Bagas mendekati Arin yang tertidur di meja makan. Rupanya Arin sudah memasak. Apa mungkin Arin menyiapkan makan malam untuknya?"Arin." Bagas membangunkan Arin.Arin perlahan membuka matanya. "Gas, kamu baru pulang?"Bagas hanya mengangguk."Makan dulu, yuk. Selesai makan baru mandi. Kamu pasti udah laper, kan? Aku ambilin, ya."Bagas menahan lengan Arin ketika Arin sudah mengambil piring, hendak menyendokkan makanan untuknya."Gak usah. Saya belum mau makan."Arin pun menaruh kembali piring. "Ya udah, kalau gitu kamu mandi aja dulu baru makan. Aku tungguin deh.""Kamu kenapa ngelakuin ini?""Maksud kamu?""Kenapa kamu masih berusaha?"Arin tersenyum. "Karena aku pengin pertahanin pernikahan kita. Kan aku udah bilang aku bakal berusaha buat jadi istri yang baik buat kamu. Aku gak pengin kita cuma pura-pura romantis di depan orang-orang, tapi di belakang kita malah saling gak peduli.""Tapi saya gak b
"Coba sekarang kamu jelasin sama kita semua Fira, maksud ucapan kamu tadi," titah Karina ketika mereka kembali ke meja makan.Safira seketika tertawa. "Bunda apaan sih. Fira tadi gak ada ngomong apa-apa kok." Safira mengelak."Fira, walaupun bunda udah gak muda, pendengaran bunda masih berfungsi dengan sangat jelas. Jadi lebih baik kamu jelasin sekarang maksud ucapan kamu."Safira terdiam sejenak lalu melirik Arin dan Bagas secara bergantian. "Sebenarnya ada apa sih, bun? Kok kayaknya serius banget?" Beni bertanya bingung."Tadi bunda dengar Fira sama Arin ngobrol di dapur. Terus tiba-tiba Fira malah ngomong kalau Bagas sama Arin cuma pura-pura romantis di depan kita. Maksudnya apa coba?"Seketika semua yang ada di meja langsung beralih menatap Bagas dan Arin, membuat keduanya tampak panik."Gas, Rin, bener yang dibilang Fira? Jangan-jangan selama ini kalian cuma pura-pura di depan kita?" tanya Hery.Arin seketika gelagapan. "Eng ... eng ....""Itu gak bener kok, pa. Fira ngomong git
"Kamu tahu gak aku tuh suka banget sama kebun teh. Waktu kecil aku sempat ke Bandung dan aku bisa ngabisin waktu berjam-jam buat main di kebun teh," cerita Arin begitu antusias ketika mereka berjalan menyusuri kebun teh.Arin menoleh pada Bagas yang hanya diam. "Kok kamu diam aja? Kamu gak suka ya aku ajak ke sini?""Berapa lama lagi kamu mau di sini?" Alih-alih menjawab pertanyaan Arin, Bagas malah memberikan pertanyaan."Kenapa? Kamu mau balik villa, ya? Sorry ya udah ngajakin kamu ke sini. Kalau aku tahu kamu gak suka ke kebun teh aku gak ngajak kamu tadi.""Pertanyaan saya belum dijawab.""Kemungkinan sih masih agak lama. Kamu kalau mau balik ke villa duluan gak papa. Nanti aku balik sendiri.""Ya udah."Arin sudah menduga Bagas pasti akan langsung pergi ketika dia menyuruhnya, tapi tetap saja dalam hati kecilnya Arin ingin Bagas ada rasa sedikit peduli padanya.Baru beberapa langkah berjalan Bagas berhenti lalu menoleh. "Jangan lama-lama."Arin tersenyum. "Iya, jangan kangen, ya."
