"Bagas, gak sarapan dulu? Aku udah masakin nasi goreng," ucap Arin ketika Bagas sudah bersiap-siap hendak pergi ke kantor.
Bagas menggeleng. "Udah kenyang." Setelah berucap demikian Bagas pun pergi.
Arin berdecak kesal. "Belum makan apa-apa kok udah bilang kenyang." Arin melahap nasi gorengnya sembari menggerutu. "Emang masakan gue gak enak apa? Setiap gue masakin gak pernah dimakan. Apa jangan-jangan dia mikir gue mau ngeracunin dia?" Arin segera menggeleng tidak mau peduli. "Bodoh amat! Yang penting gue udah ngelakuin tugas gue sebagai istri."
Arinda Pratiwi nama lengkapnya. Hampir setengah tahun Arin menjalani pernikahan dengan seorang pria bernama Bagaskara Pratama, namun dia tidak merasakan kalau pernikahan mereka begitu indah. Mungkin orang-orang akan berpikir kalau Bagas adalah suami yang baik dan romantis, tapi itu semua hanyalah palsu. Karena Bagas hanya berpura-pura bersikap romantis padanya di depan orang-orang. Tapi, ketika hanya mereka berdua boro-boro romantis. Mengobrol saja jarang. Arin bisa menghitung berapa banyak kata yang dikeluarkan Bagas dalam sehari. Mereka berdua memang suami-istri, namun itu hanyalah status karena mereka tidak pernah saling mencampuri urusan satu sama lain.
Sebenarnya hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Melainkan karena mereka berdua dijodohkan oleh orang tua mereka. Awalnya Arin menentang keras karena dia tidak pernah mau menikah dengan pria yang bukan pilihannya. Namun, karena ayahnya sakit berat dan memohon padanya dengan terpaksa Arin menuruti keinginan kedua orang tuanya. Di depan orang tua mereka pun, keduanya berpura-pura karena tidak ingin menyakiti perasaan orang tua mereka. Kalau ditanya apa dia lelah? Tentu saja Arin sangat lelah menjalani pernikahan terpaksa ini, tapi mau bagaimana lagi. Semua sudah terlanjur dan Arin harus menjalaninya dengan sabar.
***
"Setelah gue pikir-pikir, ya, Pak Bagas kok masih tetap dingin, ya? Padahal udah nikah. Kalau dari yang pernah gue dengar, nih, kalau orang dingin udah nemuin jodohnya pasti bakal mencair. Lah, ini bukannya mencair malah sama aja."
"Iya sih, tapi Pak Bagas romantis kok sama istrinya."
"Romantis gimana? Kalau lo perhatiin baik-baik lo bakal nyadar kalau Pak Bagas itu kayak terpaksa bersikap romantis ke istrinya."
"Iya juga sih. Apa mungkin mereka dijodohin, ya?"
"Ekhem! Lani, laporan yang saya minta sudah kamu buat?"
Keduanya seketika terkejut ketika Bagas menghampiri mereka.
"Pagi pak," sapa keduanya.
Bagas hanya mengangguk. "Mana laporannya?" Bagas kembali bertanya.
"Mohon maaf sebelumnya, pak, laporannya sudah saya selesaikan, tapi baru mau saya print filenya pak."
"Nanti kalau sudah selesai silakan kamu antar ke ruangan saya."
"Baik pak."
Sebenarnya Bagas sedaritadi mendengar percapakan mereka hanya saja dia memilih untuk tidak peduli. Karena menurutnya itu tidak penting dibanding pekerjaan. Dia tidak ada waktu untuk menanggapi hal tidak penting seperti itu.
***
"Masuk," kata Bagas ketika mendengar bunyi ketukan pintu.
Bagas seketika mengembuskan napas ketika melihat siapa yang datang.
"Halo bro."
"Juan, lo gak bosen tiap hari ke kantor gue terus?"
Juan adalah teman dekat Bagas. Mereka sudah berteman sejak kecil. Ketika bersama Juan, Bagas lebih banyak berbicara dibandingkan dengan Arin. Maklum saja hubungan pertemanan mereka sudah terjalin cukup lama.
