"Bagas, gak sarapan dulu? Aku udah masakin nasi goreng," ucap Arin ketika Bagas sudah bersiap-siap hendak pergi ke kantor.
Bagas menggeleng. "Udah kenyang." Setelah berucap demikian Bagas pun pergi.
Arin berdecak kesal. "Belum makan apa-apa kok udah bilang kenyang." Arin melahap nasi gorengnya sembari menggerutu. "Emang masakan gue gak enak apa? Setiap gue masakin gak pernah dimakan. Apa jangan-jangan dia mikir gue mau ngeracunin dia?" Arin segera menggeleng tidak mau peduli. "Bodoh amat! Yang penting gue udah ngelakuin tugas gue sebagai istri."
Arinda Pratiwi nama lengkapnya. Hampir setengah tahun Arin menjalani pernikahan dengan seorang pria bernama Bagaskara Pratama, namun dia tidak merasakan kalau pernikahan mereka begitu indah. Mungkin orang-orang akan berpikir kalau Bagas adalah suami yang baik dan romantis, tapi itu semua hanyalah palsu. Karena Bagas hanya berpura-pura bersikap romantis padanya di depan orang-orang. Tapi, ketika hanya mereka berdua boro-boro romantis. Mengobrol saja jarang. Arin bisa menghitung berapa banyak kata yang dikeluarkan Bagas dalam sehari. Mereka berdua memang suami-istri, namun itu hanyalah status karena mereka tidak pernah saling mencampuri urusan satu sama lain.
Sebenarnya hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Melainkan karena mereka berdua dijodohkan oleh orang tua mereka. Awalnya Arin menentang keras karena dia tidak pernah mau menikah dengan pria yang bukan pilihannya. Namun, karena ayahnya sakit berat dan memohon padanya dengan terpaksa Arin menuruti keinginan kedua orang tuanya. Di depan orang tua mereka pun, keduanya berpura-pura karena tidak ingin menyakiti perasaan orang tua mereka. Kalau ditanya apa dia lelah? Tentu saja Arin sangat lelah menjalani pernikahan terpaksa ini, tapi mau bagaimana lagi. Semua sudah terlanjur dan Arin harus menjalaninya dengan sabar.
***
"Setelah gue pikir-pikir, ya, Pak Bagas kok masih tetap dingin, ya? Padahal udah nikah. Kalau dari yang pernah gue dengar, nih, kalau orang dingin udah nemuin jodohnya pasti bakal mencair. Lah, ini bukannya mencair malah sama aja."
"Iya sih, tapi Pak Bagas romantis kok sama istrinya."
"Romantis gimana? Kalau lo perhatiin baik-baik lo bakal nyadar kalau Pak Bagas itu kayak terpaksa bersikap romantis ke istrinya."
"Iya juga sih. Apa mungkin mereka dijodohin, ya?"
"Ekhem! Lani, laporan yang saya minta sudah kamu buat?"
Keduanya seketika terkejut ketika Bagas menghampiri mereka.
"Pagi pak," sapa keduanya.
Bagas hanya mengangguk. "Mana laporannya?" Bagas kembali bertanya.
"Mohon maaf sebelumnya, pak, laporannya sudah saya selesaikan, tapi baru mau saya print filenya pak."
"Nanti kalau sudah selesai silakan kamu antar ke ruangan saya."
"Baik pak."
Sebenarnya Bagas sedaritadi mendengar percapakan mereka hanya saja dia memilih untuk tidak peduli. Karena menurutnya itu tidak penting dibanding pekerjaan. Dia tidak ada waktu untuk menanggapi hal tidak penting seperti itu.
***
"Masuk," kata Bagas ketika mendengar bunyi ketukan pintu.
Bagas seketika mengembuskan napas ketika melihat siapa yang datang.
"Halo bro."
"Juan, lo gak bosen tiap hari ke kantor gue terus?"
Juan adalah teman dekat Bagas. Mereka sudah berteman sejak kecil. Ketika bersama Juan, Bagas lebih banyak berbicara dibandingkan dengan Arin. Maklum saja hubungan pertemanan mereka sudah terjalin cukup lama.