"Buruan, Gas. Kamu jalannya lama banget, sih."Bagas yang berada cukup jauh di belakang Arin berulang kali menguap. Bagas masih sangat mengantuk. Tadi Arin membangunkannya tepat jam lima pagi, hanya karena Arin ingin pergi ke kebun stroberi. Karena siangnya mereka harus kembali ke Jakarta, jadi Arin tidak mau membuang-buang kesempatan untuk berpetualang di Bandung."Kalau mau cepat kenapa gak pergi sendiri aja?""Ya gak bisa dong nanti kita gak ada foto bareng. Kan buat dokumentasi juga buat dikirim ke bunda. Biar bunda tahu kalau kita ke sini itu beneran jalan-jalan bukan cuma di villa.""Berapa lama lagi sampenya?" tanya Bagas."Harusnya setengah jam lagi nyampe sih. Makanya kamu jalannya agak cepet biar makin cepet sampenya.""Oke." Bagas seketika mempercepat langkahnya, hingga meninggalkan Arin."Tungguin Gas!"***Bagas menatap Arin yang begitu antusias memetik stroberi. Tanpa sadar dia tersenyum. Arin sepertinya begitu bahagia menghabiskan waktu di Bandung. Bagas juga merasa cuk
"Rin. Bangun, udah sampe." Bagas membangunkan Arin yang tertidur begitu lelap.Arin perlahan membuka matanya. "Udah sampe?" Bagas mengangguk, lalu turun dari taksi. "Gak mau turun? Atau mau balik bandara?" tanya Bagas karena Arin masih bergeming.Arin yang masih setengah mengantuk pun keluar dari taksi."Terima kasih, ya, pak.""Sama-sama, kalau begitu saya permisi, pak, bu." Setelah mengeluarkan barang-barang mereka dari bagasi, sang supir taksi pun pergi.Walaupun cuma bepergian selama satu hari, tapi barang-barang yang mereka bawa pulang cukup banyak. Tentunya barang-barang tersebut bukan milik Bagas, melainkan Arin. Semua barang-barang itu adalah oleh-oleh yang akan dia berikan pada keluarganya, keluarga Bagas, dan juga karyawan restonya. Sangat baik hati, bukan? Karena oleh-oleh tersebut Bagas sempat memarahinya. Bagaimana tidak marah, Bagas yang direpotkan membawa semua barang tersebut. Sedangkan Arin hanya menenteng ranselnya."Gas, mau ke mana?""Masuk lah.""Bantuin aku bawa
Bagas pergi ke dapur untuk mengambil minum, namun ketika dia melihat Arin yang sedang memasak seketika Bagas langsung teringat kejadian kemarin. Karena kejadian jatuh kemarin, semalam Bagas tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya benar-benar terganggu akan kejadian tersebut dan entah kenapa dia malah merasa harus menghindari Arin."Gas."Bagas yang sudah berbalik hendak pergi dari dapur seketika menghentikan langkahnya."Kamu belum siap? Bentar lagi sarapannya jadi."Bagas berbalik menghadap Arin. "Iya, ini mau mandi.""Terus ngapain ke sini?""Mau ambil minum, tapi gak jadi." Bagas pun segera pergi ke kamarnya.Memilih tidak peduli, Arin kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.***"Em, Gas."Bagas yang sedang makan menyahut, namun tidak menatap Arin."Soal yang kemarin aku minta maaf, ya. Aku ngaku emang sempat fotoin kamu waktu kamu tidur, tapi aku udah hapus kok.""Iya, saya juga minta maaf kemarin ambil hp kamu.""Gak papa kok, kalau aku jadi kamu juga aku bakal lakuin hal yang sama
