"Gas, itu Arin, kan? Kok dia ada di sini? Itu cowok siapa?" Pertanyaan beruntun diberikan Juan pada Bagas.
Mereka baru saja tiba di sebuah cafe untuk makan siang.
"Kok malah diam sih? Gimana kalau kita samperin aja?"
Baru saja Bagas hendak menolak, Arin sudah lebih dulu memanggil mereka.
"Nah, itu dipanggil sama Arin. Ayo."
Mau tidak mau Bagas mengikuti Juan.
"Mau makan siang, ya?" Arin bertanya. Walaupun sebenarnya masih kesal dengan Bagas, tidak mungkin dia menunjukkan rasa kesalnya pada Bagas di depan Juan dan Revan.
"Iya nih, biasa. Suami lo kalau gak gue samperin ke kantornya mana mau dia makan siang di luar. Ngomong-ngomong tumben di sekitaran sini. Gak ke resto?"
"Iya, ada urusan sedikit. Oh iya, kenalin ini Revan teman SMA gue." Arin memperkenalkan Revan pada Bagas dan Juan.
Revan pun menjulurkan tangannya untuk berkenalan. Juan dengan senang hati menyambut tangan Revan. Namun, Bagas hanya diam ketika Revan ingin berkenalan dengannya.
"Gas." Juan langsung menyikut Bagas agar segera menjabat tangan Revan.
"Ya udah, kalau gitu kita ke sana dulu, ya, mau pesan makan dulu. Kalian lanjut aja," ucap Juan.
"Gabung aja sama kita. Kebetulan saya sama Arin juga udah selesai kok urusannya," kata Revan.
"Gak apa-apa, nih? Kita jadi gak enak."
"Gak apa-apa. Iya kan, Rin?"
***
"Oh, jadi Pak Revan mau buka restauran dan minta bantuan Arin?"
Pertanyaan Juan langsung diangguki oleh Revan.
"Iya, soalnya kan Arin udah lebih dulu kan makanya mau minta tips ke yang lebih senior. Biar ngerti gitu. Soalnya kan punya restauran juga gak gampang ngelolanya. Salah dikit bisa tutup."
"Iya sih, emang gak gampang. Makanya gue juga salut sama Arin. Walaupun kuliahnya bukan bisnis, tapi bisa nerusin bisnis orangtuanya," ujar Juan.
Arin tersenyum. "Ya, gue juga belajar."
"Kenapa ketemuan di sini?" Mereka seketika langsung menatap Bagas.
"Kenapa gak ketemuan di resto kamu aja? Emang gak ke resto hari ini?" Kali ini Bagas bertanya lebih jelas agar ketiganya tidak bingung.
"Habis ini mau ke resto kok. Tadi nemenin Revan ngecek proses pembangunan restonya. Kebetulan gak terlalu jauh dari sini. Habis ngecek kita mampir ke sini buat makan siang." Arin menjelaskan.
"Terus kamu ke sana naik apa? Bawa mobil gak? Kalau gak biar aku anterin."
"Aku bawa mobil kok."
"Kalian kan serumah masa lo gak tahu Arin tadi berangkat bawa mobil apa enggak sih?" heran Juan.
"Tadi Bagas berangkat duluan makanya gak tahu."
"Kalau diliat-liat muka lo mirip sama Pak Bagas, Rin. Pantes jodoh. Sama-sama pebisnis lagi."
Arin yang sedang minum seketika tersedak mendengar ucapan Revan.
"Setuju gue, mirip banget." Juan menimpali.
"Minumnya pelan-pelan." Bagas menepuk-nepuk pelan punggung Arin.
"Gak mirip ah, lo ada-ada aja, Van."
***
"Mbak Arin, pak Bagas ada di luar."
Arin seketika mengernyitkan keningnya. "Pak Bagas? Kenapa gak suruh dia masuk?"
"Tadi udah disuruh mbak, tapi katanya tunggu di luar aja. Soalnya mau jemput mbak Arin."
"Ya udah, makasih ya."
Arin pun keluar untuk menghampiri Bagas.
"Ngapain ke sini? Mau ngomong soal Revan lagi? Kalau soal itu maaf, tapi lagi gak ada waktu."
