"Gak habis pikir gue sama Bagas. Bisa-bisanya dia ninggalin kita gitu aja," omel Ela.
"Dia gak betah. Soalnya dia kan gak suka golf," ujar Juan.
"Ya gue paham kalau dia gak suka, tapi yang gue gak paham kenapa dia pergi gitu aja? Padahal kan ada Arin, istrinya dia."
"Udah, gak usah dipikirin. Gue gak papa kok," ucap Arin sembari tersenyum.
Justru Arin malah merasa lebih tenang karena Bagas sudah pergi. Bukan tanpa alasan, melainkan karena Arin masih kesal dengan Bagas. Bukan masih, lebih tepatnya selalu.
"Nanti gue coba ngomong sama dia biar gak kayak gitu lagi."
"Emang lo harus ngomong sama dia. Bilangin ke temen lo yang sok dingin itu. Sama istri sendiri cueknya kebangetan."
Arin tertawa kecil. Rasanya lucu ketika mengingat kembali ucapan Ela sebelum bertemu dengan Bagas. Jika dibandingkan dengan sekarang sungguh jauh berbeda reaksi Ela. Malah sekarang Ela yang lebih marah dibanding dirinya.
"Kok lo malah ketawa sih?"
"Gue cuma lucu aja sama lo. Perasaan waktu kita belum ketemu Bagas lo muji dia. Sekarang lo malah hujat dia."
"Orang bisa berubah-ubah kan."
***
Arin sampai di rumah sudah gelap. Ketika dia masuk Arin dibuat terkejut karena Bagas yang sedang duduk di ruang tamu sembari memainkan ponselnya dengan keadaan gelap karena lampu tidak dinyalakan. Arin segera menekan saklar lampu untuk menyalakannya.
"Kenapa lampunya gak dinyalain?" tanya Arin dengan ekspresi datar.
"Gak papa. Biar hemat listrik."
Arin tidak habis pikir dengan jawaban konyol yang diberikan Bagas. "Kalau ada maling masuk gimana? Punya otak kok gak dipake."
"Tapi maling gak masuk."
Lagi-lagi kesabaran Arin harus diuji oleh setiap kata yang keluar dari mulut Bagas. "Lama-lama gue lem juga mulutnya," gumam Arin kesal.
"Ya udah, kalau mau malingnya masuk tungguin aja. Biar kemalingan beneran."
***
"Di mana, ya?" gumam Bagas ketika mencari kaos kakinya, tapi tidak dapat menemukannya.
Awalnya Arin tidak peduli dan lebih memilih sibuk merapikan rumah sebentar sebelum akhirnya berangkat ke restauran, tapi karena Bagas yang terus mondar-mandir di hadapannya membuat Arin jadi kesal sendiri.
"Cari apa?" Akhirnya Arin memutuskan untuk bertanya karena sudah tidak tahan.
Bagas menoleh sejenak pada Arin. "Kaos kaki."
"Kaos kaki bukannya di lemari? Kan ada banyak."
"Iya, tapi kaos kaki yang saya biasa pakai gak ada di lemari."
"Emang harus banget pakai kaos kaki itu? Gak bisa pakai yang lain?"
Bagas yang masih terus mencari langsung menggeleng.
"Kaos kakinya warna apa?"
"Hitam sama ada putih dikit."
Arin pun akhirnya ikut mencari. Tak butuh waktu lama bagi Arin untuk menemukannya. "Yang ini bukan?"
"Iya." Bagas seketika tersenyum lega lalu mengambilnya dari Arin. "Makasih."
Untuk pertama kalinya Arin melihat Bagas yang tersenyum lebar hanya karena menemukan kaos kakinya. Padahal cuma kaos kaki. Apa mungkin kaos kaki itu pemberian dari seseorang? Sampai-sampai Bagas menolak untuk memakai kaos kaki lain dan rela membuang waktu untuk mencarinya. Arin segera menggeleng. Untuk apa juga dia penasaran dengan hal yang tidak penting? Buang-buang waktu saja.
