"Kok kamu ada di sini?" Arin cukup terkejut begitu melihat Bagas berada di rumah orangtuanya. Saat di depan tadi Arin memang melihat mobil yang begitu mirip dengan mobil Bagas, tapi sama sekali tidak terlintas di pikirannya kalau mobil itu adalah mobil Bagas.
Bagas tersenyum. "Iya, aku ke sini mau minta maaf sama papa dan mama karena kemarin gak ikut makan malam."
"Asik! Ada kue kesukaan gue nih. Tahu aja lagi pengin gue. Thanks ya kak." Baru saja Aaron ingin mengambil kotak kue yang dipegang Arin, tapi gagal karena Arin langsung menjauhkannya.
"Gue bakal kasih, tapi lo siapin kuenya terus bawa ke sini. Sisanya boleh lo makan."
"Siap!"
"Jadi apa papa sama mama mau maafin Bagas?" tanya Bagas.
Hery dan Rika tersenyum lalu mengangguk. "Kita sama sekali gak marah sama kamu kok. Kita ngerti kalau kamu sibuk. Lagipula kan kita masih bisa kumpul lagi bulan depan."
"Makasih pa, ma."
"Kuenya sudah datang." Aaron membawa sepiring kue yang sudah dipotong. "Bang, cobain dulu kuenya. Gue jamin lo bakal suka. Ini kue kesukaan keluarga kita."
"Lebih tepatnya kesukaan lo doang," koreksi Arin.
"Habis ini kalian makan dulu, ya. Kebetulan mama masak lumayan banyak."
***
"Soal omelet tadi ...."
"Udah, gak usah dibahas," sela Arin.
Saat ini Arin benar-benar lelah dan ingin istirahat.
"Saya cuma tidak mau ada masalah di antara kita."
Arin menghela napas sejenak. Tidak mau ada masalah, tapi dia yang cari masalah. Maksudnya apa? "Saya sudah tidak mau mempermasalahkan masalah itu lagi, jadi anda tidak perlu khawatir. Saat ini saya ingin istirahat jadi mohon pengertiannya. Selamat malam." Karena kesal Arin memilih berbicara dengan bahasa baku agar Bagas tidak memperpanjang pembicaraan mereka lagi. Karena yang saat ini Arin inginkan adalah tidur.
***
Bagas baru saja bangun lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Dia melirik sejenak Arin yang sedang sarapan.
"Kenapa?"
Bagas hanya menggeleng lalu meneguk segelas air putih hingga tandas.
"Rotinya udah saya beli, jadi anda bisa sarapan roti. Itupun kalau mau makan roti yang saya beli." Selesai sarapan Arin langsung mencuci peralatan makannya, kemudian pergi.
Bagas segera menghampiri Arin yang berada di ruang tengah. Arin sedang membersihkan rumah dengan vacuum cleaner.
"Boleh ngomong bentar?"
Arin pun mematikan vacuum cleaner. "Mau ngomong apa?"
"Total belanjaannya berapa?"
"Emang kenapa?"
"Mau saya transfer gantiin uang kamu."
"Gak perlu, saya ada uang kok." Arin menolak.
"Semua biaya buat kebutuhan rumah itu tanggung jawab saya."
"Saya kan beli bahan makanan buat saya, bukan buat anda jadi gak perlu diganti." Arin kembali menyalakan vacuum cleaner melanjutkan kegiatan bersih-bersih rumah yang sempat terhenti karena Bagas.
"Kamu kenapa tiba-tiba ngomong saya-anda?" Bagas bertanya karena cukup kesal ketika mendengar Arin berbicara begitu baku padanya.
"Emang kenapa? Anda aja bisa kok ngomong kayak gitu masa saya gak bisa."
Bagas menghela napas. "Oke, terserah kamu." Bagas memilih mengalah.
"Emang terserah saya."
***
"Gue liat-liat semenjak nikah lo jarang banget senyum. Muka lo ditekuk mulu."