"Saya ke sini mau jemput kamu. Bunda nyuruh kita makan malam di rumah."
"Kenapa gak chat aja? Lagian nanti mobil saya gimana?" tanya Arin.
"Nanti mobil kamu saya suruh orang buat bawa pulang ke rumah."
"Anda belum jawab pertanyaan saya."
"Bunda udah nunggu daritadi. Saya gak mau bikin bunda marah lagi."
Arin berdecak. Bagas benar-benar menyebalkan. Kalau bukan karena bunda, sudah pasti Arin menolak. "Ya udah, tunggu bentar."
***
"Akhirnya kalian datang juga. Ayo masuk." Karina begitu senang menyambut kedatangan Bagas dan Arin.
"Bun, aku bawain kue. Ini menu dessert baru di resto. Nanti bunda cobain terus kasih saran ya apa yang kurang. Biar Arin nanti evaluasi lagi."
"Makasih ya, sayang. Bunda yakin pasti enak banget ini. Ayo, papa sama Fira udah nungguin di dalam."
"Em, bun, Arin ke toilet bentar, ya. Mau cuci tangan."
"Iya, nanti abis cuci tangan langsung ke meja makan, ya."
Bagas pun mengikuti Karina ke meja makan.
"Mas, kak Arin mana?" tanya Safira.
"Loh, kenapa? Mas Bagas sama kak Arin berantem?"
"Enggaklah. Kita baik-baik aja kok." Arin menghampiri.
Safira seketika tersenyum ketika melihat Arin. "Aku pikir kak Arin gak datang."
"Datang dong." Pandangan Arin seketika teralihkan pada berbagai makanan yang ada di meja makan. "Banyak banget makanannya, bun. Arin tiba-tiba jadi laper. Mana kesukaan Arin semua lagi."
"Dari sore bunda udah repot nyiapin semuanya katanya gak sabar mau makan sama kalian." Beni menyahut.
"Beneran bun? Arin jadi gak enak, nih."
"Gak papa dong. Justru bunda senang. Ayo makan. Kalian pasti udah laper, kan."
***
"Mau ngomong apa?" tanya Bagas.
Setelah makan malam, Safira menarik Bagas ke kolam renang karena ada hal yang ingin dia bicarakan dengan Bagas. Sedangkan Arin sedang sibuk mengobrol dengan Karina dan Beni.
"Mas mau sampe kapan pura-pura kayak gini di depan kita?"
Bagas menatap Safira bingung. "Pura-pura apa?"
"Fira tahu kalau mas selama ini cuma pura-pura bersikap romantis sama kak Arin di depan kita semua. Di belakang kita mas Bagas malah cuek dan dingin sama kak Arin."
"Arin yang bilang ke kamu?"
Safira menggeleng. "Kak Arin gak pernah bilang apapun soal rumah tangga kalian. Mas Bagas mau sampe kapan kayak gini? Emang gak capek? Mas Bagas emang gak peduli gimana perasaan kak Arin?"
"Mendingan kamu fokus sama kuliah kamu. Mas bisa urusin rumah tangga mas sendiri."
"Aku bukan mau ikut campur urusan pribadi mas Bagas. Aku cuma gak mau ayah sama bunda kecewa. Apa mas Bagas kayak gini karena masih mikirin perempuan itu? Mas harusnya sadar kalau dia ...."
Ucapan Safira terjeda karena tiba-tiba Karina menghampiri mereka. "Bagas, Fira. Kok malah di sini? Ayo ke dalam. Kita mau cobain dessert nya Arin."
"Iya bun."
"Mas minta kamu lupain obrolan kita tadi. Dan jangan bilang ke Arin kalau kamu udah tahu," bisik Bagas pelan agar tidak terdengar oleh Karina.
Safira hanya diam. Padahal orang pertama yang dia beritahu adalah Arin.
