"Gas, itu Arin, kan? Kok dia ada di sini? Itu cowok siapa?" Pertanyaan beruntun diberikan Juan pada Bagas.
Mereka baru saja tiba di sebuah cafe untuk makan siang.
"Kok malah diam sih? Gimana kalau kita samperin aja?"
Baru saja Bagas hendak menolak, Arin sudah lebih dulu memanggil mereka.
"Nah, itu dipanggil sama Arin. Ayo."
Mau tidak mau Bagas mengikuti Juan.
"Mau makan siang, ya?" Arin bertanya. Walaupun sebenarnya masih kesal dengan Bagas, tidak mungkin dia menunjukkan rasa kesalnya pada Bagas di depan Juan dan Revan.
"Iya nih, biasa. Suami lo kalau gak gue samperin ke kantornya mana mau dia makan siang di luar. Ngomong-ngomong tumben di sekitaran sini. Gak ke resto?"
"Iya, ada urusan sedikit. Oh iya, kenalin ini Revan teman SMA gue." Arin memperkenalkan Revan pada Bagas dan Juan.
Revan pun menjulurkan tangannya untuk berkenalan. Juan dengan senang hati menyambut tangan Revan. Namun, Bagas hanya diam ketika Revan ingin berkenalan dengannya.
"Gas." Juan langsung menyikut Bagas agar segera menjabat tangan Revan.
"Ya udah, kalau gitu kita ke sana dulu, ya, mau pesan makan dulu. Kalian lanjut aja," ucap Juan.
"Gabung aja sama kita. Kebetulan saya sama Arin juga udah selesai kok urusannya," kata Revan.
"Gak apa-apa, nih? Kita jadi gak enak."
"Gak apa-apa. Iya kan, Rin?"
***
"Oh, jadi Pak Revan mau buka restauran dan minta bantuan Arin?"
Pertanyaan Juan langsung diangguki oleh Revan.
"Iya, soalnya kan Arin udah lebih dulu kan makanya mau minta tips ke yang lebih senior. Biar ngerti gitu. Soalnya kan punya restauran juga gak gampang ngelolanya. Salah dikit bisa tutup."
"Iya sih, emang gak gampang. Makanya gue juga salut sama Arin. Walaupun kuliahnya bukan bisnis, tapi bisa nerusin bisnis orangtuanya," ujar Juan.
Arin tersenyum. "Ya, gue juga belajar."
"Kenapa ketemuan di sini?" Mereka seketika langsung menatap Bagas.
"Kenapa gak ketemuan di resto kamu aja? Emang gak ke resto hari ini?" Kali ini Bagas bertanya lebih jelas agar ketiganya tidak bingung.
"Habis ini mau ke resto kok. Tadi nemenin Revan ngecek proses pembangunan restonya. Kebetulan gak terlalu jauh dari sini. Habis ngecek kita mampir ke sini buat makan siang." Arin menjelaskan.
"Terus kamu ke sana naik apa? Bawa mobil gak? Kalau gak biar aku anterin."
"Aku bawa mobil kok."
"Kalian kan serumah masa lo gak tahu Arin tadi berangkat bawa mobil apa enggak sih?" heran Juan.
"Tadi Bagas berangkat duluan makanya gak tahu."
"Kalau diliat-liat muka lo mirip sama Pak Bagas, Rin. Pantes jodoh. Sama-sama pebisnis lagi."
Arin yang sedang minum seketika tersedak mendengar ucapan Revan.
"Setuju gue, mirip banget." Juan menimpali.
"Minumnya pelan-pelan." Bagas menepuk-nepuk pelan punggung Arin.
"Gak mirip ah, lo ada-ada aja, Van."
***
"Mbak Arin, pak Bagas ada di luar."
Arin seketika mengernyitkan keningnya. "Pak Bagas? Kenapa gak suruh dia masuk?"
"Tadi udah disuruh mbak, tapi katanya tunggu di luar aja. Soalnya mau jemput mbak Arin."
"Ya udah, makasih ya."
Arin pun keluar untuk menghampiri Bagas.
"Ngapain ke sini? Mau ngomong soal Revan lagi? Kalau soal itu maaf, tapi lagi gak ada waktu."