"Lo juga tahu gue jadi gini karena apa, La."
Ela tertawa. "Lo tuh harusnya bersyukur punya suami ganteng plus tajir. Jadinya tinggal menikmati hartanya aja. Bukannya itu impian lo dari dulu, ya."
Ela merupakan sahabat Arin dari sekolah dasar. Jika kebanyakan orang sudah hilang kontak dengan teman-teman SD mereka, justru Arin dan Ela sebaliknya. Sampai sekarang mereka masih sangat dekat. Semua kisah suka-duka yang dialami Arin pasti akan dia ceritakan pada Ela. Begitu juga sebaliknya.
"Ya emang itu impian gue, tapi gue gak pernah berharap punya suami macam Bagas. Udah dingin, pelit ngomong, sekalinya ngomong malah bikin gue kesel."
"Itu karena belum ada benih-benih cinta aja di antara lo berdua. Makanya lo mikirnya dia nyebelin. Dia gak seburuk itu kok. Tapi gue setuju kalau dia emang dingin plus pelit ngomong."
Ela cukup mengenal Bagas karena mereka dulu sempat berkuliah di kampus dan jurusan yang sama. Hanya saja mereka tidak terlalu dekat.
"Emang gak akan pernah ada cinta."
"Gak boleh ngomong gitu. Masa lo gak mau ada cinta? Kan lo berdua udah nikah. Kalau gak ada cinta gimana mau pertahanin rumah tangga lo?"
"Emang gak mau gue pertahanin."
"Kok gitu?"
"Ya abisnya gue udah berusaha bersikap baik ke dia, eh dia malah gak ada itikad baik. Gue juga capek kali. Apalagi harus pura-pura jadi suami istri yang romantis di depan orang lain."
Ela menepuk-nepuk pundak Arin. "Sabar ya, Rin. Gue yakin lo bisa lewatin semua ujian ini."
***
"Lo ngapain ke sini? Ganggu waktu gue aja."
"Ya elah, Gas, justru gue ke sini karena pengin ngajak lo pergi. Mumpung hari Minggu masa lo mau di rumah aja. Gak bosen lo?"
Bagas dengan senang hati menggeleng. Justru di rumah seharian adalah salah satu hobinya selain bekerja.
"Di rumah seharian gak bakal bikin lo bahagia."
"Bahagia. Buktinya gue betah."
Juan berdecak. "Ngomong-ngomong, Arin ke mana? Kok gak keliatan?"
"Ke restauran mungkin."
"Mana ada! Restauran Arin kan hari ini tutup. Lupa lo?"
"Lupa."
"Suami macam apa lo? Gak peduli banget sama istri lo."
"Mana gue tahu."
"Ya udah mendingan sekarang lo ganti baju. Kita harus pergi sekarang. Gak ada penolakan."
***
"Lo ngapain ngajak gue ke sini? Udah tahu gue gak bisa main golf," ujar Bagas terlihat sedikit kesal.
"Justru itu gue mau ngajarin lo. Sekalian olahraga daripada lo di rumah aja gak ada kegiatan."
"Gue balik aja."
Juan segera menahan Bagas yang hendak pergi. "Jangan dong. Masa belum mulai lo udah mau pergi aja. Dicoba dulu jangan langsung nyerah."
Juan mengambil stik golf. "Lo liat ya. Setelah ini giliran lo." Juan mengatur posisinya lalu perlahan mengayunkan stik golf yang dia pegang dan memukul bola golf membuatnya terlempar jauh.
Bagas sudah tidak heran ataupun takjub karena Juan memang pandai bermain golf, berbanding terbalik dengannya. Dulu Bagas memang pernah mencoba itupun disuruh oleh Juan, namun dia tidak bisa. Makanya Bagas memilih untuk tidak mau bermain golf lagi.
"Giliran lo." Juan memberikan stik golf yang dia pegang pada Bagas.
Bagas menggeleng. "Gue gak bisa."