"Akhirnya kamu datang juga. Aku pikir kamu gak bakal datang. Soalnya kamu gak balas chat aku." Arin tersenyum lebar ketika Bagas ternyata mau datang ke restauran yang sudah dia pesan. Arin sengaja memilih restauran yang tidak terlalu jauh dari kantor Bagas, agar Bagas tidak kecapekan menyetir jauh dan juga kalau dekat pasti Bagas mau datang. Dan ternyata dugaannya benar. Padahal, Arin tidak berharap lebih kalau Bagas akan datang karena Bagas sama sekali tidak menjawab pesannya. Ditambah Arin sudah menunggu hampir satu jam. Tadinya Arin hendak pulang, tapi entah kenapa dia memilih untuk menunggu sedikit lebih lama karena dia masih berharap kalau Bagas akan datang. Untungnya harapannya terkabul."Tadi saya lagi ada kerjaan jadi gak sempat balas. Kamu udah daritadi?""Enggak kok, aku juga belum lama nyampe." Arin berbohong karena tidak mau Bagas merasa bersalah karena membuatnya menunggu lama. "Btw, aku udah pesanin, bentar lagi juga nyampe makanannya.""Kenapa tiba-tiba ngajak makan di
"Mas Bagas masakin buat kak Arin? Aku gak salah dengar, nih?" Safira cukup terkejut mendengar cerita Arin. Safira kebetulan sedang berada di restauran Arin. Safira ingin mengambil oleh-oleh dari Bandung yang dia minta pada Arin. Padahal Arin sudah bilang kalau dia yang akan mengantarnya ke rumah, tapi Safira sepertinya tidak sabar untuk bertemu Arin.Arin mengangguk. "Dia masakin aku nasi goreng sama telur ceplok.""Gimana rasanya? Pasti gak enak, kan?" tanya Safira."Enak kok, malah aku abisin.""Hah? Kak Arin beneran gak sih apa aku lagi dibohongin?""Bener kok. Ngapain juga aku bohongin kamu?""Iya sih, tapi aneh aja kalau mendadak masakan mas Bagas enak. Secara aku tahu banget kalau mas Bagas sama sekali gak bisa masak. Pernah waktu itu dia bikinin aku bubur pas aku lagi sakit. Aku udah nolak karena yakin dia gak bisa masak bubur, tapi dia ngotot kalau dia bisa. Dan bener aja bubur yang dia masak kurang air jadinya belum matang mana keasinan lagi. Semenjak itu aku gak pernah mau
"Sekarang aku mau nanya sama mas. Kenapa mas masih nyari tahu perempuan itu? Perempuan yang jelas-jelas udah ninggalin mas. Kak Arin itu udah berusaha banget loh jadi istri yang baik buat mas Bagas, tapi apa pernah mas berusaha jadi suami yang baik buat kak Arin? Disaat kak Arin berusaha buat jadi istri yang baik, mas malah masih cari perempuan yang udah nyakitin mas. Sorry, ya, mas, Fira gak maksud buat menggurui atau apapun, tapi aku rasa kali ini mas emang udah keterlaluan. Aku kalau jadi kak Arin juga bakal marah."Bagas mengajak bertemu dengan Safira ketika selesai bekerja. Tentunya mereka bertemu di luar, tidak di rumah. Karena Bagas tidak mau pembicaraan mereka sampai terdengar oleh ayah dan bunda mereka dan berujung Bagas akan dimarahi oleh kedua orang tuanya. "Jawab pertanyaan aku, mas. Jangan diam aja." Safira tampak kesal.Bagas jadi menyesal karena sudah memberitahu adiknya, tapi kalau dia memberitahu Juan pun pasti sahabatnya itu akan memberikan reaksi yang sama seperti
"Kamu ngapain pegang hp saya?" Bagas seketika langsung menarik ponselnya dari Arin, membuat Arin cukup terkejut. "Kita kan udah punya perjanjian buat gak pegang hp kita satu sama lain. Kenapa kamu langgar?" Bagas terlihat jelas tidak suka Arin memegang ponselnya tanpa sepengetahuannya."Maaf, tadi ada telfon masuk. Awalnya mau aku biarin sampe kamu balik dari toilet, tapi karena hp nya bunyi terus aku kasihan sama yang telfon. Takutnya ada hal penting yang mau diomongin.""Apapun alasannya kamu tetap gak ada hak untuk itu. Harusnya kamu ngerti sama peraturannya. Apa perlu saya bikin peraturan tertulisnya biar kamu ingat dan gak asal sentuh barang-barang saya?!"Arin mengembuskan napas menahan kesal. "Gue akuin gue emang salah, tapi gue udah minta maaf. Dan soal peraturan gue sama sekali gak lupa, gue cuma mau bantu, tapi kalau emang lo gak suka gue gak bakal lakuin lagi. Jadi lo gak perlu ngomong sama gue dengan nada tinggi." Arin mengambil tasnya di meja, lalu pergi tanpa berpamitan