Juan tersenyum. "Kalau gue bosen gak mungkin gue ke sini tiap hari. Harusnya lo bersyukur punya teman kayak gue. Yang tiap hari sempatin ke kantor lo cuma buat makan siang bareng. Karena gue tahu lo gak bakal pergi makan siang kalau gak sama gue." Untung saja kantor Juan tidak jauh dari kantor Bagas, makanya dia selalu datang mengunjunginya.
"Sotoy lo!"
"Emang bener kok. Udah, ayo buruan gue udah laper nih."
***
"Va, gimana restauran? Aman?"
"Aman terkendali, mbak."
Arin tersenyum. "Bagus deh. Maaf ya, karena saya sakit dua hari jadi gak bisa ke resto."
"Mbak gak usah ngerasa bersalah. Sakit kan wajar, mbak. Bukan kemauan mbak juga, kan."
"Oh iya, nanti minta tolong laporan keuangan bulan lalu, ya."
"Siap mbak."
Arin bukanlah pemilik perusahaan besar seperti Bagas ataupun karyawan yang memiliki karir bagus di perusahaan besar, melainkan dia melanjutkan bisnis orangtuanya di bidang kuliner. Semenjak ayahnya jatuh sakit, ibunya kesusahan mengurus restauran karena harus mengurus ayahnya. Oleh karena itu, kedua orangtuanya melimpahkan tanggung jawab mengelola restauran pada Arin.
Arin mengakui kalau mengelola bisnis di bidang kuliner bukanlah hal yang mudah. Apalagi Arin sama sekali tidak menekuni bidang tersebut. Karena sewaktu kuliah Arin mengambil jurusan keperawatan yang mana perawat adalah cita-citanya sedari dulu. Tapi Arin tidak pernah menyesal melanjutkan bisnis orangtuanya. Karena dari sana Arin belajar banyak hal.
***
"Lo ngapain ngajak gue makan di sini?" tanya Bagas ketika Juan membawanya ke Delicious Resto yang mana merupakan restauran milik Arin.
"Emang salah? Kan restauran istri lo."
"Tapi ...."
"Udah, ayo masuk." Mau tidak mau Bagas pun ikut masuk.
"Mbak!" Juan memanggil waiters.
"Mau pesan apa, pak?"
"Saya pesan rawon sama jus alpukat, ya."
"Baik, kalau bapak?" Sang waiters menanyakan Bagas yang masih diam.
Juan segera menyikut lengan Bagas. "Lo mau pesan apa, Gas?"
"Saya salad ayam sama lemon squash."
"Yakin lo? Emang bakalan kenyang?"
"Yakin," jawab Bagas tanpa ragu.
"Saya ulangi pesanannya ya. Untuk makanannya rawon satu dan salad ayam satu, sedangkan minumannya jus alpukat satu dan lemon squash satu. Apa sudah sesuai?"
Juan mengangguk. "Mau nanya dong, Arin ada gak?"
"Mbak Arin ada, pak. Mau saya panggilkan?"
"Boleh. Nanti tolong bilangin kalau suaminya sama temannya yang mau ketemu, ya."
"Baik pak, mohon ditunggu sebentar, ya." Sang waiters pun pergi.
"Lo ngapain panggil Arin segala?"
"Lah? Kenapa emangnya? Gue kan cuma pengin ngobrol sebentar. Emang lo gak pengin ketemu istri lo?"
"Udah ketemu tiap hari di rumah," jawab Bagas datar.
***
"Sorry ya, nunggu lama. Masih sibuk di belakang soalnya." Arin menghampiri Bagas dan Juan yang sedang makan.
Juan kemudian tersenyum. "Gak papa kok. Kita juga ngerti kok kalau lo lagi sibuk. Harusnya kalau masih sibuk gak usah disamperin juga gak papa."
"Gak enak dong. Masa udah jauh-jauh ke sini gak ketemu. Habis makan mau dessert gak? Kebetulan kita lagi ada coba-coba buat dessert baru, tapi belum ada di menu. Karena kebetulan kalian ada di sini aku mau minta review." Arin menawari.