***
"Pak, maaf, itu bukannya istri bapak, ya?" ucap salah seorang karyawan Bagas ketika melihat Arin yang sedang mengobrol dengan seorang pria.
Kebetulan Bagas mengajak beberapa karyawannya makan malam bersama di restauran yang cukup dekat dari kantor, setelah melakukan rapat yang cukup lama. Walaupun dingin, Bagas merupakan atasan yang cukup peduli dengan karyawannya.
Bagas menoleh mendapati Arin sedang mengobrol sembari tertawa. Bagas tidak mengenali pria tersebut. Bahkan ini kali pertama Bagas melihatnya. Tak lama kemudian pria tersebut pergi.
Baru saja Arin hendak pergi, langkahnya terhenti ketika Bagas memanggilnya.
Arin cukup terkejut karena Bagas tidak sendiri, melainkan bersama para pegawainya.
Arin pun kemudian tersenyum. "Malam semuanya." Arin menyapa.
"Malam bu."
"Kamu ngapain di sini? Kok gak bilang kalau lagi di dekat kantor?" Bagas bertanya.
"Em, itu tadi abis ketemu temen. Aku balik duluan, ya."
"Bu Arin ikut makan sama kita aja." Salah seorang karyawan Bagas menyahut.
"Makasih sebelumnya, tapi saya harus pulang."
"Udah, kamu ikut aja. Nanti kita pulang bareng. Saya gak mau kamu pulang sendiri," ucap Bagas.
***
"Soal yang tadi ..."
Belum sempat Bagas selesai bicara, Arin sudah buru-buru menyela. "Iya, saya tahu. Seperti biasa, anda bersikap romantis dan perhatian di depan pegawai-pegawai anda biar dikira kita pasangan paling romantis, kan? Tenang aja, gak usah khawatir. Saya gak akan kebawa perasaan kok. Kan udah biasa. Lagian juga saya gak bakal suka sama anda."
"Bukan itu. Cowok yang tadi siapa?"
"Kan udah dibilangin temen. Gak percaya? Atau mau ditelfonin?"
Bagas menggeleng. "Lain kali kalau ketemu cowok jangan di area kantor saya."
Arin melongo tidak percaya. Maksudnya apa ucapan Bagas tadi? Apa Bagas berpikir kalau dia sedang mendekati cowok lain dan tidak mau citranya di depan para pegawainya menjadi jelek karena dirinya pergi dengan cowok lain? Kalau dugaan Arin benar, maka itu sungguh tidak masuk akal.
"Bentar, anda masih gak percaya sama saya? Kan saya sudah bilang cowok tadi itu teman saya. Kita juga ketemu karena ada alasan. Kalau anda tidak percaya saya bisa minta dia untuk ketemu langsung dan jelaskan ke anda kalau perlu ajak semua karyawan-karyawan anda biar jelas semuanya." Setelah berucap demikian, Arin langsung pergi ke kamarnya lalu menutup pintu cukup keras.