"Saya ke sini mau jemput kamu. Bunda nyuruh kita makan malam di rumah."
"Kenapa gak chat aja? Lagian nanti mobil saya gimana?" tanya Arin.
"Nanti mobil kamu saya suruh orang buat bawa pulang ke rumah."
"Anda belum jawab pertanyaan saya."
"Bunda udah nunggu daritadi. Saya gak mau bikin bunda marah lagi."
Arin berdecak. Bagas benar-benar menyebalkan. Kalau bukan karena bunda, sudah pasti Arin menolak. "Ya udah, tunggu bentar."
***
"Akhirnya kalian datang juga. Ayo masuk." Karina begitu senang menyambut kedatangan Bagas dan Arin.
"Bun, aku bawain kue. Ini menu dessert baru di resto. Nanti bunda cobain terus kasih saran ya apa yang kurang. Biar Arin nanti evaluasi lagi."
"Makasih ya, sayang. Bunda yakin pasti enak banget ini. Ayo, papa sama Fira udah nungguin di dalam."
"Em, bun, Arin ke toilet bentar, ya. Mau cuci tangan."
"Iya, nanti abis cuci tangan langsung ke meja makan, ya."
Bagas pun mengikuti Karina ke meja makan.
"Mas, kak Arin mana?" tanya Safira.
"Loh, kenapa? Mas Bagas sama kak Arin berantem?"
"Enggaklah. Kita baik-baik aja kok." Arin menghampiri.
Safira seketika tersenyum ketika melihat Arin. "Aku pikir kak Arin gak datang."
"Datang dong." Pandangan Arin seketika teralihkan pada berbagai makanan yang ada di meja makan. "Banyak banget makanannya, bun. Arin tiba-tiba jadi laper. Mana kesukaan Arin semua lagi."
"Dari sore bunda udah repot nyiapin semuanya katanya gak sabar mau makan sama kalian." Beni menyahut.
"Beneran bun? Arin jadi gak enak, nih."
"Gak papa dong. Justru bunda senang. Ayo makan. Kalian pasti udah laper, kan."
***
"Mau ngomong apa?" tanya Bagas.
Setelah makan malam, Safira menarik Bagas ke kolam renang karena ada hal yang ingin dia bicarakan dengan Bagas. Sedangkan Arin sedang sibuk mengobrol dengan Karina dan Beni.
"Mas mau sampe kapan pura-pura kayak gini di depan kita?"
Bagas menatap Safira bingung. "Pura-pura apa?"
"Fira tahu kalau mas selama ini cuma pura-pura bersikap romantis sama kak Arin di depan kita semua. Di belakang kita mas Bagas malah cuek dan dingin sama kak Arin."
"Arin yang bilang ke kamu?"
Safira menggeleng. "Kak Arin gak pernah bilang apapun soal rumah tangga kalian. Mas Bagas mau sampe kapan kayak gini? Emang gak capek? Mas Bagas emang gak peduli gimana perasaan kak Arin?"
"Mendingan kamu fokus sama kuliah kamu. Mas bisa urusin rumah tangga mas sendiri."
"Aku bukan mau ikut campur urusan pribadi mas Bagas. Aku cuma gak mau ayah sama bunda kecewa. Apa mas Bagas kayak gini karena masih mikirin perempuan itu? Mas harusnya sadar kalau dia ...."
Ucapan Safira terjeda karena tiba-tiba Karina menghampiri mereka. "Bagas, Fira. Kok malah di sini? Ayo ke dalam. Kita mau cobain dessert nya Arin."
"Iya bun."
"Mas minta kamu lupain obrolan kita tadi. Dan jangan bilang ke Arin kalau kamu udah tahu," bisik Bagas pelan agar tidak terdengar oleh Karina.
Safira hanya diam. Padahal orang pertama yang dia beritahu adalah Arin.