"Boleh."
"Gak usah."
Jika Juan menerima tawaran Arin, maka Bagas sebaliknya.
"Juan aja, saya udah kenyang."
"Kenyang apanya? Lo aja cuma makan salad kok."
"Ya udah, kalau emang gak mau biar Juan aja yang cobain." Arin pun memanggil karyawannya meminta untuk membawakan dessert yang dia minta. Jika Bagas tidak mau Arin tidak akan memaksa. Begitulah prinsip Arin. Dia tidak akan mau memaksa orang jika orang tersebut tidak mau. Apalagi jika orangnya adalah Bagas.
"Silakan dicoba. Kalau ada yang kurang ngomong aja biar bisa jadi bahan evaluasi," ucap Arin ketika karyawannya sudah membawakan dessert tersebut.
"Dari looks nya sih udah keliatan enak. Gue cobain, ya." Juan pun mencicipinya. "Enak banget. Tekstur cake nya lembut terus coklatnya juga gak bikin enek. Gue jamin ini bakal jadi best seller sih."
Arin tersenyum malu. "Bisa aja. Makasih ya."
Juan menatap Bagas sejenak. "Lo yakin gak mau cobain? Dikit aja. Ini demi restauran istri lo juga, loh."
"Gak papa kok kalau Bagas nya gak mau. Katanya kan udah kenyang juga," ucap Arin.
Bagas menatap arlojinya. "Istirahat udah selesai. Gue harus balik kantor sekarang."
"Ya elah, Gas. Santai aja dulu. Telat dikit gak papa."
"Lo kalau masih mau di sini silakan." Bagas bangkit berdiri lalu pergi.
"Gas, tunggu!" Juan akhirnya bangkit berdiri.
"Rin, sorry ya, kalau tingkah Bagas kayak gitu. Yang sabar ya hadapin dia."
Arin hanya tersenyum. "Udah biasa kok."
"Ya udah, kalau gitu gue balik ke kantor dulu, ya."
Arin mengangguk. "Hati-hati."
***
"Lo kenapa sih dingin banget sama Arin? Dia itu kan istri lo, Gas. Udah nikah hampir setengah tahun juga masih aja dingin."
"Gue kan udah bilang sama lo jangan ikut campur urusan pribadi gue."
"Gue juga gak mau ikut campur, tapi kalau lo kayak gini ya gimana gue gak ikut campur coba? Lo gak kasihan sama Arin? Lo gak mikirin perasaan dia?"
"Gue sama Arin dari awal nikah gak pernah libatin perasaan."
"Oke, gue tahu, tapi setidaknya lo bisa lebih menghargai Arin. Gimanapun dia juga manusia, dia punya perasaan. Mungkin di depan lo dia emang gak ngomong karena dia ngerasa lo terlalu dingin dan cuek."
"Daripada lo nasehatin gue, mendingan lo urus urusan lo."
Juan berdecak. "Lo kebiasaan. Kalau gue ngomong gak pernah didengar."
*****************************
Arin menghela napas lega ketika selesai menata semua makanan di meja. Tadi Arin pulang lebih cepat dari restauran karena dia harus mempersiapkan makan malam. Malam ini keluarganya dan juga keluarga Bagas akan makan malam bersama di rumah. Sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka menikah kalau mereka harus berkumpul setidaknya sebulan sekali. Dan kali ini tempat berkumpulnya adalah di rumah Bagas dan juga Arin.Karena sudah selesai, Arin pun pergi mandi sebelum keluarganya datang. Tak butuh waktu lama untuk Arin selesai mandi.Arin menatap layar ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi Bagas belum juga pulang. Padahal Bagas sudah tahu kalau hari ini mereka akan makan malam bersama keluarga. Sebelum mandi tadi Arin sudah menghubungi Bagas untuk mengingatkan, tapi tidak ada balasan darinya."Coba telfon deh." Arin pun menelepon Bagas, namun tidak diangkat.Ketika sedang sibuk dengan ponselnya, terdengar bel rumah berbunyi."Sebentar." Arin segera pergi untuk membuka pintu.