****************************
Pagi ini Arin memasak pancake untuk sarapan. Setelah selesai, Arin memakannya sendiri. Dia tidak mau basa-basi untuk menawarkan Bagas karena itu hanya membuang-buang waktu. Arin juga malas untuk berbicara dengan Bagas. Ditambah dia masih kesal dengan pria itu karena kejadian semalam. Sedangkan Bagas kali ini menyantap sereal sebagai sarapannya.Bagas berdeham. "Malam ini grand opening toko kosmetik. Acaranya jam tujuh. Saya harap kamu bisa datang karena ini acara penting."Perusahaan Bagas adalah perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik dan saat ini sudah memiliki lebih dari sepuluh cabang. Sama seperti Arin yang melanjutkan bisnis restauran orangtuanya, Bagas juga mengalami hal yang sama. Bedanya Bagas memang mengambil jurusan bisnis. Arin sendiri hanya diam tidak mau menanggapi Bagas. "Papa sama mama juga udah saya kasih tahu. Mereka bakal datang."Arin tahu Bagas sengaja memberitahunya agar dia tidak bisa menolak untuk pergi. Karena jika kedua orangtuanya datang, sedangkan dia
"Gas, itu Arin, kan? Kok dia ada di sini? Itu cowok siapa?" Pertanyaan beruntun diberikan Juan pada Bagas.Mereka baru saja tiba di sebuah cafe untuk makan siang. "Kok malah diam sih? Gimana kalau kita samperin aja?" Baru saja Bagas hendak menolak, Arin sudah lebih dulu memanggil mereka."Nah, itu dipanggil sama Arin. Ayo." Mau tidak mau Bagas mengikuti Juan."Mau makan siang, ya?" Arin bertanya. Walaupun sebenarnya masih kesal dengan Bagas, tidak mungkin dia menunjukkan rasa kesalnya pada Bagas di depan Juan dan Revan."Iya nih, biasa. Suami lo kalau gak gue samperin ke kantornya mana mau dia makan siang di luar. Ngomong-ngomong tumben di sekitaran sini. Gak ke resto?""Iya, ada urusan sedikit. Oh iya, kenalin ini Revan teman SMA gue." Arin memperkenalkan Revan pada Bagas dan Juan.Revan pun menjulurkan tangannya untuk berkenalan. Juan dengan senang hati menyambut tangan Revan. Namun, Bagas hanya diam ketika Revan ingin berkenalan dengannya."Gas." Juan langsung menyikut Bagas aga
"Akh!"Bagas yang baru saja bangun dan hendak mandi seketika mengurungkan niatnya ketika mendengar teriakan Arin dari dalam kamar. Bagas segera menuju kamar Arin lalu mengetuk pintunya. "Arin. Ada apa?""Gak ada apa-apa."Jawaban Arin justru membuat Bagas tidak percaya. Dia pun membuka pintu kamar Arin. Bagas segera mendekati Arin yang sedang terduduk di lantai sembari memegang kakinya. Arin yang meringis langsung diam karena Bagas masuk ke kamarnya. "Kamu kenapa?" Bagas hendak membantu Arin berdiri, namun Arin menolak. "Saya bisa sendiri." Arin perlahan mencoba berdiri, namun dia kesulitan. "Saya bantuin." Bagas segera menggendong Arin membuatnya seketika membulatkan mata. "Ngapain digendong? Saya kan udah bilang saya bisa sendiri."Bagas mendudukkan Arin di ranjang. "Kenapa bisa jatuh?" Bagas bertanya."Mau ganti lampu," jawab Arin ogah-ogahan.Bagas baru menyadari kalau ada tangga lipat. "Kenapa gak minta tolong?""Karena saya bisa sendiri.""Kalau bisa sendiri gak mungkin ja