Juan tersenyum. "Kalau gue bosen gak mungkin gue ke sini tiap hari. Harusnya lo bersyukur punya teman kayak gue. Yang tiap hari sempatin ke kantor lo cuma buat makan siang bareng. Karena gue tahu lo gak bakal pergi makan siang kalau gak sama gue." Untung saja kantor Juan tidak jauh dari kantor Bagas, makanya dia selalu datang mengunjunginya.
"Sotoy lo!"
"Emang bener kok. Udah, ayo buruan gue udah laper nih."
***
"Va, gimana restauran? Aman?"
"Aman terkendali, mbak."
Arin tersenyum. "Bagus deh. Maaf ya, karena saya sakit dua hari jadi gak bisa ke resto."
"Mbak gak usah ngerasa bersalah. Sakit kan wajar, mbak. Bukan kemauan mbak juga, kan."
"Oh iya, nanti minta tolong laporan keuangan bulan lalu, ya."
"Siap mbak."
Arin bukanlah pemilik perusahaan besar seperti Bagas ataupun karyawan yang memiliki karir bagus di perusahaan besar, melainkan dia melanjutkan bisnis orangtuanya di bidang kuliner. Semenjak ayahnya jatuh sakit, ibunya kesusahan mengurus restauran karena harus mengurus ayahnya. Oleh karena itu, kedua orangtuanya melimpahkan tanggung jawab mengelola restauran pada Arin.
Arin mengakui kalau mengelola bisnis di bidang kuliner bukanlah hal yang mudah. Apalagi Arin sama sekali tidak menekuni bidang tersebut. Karena sewaktu kuliah Arin mengambil jurusan keperawatan yang mana perawat adalah cita-citanya sedari dulu. Tapi Arin tidak pernah menyesal melanjutkan bisnis orangtuanya. Karena dari sana Arin belajar banyak hal.
***
"Lo ngapain ngajak gue makan di sini?" tanya Bagas ketika Juan membawanya ke Delicious Resto yang mana merupakan restauran milik Arin.
"Emang salah? Kan restauran istri lo."
"Tapi ...."
"Udah, ayo masuk." Mau tidak mau Bagas pun ikut masuk.
"Mbak!" Juan memanggil waiters.
"Mau pesan apa, pak?"
"Saya pesan rawon sama jus alpukat, ya."
"Baik, kalau bapak?" Sang waiters menanyakan Bagas yang masih diam.
Juan segera menyikut lengan Bagas. "Lo mau pesan apa, Gas?"
"Saya salad ayam sama lemon squash."
"Yakin lo? Emang bakalan kenyang?"
"Yakin," jawab Bagas tanpa ragu.
"Saya ulangi pesanannya ya. Untuk makanannya rawon satu dan salad ayam satu, sedangkan minumannya jus alpukat satu dan lemon squash satu. Apa sudah sesuai?"
Juan mengangguk. "Mau nanya dong, Arin ada gak?"
"Mbak Arin ada, pak. Mau saya panggilkan?"
"Boleh. Nanti tolong bilangin kalau suaminya sama temannya yang mau ketemu, ya."
"Baik pak, mohon ditunggu sebentar, ya." Sang waiters pun pergi.
"Lo ngapain panggil Arin segala?"
"Lah? Kenapa emangnya? Gue kan cuma pengin ngobrol sebentar. Emang lo gak pengin ketemu istri lo?"
"Udah ketemu tiap hari di rumah," jawab Bagas datar.
***
"Sorry ya, nunggu lama. Masih sibuk di belakang soalnya." Arin menghampiri Bagas dan Juan yang sedang makan.
Juan kemudian tersenyum. "Gak papa kok. Kita juga ngerti kok kalau lo lagi sibuk. Harusnya kalau masih sibuk gak usah disamperin juga gak papa."
"Gak enak dong. Masa udah jauh-jauh ke sini gak ketemu. Habis makan mau dessert gak? Kebetulan kita lagi ada coba-coba buat dessert baru, tapi belum ada di menu. Karena kebetulan kalian ada di sini aku mau minta review." Arin menawari.
"Boleh."
"Gak usah."
Jika Juan menerima tawaran Arin, maka Bagas sebaliknya.