******************************
"Akh!"Bagas yang baru saja bangun dan hendak mandi seketika mengurungkan niatnya ketika mendengar teriakan Arin dari dalam kamar. Bagas segera menuju kamar Arin lalu mengetuk pintunya. "Arin. Ada apa?""Gak ada apa-apa."Jawaban Arin justru membuat Bagas tidak percaya. Dia pun membuka pintu kamar Arin. Bagas segera mendekati Arin yang sedang terduduk di lantai sembari memegang kakinya. Arin yang meringis langsung diam karena Bagas masuk ke kamarnya. "Kamu kenapa?" Bagas hendak membantu Arin berdiri, namun Arin menolak. "Saya bisa sendiri." Arin perlahan mencoba berdiri, namun dia kesulitan. "Saya bantuin." Bagas segera menggendong Arin membuatnya seketika membulatkan mata. "Ngapain digendong? Saya kan udah bilang saya bisa sendiri."Bagas mendudukkan Arin di ranjang. "Kenapa bisa jatuh?" Bagas bertanya."Mau ganti lampu," jawab Arin ogah-ogahan.Bagas baru menyadari kalau ada tangga lipat. "Kenapa gak minta tolong?""Karena saya bisa sendiri.""Kalau bisa sendiri gak mungkin ja
"Loh, kok mama ada di sini?" Arin terkejut ketika bangun dan mendapati Karina sedang berada di dapur.Karina menoleh lalu menaruh masakannya yang baru matang di meja makan."Tadi Bagas telfon mama. Katanya kamu lagi sakit jadi gak bisa masak. Bagas minta tolong ke mama buat masakin kamu. Kaki kamu gimana? Udah mendingan?"Untuk beberapa saat Arin tertegun. Bagas lagi-lagi perhatian padanya. Ini benar-benar bukan Bagas. "Rin? Kok malah diam?""Udah lumayan membaik kok, ma.""Lagian kok bisa sih kamu jatuh? Emang kamu ngapain?"Bagas memang memberitahu Karina kalau Arin sempat jatuh sehingga kakinya terkilir, tapi Bagas tidak memberitahu penyebab Arin jatuh."Aku mau ganti lampu kamar yang putus, tapi malah jatuh.""Emang kamu gak minta tolong sama Bagas? Kok malah kamu yang ganti?""Gak sempat, ma. Soalnya kan Bagas sibuk terus.""Ya kalau Bagas gak bisa kan kamu bisa manggil tukang. Gak harus kamu sendiri. Lain kali jangan ngelakuin kerjaan kayak gitu. Itu kerjaan laki-laki bukan per
Setelah hampir satu minggu, Arin akhirnya bisa sembuh dan dapat kembali ke restauran. Cukup jenuh memang ketika di rumah dan tidak melakukan kegiatan apapun, tapi untungnya Ela dan Safira sesekali mengunjunginya. Jangan tanyakan Bagas, karena Arin hanya bertemu dengannya dipagi dan malam hari."Mbak Arin, kita senang banget akhirnya mbak udah sembuh."Arin tersenyum. "Maaf ya, Va, belum lama saya sakit udah sakit lagi.""Mbak Arin selalu aja minta maaf. Padahal kan mbak gak salah.""Keadaan resto gimana? Pelanggan ramai gak?""Ramai kok mbak. Pak Bagas sama temannya juga beberapa hari ini makan siang di sini. Terus pak Bagas juga nanya-nanya kondisi resto gimana.""Oh gitu.""Kalau gitu saya ke belakang dulu, ya, mbak."Arin hanya mengangguk.Bagas benar-benar susah untuk ditebak. Kemarin saat Arin sakit, Bagas cukup perhatian padanya. Bahkan sampai restaurannya pun diam-diam lelaki itu memperhatikannya. Tapi, tadi pagi sikap Bagas padanya kembali dingin. Arin sampai dibuat bingung ol
Prank!Bagas terkejut ketika lengannya tidak sengaja menyenggol gelas hingga jatuh dan pecah. Buru-buru Bagas membersihkannya, namun Arin sudah lebih dulu muncul karena mendengar bunyi tadi.Arin seketika membulatkan matanya melihat gelas kesayangannya sudah berada di lantai dan pecah tak berbentuk. "Gelas kesayangan gue." Arin beralih menatap Bagas tajam. "Kenapa anda pecahin gelas kesayangan saya? Anda sengaja, hah?!""Maaf, saya gak sengaja. Tadi ....""Saya gak butuh penjelasan anda. Yang saya mau gelas saya kembali seperti semula.""Saya janji saya akan ganti yang baru.""Gue gak butuh! Gue mau gelas gue kembali. Titik." Arin tidak peduli jika Bagas menganggapnya kekanak-kanakan karena mempermasalahkan hal yang mungkin menurut Bagas adalah masalah kecil. Bagi Arin gelas kesayangannya itu adalah salah satu benda berharga yang diberikan neneknya sebelum meninggal. Yang tidak akan mungkin didapatkan di manapun karena gelas tersebut dibuat sendiri oleh neneknya.***"Kenapa sih di s