"Kok kamu ada di sini?" Arin cukup terkejut begitu melihat Bagas berada di rumah orangtuanya. Saat di depan tadi Arin memang melihat mobil yang begitu mirip dengan mobil Bagas, tapi sama sekali tidak terlintas di pikirannya kalau mobil itu adalah mobil Bagas.Bagas tersenyum. "Iya, aku ke sini mau minta maaf sama papa dan mama karena kemarin gak ikut makan malam.""Asik! Ada kue kesukaan gue nih. Tahu aja lagi pengin gue. Thanks ya kak." Baru saja Aaron ingin mengambil kotak kue yang dipegang Arin, tapi gagal karena Arin langsung menjauhkannya."Gue bakal kasih, tapi lo siapin kuenya terus bawa ke sini. Sisanya boleh lo makan.""Siap!""Jadi apa papa sama mama mau maafin Bagas?" tanya Bagas.Hery dan Rika tersenyum lalu mengangguk. "Kita sama sekali gak marah sama kamu kok. Kita ngerti kalau kamu sibuk. Lagipula kan kita masih bisa kumpul lagi bulan depan.""Makasih pa, ma.""Kuenya sudah datang." Aaron membawa sepiring kue yang sudah dipotong. "Bang, cobain dulu kuenya. Gue jamin lo
"Gak habis pikir gue sama Bagas. Bisa-bisanya dia ninggalin kita gitu aja," omel Ela."Dia gak betah. Soalnya dia kan gak suka golf," ujar Juan."Ya gue paham kalau dia gak suka, tapi yang gue gak paham kenapa dia pergi gitu aja? Padahal kan ada Arin, istrinya dia.""Udah, gak usah dipikirin. Gue gak papa kok," ucap Arin sembari tersenyum.Justru Arin malah merasa lebih tenang karena Bagas sudah pergi. Bukan tanpa alasan, melainkan karena Arin masih kesal dengan Bagas. Bukan masih, lebih tepatnya selalu."Nanti gue coba ngomong sama dia biar gak kayak gitu lagi.""Emang lo harus ngomong sama dia. Bilangin ke temen lo yang sok dingin itu. Sama istri sendiri cueknya kebangetan."Arin tertawa kecil. Rasanya lucu ketika mengingat kembali ucapan Ela sebelum bertemu dengan Bagas. Jika dibandingkan dengan sekarang sungguh jauh berbeda reaksi Ela. Malah sekarang Ela yang lebih marah dibanding dirinya."Kok lo malah ketawa sih?""Gue cuma lucu aja sama lo. Perasaan waktu kita belum ketemu Baga
Pagi ini Arin memasak pancake untuk sarapan. Setelah selesai, Arin memakannya sendiri. Dia tidak mau basa-basi untuk menawarkan Bagas karena itu hanya membuang-buang waktu. Arin juga malas untuk berbicara dengan Bagas. Ditambah dia masih kesal dengan pria itu karena kejadian semalam. Sedangkan Bagas kali ini menyantap sereal sebagai sarapannya.Bagas berdeham. "Malam ini grand opening toko kosmetik. Acaranya jam tujuh. Saya harap kamu bisa datang karena ini acara penting."Perusahaan Bagas adalah perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik dan saat ini sudah memiliki lebih dari sepuluh cabang. Sama seperti Arin yang melanjutkan bisnis restauran orangtuanya, Bagas juga mengalami hal yang sama. Bedanya Bagas memang mengambil jurusan bisnis. Arin sendiri hanya diam tidak mau menanggapi Bagas. "Papa sama mama juga udah saya kasih tahu. Mereka bakal datang."Arin tahu Bagas sengaja memberitahunya agar dia tidak bisa menolak untuk pergi. Karena jika kedua orangtuanya datang, sedangkan dia