******************************
"Akh!"Bagas yang baru saja bangun dan hendak mandi seketika mengurungkan niatnya ketika mendengar teriakan Arin dari dalam kamar. Bagas segera menuju kamar Arin lalu mengetuk pintunya. "Arin. Ada apa?""Gak ada apa-apa."Jawaban Arin justru membuat Bagas tidak percaya. Dia pun membuka pintu kamar Arin. Bagas segera mendekati Arin yang sedang terduduk di lantai sembari memegang kakinya. Arin yang meringis langsung diam karena Bagas masuk ke kamarnya. "Kamu kenapa?" Bagas hendak membantu Arin berdiri, namun Arin menolak. "Saya bisa sendiri." Arin perlahan mencoba berdiri, namun dia kesulitan. "Saya bantuin." Bagas segera menggendong Arin membuatnya seketika membulatkan mata. "Ngapain digendong? Saya kan udah bilang saya bisa sendiri."Bagas mendudukkan Arin di ranjang. "Kenapa bisa jatuh?" Bagas bertanya."Mau ganti lampu," jawab Arin ogah-ogahan.Bagas baru menyadari kalau ada tangga lipat. "Kenapa gak minta tolong?""Karena saya bisa sendiri.""Kalau bisa sendiri gak mungkin ja
"Loh, kok mama ada di sini?" Arin terkejut ketika bangun dan mendapati Karina sedang berada di dapur.Karina menoleh lalu menaruh masakannya yang baru matang di meja makan."Tadi Bagas telfon mama. Katanya kamu lagi sakit jadi gak bisa masak. Bagas minta tolong ke mama buat masakin kamu. Kaki kamu gimana? Udah mendingan?"Untuk beberapa saat Arin tertegun. Bagas lagi-lagi perhatian padanya. Ini benar-benar bukan Bagas. "Rin? Kok malah diam?""Udah lumayan membaik kok, ma.""Lagian kok bisa sih kamu jatuh? Emang kamu ngapain?"Bagas memang memberitahu Karina kalau Arin sempat jatuh sehingga kakinya terkilir, tapi Bagas tidak memberitahu penyebab Arin jatuh."Aku mau ganti lampu kamar yang putus, tapi malah jatuh.""Emang kamu gak minta tolong sama Bagas? Kok malah kamu yang ganti?""Gak sempat, ma. Soalnya kan Bagas sibuk terus.""Ya kalau Bagas gak bisa kan kamu bisa manggil tukang. Gak harus kamu sendiri. Lain kali jangan ngelakuin kerjaan kayak gitu. Itu kerjaan laki-laki bukan per
Setelah hampir satu minggu, Arin akhirnya bisa sembuh dan dapat kembali ke restauran. Cukup jenuh memang ketika di rumah dan tidak melakukan kegiatan apapun, tapi untungnya Ela dan Safira sesekali mengunjunginya. Jangan tanyakan Bagas, karena Arin hanya bertemu dengannya dipagi dan malam hari."Mbak Arin, kita senang banget akhirnya mbak udah sembuh."Arin tersenyum. "Maaf ya, Va, belum lama saya sakit udah sakit lagi.""Mbak Arin selalu aja minta maaf. Padahal kan mbak gak salah.""Keadaan resto gimana? Pelanggan ramai gak?""Ramai kok mbak. Pak Bagas sama temannya juga beberapa hari ini makan siang di sini. Terus pak Bagas juga nanya-nanya kondisi resto gimana.""Oh gitu.""Kalau gitu saya ke belakang dulu, ya, mbak."Arin hanya mengangguk.Bagas benar-benar susah untuk ditebak. Kemarin saat Arin sakit, Bagas cukup perhatian padanya. Bahkan sampai restaurannya pun diam-diam lelaki itu memperhatikannya. Tapi, tadi pagi sikap Bagas padanya kembali dingin. Arin sampai dibuat bingung ol