"Loh, kok mama ada di sini?" Arin terkejut ketika bangun dan mendapati Karina sedang berada di dapur.Karina menoleh lalu menaruh masakannya yang baru matang di meja makan."Tadi Bagas telfon mama. Katanya kamu lagi sakit jadi gak bisa masak. Bagas minta tolong ke mama buat masakin kamu. Kaki kamu gimana? Udah mendingan?"Untuk beberapa saat Arin tertegun. Bagas lagi-lagi perhatian padanya. Ini benar-benar bukan Bagas. "Rin? Kok malah diam?""Udah lumayan membaik kok, ma.""Lagian kok bisa sih kamu jatuh? Emang kamu ngapain?"Bagas memang memberitahu Karina kalau Arin sempat jatuh sehingga kakinya terkilir, tapi Bagas tidak memberitahu penyebab Arin jatuh."Aku mau ganti lampu kamar yang putus, tapi malah jatuh.""Emang kamu gak minta tolong sama Bagas? Kok malah kamu yang ganti?""Gak sempat, ma. Soalnya kan Bagas sibuk terus.""Ya kalau Bagas gak bisa kan kamu bisa manggil tukang. Gak harus kamu sendiri. Lain kali jangan ngelakuin kerjaan kayak gitu. Itu kerjaan laki-laki bukan per
Setelah hampir satu minggu, Arin akhirnya bisa sembuh dan dapat kembali ke restauran. Cukup jenuh memang ketika di rumah dan tidak melakukan kegiatan apapun, tapi untungnya Ela dan Safira sesekali mengunjunginya. Jangan tanyakan Bagas, karena Arin hanya bertemu dengannya dipagi dan malam hari."Mbak Arin, kita senang banget akhirnya mbak udah sembuh."Arin tersenyum. "Maaf ya, Va, belum lama saya sakit udah sakit lagi.""Mbak Arin selalu aja minta maaf. Padahal kan mbak gak salah.""Keadaan resto gimana? Pelanggan ramai gak?""Ramai kok mbak. Pak Bagas sama temannya juga beberapa hari ini makan siang di sini. Terus pak Bagas juga nanya-nanya kondisi resto gimana.""Oh gitu.""Kalau gitu saya ke belakang dulu, ya, mbak."Arin hanya mengangguk.Bagas benar-benar susah untuk ditebak. Kemarin saat Arin sakit, Bagas cukup perhatian padanya. Bahkan sampai restaurannya pun diam-diam lelaki itu memperhatikannya. Tapi, tadi pagi sikap Bagas padanya kembali dingin. Arin sampai dibuat bingung ol
Prank!Bagas terkejut ketika lengannya tidak sengaja menyenggol gelas hingga jatuh dan pecah. Buru-buru Bagas membersihkannya, namun Arin sudah lebih dulu muncul karena mendengar bunyi tadi.Arin seketika membulatkan matanya melihat gelas kesayangannya sudah berada di lantai dan pecah tak berbentuk. "Gelas kesayangan gue." Arin beralih menatap Bagas tajam. "Kenapa anda pecahin gelas kesayangan saya? Anda sengaja, hah?!""Maaf, saya gak sengaja. Tadi ....""Saya gak butuh penjelasan anda. Yang saya mau gelas saya kembali seperti semula.""Saya janji saya akan ganti yang baru.""Gue gak butuh! Gue mau gelas gue kembali. Titik." Arin tidak peduli jika Bagas menganggapnya kekanak-kanakan karena mempermasalahkan hal yang mungkin menurut Bagas adalah masalah kecil. Bagi Arin gelas kesayangannya itu adalah salah satu benda berharga yang diberikan neneknya sebelum meninggal. Yang tidak akan mungkin didapatkan di manapun karena gelas tersebut dibuat sendiri oleh neneknya.***"Kenapa sih di s
"Sendirian aja. Ju?" tanya Arin ketika Juan hanya datang sendiri ke restaurannya."Iya, soalnya Bagas lagi ada meeting sama kliennya di luar sekalian lunch. Makanya gue gak ada teman.""Kenapa gak sama teman kantor aja?""Nah, masalahnya mereka pada gak mau. Daripada gue ke resto lain sendiri gak ada teman, mendingan gue ke sini aja. Biar bisa ngobrol sama lo."Arin hanya tersenyum tipis. "Sering-sering ya ke sini biar makin laku resto gue.""Tenang aja. Gue bakal sering ke sini kok.""Gue pegang omongannya, ya.""Gue tiba-tiba kepikiran jadi pengin nanya lo.""Nanya apa?""Jadi beberapa hari yang lalu Bagas ngajak gue buat nyari gelas. Kita sampe keliling hampir sepuluh toko, tapi gak nemu yang sama persis kayak gelas yang dia cari. Terus karena gue udah ngantuk banget, gue suruh dia buat beli gelas yang lumayan mirip biar kita gak keliling lagi. Kira-kira lo tahu gak dia beliin gelasnya itu buat siapa? Soalnya dia keliatan ambisi banget buat nyari yang sama persis. Padahal gelasnya