"Sendirian aja. Ju?" tanya Arin ketika Juan hanya datang sendiri ke restaurannya."Iya, soalnya Bagas lagi ada meeting sama kliennya di luar sekalian lunch. Makanya gue gak ada teman.""Kenapa gak sama teman kantor aja?""Nah, masalahnya mereka pada gak mau. Daripada gue ke resto lain sendiri gak ada teman, mendingan gue ke sini aja. Biar bisa ngobrol sama lo."Arin hanya tersenyum tipis. "Sering-sering ya ke sini biar makin laku resto gue.""Tenang aja. Gue bakal sering ke sini kok.""Gue pegang omongannya, ya.""Gue tiba-tiba kepikiran jadi pengin nanya lo.""Nanya apa?""Jadi beberapa hari yang lalu Bagas ngajak gue buat nyari gelas. Kita sampe keliling hampir sepuluh toko, tapi gak nemu yang sama persis kayak gelas yang dia cari. Terus karena gue udah ngantuk banget, gue suruh dia buat beli gelas yang lumayan mirip biar kita gak keliling lagi. Kira-kira lo tahu gak dia beliin gelasnya itu buat siapa? Soalnya dia keliatan ambisi banget buat nyari yang sama persis. Padahal gelasnya
"Arin! Aku senang banget kalian datang." "Aku udah gak sabar bentar lagi bakal jadi tante. Semoga kak Tari dan dedek bayinya sehat terus sampe lahiran, ya."Bagas dan Arin pergi ke acara tujuh bulanan sepupu Arin. Karena Arin cukup dekat dengan Tari, jadi dia tidak mungkin kalau tidak datang. Awalnya Arin ingin datang sendiri, tapi karena Tari berpesan pada Arin untuk mengajak Bagas jadilah dia mengajak lelaki itu."Amin. Makasih Rin.""Semoga sehat-sehat terus ya kak dan semoga persalinannya lancar," ucap Bagas."Amin, thankyou, Gas, udah mau sempatin waktu buat datang.""Sama-sama, kak.""Aku doain kalian cepat nyusul, ya. Biar anak kita bisa main bareng."Ucapan Tari membuat Arin tersenyum kikuk, sedangkan Bagas terlihat tidak menunjukkan ekspresi apapun."Kok malah pada diam? Gak mau diaminin?" tanya Tari melihat Bagas dan Arin yang tidak merespons ucapannya."Amin kak.""Ya udah, kalau gitu kita ke sana dulu, ya."***"Rin, Gas, kalian kapan nyusul Tari sama Iwan?" Lita, yang m
"Bang, selama enam bulan nikah sama kak Arin gimana perasaannya? Kak Arin nyebelin gak?" Aaron bertanya di sela mereka bermain playstation."Gak gimana-gimana. Aman aja.""Yakin? Bang Bagas gak bohong, kan?""Iya.""Syukur deh, lega gue dengarnya. Jujur, waktu awal gue dengar kalau kak Arin mau dijodohin gue gak setuju, bang. Soalnya gue takut kak Arin bakal sama cowok yang gak benar. Apalagi dia sering dapat cowok yang cuma manfaatin dia doang. Tapi, untungnya kak Arin nikah sama lo, bang. Jadi gue gak perlu khawatir lagi. Dia udah dapatin orang yang tepat."Bagas hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Aaron yang cukup menyentuh. Tapi karena Aaron berpikir kalau dirinya adalah orang yang tepat bagi Arin membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan apa, hanya saja kalau Aaron tahu selama ini mereka tidak saling mencintai dan tidak memiliki hubungan yang harmonis, apakah Aaron masih berpikir demikian?"Bang, kok malah diam? Itu kita hampir kalah, loh.""Oh iya."***"Heran gue, betah banget l
"Pagi kak, bang." Aaron menyapa dengan senyum lebar.Bagas hanya tersenyum tipis, sedangkan Arin menatap Aaron malas."Kok belum pulang?" tanya Arin."Kan mau sarapan dulu baru balik. Lagian hari ini gue juga konsul skripsinya siang.""Buruan kelarin skripsi lo kek. Jangan banyak main doang.""Iya, ini lagi diusahain kok. Gue juga mau kali wisuda." Aaron beralih menatap Bagas yang sedaritadi memijat lehernya. "Kenapa bang? Salah bantal?""Iya nih." Semalam Bagas dan Arin terus berdebat siapa yang akan tidur di sofa hingga akhirnya Bagas yang tidur di sofa."Kak, gue nungguin sarapannya nih."Arin berdecak. "Bentar, baru juga bangun.""Kalau di rumah jam segini udah sarapan malah mungkin udah selesai. Mama kan bangunnya pagi. Masa lo udah nikah, tapi bangunnya jam segini," cibir Aaron yang seketika langsung diberikan tatapan tajam oleh Arin."Lo kalau mau ceramahin gue mending pulang sekarang. Jangan bikin gue naik darah."***"Selamat siang.""Siang bu Arin. Ada yang bisa saya bantu?