"Gas, itu Arin, kan? Kok dia ada di sini? Itu cowok siapa?" Pertanyaan beruntun diberikan Juan pada Bagas.Mereka baru saja tiba di sebuah cafe untuk makan siang. "Kok malah diam sih? Gimana kalau kita samperin aja?" Baru saja Bagas hendak menolak, Arin sudah lebih dulu memanggil mereka."Nah, itu dipanggil sama Arin. Ayo." Mau tidak mau Bagas mengikuti Juan."Mau makan siang, ya?" Arin bertanya. Walaupun sebenarnya masih kesal dengan Bagas, tidak mungkin dia menunjukkan rasa kesalnya pada Bagas di depan Juan dan Revan."Iya nih, biasa. Suami lo kalau gak gue samperin ke kantornya mana mau dia makan siang di luar. Ngomong-ngomong tumben di sekitaran sini. Gak ke resto?""Iya, ada urusan sedikit. Oh iya, kenalin ini Revan teman SMA gue." Arin memperkenalkan Revan pada Bagas dan Juan.Revan pun menjulurkan tangannya untuk berkenalan. Juan dengan senang hati menyambut tangan Revan. Namun, Bagas hanya diam ketika Revan ingin berkenalan dengannya."Gas." Juan langsung menyikut Bagas aga
"Akh!"Bagas yang baru saja bangun dan hendak mandi seketika mengurungkan niatnya ketika mendengar teriakan Arin dari dalam kamar. Bagas segera menuju kamar Arin lalu mengetuk pintunya. "Arin. Ada apa?""Gak ada apa-apa."Jawaban Arin justru membuat Bagas tidak percaya. Dia pun membuka pintu kamar Arin. Bagas segera mendekati Arin yang sedang terduduk di lantai sembari memegang kakinya. Arin yang meringis langsung diam karena Bagas masuk ke kamarnya. "Kamu kenapa?" Bagas hendak membantu Arin berdiri, namun Arin menolak. "Saya bisa sendiri." Arin perlahan mencoba berdiri, namun dia kesulitan. "Saya bantuin." Bagas segera menggendong Arin membuatnya seketika membulatkan mata. "Ngapain digendong? Saya kan udah bilang saya bisa sendiri."Bagas mendudukkan Arin di ranjang. "Kenapa bisa jatuh?" Bagas bertanya."Mau ganti lampu," jawab Arin ogah-ogahan.Bagas baru menyadari kalau ada tangga lipat. "Kenapa gak minta tolong?""Karena saya bisa sendiri.""Kalau bisa sendiri gak mungkin ja
"Loh, kok mama ada di sini?" Arin terkejut ketika bangun dan mendapati Karina sedang berada di dapur.Karina menoleh lalu menaruh masakannya yang baru matang di meja makan."Tadi Bagas telfon mama. Katanya kamu lagi sakit jadi gak bisa masak. Bagas minta tolong ke mama buat masakin kamu. Kaki kamu gimana? Udah mendingan?"Untuk beberapa saat Arin tertegun. Bagas lagi-lagi perhatian padanya. Ini benar-benar bukan Bagas. "Rin? Kok malah diam?""Udah lumayan membaik kok, ma.""Lagian kok bisa sih kamu jatuh? Emang kamu ngapain?"Bagas memang memberitahu Karina kalau Arin sempat jatuh sehingga kakinya terkilir, tapi Bagas tidak memberitahu penyebab Arin jatuh."Aku mau ganti lampu kamar yang putus, tapi malah jatuh.""Emang kamu gak minta tolong sama Bagas? Kok malah kamu yang ganti?""Gak sempat, ma. Soalnya kan Bagas sibuk terus.""Ya kalau Bagas gak bisa kan kamu bisa manggil tukang. Gak harus kamu sendiri. Lain kali jangan ngelakuin kerjaan kayak gitu. Itu kerjaan laki-laki bukan per