"Dicoba Gas. Mana Bagas yang gak pantang menyerah? Mimpin perusahaan besar aja bisa masa main golf gak bisa."
Dengan terpaksa Bagas pun menerima stik golf tersebut. Pada percobaan pertama Bagas gagal membuatnya sudah tidak bersemangat. Namun, Juan tetap menyemangatinya. Percobaan kedua masih tetap gagal hingga percobaan kesepuluh akhirnya Bagas berhasil walaupun tidak sebaik Juan.
Bagas seketika tersenyum puas karena berhasil.
"Nah, gitu dong. Gue bilang juga apa kalau berusaha pasti bisa."
"Ya elah, cupu banget. Masa harus berkali-kali baru bisa. Itu pun masih standar."
Keduanya menoleh ke sumber suara.
"Loh, Ela? Arin?"
Arin menyapa Juan. Namun dia tidak menyapa Bagas. Lagipula mereka sudah sering bertemu di rumah.
"Masa lo kalah sih sama istri sendiri."
"Emang Arin bisa main golf?" tanya Juan sedikit kaget.
"Itu sih gak perlu ditanya lagi. Jago banget malah."
"Enggak, Ela tuh suka lebih-lebihin. Gue bisa kok, tapi dikit."
"Oke, kalau gitu gue mau liat lo main boleh, kan?"
***
Bagas cukup takjub ketika melihat Arin yang cukup pandai bermain golf. Bagas tidak tahu kalau ternyata Arin memiliki kelebihan lain, selain memasak.
"Biasa aja dong liatnya. Kagum ya sama istri lo?" ledek Ela.
Bagas segera mengalihkan pandangannya. "Gak."
Ela terkekeh. "Kalau emang kagum bilang aja gak usah gengsi gitu."
Bagas bangkit berdiri karena tidak betah dengan Ela yang sedaritadi selalu heboh.
"Mau ke mana lo?"
Bagas tidak menjawab. Dia pergi begitu saja.
"Bagas! Kalau ditanya tuh jawab! Jangan kayak robot hidup!"
*****************************
"Gak habis pikir gue sama Bagas. Bisa-bisanya dia ninggalin kita gitu aja," omel Ela."Dia gak betah. Soalnya dia kan gak suka golf," ujar Juan."Ya gue paham kalau dia gak suka, tapi yang gue gak paham kenapa dia pergi gitu aja? Padahal kan ada Arin, istrinya dia.""Udah, gak usah dipikirin. Gue gak papa kok," ucap Arin sembari tersenyum.Justru Arin malah merasa lebih tenang karena Bagas sudah pergi. Bukan tanpa alasan, melainkan karena Arin masih kesal dengan Bagas. Bukan masih, lebih tepatnya selalu."Nanti gue coba ngomong sama dia biar gak kayak gitu lagi.""Emang lo harus ngomong sama dia. Bilangin ke temen lo yang sok dingin itu. Sama istri sendiri cueknya kebangetan."Arin tertawa kecil. Rasanya lucu ketika mengingat kembali ucapan Ela sebelum bertemu dengan Bagas. Jika dibandingkan dengan sekarang sungguh jauh berbeda reaksi Ela. Malah sekarang Ela yang lebih marah dibanding dirinya."Kok lo malah ketawa sih?""Gue cuma lucu aja sama lo. Perasaan waktu kita belum ketemu Baga
Pagi ini Arin memasak pancake untuk sarapan. Setelah selesai, Arin memakannya sendiri. Dia tidak mau basa-basi untuk menawarkan Bagas karena itu hanya membuang-buang waktu. Arin juga malas untuk berbicara dengan Bagas. Ditambah dia masih kesal dengan pria itu karena kejadian semalam. Sedangkan Bagas kali ini menyantap sereal sebagai sarapannya.Bagas berdeham. "Malam ini grand opening toko kosmetik. Acaranya jam tujuh. Saya harap kamu bisa datang karena ini acara penting."Perusahaan Bagas adalah perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik dan saat ini sudah memiliki lebih dari sepuluh cabang. Sama seperti Arin yang melanjutkan bisnis restauran orangtuanya, Bagas juga mengalami hal yang sama. Bedanya Bagas memang mengambil jurusan bisnis. Arin sendiri hanya diam tidak mau menanggapi Bagas. "Papa sama mama juga udah saya kasih tahu. Mereka bakal datang."Arin tahu Bagas sengaja memberitahunya agar dia tidak bisa menolak untuk pergi. Karena jika kedua orangtuanya datang, sedangkan dia
"Gas, itu Arin, kan? Kok dia ada di sini? Itu cowok siapa?" Pertanyaan beruntun diberikan Juan pada Bagas.Mereka baru saja tiba di sebuah cafe untuk makan siang. "Kok malah diam sih? Gimana kalau kita samperin aja?" Baru saja Bagas hendak menolak, Arin sudah lebih dulu memanggil mereka."Nah, itu dipanggil sama Arin. Ayo." Mau tidak mau Bagas mengikuti Juan."Mau makan siang, ya?" Arin bertanya. Walaupun sebenarnya masih kesal dengan Bagas, tidak mungkin dia menunjukkan rasa kesalnya pada Bagas di depan Juan dan Revan."Iya nih, biasa. Suami lo kalau gak gue samperin ke kantornya mana mau dia makan siang di luar. Ngomong-ngomong tumben di sekitaran sini. Gak ke resto?""Iya, ada urusan sedikit. Oh iya, kenalin ini Revan teman SMA gue." Arin memperkenalkan Revan pada Bagas dan Juan.Revan pun menjulurkan tangannya untuk berkenalan. Juan dengan senang hati menyambut tangan Revan. Namun, Bagas hanya diam ketika Revan ingin berkenalan dengannya."Gas." Juan langsung menyikut Bagas aga
"Akh!"Bagas yang baru saja bangun dan hendak mandi seketika mengurungkan niatnya ketika mendengar teriakan Arin dari dalam kamar. Bagas segera menuju kamar Arin lalu mengetuk pintunya. "Arin. Ada apa?""Gak ada apa-apa."Jawaban Arin justru membuat Bagas tidak percaya. Dia pun membuka pintu kamar Arin. Bagas segera mendekati Arin yang sedang terduduk di lantai sembari memegang kakinya. Arin yang meringis langsung diam karena Bagas masuk ke kamarnya. "Kamu kenapa?" Bagas hendak membantu Arin berdiri, namun Arin menolak. "Saya bisa sendiri." Arin perlahan mencoba berdiri, namun dia kesulitan. "Saya bantuin." Bagas segera menggendong Arin membuatnya seketika membulatkan mata. "Ngapain digendong? Saya kan udah bilang saya bisa sendiri."Bagas mendudukkan Arin di ranjang. "Kenapa bisa jatuh?" Bagas bertanya."Mau ganti lampu," jawab Arin ogah-ogahan.Bagas baru menyadari kalau ada tangga lipat. "Kenapa gak minta tolong?""Karena saya bisa sendiri.""Kalau bisa sendiri gak mungkin ja
"Loh, kok mama ada di sini?" Arin terkejut ketika bangun dan mendapati Karina sedang berada di dapur.Karina menoleh lalu menaruh masakannya yang baru matang di meja makan."Tadi Bagas telfon mama. Katanya kamu lagi sakit jadi gak bisa masak. Bagas minta tolong ke mama buat masakin kamu. Kaki kamu gimana? Udah mendingan?"Untuk beberapa saat Arin tertegun. Bagas lagi-lagi perhatian padanya. Ini benar-benar bukan Bagas. "Rin? Kok malah diam?""Udah lumayan membaik kok, ma.""Lagian kok bisa sih kamu jatuh? Emang kamu ngapain?"Bagas memang memberitahu Karina kalau Arin sempat jatuh sehingga kakinya terkilir, tapi Bagas tidak memberitahu penyebab Arin jatuh."Aku mau ganti lampu kamar yang putus, tapi malah jatuh.""Emang kamu gak minta tolong sama Bagas? Kok malah kamu yang ganti?""Gak sempat, ma. Soalnya kan Bagas sibuk terus.""Ya kalau Bagas gak bisa kan kamu bisa manggil tukang. Gak harus kamu sendiri. Lain kali jangan ngelakuin kerjaan kayak gitu. Itu kerjaan laki-laki bukan per