"Lo tuh kenapa sih hobi banget buat masalah? Lo kan udah gede, Ron. Mau sampe kapan lo kayak gini terus?" omel Arin.Saat ini Arin dan Bagas sedang berada di parkiran kampus Aaron. Tadi Aaron sempat menghubungi Bagas meminta tolong agar Bagas menolongnya, tapi kebetulan ketika menerima panggilan dari Aaron tidak sengaja didengar oleh Arin.Sebenarnya Arin melarang Bagas untuk tidak ikut dengannya, karena Arin tidak mau merepotkan Bagas. Apalagi Aaron adalah adiknya. Arin tidak mau punya hutang budi pada Bagas. "Sorry, kak, gue beneran gak sengaja nyerempet mobilnya.""Kenapa lo gak telfon gue? Kenapa lo malah telfon Bagas?"Aaron yang menunduk seketika menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue takut lo marah. Ternyata bener kan lo marah.""Pemilik mobilnya udah tahu kalau mobilnya diserempet sama kamu?" Bagas bertanya bermaksud mengalihkan topik pembicaraan agar Arin tidak lagi mengomeli Aaron. Lagipula menurut Bagas tidak ada gunanya terus-terusan mengomel, karena semuanya sudah t
"Thanks ya, Rin. Gue jadi gak enak nih udah makan, tapi gak bayar," ucap Juan.Juan sedang berada di restoran Arin. Niatnya ingin makan malam agar sesampainya di rumah dia langsung istirahat.Arin tersenyum. "Gak papa, kan sekali-kali.""Oh iya, gue mau nanya boleh?""Boleh dong masa gak boleh. Mau nanya apa?""Waktu Bagas sakit gue sempat dengar dia nyebut seseorang. Tapi dia cuma manggil Ta. Kira-kira lo kenal gak?" Tiba-tiba saja Arin kepikiran dengan Bagas yang waktu itu mengingau menyebut seseorang dan membuat Arin penasaran. Ingin memastikan apakah Juan mengenal orang tersebut.Juan terdiam beberapa saat. Arin bisa merasakan kalau Juan menunjukkan reaksi yang cukup kaget, tapi Juan seperti menyembunyikannya."Em, kalau itu sih gue gak tahu. Kayaknya gue harus balik sekarang. Sekali lagi makasih, ya.""Ah iya, hati-hati, ya.""Apa Juan lagi nyembunyiin sesuatu?"***Bagas yang baru saja masuk ke dalam mobil hendak pulang langsung merogoh saku celananya, ketika ponselnya berderin
"Sorry, saya gak sengaja." Seorang cewek secara tidak sengaja menabrak Bagas yang sedang menunggu Arin di parkiran restoran. Kebetulan cewek itu sedang bertelepon sembari sibuk mengecek barang belanjaannya, sehingga tidak sempat melihat Bagas."Iya, gak papa."Untuk beberapa saat cewek itu terdiam lama menatap wajah Bagas. Seperti terpesona dengan ketampanan Bagas. "Ini barangnya." Bagas memberikan beberapa paper bag milik cewek itu yang tadi sempat jatuh."Ah iya, thankyou. Sorry, boleh kenalan gak? Siapa tahu kalau kita ketemu lagi bisa saling sapa.""Saya Bagas.""Saya Kiara. Salam kenal, ya.""Bagas."Bagas seketika menoleh."Em, kalau gitu saya duluan, ya. Sekali lagi makasih," ucap cewek bernama Kiara tersebut lalu masuk ke dalam mobilnya.Arin menghampiri Bagas dengan ekspresi datar. "Ngapain ke sini?""Jemput kamu. Kata Aaron mobil kamu masuk bengkel."Arin menghela napas. Kenapa Aaron harus memberitahu Bagas? Arin sama sekali tidak menginginkan bantuan Bagas."Harusnya lo ga
