilarang-larang pergi karena papa sama mama aku sibuk ngurusin resto, sedangkan Aaron keluyuran gak jelas. Terpaksa harus aku yang jaga rumah. Aku kalau pergi gak lama udah disuruh balik, tapi kalau Aaron mana pernah didesak suruh balik. Dia pulang rumah tengah malam juga gak dimarahin. Untungnya pas udah kerja dikasi
"Sekarang aku mau nanya sama mas. Kenapa mas masih nyari tahu perempuan itu? Perempuan yang jelas-jelas udah ninggalin mas. Kak Arin itu udah berusaha banget loh jadi istri yang baik buat mas Bagas, tapi apa pernah mas berusaha jadi suami yang baik buat kak Arin? Disaat kak Arin berusaha buat jadi istri yang baik, mas malah masih cari perempuan yang udah nyakitin mas. Sorry, ya, mas, Fira gak maksud buat menggurui atau apapun, tapi aku rasa kali ini mas emang udah keterlaluan. Aku kalau jadi kak Arin juga bakal marah."Bagas mengajak bertemu dengan Safira ketika selesai bekerja. Tentunya mereka bertemu di luar, tidak di rumah. Karena Bagas tidak mau pembicaraan mereka sampai terdengar oleh ayah dan bunda mereka dan berujung Bagas akan dimarahi oleh kedua orang tuanya. "Jawab pertanyaan aku, mas. Jangan diam aja." Safira tampak kesal.Bagas jadi menyesal karena sudah memberitahu adiknya, tapi kalau dia memberitahu Juan pun pasti sahabatnya itu akan memberikan reaksi yang sama seperti
"Kamu ngapain pegang hp saya?" Bagas seketika langsung menarik ponselnya dari Arin, membuat Arin cukup terkejut. "Kita kan udah punya perjanjian buat gak pegang hp kita satu sama lain. Kenapa kamu langgar?" Bagas terlihat jelas tidak suka Arin memegang ponselnya tanpa sepengetahuannya."Maaf, tadi ada telfon masuk. Awalnya mau aku biarin sampe kamu balik dari toilet, tapi karena hp nya bunyi terus aku kasihan sama yang telfon. Takutnya ada hal penting yang mau diomongin.""Apapun alasannya kamu tetap gak ada hak untuk itu. Harusnya kamu ngerti sama peraturannya. Apa perlu saya bikin peraturan tertulisnya biar kamu ingat dan gak asal sentuh barang-barang saya?!"Arin mengembuskan napas menahan kesal. "Gue akuin gue emang salah, tapi gue udah minta maaf. Dan soal peraturan gue sama sekali gak lupa, gue cuma mau bantu, tapi kalau emang lo gak suka gue gak bakal lakuin lagi. Jadi lo gak perlu ngomong sama gue dengan nada tinggi." Arin mengambil tasnya di meja, lalu pergi tanpa berpamitan
"Kenapa lo, bang? Lagi ada masalah?" Aaron menghampiri Bagas yang diam termenung di tepi kolam.Bagas tersenyum tipis. "Gak. Cuma lagi pengin istirahat bentar.""Gue ganggu, ya? Gue cabut aja, ya.""Gak papa di sini aja.""Beneran bang? Gue takut ganggu. Orang introvert kan biasanya kalau lagi pengin sendiri gak mau diganggu.""Emang keliatan?""Bang, walaupun kita jarang ketemu langsung keliatan kalau lo itu introvert banget. Setiap kali kita kumpul-kumpul kan bang Bagas sering banget mojok. Gue sering perhatiin kok. Terus gue liat-liat lo sering bengong kayak mikirin banyak hal. Apa jadi boss emang sepusing itu, ya?""Ya gitulah, semua profesi pasti ada enak gak enaknya.""Iya sih.""Kamu udah ada rencana habis kuliah mau kerja di mana?""Em, sementara sih gue masih nyari loker yang sesuai sama background gue biar pas udah wisuda gak nganggur.""Mau coba kerja di kantor saya?""Bukannya mau nolak tawaran bang Bagas, tapi untuk sementara gue mau berusaha sendiri dulu.""Oke, nanti ka