"Juan aja, saya udah kenyang."
"Kenyang apanya? Lo aja cuma makan salad kok."
"Ya udah, kalau emang gak mau biar Juan aja yang cobain." Arin pun memanggil karyawannya meminta untuk membawakan dessert yang dia minta. Jika Bagas tidak mau Arin tidak akan memaksa. Begitulah prinsip Arin. Dia tidak akan mau memaksa orang jika orang tersebut tidak mau. Apalagi jika orangnya adalah Bagas.
"Silakan dicoba. Kalau ada yang kurang ngomong aja biar bisa jadi bahan evaluasi," ucap Arin ketika karyawannya sudah membawakan dessert tersebut.
"Dari looks nya sih udah keliatan enak. Gue cobain, ya." Juan pun mencicipinya. "Enak banget. Tekstur cake nya lembut terus coklatnya juga gak bikin enek. Gue jamin ini bakal jadi best seller sih."
Arin tersenyum malu. "Bisa aja. Makasih ya."
Juan menatap Bagas sejenak. "Lo yakin gak mau cobain? Dikit aja. Ini demi restauran istri lo juga, loh."
"Gak papa kok kalau Bagas nya gak mau. Katanya kan udah kenyang juga," ucap Arin.
Bagas menatap arlojinya. "Istirahat udah selesai. Gue harus balik kantor sekarang."
"Ya elah, Gas. Santai aja dulu. Telat dikit gak papa."
"Lo kalau masih mau di sini silakan." Bagas bangkit berdiri lalu pergi.
"Gas, tunggu!" Juan akhirnya bangkit berdiri.
"Rin, sorry ya, kalau tingkah Bagas kayak gitu. Yang sabar ya hadapin dia."
Arin hanya tersenyum. "Udah biasa kok."
"Ya udah, kalau gitu gue balik ke kantor dulu, ya."
Arin mengangguk. "Hati-hati."
***
"Lo kenapa sih dingin banget sama Arin? Dia itu kan istri lo, Gas. Udah nikah hampir setengah tahun juga masih aja dingin."
"Gue kan udah bilang sama lo jangan ikut campur urusan pribadi gue."
"Gue juga gak mau ikut campur, tapi kalau lo kayak gini ya gimana gue gak ikut campur coba? Lo gak kasihan sama Arin? Lo gak mikirin perasaan dia?"
"Gue sama Arin dari awal nikah gak pernah libatin perasaan."
"Oke, gue tahu, tapi setidaknya lo bisa lebih menghargai Arin. Gimanapun dia juga manusia, dia punya perasaan. Mungkin di depan lo dia emang gak ngomong karena dia ngerasa lo terlalu dingin dan cuek."
"Daripada lo nasehatin gue, mendingan lo urus urusan lo."
Juan berdecak. "Lo kebiasaan. Kalau gue ngomong gak pernah didengar."
*****************************
Arin menghela napas lega ketika selesai menata semua makanan di meja. Tadi Arin pulang lebih cepat dari restauran karena dia harus mempersiapkan makan malam. Malam ini keluarganya dan juga keluarga Bagas akan makan malam bersama di rumah. Sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka menikah kalau mereka harus berkumpul setidaknya sebulan sekali. Dan kali ini tempat berkumpulnya adalah di rumah Bagas dan juga Arin.Karena sudah selesai, Arin pun pergi mandi sebelum keluarganya datang. Tak butuh waktu lama untuk Arin selesai mandi.Arin menatap layar ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi Bagas belum juga pulang. Padahal Bagas sudah tahu kalau hari ini mereka akan makan malam bersama keluarga. Sebelum mandi tadi Arin sudah menghubungi Bagas untuk mengingatkan, tapi tidak ada balasan darinya."Coba telfon deh." Arin pun menelepon Bagas, namun tidak diangkat.Ketika sedang sibuk dengan ponselnya, terdengar bel rumah berbunyi."Sebentar." Arin segera pergi untuk membuka pintu.