Setelah hampir satu minggu, Arin akhirnya bisa sembuh dan dapat kembali ke restauran. Cukup jenuh memang ketika di rumah dan tidak melakukan kegiatan apapun, tapi untungnya Ela dan Safira sesekali mengunjunginya. Jangan tanyakan Bagas, karena Arin hanya bertemu dengannya dipagi dan malam hari."Mbak Arin, kita senang banget akhirnya mbak udah sembuh."Arin tersenyum. "Maaf ya, Va, belum lama saya sakit udah sakit lagi.""Mbak Arin selalu aja minta maaf. Padahal kan mbak gak salah.""Keadaan resto gimana? Pelanggan ramai gak?""Ramai kok mbak. Pak Bagas sama temannya juga beberapa hari ini makan siang di sini. Terus pak Bagas juga nanya-nanya kondisi resto gimana.""Oh gitu.""Kalau gitu saya ke belakang dulu, ya, mbak."Arin hanya mengangguk.Bagas benar-benar susah untuk ditebak. Kemarin saat Arin sakit, Bagas cukup perhatian padanya. Bahkan sampai restaurannya pun diam-diam lelaki itu memperhatikannya. Tapi, tadi pagi sikap Bagas padanya kembali dingin. Arin sampai dibuat bingung ol
"Kenapa kamu unfollow akun aku?" tanya Arin.Bagas seketika terkejut ketika melihat Arin sudah berdiri di depan mobilnya. "Kamu ngapain ke sini?" Bagas tidak menyangka kalau Arin datang ke kantornya."Kamu belum jawab pertanyaan aku.""Nanti saya jawab.""Tapi aku maunya sekarang.""Saya unfollow karena dari awal saya gak follow akun kamu."Arin seketika mengernyitkan keningnya. "Maksud kamu?""Kerjaannya Juan.""Oh, Juan. Ya aku emang agak kaget sih waktu tahu kamu follow akun resto, tapi gak nyangka aja kalau kamu bakal unfollow." Arin terlihat kecewa. Arin mungkin bisa menerima kalau memang bukan Bagas sendiri yang mengikuti akun sosial medianya, tapi Arin tidak dapat menyembunyikan rasa sedihnya ketika tahu kalau Bagas sendiri yang batal mengikuti akunnya. Kalau saja Bagas berbohong dengan mengatakan kalau semuanya adalah perbuatan Juan, mungkin Arin masih bisa menerimanya."Tujuan kamu ke sini apa?" Bagas kembali bertanya."Em, aku tadi ada urusan di dekat sini, makanya sekalian
Arin tersenyum ketika membuka kotak makan yang tadi siang sempat dia berikan untuk Bagas terlihat bersih, tidak tersisa sebutir nasi pun."Aku senang kamu habisin makanan yang aku kasih. Besok aku buatin lagi, ya. Kamu mau lauk apa?""Gak usah.""Gak papa, kok. Kamu bilang aja mau makan apa. Aku pasti bakal buatin."Bagas yang sedang sibuk dengan laptopnya seketika beralih menatap Arin dengan ekspresi datarnya. "Telinga kamu bermasalah?"Arin menggeleng. "Enggak kok, baru kemarin aku bersihin.""Kalau gak bermasalah harusnya kamu dengar omongan saya tadi." Bagas mengambil laptopnya lalu bangkit berdiri. Kalau tahu akan seperti ini, Bagas harusnya mengerjakan pekerjaan kantor di kamarnya saja. Bukan di ruang tengah yang berujung malah diganggu oleh Arin."Aku dengar kok, cuma pengin nawarin aja karena aku senang kamu habisin masakan aku. Kan kamu jarang mau makan masakan aku.""Kamu gak usah repot-repot. Makanan kamu tadi bukan saya yang makan," ucap Bagas lalu pergi ke kamarnya.Arin
"Gas! Bagas!" Arin memanggil Bagas sembari mengetuk pintu kamarnya.Sekitar lima menit menunggu, Bagas pun membuka pintu. "Jogging yuk.""Jogging?" tanya Bagas masih dengan wajah mengantuk.Arin mengangguk. "Iya, aku pengin kita jogging bareng. Kan selama ini aku selalu sendiri. Jadi kali ini aku pengin bareng kamu."Bagas terdiam sejenak. Apa dia tidak salah dengar? Arin mengubah gaya bicaranya padanya. "Aku? Kamu?""Iya, kenapa? Kamu gak suka kalau aku ngomong pake aku-kamu?"Bagas menggeleng. "Jadi kamu mau gak temenin aku?""Saya ganti baju dulu." Sebenarnya bisa saja Bagas menolak karena saat ini dia masih mengantuk, tapi entah kenapa dia malah menyetujui begitu saja ajakan Arin.Arin seketika tersenyum karena Bagas mau menerima ajakannya. "Oke, jangan lama-lama, ya."***"Minum dulu." Arin memberikan Bagas sebotol air mineral yang sempat dibelinya.Bagas menerima lalu meneguknya.Arin seketika tersenyum melihat Bagas yang tampaknya sangat haus, hingga menghabiskan air mineral