Prank!Bagas terkejut ketika lengannya tidak sengaja menyenggol gelas hingga jatuh dan pecah. Buru-buru Bagas membersihkannya, namun Arin sudah lebih dulu muncul karena mendengar bunyi tadi.Arin seketika membulatkan matanya melihat gelas kesayangannya sudah berada di lantai dan pecah tak berbentuk. "Gelas kesayangan gue." Arin beralih menatap Bagas tajam. "Kenapa anda pecahin gelas kesayangan saya? Anda sengaja, hah?!""Maaf, saya gak sengaja. Tadi ....""Saya gak butuh penjelasan anda. Yang saya mau gelas saya kembali seperti semula.""Saya janji saya akan ganti yang baru.""Gue gak butuh! Gue mau gelas gue kembali. Titik." Arin tidak peduli jika Bagas menganggapnya kekanak-kanakan karena mempermasalahkan hal yang mungkin menurut Bagas adalah masalah kecil. Bagi Arin gelas kesayangannya itu adalah salah satu benda berharga yang diberikan neneknya sebelum meninggal. Yang tidak akan mungkin didapatkan di manapun karena gelas tersebut dibuat sendiri oleh neneknya.***"Kenapa sih di s
"Sendirian aja. Ju?" tanya Arin ketika Juan hanya datang sendiri ke restaurannya."Iya, soalnya Bagas lagi ada meeting sama kliennya di luar sekalian lunch. Makanya gue gak ada teman.""Kenapa gak sama teman kantor aja?""Nah, masalahnya mereka pada gak mau. Daripada gue ke resto lain sendiri gak ada teman, mendingan gue ke sini aja. Biar bisa ngobrol sama lo."Arin hanya tersenyum tipis. "Sering-sering ya ke sini biar makin laku resto gue.""Tenang aja. Gue bakal sering ke sini kok.""Gue pegang omongannya, ya.""Gue tiba-tiba kepikiran jadi pengin nanya lo.""Nanya apa?""Jadi beberapa hari yang lalu Bagas ngajak gue buat nyari gelas. Kita sampe keliling hampir sepuluh toko, tapi gak nemu yang sama persis kayak gelas yang dia cari. Terus karena gue udah ngantuk banget, gue suruh dia buat beli gelas yang lumayan mirip biar kita gak keliling lagi. Kira-kira lo tahu gak dia beliin gelasnya itu buat siapa? Soalnya dia keliatan ambisi banget buat nyari yang sama persis. Padahal gelasnya
"Arin! Aku senang banget kalian datang." "Aku udah gak sabar bentar lagi bakal jadi tante. Semoga kak Tari dan dedek bayinya sehat terus sampe lahiran, ya."Bagas dan Arin pergi ke acara tujuh bulanan sepupu Arin. Karena Arin cukup dekat dengan Tari, jadi dia tidak mungkin kalau tidak datang. Awalnya Arin ingin datang sendiri, tapi karena Tari berpesan pada Arin untuk mengajak Bagas jadilah dia mengajak lelaki itu."Amin. Makasih Rin.""Semoga sehat-sehat terus ya kak dan semoga persalinannya lancar," ucap Bagas."Amin, thankyou, Gas, udah mau sempatin waktu buat datang.""Sama-sama, kak.""Aku doain kalian cepat nyusul, ya. Biar anak kita bisa main bareng."Ucapan Tari membuat Arin tersenyum kikuk, sedangkan Bagas terlihat tidak menunjukkan ekspresi apapun."Kok malah pada diam? Gak mau diaminin?" tanya Tari melihat Bagas dan Arin yang tidak merespons ucapannya."Amin kak.""Ya udah, kalau gitu kita ke sana dulu, ya."***"Rin, Gas, kalian kapan nyusul Tari sama Iwan?" Lita, yang m
"Bang, selama enam bulan nikah sama kak Arin gimana perasaannya? Kak Arin nyebelin gak?" Aaron bertanya di sela mereka bermain playstation."Gak gimana-gimana. Aman aja.""Yakin? Bang Bagas gak bohong, kan?""Iya.""Syukur deh, lega gue dengarnya. Jujur, waktu awal gue dengar kalau kak Arin mau dijodohin gue gak setuju, bang. Soalnya gue takut kak Arin bakal sama cowok yang gak benar. Apalagi dia sering dapat cowok yang cuma manfaatin dia doang. Tapi, untungnya kak Arin nikah sama lo, bang. Jadi gue gak perlu khawatir lagi. Dia udah dapatin orang yang tepat."Bagas hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Aaron yang cukup menyentuh. Tapi karena Aaron berpikir kalau dirinya adalah orang yang tepat bagi Arin membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan apa, hanya saja kalau Aaron tahu selama ini mereka tidak saling mencintai dan tidak memiliki hubungan yang harmonis, apakah Aaron masih berpikir demikian?"Bang, kok malah diam? Itu kita hampir kalah, loh.""Oh iya."***"Heran gue, betah banget l