"Ayah sama bunda kok gak bilang-bilang mau ke sini?" Bagas cukup terkejut karena kedua orangtuanya datang ke rumah tanpa menghubunginya lebih dulu."Iya, soalnya kita dengar dari Arin kamu lagi sakit. Gimana kondisi kamu? Udah baikan?" Karina bertanya.Bagas mengangguk. "Udah mendingan kok, bun. Tadinya sih mau ke kantor, tapi sama Arin gak dibolehin.""Bunda setuju sama Arin. Kamu boleh ke kantor kalau kondisi kamu udah benar-benar pulih. Katanya semalam kamu sempat dibawa ke rumah sakit karena siangnya kamu ke kantor. Padahal kamu lagi sakit.""Iya, tapi Bagas juga gak lama-lama di kantor kok. Itu juga karena ada beberapa berkas yang harus Bagas tandatangani." Bagas menjelaskan agar sang bunda tidak mengomelinya lagi."Emang gak bisa ditunda sehari gitu sampe kamu harus banget ke kantor. Gara-gara kamu maksa ke kantor jadinya makin parah, kan. Untung ada Arin yang bantuin.""Ayah salut sama Arin pasti semalam dia panik banget, tapi dia sama sekali gak telfon kita karena gak mau kita
Arin pulang lebih awal dari biasanya karena khawatir dengan kondisi Bagas. Walaupun Bagas menyebalkan, Arin masih peduli dengan cowok itu.Arin mengetuk pintu kamar Bagas sebelum masuk. "Gas, aku masuk, ya." Arin membuka pintu perlahan lalu masuk ke dalam kamar Bagas.Arin segera mendekati Bagas yang menggigil sesekali mengigau. Dia lalu kembali mengecek suhu tubuh Bagas. "Kok malah makin demam?" Arin seketika panik. Dia pikir setelah minum obat tadi kondisi Bagas sudah membaik. Ternyata malah lebih parah."Ta... Ta... jangan tinggalin aku." Bagas mengigau."Ta?" gumam Arin bingung.Siapa yang disebut-sebut Bagas? Apa mungkin mantan pacarnya? Arin segera menggeleng, tidak mau memikirkan hal tersebut karena yang terpenting sekarang adalah kondisi Bagas.***"Makasih ya, Juan udah mau bantuin gue. Sorry, jadi ngerepotin. Tadi gue bingung banget gak tahu mau hubungin siapa lagi," ucap Arin.Tadi Arin sempat menghubungi Juan, meminta bantuan untuk mengantarkan Bagas ke rumah sakit. Karena
"Jadi Bagas gak suka lo nganterin makan siang ke kantornya?"Arin mengangguk. "Padahal juga gue terpaksa. Kalau gak disuruh sama nyokap gue juga gak bakal mau ke kantor dia.""Wah, parah banget, sih. Gak nyangka gue Bagas sampe segitunya. Kalaupun dia gak suka lo ke kantornya kan bisa ngomong kalau udah di rumah. Jangan pas di kantor. Gimana kalau karyawannya pada dengar? Emang dia gak malu apa?" Walaupun tidak melihat langsung hanya mendengar cerita Arin saja sudah membuat Ela ikut kesal dengan Bagas."Untung di kantor dia, makanya gue masih nahan emosi.""Lagian dia bukannya berterimakasih karena udah dianterin makan, malah suruh lo gak usah datang. Gak habis pikir gue sama dia. Hatinya kebuat dari batu apa gimana deh?""Gue baru nikah sama dia belum setahun, tapi gue gak tahu gue bisa bertahan sama dia sampe kapan. Susah banget bikin dia luluh, La. Gue capek."Ela mengusap-usap punggung Arin. "Gue tahu lo kuat, Rin. Lo pasti bisa."Arin menggeleng. "Gue gak bisa, La. Gue gak kuat k