Setelah hampir satu minggu, Arin akhirnya bisa sembuh dan dapat kembali ke restauran. Cukup jenuh memang ketika di rumah dan tidak melakukan kegiatan apapun, tapi untungnya Ela dan Safira sesekali mengunjunginya. Jangan tanyakan Bagas, karena Arin hanya bertemu dengannya dipagi dan malam hari."Mbak Arin, kita senang banget akhirnya mbak udah sembuh."Arin tersenyum. "Maaf ya, Va, belum lama saya sakit udah sakit lagi.""Mbak Arin selalu aja minta maaf. Padahal kan mbak gak salah.""Keadaan resto gimana? Pelanggan ramai gak?""Ramai kok mbak. Pak Bagas sama temannya juga beberapa hari ini makan siang di sini. Terus pak Bagas juga nanya-nanya kondisi resto gimana.""Oh gitu.""Kalau gitu saya ke belakang dulu, ya, mbak."Arin hanya mengangguk.Bagas benar-benar susah untuk ditebak. Kemarin saat Arin sakit, Bagas cukup perhatian padanya. Bahkan sampai restaurannya pun diam-diam lelaki itu memperhatikannya. Tapi, tadi pagi sikap Bagas padanya kembali dingin. Arin sampai dibuat bingung ol
Prank!Bagas terkejut ketika lengannya tidak sengaja menyenggol gelas hingga jatuh dan pecah. Buru-buru Bagas membersihkannya, namun Arin sudah lebih dulu muncul karena mendengar bunyi tadi.Arin seketika membulatkan matanya melihat gelas kesayangannya sudah berada di lantai dan pecah tak berbentuk. "Gelas kesayangan gue." Arin beralih menatap Bagas tajam. "Kenapa anda pecahin gelas kesayangan saya? Anda sengaja, hah?!""Maaf, saya gak sengaja. Tadi ....""Saya gak butuh penjelasan anda. Yang saya mau gelas saya kembali seperti semula.""Saya janji saya akan ganti yang baru.""Gue gak butuh! Gue mau gelas gue kembali. Titik." Arin tidak peduli jika Bagas menganggapnya kekanak-kanakan karena mempermasalahkan hal yang mungkin menurut Bagas adalah masalah kecil. Bagi Arin gelas kesayangannya itu adalah salah satu benda berharga yang diberikan neneknya sebelum meninggal. Yang tidak akan mungkin didapatkan di manapun karena gelas tersebut dibuat sendiri oleh neneknya.***"Kenapa sih di s
"Sendirian aja. Ju?" tanya Arin ketika Juan hanya datang sendiri ke restaurannya."Iya, soalnya Bagas lagi ada meeting sama kliennya di luar sekalian lunch. Makanya gue gak ada teman.""Kenapa gak sama teman kantor aja?""Nah, masalahnya mereka pada gak mau. Daripada gue ke resto lain sendiri gak ada teman, mendingan gue ke sini aja. Biar bisa ngobrol sama lo."Arin hanya tersenyum tipis. "Sering-sering ya ke sini biar makin laku resto gue.""Tenang aja. Gue bakal sering ke sini kok.""Gue pegang omongannya, ya.""Gue tiba-tiba kepikiran jadi pengin nanya lo.""Nanya apa?""Jadi beberapa hari yang lalu Bagas ngajak gue buat nyari gelas. Kita sampe keliling hampir sepuluh toko, tapi gak nemu yang sama persis kayak gelas yang dia cari. Terus karena gue udah ngantuk banget, gue suruh dia buat beli gelas yang lumayan mirip biar kita gak keliling lagi. Kira-kira lo tahu gak dia beliin gelasnya itu buat siapa? Soalnya dia keliatan ambisi banget buat nyari yang sama persis. Padahal gelasnya