"Pagi kak, bang." Aaron menyapa dengan senyum lebar.Bagas hanya tersenyum tipis, sedangkan Arin menatap Aaron malas."Kok belum pulang?" tanya Arin."Kan mau sarapan dulu baru balik. Lagian hari ini gue juga konsul skripsinya siang.""Buruan kelarin skripsi lo kek. Jangan banyak main doang.""Iya, ini lagi diusahain kok. Gue juga mau kali wisuda." Aaron beralih menatap Bagas yang sedaritadi memijat lehernya. "Kenapa bang? Salah bantal?""Iya nih." Semalam Bagas dan Arin terus berdebat siapa yang akan tidur di sofa hingga akhirnya Bagas yang tidur di sofa."Kak, gue nungguin sarapannya nih."Arin berdecak. "Bentar, baru juga bangun.""Kalau di rumah jam segini udah sarapan malah mungkin udah selesai. Mama kan bangunnya pagi. Masa lo udah nikah, tapi bangunnya jam segini," cibir Aaron yang seketika langsung diberikan tatapan tajam oleh Arin."Lo kalau mau ceramahin gue mending pulang sekarang. Jangan bikin gue naik darah."***"Selamat siang.""Siang bu Arin. Ada yang bisa saya bantu?
"Kenapa kamu unfollow akun aku?" tanya Arin.Bagas seketika terkejut ketika melihat Arin sudah berdiri di depan mobilnya. "Kamu ngapain ke sini?" Bagas tidak menyangka kalau Arin datang ke kantornya."Kamu belum jawab pertanyaan aku.""Nanti saya jawab.""Tapi aku maunya sekarang.""Saya unfollow karena dari awal saya gak follow akun kamu."Arin seketika mengernyitkan keningnya. "Maksud kamu?""Kerjaannya Juan.""Oh, Juan. Ya aku emang agak kaget sih waktu tahu kamu follow akun resto, tapi gak nyangka aja kalau kamu bakal unfollow." Arin terlihat kecewa. Arin mungkin bisa menerima kalau memang bukan Bagas sendiri yang mengikuti akun sosial medianya, tapi Arin tidak dapat menyembunyikan rasa sedihnya ketika tahu kalau Bagas sendiri yang batal mengikuti akunnya. Kalau saja Bagas berbohong dengan mengatakan kalau semuanya adalah perbuatan Juan, mungkin Arin masih bisa menerimanya."Tujuan kamu ke sini apa?" Bagas kembali bertanya."Em, aku tadi ada urusan di dekat sini, makanya sekalian
Arin tersenyum ketika membuka kotak makan yang tadi siang sempat dia berikan untuk Bagas terlihat bersih, tidak tersisa sebutir nasi pun."Aku senang kamu habisin makanan yang aku kasih. Besok aku buatin lagi, ya. Kamu mau lauk apa?""Gak usah.""Gak papa, kok. Kamu bilang aja mau makan apa. Aku pasti bakal buatin."Bagas yang sedang sibuk dengan laptopnya seketika beralih menatap Arin dengan ekspresi datarnya. "Telinga kamu bermasalah?"Arin menggeleng. "Enggak kok, baru kemarin aku bersihin.""Kalau gak bermasalah harusnya kamu dengar omongan saya tadi." Bagas mengambil laptopnya lalu bangkit berdiri. Kalau tahu akan seperti ini, Bagas harusnya mengerjakan pekerjaan kantor di kamarnya saja. Bukan di ruang tengah yang berujung malah diganggu oleh Arin."Aku dengar kok, cuma pengin nawarin aja karena aku senang kamu habisin masakan aku. Kan kamu jarang mau makan masakan aku.""Kamu gak usah repot-repot. Makanan kamu tadi bukan saya yang makan," ucap Bagas lalu pergi ke kamarnya.Arin