"Arin! Aku senang banget kalian datang." "Aku udah gak sabar bentar lagi bakal jadi tante. Semoga kak Tari dan dedek bayinya sehat terus sampe lahiran, ya."Bagas dan Arin pergi ke acara tujuh bulanan sepupu Arin. Karena Arin cukup dekat dengan Tari, jadi dia tidak mungkin kalau tidak datang. Awalnya Arin ingin datang sendiri, tapi karena Tari berpesan pada Arin untuk mengajak Bagas jadilah dia mengajak lelaki itu."Amin. Makasih Rin.""Semoga sehat-sehat terus ya kak dan semoga persalinannya lancar," ucap Bagas."Amin, thankyou, Gas, udah mau sempatin waktu buat datang.""Sama-sama, kak.""Aku doain kalian cepat nyusul, ya. Biar anak kita bisa main bareng."Ucapan Tari membuat Arin tersenyum kikuk, sedangkan Bagas terlihat tidak menunjukkan ekspresi apapun."Kok malah pada diam? Gak mau diaminin?" tanya Tari melihat Bagas dan Arin yang tidak merespons ucapannya."Amin kak.""Ya udah, kalau gitu kita ke sana dulu, ya."***"Rin, Gas, kalian kapan nyusul Tari sama Iwan?" Lita, yang m
Bagas pergi ke dapur untuk mengambil minum, namun ketika dia melihat Arin yang sedang memasak seketika Bagas langsung teringat kejadian kemarin. Karena kejadian jatuh kemarin, semalam Bagas tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya benar-benar terganggu akan kejadian tersebut dan entah kenapa dia malah merasa harus menghindari Arin."Gas."Bagas yang sudah berbalik hendak pergi dari dapur seketika menghentikan langkahnya."Kamu belum siap? Bentar lagi sarapannya jadi."Bagas berbalik menghadap Arin. "Iya, ini mau mandi.""Terus ngapain ke sini?""Mau ambil minum, tapi gak jadi." Bagas pun segera pergi ke kamarnya.Memilih tidak peduli, Arin kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.***"Em, Gas."Bagas yang sedang makan menyahut, namun tidak menatap Arin."Soal yang kemarin aku minta maaf, ya. Aku ngaku emang sempat fotoin kamu waktu kamu tidur, tapi aku udah hapus kok.""Iya, saya juga minta maaf kemarin ambil hp kamu.""Gak papa kok, kalau aku jadi kamu juga aku bakal lakuin hal yang sama
"Rin. Bangun, udah sampe." Bagas membangunkan Arin yang tertidur begitu lelap.Arin perlahan membuka matanya. "Udah sampe?" Bagas mengangguk, lalu turun dari taksi. "Gak mau turun? Atau mau balik bandara?" tanya Bagas karena Arin masih bergeming.Arin yang masih setengah mengantuk pun keluar dari taksi."Terima kasih, ya, pak.""Sama-sama, kalau begitu saya permisi, pak, bu." Setelah mengeluarkan barang-barang mereka dari bagasi, sang supir taksi pun pergi.Walaupun cuma bepergian selama satu hari, tapi barang-barang yang mereka bawa pulang cukup banyak. Tentunya barang-barang tersebut bukan milik Bagas, melainkan Arin. Semua barang-barang itu adalah oleh-oleh yang akan dia berikan pada keluarganya, keluarga Bagas, dan juga karyawan restonya. Sangat baik hati, bukan? Karena oleh-oleh tersebut Bagas sempat memarahinya. Bagaimana tidak marah, Bagas yang direpotkan membawa semua barang tersebut. Sedangkan Arin hanya menenteng ranselnya."Gas, mau ke mana?""Masuk lah.""Bantuin aku bawa