"Pagi kak, bang." Aaron menyapa dengan senyum lebar.Bagas hanya tersenyum tipis, sedangkan Arin menatap Aaron malas."Kok belum pulang?" tanya Arin."Kan mau sarapan dulu baru balik. Lagian hari ini gue juga konsul skripsinya siang.""Buruan kelarin skripsi lo kek. Jangan banyak main doang.""Iya, ini lagi diusahain kok. Gue juga mau kali wisuda." Aaron beralih menatap Bagas yang sedaritadi memijat lehernya. "Kenapa bang? Salah bantal?""Iya nih." Semalam Bagas dan Arin terus berdebat siapa yang akan tidur di sofa hingga akhirnya Bagas yang tidur di sofa."Kak, gue nungguin sarapannya nih."Arin berdecak. "Bentar, baru juga bangun.""Kalau di rumah jam segini udah sarapan malah mungkin udah selesai. Mama kan bangunnya pagi. Masa lo udah nikah, tapi bangunnya jam segini," cibir Aaron yang seketika langsung diberikan tatapan tajam oleh Arin."Lo kalau mau ceramahin gue mending pulang sekarang. Jangan bikin gue naik darah."***"Selamat siang.""Siang bu Arin. Ada yang bisa saya bantu?
"Bang, selama enam bulan nikah sama kak Arin gimana perasaannya? Kak Arin nyebelin gak?" Aaron bertanya di sela mereka bermain playstation."Gak gimana-gimana. Aman aja.""Yakin? Bang Bagas gak bohong, kan?""Iya.""Syukur deh, lega gue dengarnya. Jujur, waktu awal gue dengar kalau kak Arin mau dijodohin gue gak setuju, bang. Soalnya gue takut kak Arin bakal sama cowok yang gak benar. Apalagi dia sering dapat cowok yang cuma manfaatin dia doang. Tapi, untungnya kak Arin nikah sama lo, bang. Jadi gue gak perlu khawatir lagi. Dia udah dapatin orang yang tepat."Bagas hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Aaron yang cukup menyentuh. Tapi karena Aaron berpikir kalau dirinya adalah orang yang tepat bagi Arin membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan apa, hanya saja kalau Aaron tahu selama ini mereka tidak saling mencintai dan tidak memiliki hubungan yang harmonis, apakah Aaron masih berpikir demikian?"Bang, kok malah diam? Itu kita hampir kalah, loh.""Oh iya."***"Heran gue, betah banget l
"Arin! Aku senang banget kalian datang." "Aku udah gak sabar bentar lagi bakal jadi tante. Semoga kak Tari dan dedek bayinya sehat terus sampe lahiran, ya."Bagas dan Arin pergi ke acara tujuh bulanan sepupu Arin. Karena Arin cukup dekat dengan Tari, jadi dia tidak mungkin kalau tidak datang. Awalnya Arin ingin datang sendiri, tapi karena Tari berpesan pada Arin untuk mengajak Bagas jadilah dia mengajak lelaki itu."Amin. Makasih Rin.""Semoga sehat-sehat terus ya kak dan semoga persalinannya lancar," ucap Bagas."Amin, thankyou, Gas, udah mau sempatin waktu buat datang.""Sama-sama, kak.""Aku doain kalian cepat nyusul, ya. Biar anak kita bisa main bareng."Ucapan Tari membuat Arin tersenyum kikuk, sedangkan Bagas terlihat tidak menunjukkan ekspresi apapun."Kok malah pada diam? Gak mau diaminin?" tanya Tari melihat Bagas dan Arin yang tidak merespons ucapannya."Amin kak.""Ya udah, kalau gitu kita ke sana dulu, ya."***"Rin, Gas, kalian kapan nyusul Tari sama Iwan?" Lita, yang m