"Gas! Bagas!" Arin memanggil Bagas sembari mengetuk pintu kamarnya.Sekitar lima menit menunggu, Bagas pun membuka pintu. "Jogging yuk.""Jogging?" tanya Bagas masih dengan wajah mengantuk.Arin mengangguk. "Iya, aku pengin kita jogging bareng. Kan selama ini aku selalu sendiri. Jadi kali ini aku pengin bareng kamu."Bagas terdiam sejenak. Apa dia tidak salah dengar? Arin mengubah gaya bicaranya padanya. "Aku? Kamu?""Iya, kenapa? Kamu gak suka kalau aku ngomong pake aku-kamu?"Bagas menggeleng. "Jadi kamu mau gak temenin aku?""Saya ganti baju dulu." Sebenarnya bisa saja Bagas menolak karena saat ini dia masih mengantuk, tapi entah kenapa dia malah menyetujui begitu saja ajakan Arin.Arin seketika tersenyum karena Bagas mau menerima ajakannya. "Oke, jangan lama-lama, ya."***"Minum dulu." Arin memberikan Bagas sebotol air mineral yang sempat dibelinya.Bagas menerima lalu meneguknya.Arin seketika tersenyum melihat Bagas yang tampaknya sangat haus, hingga menghabiskan air mineral
"Asyik, yang baru balik bulan madu. Mana oleh-oleh gue?" tagih Juan."Gas!" Juan menjentikan jarinya di hadapan Bagas.Bagas yang melamun seketika tersadar. "Kenapa?""Ya elah, gue ngomong daritadi lo gak dengar? Lo sibuk mikirin apa sih? Baru juga balik bulan madu gak usah sibuk mikirin kerjaan dulu.""Gue gak mikirin kerjaan.""Lah? Kalau bukan kerjaan terus apa?"Bagas menggeleng. "Bukan hal penting.""Ya udah, gue gak bakal maksa lo buat cerita, tapi kapanpun lo mau cerita gue siap dengar kok," ujar Juan."Thanks.""Btw, gimana lo sama Arin? Kan udah bulan madu, nih, pasti udah ada kemajuan dong.""Kemajuan apanya?" tanya Bagas dengan kening mengerut."Lo pura-pura gak tahu apa gimana sih? Gue penasaran sebenarnya tiga hari lo sama Arin bulan madu kalian ngapain aja? Atau jangan-jangan malah sibuk sama kerjaan lo."Bagas hanya diam membuat Juan menatapnya tidak percaya."Lo beneran masih ngurus kerjaan di saat lo lagi pergi berdua sama Arin?" Juan geleng-geleng tidak habis pikir d
"Aku masih gak nyangka, loh, kamu kuliahnya perawat, tapi malah terjun ke bisnis."Arin tersenyum kecil. "Aku juga gak pernah nyangka, kak. Walaupun orang tua punya bisnis, tapi kan aku sama sekali gak ngurusin jadi benar-benar gak tahu. Tiba-tiba papa drop dan mama gak bisa ngurus resto karena harus ngerawat papa, mau gak mau aku yang gantiin. Awalnya sih cuma sementara, eh sekarang malah keterusan.""Tapi kamu senang gak ngurus resto?""Ya, awalnya sih agak kesusahan ya, karena balik lagi yang aku bilang kalau aku gak tahu apa-apa, tapi seiring berjalannya waktu aku malah senang ngejalaninnya. Aku selalu senang kalau pelanggan puas sama masakan yang ada di resto aku."David manggut-manggut. "Aku juga sih. Rasanya kayak bahagia banget kalau pelanggan puas sama pelayanan yang kita kasih. Kamu udah ada kepikiran buka bisnis lain belum selain resto?""Duh, kayaknya belum, sih. Aku cuma ngurus resto aja udah agak ribet. Mana sempat ngurusin b
"Gas, bangun."Bagas menggeliat lalu perlahan membuka matanya. "Sana siap-siap," suruh Arin.Bagas terdiam sejenak melihat Arin yang sudah mandi dan berganti pakaian. "Mau ke mana?" tanya Bagas."Mau jalan-jalan.""Kamu sendiri aja. Saya gak ikut." Bagas menolak, dia hendak tidur kembali namun Arin segera menariknya."Buruan siap-siap. Gak enak sama teman gue udah nungguin.""Saya gak mau." Bagas masih saja menolak. Karena sejujurnya dia sangat malas jika harus bepergian. Apalagi dengan orang baru. Yang ada hanya menghabiskan energinya. Lebih baik dia tidur di hotel."Lo yakin gak mau ikut?" Bagas mengangguk dengan sangat yakin."Oke, kalau itu mau lo." Arin mengambil ponselnya.Bagas masih diam menatap Arin yang sedang sibuk dengan ponselnya, hingga seketika matanya membulat karena ternyata Arin menelepon bundanya."Halo bun. Arin mau ngomong sesuatu."Bagas seketika bangkit berdiri. "Saya ikut. Jangan bilang ke bunda," ucap Bagas dengan suara pelan agar tidak terdengar oleh bundan