"Buruan, Gas. Kamu jalannya lama banget, sih."Bagas yang berada cukup jauh di belakang Arin berulang kali menguap. Bagas masih sangat mengantuk. Tadi Arin membangunkannya tepat jam lima pagi, hanya karena Arin ingin pergi ke kebun stroberi. Karena siangnya mereka harus kembali ke Jakarta, jadi Arin tidak mau membuang-buang kesempatan untuk berpetualang di Bandung."Kalau mau cepat kenapa gak pergi sendiri aja?""Ya gak bisa dong nanti kita gak ada foto bareng. Kan buat dokumentasi juga buat dikirim ke bunda. Biar bunda tahu kalau kita ke sini itu beneran jalan-jalan bukan cuma di villa.""Berapa lama lagi sampenya?" tanya Bagas."Harusnya setengah jam lagi nyampe sih. Makanya kamu jalannya agak cepet biar makin cepet sampenya.""Oke." Bagas seketika mempercepat langkahnya, hingga meninggalkan Arin."Tungguin Gas!"***Bagas menatap Arin yang begitu antusias memetik stroberi. Tanpa sadar dia tersenyum. Arin sepertinya begitu bahagia menghabiskan waktu di Bandung. Bagas juga merasa cuk
"Kamu tahu gak aku tuh suka banget sama kebun teh. Waktu kecil aku sempat ke Bandung dan aku bisa ngabisin waktu berjam-jam buat main di kebun teh," cerita Arin begitu antusias ketika mereka berjalan menyusuri kebun teh.Arin menoleh pada Bagas yang hanya diam. "Kok kamu diam aja? Kamu gak suka ya aku ajak ke sini?""Berapa lama lagi kamu mau di sini?" Alih-alih menjawab pertanyaan Arin, Bagas malah memberikan pertanyaan."Kenapa? Kamu mau balik villa, ya? Sorry ya udah ngajakin kamu ke sini. Kalau aku tahu kamu gak suka ke kebun teh aku gak ngajak kamu tadi.""Pertanyaan saya belum dijawab.""Kemungkinan sih masih agak lama. Kamu kalau mau balik ke villa duluan gak papa. Nanti aku balik sendiri.""Ya udah."Arin sudah menduga Bagas pasti akan langsung pergi ketika dia menyuruhnya, tapi tetap saja dalam hati kecilnya Arin ingin Bagas ada rasa sedikit peduli padanya.Baru beberapa langkah berjalan Bagas berhenti lalu menoleh. "Jangan lama-lama."Arin tersenyum. "Iya, jangan kangen, ya."
"Coba sekarang kamu jelasin sama kita semua Fira, maksud ucapan kamu tadi," titah Karina ketika mereka kembali ke meja makan.Safira seketika tertawa. "Bunda apaan sih. Fira tadi gak ada ngomong apa-apa kok." Safira mengelak."Fira, walaupun bunda udah gak muda, pendengaran bunda masih berfungsi dengan sangat jelas. Jadi lebih baik kamu jelasin sekarang maksud ucapan kamu."Safira terdiam sejenak lalu melirik Arin dan Bagas secara bergantian. "Sebenarnya ada apa sih, bun? Kok kayaknya serius banget?" Beni bertanya bingung."Tadi bunda dengar Fira sama Arin ngobrol di dapur. Terus tiba-tiba Fira malah ngomong kalau Bagas sama Arin cuma pura-pura romantis di depan kita. Maksudnya apa coba?"Seketika semua yang ada di meja langsung beralih menatap Bagas dan Arin, membuat keduanya tampak panik."Gas, Rin, bener yang dibilang Fira? Jangan-jangan selama ini kalian cuma pura-pura di depan kita?" tanya Hery.Arin seketika gelagapan. "Eng ... eng ....""Itu gak bener kok, pa. Fira ngomong git
Bagas mendekati Arin yang tertidur di meja makan. Rupanya Arin sudah memasak. Apa mungkin Arin menyiapkan makan malam untuknya?"Arin." Bagas membangunkan Arin.Arin perlahan membuka matanya. "Gas, kamu baru pulang?"Bagas hanya mengangguk."Makan dulu, yuk. Selesai makan baru mandi. Kamu pasti udah laper, kan? Aku ambilin, ya."Bagas menahan lengan Arin ketika Arin sudah mengambil piring, hendak menyendokkan makanan untuknya."Gak usah. Saya belum mau makan."Arin pun menaruh kembali piring. "Ya udah, kalau gitu kamu mandi aja dulu baru makan. Aku tungguin deh.""Kamu kenapa ngelakuin ini?""Maksud kamu?""Kenapa kamu masih berusaha?"Arin tersenyum. "Karena aku pengin pertahanin pernikahan kita. Kan aku udah bilang aku bakal berusaha buat jadi istri yang baik buat kamu. Aku gak pengin kita cuma pura-pura romantis di depan orang-orang, tapi di belakang kita malah saling gak peduli.""Tapi saya gak b