"Asyik, yang baru balik bulan madu. Mana oleh-oleh gue?" tagih Juan."Gas!" Juan menjentikan jarinya di hadapan Bagas.Bagas yang melamun seketika tersadar. "Kenapa?""Ya elah, gue ngomong daritadi lo gak dengar? Lo sibuk mikirin apa sih? Baru juga balik bulan madu gak usah sibuk mikirin kerjaan dulu.""Gue gak mikirin kerjaan.""Lah? Kalau bukan kerjaan terus apa?"Bagas menggeleng. "Bukan hal penting.""Ya udah, gue gak bakal maksa lo buat cerita, tapi kapanpun lo mau cerita gue siap dengar kok," ujar Juan."Thanks.""Btw, gimana lo sama Arin? Kan udah bulan madu, nih, pasti udah ada kemajuan dong.""Kemajuan apanya?" tanya Bagas dengan kening mengerut."Lo pura-pura gak tahu apa gimana sih? Gue penasaran sebenarnya tiga hari lo sama Arin bulan madu kalian ngapain aja? Atau jangan-jangan malah sibuk sama kerjaan lo."Bagas hanya diam membuat Juan menatapnya tidak percaya."Lo beneran masih ngurus kerjaan di saat lo lagi pergi berdua sama Arin?" Juan geleng-geleng tidak habis pikir d
"Aku masih gak nyangka, loh, kamu kuliahnya perawat, tapi malah terjun ke bisnis."Arin tersenyum kecil. "Aku juga gak pernah nyangka, kak. Walaupun orang tua punya bisnis, tapi kan aku sama sekali gak ngurusin jadi benar-benar gak tahu. Tiba-tiba papa drop dan mama gak bisa ngurus resto karena harus ngerawat papa, mau gak mau aku yang gantiin. Awalnya sih cuma sementara, eh sekarang malah keterusan.""Tapi kamu senang gak ngurus resto?""Ya, awalnya sih agak kesusahan ya, karena balik lagi yang aku bilang kalau aku gak tahu apa-apa, tapi seiring berjalannya waktu aku malah senang ngejalaninnya. Aku selalu senang kalau pelanggan puas sama masakan yang ada di resto aku."David manggut-manggut. "Aku juga sih. Rasanya kayak bahagia banget kalau pelanggan puas sama pelayanan yang kita kasih. Kamu udah ada kepikiran buka bisnis lain belum selain resto?""Duh, kayaknya belum, sih. Aku cuma ngurus resto aja udah agak ribet. Mana sempat ngurusin b
"Gas, bangun."Bagas menggeliat lalu perlahan membuka matanya. "Sana siap-siap," suruh Arin.Bagas terdiam sejenak melihat Arin yang sudah mandi dan berganti pakaian. "Mau ke mana?" tanya Bagas."Mau jalan-jalan.""Kamu sendiri aja. Saya gak ikut." Bagas menolak, dia hendak tidur kembali namun Arin segera menariknya."Buruan siap-siap. Gak enak sama teman gue udah nungguin.""Saya gak mau." Bagas masih saja menolak. Karena sejujurnya dia sangat malas jika harus bepergian. Apalagi dengan orang baru. Yang ada hanya menghabiskan energinya. Lebih baik dia tidur di hotel."Lo yakin gak mau ikut?" Bagas mengangguk dengan sangat yakin."Oke, kalau itu mau lo." Arin mengambil ponselnya.Bagas masih diam menatap Arin yang sedang sibuk dengan ponselnya, hingga seketika matanya membulat karena ternyata Arin menelepon bundanya."Halo bun. Arin mau ngomong sesuatu."Bagas seketika bangkit berdiri. "Saya ikut. Jangan bilang ke bunda," ucap Bagas dengan suara pelan agar tidak terdengar oleh bundan