"Lo tuh kenapa sih hobi banget buat masalah? Lo kan udah gede, Ron. Mau sampe kapan lo kayak gini terus?" omel Arin.Saat ini Arin dan Bagas sedang berada di parkiran kampus Aaron. Tadi Aaron sempat menghubungi Bagas meminta tolong agar Bagas menolongnya, tapi kebetulan ketika menerima panggilan dari Aaron tidak sengaja didengar oleh Arin.Sebenarnya Arin melarang Bagas untuk tidak ikut dengannya, karena Arin tidak mau merepotkan Bagas. Apalagi Aaron adalah adiknya. Arin tidak mau punya hutang budi pada Bagas. "Sorry, kak, gue beneran gak sengaja nyerempet mobilnya.""Kenapa lo gak telfon gue? Kenapa lo malah telfon Bagas?"Aaron yang menunduk seketika menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue takut lo marah. Ternyata bener kan lo marah.""Pemilik mobilnya udah tahu kalau mobilnya diserempet sama kamu?" Bagas bertanya bermaksud mengalihkan topik pembicaraan agar Arin tidak lagi mengomeli Aaron. Lagipula menurut Bagas tidak ada gunanya terus-terusan mengomel, karena semuanya sudah t
"Thanks ya, Rin. Gue jadi gak enak nih udah makan, tapi gak bayar," ucap Juan.Juan sedang berada di restoran Arin. Niatnya ingin makan malam agar sesampainya di rumah dia langsung istirahat.Arin tersenyum. "Gak papa, kan sekali-kali.""Oh iya, gue mau nanya boleh?""Boleh dong masa gak boleh. Mau nanya apa?""Waktu Bagas sakit gue sempat dengar dia nyebut seseorang. Tapi dia cuma manggil Ta. Kira-kira lo kenal gak?" Tiba-tiba saja Arin kepikiran dengan Bagas yang waktu itu mengingau menyebut seseorang dan membuat Arin penasaran. Ingin memastikan apakah Juan mengenal orang tersebut.Juan terdiam beberapa saat. Arin bisa merasakan kalau Juan menunjukkan reaksi yang cukup kaget, tapi Juan seperti menyembunyikannya."Em, kalau itu sih gue gak tahu. Kayaknya gue harus balik sekarang. Sekali lagi makasih, ya.""Ah iya, hati-hati, ya.""Apa Juan lagi nyembunyiin sesuatu?"***Bagas yang baru saja masuk ke dalam mobil hendak pulang langsung merogoh saku celananya, ketika ponselnya berderin
"Sorry, saya gak sengaja." Seorang cewek secara tidak sengaja menabrak Bagas yang sedang menunggu Arin di parkiran restoran. Kebetulan cewek itu sedang bertelepon sembari sibuk mengecek barang belanjaannya, sehingga tidak sempat melihat Bagas."Iya, gak papa."Untuk beberapa saat cewek itu terdiam lama menatap wajah Bagas. Seperti terpesona dengan ketampanan Bagas. "Ini barangnya." Bagas memberikan beberapa paper bag milik cewek itu yang tadi sempat jatuh."Ah iya, thankyou. Sorry, boleh kenalan gak? Siapa tahu kalau kita ketemu lagi bisa saling sapa.""Saya Bagas.""Saya Kiara. Salam kenal, ya.""Bagas."Bagas seketika menoleh."Em, kalau gitu saya duluan, ya. Sekali lagi makasih," ucap cewek bernama Kiara tersebut lalu masuk ke dalam mobilnya.Arin menghampiri Bagas dengan ekspresi datar. "Ngapain ke sini?""Jemput kamu. Kata Aaron mobil kamu masuk bengkel."Arin menghela napas. Kenapa Aaron harus memberitahu Bagas? Arin sama sekali tidak menginginkan bantuan Bagas."Harusnya lo ga