"Ke panti? Ngapain?" Juan bertanya ketika mereka sedang makan siang di sebuah resto."Arin sumbangin makanan sama pakaian buat anak panti."Juan manggut-manggut. "Ternyata Arin baik hati juga, ya. Jarang loh ada orang kayak Arin yang mau peduli sama anak-anak panti. Gue aja juga gak pernah ngelakuin itu.""Iya, emang jarang." Bagas menyetujui ucapan Juan."Lo harusnya bersyukur punya istri kayak Arin. Udah cantik, pintar, baik hati lagi. Apa lo gak mau pelan-pelan buat belajar sayang sama Arin?""Topik kita bukan ke sana, Ju." Mendadak ekspresi Bagas berubah tidak suka."Justru itu topiknya. Kita kan lagi ngomong soal Arin. Emang lo gak ada rasa kagum sedikit pun sama dia setelah dia ngajak lo ke panti?""Kagum sama sayang itu beda. Gue gak sayang sama dia.""Gue koreksi ya, bukan gak sayang, tapi belum. Lo cuma butuh waktu kok."Bagas hanya diam, tidak menjawab. ***"Makasih ya, Brian. Berkat kamu resto saya jadi ramai. Saya gak nyangka promosi di media sosial bakal bisa seberpengar
"Kenapa kamu unfollow akun aku?" tanya Arin.Bagas seketika terkejut ketika melihat Arin sudah berdiri di depan mobilnya. "Kamu ngapain ke sini?" Bagas tidak menyangka kalau Arin datang ke kantornya."Kamu belum jawab pertanyaan aku.""Nanti saya jawab.""Tapi aku maunya sekarang.""Saya unfollow karena dari awal saya gak follow akun kamu."Arin seketika mengernyitkan keningnya. "Maksud kamu?""Kerjaannya Juan.""Oh, Juan. Ya aku emang agak kaget sih waktu tahu kamu follow akun resto, tapi gak nyangka aja kalau kamu bakal unfollow." Arin terlihat kecewa. Arin mungkin bisa menerima kalau memang bukan Bagas sendiri yang mengikuti akun sosial medianya, tapi Arin tidak dapat menyembunyikan rasa sedihnya ketika tahu kalau Bagas sendiri yang batal mengikuti akunnya. Kalau saja Bagas berbohong dengan mengatakan kalau semuanya adalah perbuatan Juan, mungkin Arin masih bisa menerimanya."Tujuan kamu ke sini apa?" Bagas kembali bertanya."Em, aku tadi ada urusan di dekat sini, makanya sekalian
Arin tersenyum ketika membuka kotak makan yang tadi siang sempat dia berikan untuk Bagas terlihat bersih, tidak tersisa sebutir nasi pun."Aku senang kamu habisin makanan yang aku kasih. Besok aku buatin lagi, ya. Kamu mau lauk apa?""Gak usah.""Gak papa, kok. Kamu bilang aja mau makan apa. Aku pasti bakal buatin."Bagas yang sedang sibuk dengan laptopnya seketika beralih menatap Arin dengan ekspresi datarnya. "Telinga kamu bermasalah?"Arin menggeleng. "Enggak kok, baru kemarin aku bersihin.""Kalau gak bermasalah harusnya kamu dengar omongan saya tadi." Bagas mengambil laptopnya lalu bangkit berdiri. Kalau tahu akan seperti ini, Bagas harusnya mengerjakan pekerjaan kantor di kamarnya saja. Bukan di ruang tengah yang berujung malah diganggu oleh Arin."Aku dengar kok, cuma pengin nawarin aja karena aku senang kamu habisin masakan aku. Kan kamu jarang mau makan masakan aku.""Kamu gak usah repot-repot. Makanan kamu tadi bukan saya yang makan," ucap Bagas lalu pergi ke kamarnya.Arin