"Kenapa lo pesan twin room?" tanya Arin ketika mereka sudah berada di kamar hotel.Saat di resepsionis tadi Arin cukup bingung karena Bagas memilih untuk memesan kamar yang baru. Padahal orang tua mereka sudah memesan kamar untuk mereka dan tentunya bukan twin room, melainkan suite room. "Saya pengin tidur dengan nyaman.""Emang kalau kita seranjang lo gak nyaman gitu? Lagian orang tua kita kan udah booking suite room.""Iya, saya gak nyaman. Kalau kamu gak mau silakan booking kamar lain."Arin terdiam sejenak. "Oke, selama kita masih sekamar gak papa." Arin membuka ponselnya untuk mencari restoran terdekat karena dia merasa lapar. Kebetulan mereka tadi tidak sempat sarapan karena buru-buru. "Gas, mau cari makan gak? Kebetulan gue nemuin resto yang gak jauh dari hotel. Dari review pengunjungnya sih katanya bagus restonya. Mau ke sana gak?""Gas? Kok gak jawab?" Arin membalikkan badan karena Bagas tidak menjawabnya. "Yah, dia malah tidur. Gue pergi sendiri aja deh."***"Sorry, kamu
"Ayah sama bunda beneran di rumah gak sih? Kok rumah gelap banget?" Arin bergumam ketika tiba di rumah orang tua Bagas.Tadi Arin sempat mendapat telepon dari Karina memintanya untuk datang ke rumah karena Beni sedang sakit dan dia kesulitan membawa suaminya ke rumah sakit sendirian. Sedangkan Safira sedang tidak ada di rumah. Setelah mendapat telepon dari Karina, Arin langsung buru-buru datang, tapi anehnya rumah mereka malah gelap tidak ada satupun lampu yang menyala."Ayah, bunda, ini Arin." Arin mencoba mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Arin mengambil ponselnya memilih untuk menghubungi Karina, tapi tidak diangkat."Apa jangan-jangan bunda udah nganterin ayah ke rumah sakit, ya?""Kamu ngapain di sini?"Arin menoleh ketika mendengar sebuah suara yang tidak asing di telinganya. Ternyata Bagas yang datang."Gue tadi ditelfon sama bunda disuruh ke rumah nemenin ayah ke rumah sakit. Soalnya Fira lagi gak di rumah. Lo sendiri ngapain ke sini?"Bagas tampak bingung. K
"Dasi lo miring. Gue benerin, ya." Arin hendak merapikan dasi Bagas, namun Bagas segera menepis tangannya. Bagas tampak tidak suka."Saya bisa sendiri," tolak Bagas dingin."Oh iya, ini bekal lo jangan sampe ketinggalan." Arin menyodorkan kotak bekal yang sudah dia siapkan."Gak usah. Saya hari ini ada meeting sama klien di luar sekalian makan siang.""Bawa aja dulu. Kan bisa dimakan lagi kalau laper.""Kalau saya bilang gak usah ya berarti gak usah!"Arin cukup terkejut karena suara Bagas sedikit meninggi. "Ya udah, gak papa kalau gak mau. Nanti biar bekalnya gue yang bawa aja. Hati-hati, ya. Jangan sampai telat makan siangnya."Bagas langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata.Arin mengepal kedua tangannya. Tentu dia sangat kesal karena sikap Bagas yang semakin dingin padanya. Padahal Arin sudah berusaha untuk bersikap baik padanya, bukannya luluh justru malah sebaliknya. Ini benar-benar tidak semudah yang dia bayangkan.***"Gas, sorry, ya soal yang waktu itu. Kita g