"Kenapa lo, bang? Lagi ada masalah?" Aaron menghampiri Bagas yang diam termenung di tepi kolam.Bagas tersenyum tipis. "Gak. Cuma lagi pengin istirahat bentar.""Gue ganggu, ya? Gue cabut aja, ya.""Gak papa di sini aja.""Beneran bang? Gue takut ganggu. Orang introvert kan biasanya kalau lagi pengin sendiri gak mau diganggu.""Emang keliatan?""Bang, walaupun kita jarang ketemu langsung keliatan kalau lo itu introvert banget. Setiap kali kita kumpul-kumpul kan bang Bagas sering banget mojok. Gue sering perhatiin kok. Terus gue liat-liat lo sering bengong kayak mikirin banyak hal. Apa jadi boss emang sepusing itu, ya?""Ya gitulah, semua profesi pasti ada enak gak enaknya.""Iya sih.""Kamu udah ada rencana habis kuliah mau kerja di mana?""Em, sementara sih gue masih nyari loker yang sesuai sama background gue biar pas udah wisuda gak nganggur.""Mau coba kerja di kantor saya?""Bukannya mau nolak tawaran bang Bagas, tapi untuk sementara gue mau berusaha sendiri dulu.""Oke, nanti ka
"Mas Bagas masakin buat kak Arin? Aku gak salah dengar, nih?" Safira cukup terkejut mendengar cerita Arin. Safira kebetulan sedang berada di restauran Arin. Safira ingin mengambil oleh-oleh dari Bandung yang dia minta pada Arin. Padahal Arin sudah bilang kalau dia yang akan mengantarnya ke rumah, tapi Safira sepertinya tidak sabar untuk bertemu Arin.Arin mengangguk. "Dia masakin aku nasi goreng sama telur ceplok.""Gimana rasanya? Pasti gak enak, kan?" tanya Safira."Enak kok, malah aku abisin.""Hah? Kak Arin beneran gak sih apa aku lagi dibohongin?""Bener kok. Ngapain juga aku bohongin kamu?""Iya sih, tapi aneh aja kalau mendadak masakan mas Bagas enak. Secara aku tahu banget kalau mas Bagas sama sekali gak bisa masak. Pernah waktu itu dia bikinin aku bubur pas aku lagi sakit. Aku udah nolak karena yakin dia gak bisa masak bubur, tapi dia ngotot kalau dia bisa. Dan bener aja bubur yang dia masak kurang air jadinya belum matang mana keasinan lagi. Semenjak itu aku gak pernah mau
"Akhirnya kamu datang juga. Aku pikir kamu gak bakal datang. Soalnya kamu gak balas chat aku." Arin tersenyum lebar ketika Bagas ternyata mau datang ke restauran yang sudah dia pesan. Arin sengaja memilih restauran yang tidak terlalu jauh dari kantor Bagas, agar Bagas tidak kecapekan menyetir jauh dan juga kalau dekat pasti Bagas mau datang. Dan ternyata dugaannya benar. Padahal, Arin tidak berharap lebih kalau Bagas akan datang karena Bagas sama sekali tidak menjawab pesannya. Ditambah Arin sudah menunggu hampir satu jam. Tadinya Arin hendak pulang, tapi entah kenapa dia memilih untuk menunggu sedikit lebih lama karena dia masih berharap kalau Bagas akan datang. Untungnya harapannya terkabul."Tadi saya lagi ada kerjaan jadi gak sempat balas. Kamu udah daritadi?""Enggak kok, aku juga belum lama nyampe." Arin berbohong karena tidak mau Bagas merasa bersalah karena membuatnya menunggu lama. "Btw, aku udah pesanin, bentar lagi juga nyampe makanannya.""Kenapa tiba-tiba ngajak makan di