"Ayah sama bunda kok gak bilang-bilang mau ke sini?" Bagas cukup terkejut karena kedua orangtuanya datang ke rumah tanpa menghubunginya lebih dulu."Iya, soalnya kita dengar dari Arin kamu lagi sakit. Gimana kondisi kamu? Udah baikan?" Karina bertanya.Bagas mengangguk. "Udah mendingan kok, bun. Tadinya sih mau ke kantor, tapi sama Arin gak dibolehin.""Bunda setuju sama Arin. Kamu boleh ke kantor kalau kondisi kamu udah benar-benar pulih. Katanya semalam kamu sempat dibawa ke rumah sakit karena siangnya kamu ke kantor. Padahal kamu lagi sakit.""Iya, tapi Bagas juga gak lama-lama di kantor kok. Itu juga karena ada beberapa berkas yang harus Bagas tandatangani." Bagas menjelaskan agar sang bunda tidak mengomelinya lagi."Emang gak bisa ditunda sehari gitu sampe kamu harus banget ke kantor. Gara-gara kamu maksa ke kantor jadinya makin parah, kan. Untung ada Arin yang bantuin.""Ayah salut sama Arin pasti semalam dia panik banget, tapi dia sama sekali gak telfon kita karena gak mau kita
Arin pulang lebih awal dari biasanya karena khawatir dengan kondisi Bagas. Walaupun Bagas menyebalkan, Arin masih peduli dengan cowok itu.Arin mengetuk pintu kamar Bagas sebelum masuk. "Gas, aku masuk, ya." Arin membuka pintu perlahan lalu masuk ke dalam kamar Bagas.Arin segera mendekati Bagas yang menggigil sesekali mengigau. Dia lalu kembali mengecek suhu tubuh Bagas. "Kok malah makin demam?" Arin seketika panik. Dia pikir setelah minum obat tadi kondisi Bagas sudah membaik. Ternyata malah lebih parah."Ta... Ta... jangan tinggalin aku." Bagas mengigau."Ta?" gumam Arin bingung.Siapa yang disebut-sebut Bagas? Apa mungkin mantan pacarnya? Arin segera menggeleng, tidak mau memikirkan hal tersebut karena yang terpenting sekarang adalah kondisi Bagas.***"Makasih ya, Juan udah mau bantuin gue. Sorry, jadi ngerepotin. Tadi gue bingung banget gak tahu mau hubungin siapa lagi," ucap Arin.Tadi Arin sempat menghubungi Juan, meminta bantuan untuk mengantarkan Bagas ke rumah sakit. Karena
"Jadi Bagas gak suka lo nganterin makan siang ke kantornya?"Arin mengangguk. "Padahal juga gue terpaksa. Kalau gak disuruh sama nyokap gue juga gak bakal mau ke kantor dia.""Wah, parah banget, sih. Gak nyangka gue Bagas sampe segitunya. Kalaupun dia gak suka lo ke kantornya kan bisa ngomong kalau udah di rumah. Jangan pas di kantor. Gimana kalau karyawannya pada dengar? Emang dia gak malu apa?" Walaupun tidak melihat langsung hanya mendengar cerita Arin saja sudah membuat Ela ikut kesal dengan Bagas."Untung di kantor dia, makanya gue masih nahan emosi.""Lagian dia bukannya berterimakasih karena udah dianterin makan, malah suruh lo gak usah datang. Gak habis pikir gue sama dia. Hatinya kebuat dari batu apa gimana deh?""Gue baru nikah sama dia belum setahun, tapi gue gak tahu gue bisa bertahan sama dia sampe kapan. Susah banget bikin dia luluh, La. Gue capek."Ela mengusap-usap punggung Arin. "Gue tahu lo kuat, Rin. Lo pasti bisa."Arin menggeleng. "Gue gak bisa, La. Gue gak kuat k