"Kenapa lo pesan twin room?" tanya Arin ketika mereka sudah berada di kamar hotel.Saat di resepsionis tadi Arin cukup bingung karena Bagas memilih untuk memesan kamar yang baru. Padahal orang tua mereka sudah memesan kamar untuk mereka dan tentunya bukan twin room, melainkan suite room. "Saya pengin tidur dengan nyaman.""Emang kalau kita seranjang lo gak nyaman gitu? Lagian orang tua kita kan udah booking suite room.""Iya, saya gak nyaman. Kalau kamu gak mau silakan booking kamar lain."Arin terdiam sejenak. "Oke, selama kita masih sekamar gak papa." Arin membuka ponselnya untuk mencari restoran terdekat karena dia merasa lapar. Kebetulan mereka tadi tidak sempat sarapan karena buru-buru. "Gas, mau cari makan gak? Kebetulan gue nemuin resto yang gak jauh dari hotel. Dari review pengunjungnya sih katanya bagus restonya. Mau ke sana gak?""Gas? Kok gak jawab?" Arin membalikkan badan karena Bagas tidak menjawabnya. "Yah, dia malah tidur. Gue pergi sendiri aja deh."***"Sorry, kamu
"Ayah sama bunda beneran di rumah gak sih? Kok rumah gelap banget?" Arin bergumam ketika tiba di rumah orang tua Bagas.Tadi Arin sempat mendapat telepon dari Karina memintanya untuk datang ke rumah karena Beni sedang sakit dan dia kesulitan membawa suaminya ke rumah sakit sendirian. Sedangkan Safira sedang tidak ada di rumah. Setelah mendapat telepon dari Karina, Arin langsung buru-buru datang, tapi anehnya rumah mereka malah gelap tidak ada satupun lampu yang menyala."Ayah, bunda, ini Arin." Arin mencoba mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Arin mengambil ponselnya memilih untuk menghubungi Karina, tapi tidak diangkat."Apa jangan-jangan bunda udah nganterin ayah ke rumah sakit, ya?""Kamu ngapain di sini?"Arin menoleh ketika mendengar sebuah suara yang tidak asing di telinganya. Ternyata Bagas yang datang."Gue tadi ditelfon sama bunda disuruh ke rumah nemenin ayah ke rumah sakit. Soalnya Fira lagi gak di rumah. Lo sendiri ngapain ke sini?"Bagas tampak bingung. K
"Dasi lo miring. Gue benerin, ya." Arin hendak merapikan dasi Bagas, namun Bagas segera menepis tangannya. Bagas tampak tidak suka."Saya bisa sendiri," tolak Bagas dingin."Oh iya, ini bekal lo jangan sampe ketinggalan." Arin menyodorkan kotak bekal yang sudah dia siapkan."Gak usah. Saya hari ini ada meeting sama klien di luar sekalian makan siang.""Bawa aja dulu. Kan bisa dimakan lagi kalau laper.""Kalau saya bilang gak usah ya berarti gak usah!"Arin cukup terkejut karena suara Bagas sedikit meninggi. "Ya udah, gak papa kalau gak mau. Nanti biar bekalnya gue yang bawa aja. Hati-hati, ya. Jangan sampai telat makan siangnya."Bagas langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata.Arin mengepal kedua tangannya. Tentu dia sangat kesal karena sikap Bagas yang semakin dingin padanya. Padahal Arin sudah berusaha untuk bersikap baik padanya, bukannya luluh justru malah sebaliknya. Ini benar-benar tidak semudah yang dia bayangkan.***"Gas, sorry, ya soal yang waktu itu. Kita g