Bagas pergi ke dapur untuk mengambil minum, namun ketika dia melihat Arin yang sedang memasak seketika Bagas langsung teringat kejadian kemarin. Karena kejadian jatuh kemarin, semalam Bagas tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya benar-benar terganggu akan kejadian tersebut dan entah kenapa dia malah merasa harus menghindari Arin."Gas."Bagas yang sudah berbalik hendak pergi dari dapur seketika menghentikan langkahnya."Kamu belum siap? Bentar lagi sarapannya jadi."Bagas berbalik menghadap Arin. "Iya, ini mau mandi.""Terus ngapain ke sini?""Mau ambil minum, tapi gak jadi." Bagas pun segera pergi ke kamarnya.Memilih tidak peduli, Arin kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.***"Em, Gas."Bagas yang sedang makan menyahut, namun tidak menatap Arin."Soal yang kemarin aku minta maaf, ya. Aku ngaku emang sempat fotoin kamu waktu kamu tidur, tapi aku udah hapus kok.""Iya, saya juga minta maaf kemarin ambil hp kamu.""Gak papa kok, kalau aku jadi kamu juga aku bakal lakuin hal yang sama
"Rin. Bangun, udah sampe." Bagas membangunkan Arin yang tertidur begitu lelap.Arin perlahan membuka matanya. "Udah sampe?" Bagas mengangguk, lalu turun dari taksi. "Gak mau turun? Atau mau balik bandara?" tanya Bagas karena Arin masih bergeming.Arin yang masih setengah mengantuk pun keluar dari taksi."Terima kasih, ya, pak.""Sama-sama, kalau begitu saya permisi, pak, bu." Setelah mengeluarkan barang-barang mereka dari bagasi, sang supir taksi pun pergi.Walaupun cuma bepergian selama satu hari, tapi barang-barang yang mereka bawa pulang cukup banyak. Tentunya barang-barang tersebut bukan milik Bagas, melainkan Arin. Semua barang-barang itu adalah oleh-oleh yang akan dia berikan pada keluarganya, keluarga Bagas, dan juga karyawan restonya. Sangat baik hati, bukan? Karena oleh-oleh tersebut Bagas sempat memarahinya. Bagaimana tidak marah, Bagas yang direpotkan membawa semua barang tersebut. Sedangkan Arin hanya menenteng ranselnya."Gas, mau ke mana?""Masuk lah.""Bantuin aku bawa
"Buruan, Gas. Kamu jalannya lama banget, sih."Bagas yang berada cukup jauh di belakang Arin berulang kali menguap. Bagas masih sangat mengantuk. Tadi Arin membangunkannya tepat jam lima pagi, hanya karena Arin ingin pergi ke kebun stroberi. Karena siangnya mereka harus kembali ke Jakarta, jadi Arin tidak mau membuang-buang kesempatan untuk berpetualang di Bandung."Kalau mau cepat kenapa gak pergi sendiri aja?""Ya gak bisa dong nanti kita gak ada foto bareng. Kan buat dokumentasi juga buat dikirim ke bunda. Biar bunda tahu kalau kita ke sini itu beneran jalan-jalan bukan cuma di villa.""Berapa lama lagi sampenya?" tanya Bagas."Harusnya setengah jam lagi nyampe sih. Makanya kamu jalannya agak cepet biar makin cepet sampenya.""Oke." Bagas seketika mempercepat langkahnya, hingga meninggalkan Arin."Tungguin Gas!"***Bagas menatap Arin yang begitu antusias memetik stroberi. Tanpa sadar dia tersenyum. Arin sepertinya begitu bahagia menghabiskan waktu di Bandung. Bagas juga merasa cuk
"Kamu tahu gak aku tuh suka banget sama kebun teh. Waktu kecil aku sempat ke Bandung dan aku bisa ngabisin waktu berjam-jam buat main di kebun teh," cerita Arin begitu antusias ketika mereka berjalan menyusuri kebun teh.Arin menoleh pada Bagas yang hanya diam. "Kok kamu diam aja? Kamu gak suka ya aku ajak ke sini?""Berapa lama lagi kamu mau di sini?" Alih-alih menjawab pertanyaan Arin, Bagas malah memberikan pertanyaan."Kenapa? Kamu mau balik villa, ya? Sorry ya udah ngajakin kamu ke sini. Kalau aku tahu kamu gak suka ke kebun teh aku gak ngajak kamu tadi.""Pertanyaan saya belum dijawab.""Kemungkinan sih masih agak lama. Kamu kalau mau balik ke villa duluan gak papa. Nanti aku balik sendiri.""Ya udah."Arin sudah menduga Bagas pasti akan langsung pergi ketika dia menyuruhnya, tapi tetap saja dalam hati kecilnya Arin ingin Bagas ada rasa sedikit peduli padanya.Baru beberapa langkah berjalan Bagas berhenti lalu menoleh. "Jangan lama-lama."Arin tersenyum. "Iya, jangan kangen, ya."