"Pagi kak, bang." Aaron menyapa dengan senyum lebar.Bagas hanya tersenyum tipis, sedangkan Arin menatap Aaron malas."Kok belum pulang?" tanya Arin."Kan mau sarapan dulu baru balik. Lagian hari ini gue juga konsul skripsinya siang.""Buruan kelarin skripsi lo kek. Jangan banyak main doang.""Iya, ini lagi diusahain kok. Gue juga mau kali wisuda." Aaron beralih menatap Bagas yang sedaritadi memijat lehernya. "Kenapa bang? Salah bantal?""Iya nih." Semalam Bagas dan Arin terus berdebat siapa yang akan tidur di sofa hingga akhirnya Bagas yang tidur di sofa."Kak, gue nungguin sarapannya nih."Arin berdecak. "Bentar, baru juga bangun.""Kalau di rumah jam segini udah sarapan malah mungkin udah selesai. Mama kan bangunnya pagi. Masa lo udah nikah, tapi bangunnya jam segini," cibir Aaron yang seketika langsung diberikan tatapan tajam oleh Arin."Lo kalau mau ceramahin gue mending pulang sekarang. Jangan bikin gue naik darah."***"Selamat siang.""Siang bu Arin. Ada yang bisa saya bantu?
"Bang, selama enam bulan nikah sama kak Arin gimana perasaannya? Kak Arin nyebelin gak?" Aaron bertanya di sela mereka bermain playstation."Gak gimana-gimana. Aman aja.""Yakin? Bang Bagas gak bohong, kan?""Iya.""Syukur deh, lega gue dengarnya. Jujur, waktu awal gue dengar kalau kak Arin mau dijodohin gue gak setuju, bang. Soalnya gue takut kak Arin bakal sama cowok yang gak benar. Apalagi dia sering dapat cowok yang cuma manfaatin dia doang. Tapi, untungnya kak Arin nikah sama lo, bang. Jadi gue gak perlu khawatir lagi. Dia udah dapatin orang yang tepat."Bagas hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Aaron yang cukup menyentuh. Tapi karena Aaron berpikir kalau dirinya adalah orang yang tepat bagi Arin membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan apa, hanya saja kalau Aaron tahu selama ini mereka tidak saling mencintai dan tidak memiliki hubungan yang harmonis, apakah Aaron masih berpikir demikian?"Bang, kok malah diam? Itu kita hampir kalah, loh.""Oh iya."***"Heran gue, betah banget l
"Arin! Aku senang banget kalian datang." "Aku udah gak sabar bentar lagi bakal jadi tante. Semoga kak Tari dan dedek bayinya sehat terus sampe lahiran, ya."Bagas dan Arin pergi ke acara tujuh bulanan sepupu Arin. Karena Arin cukup dekat dengan Tari, jadi dia tidak mungkin kalau tidak datang. Awalnya Arin ingin datang sendiri, tapi karena Tari berpesan pada Arin untuk mengajak Bagas jadilah dia mengajak lelaki itu."Amin. Makasih Rin.""Semoga sehat-sehat terus ya kak dan semoga persalinannya lancar," ucap Bagas."Amin, thankyou, Gas, udah mau sempatin waktu buat datang.""Sama-sama, kak.""Aku doain kalian cepat nyusul, ya. Biar anak kita bisa main bareng."Ucapan Tari membuat Arin tersenyum kikuk, sedangkan Bagas terlihat tidak menunjukkan ekspresi apapun."Kok malah pada diam? Gak mau diaminin?" tanya Tari melihat Bagas dan Arin yang tidak merespons ucapannya."Amin kak.""Ya udah, kalau gitu kita ke sana dulu, ya."***"Rin, Gas, kalian kapan nyusul Tari sama Iwan?" Lita, yang m