"Kok kamu ada di sini?" Arin cukup terkejut begitu melihat Bagas berada di rumah orangtuanya. Saat di depan tadi Arin memang melihat mobil yang begitu mirip dengan mobil Bagas, tapi sama sekali tidak terlintas di pikirannya kalau mobil itu adalah mobil Bagas.Bagas tersenyum. "Iya, aku ke sini mau minta maaf sama papa dan mama karena kemarin gak ikut makan malam.""Asik! Ada kue kesukaan gue nih. Tahu aja lagi pengin gue. Thanks ya kak." Baru saja Aaron ingin mengambil kotak kue yang dipegang Arin, tapi gagal karena Arin langsung menjauhkannya."Gue bakal kasih, tapi lo siapin kuenya terus bawa ke sini. Sisanya boleh lo makan.""Siap!""Jadi apa papa sama mama mau maafin Bagas?" tanya Bagas.Hery dan Rika tersenyum lalu mengangguk. "Kita sama sekali gak marah sama kamu kok. Kita ngerti kalau kamu sibuk. Lagipula kan kita masih bisa kumpul lagi bulan depan.""Makasih pa, ma.""Kuenya sudah datang." Aaron membawa sepiring kue yang sudah dipotong. "Bang, cobain dulu kuenya. Gue jamin lo
"Gak habis pikir gue sama Bagas. Bisa-bisanya dia ninggalin kita gitu aja," omel Ela."Dia gak betah. Soalnya dia kan gak suka golf," ujar Juan."Ya gue paham kalau dia gak suka, tapi yang gue gak paham kenapa dia pergi gitu aja? Padahal kan ada Arin, istrinya dia.""Udah, gak usah dipikirin. Gue gak papa kok," ucap Arin sembari tersenyum.Justru Arin malah merasa lebih tenang karena Bagas sudah pergi. Bukan tanpa alasan, melainkan karena Arin masih kesal dengan Bagas. Bukan masih, lebih tepatnya selalu."Nanti gue coba ngomong sama dia biar gak kayak gitu lagi.""Emang lo harus ngomong sama dia. Bilangin ke temen lo yang sok dingin itu. Sama istri sendiri cueknya kebangetan."Arin tertawa kecil. Rasanya lucu ketika mengingat kembali ucapan Ela sebelum bertemu dengan Bagas. Jika dibandingkan dengan sekarang sungguh jauh berbeda reaksi Ela. Malah sekarang Ela yang lebih marah dibanding dirinya."Kok lo malah ketawa sih?""Gue cuma lucu aja sama lo. Perasaan waktu kita belum ketemu Baga
Pagi ini Arin memasak pancake untuk sarapan. Setelah selesai, Arin memakannya sendiri. Dia tidak mau basa-basi untuk menawarkan Bagas karena itu hanya membuang-buang waktu. Arin juga malas untuk berbicara dengan Bagas. Ditambah dia masih kesal dengan pria itu karena kejadian semalam. Sedangkan Bagas kali ini menyantap sereal sebagai sarapannya.Bagas berdeham. "Malam ini grand opening toko kosmetik. Acaranya jam tujuh. Saya harap kamu bisa datang karena ini acara penting."Perusahaan Bagas adalah perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik dan saat ini sudah memiliki lebih dari sepuluh cabang. Sama seperti Arin yang melanjutkan bisnis restauran orangtuanya, Bagas juga mengalami hal yang sama. Bedanya Bagas memang mengambil jurusan bisnis. Arin sendiri hanya diam tidak mau menanggapi Bagas. "Papa sama mama juga udah saya kasih tahu. Mereka bakal datang."Arin tahu Bagas sengaja memberitahunya agar dia tidak bisa menolak untuk pergi. Karena jika kedua orangtuanya datang, sedangkan dia
"Gas, itu Arin, kan? Kok dia ada di sini? Itu cowok siapa?" Pertanyaan beruntun diberikan Juan pada Bagas.Mereka baru saja tiba di sebuah cafe untuk makan siang. "Kok malah diam sih? Gimana kalau kita samperin aja?" Baru saja Bagas hendak menolak, Arin sudah lebih dulu memanggil mereka."Nah, itu dipanggil sama Arin. Ayo." Mau tidak mau Bagas mengikuti Juan."Mau makan siang, ya?" Arin bertanya. Walaupun sebenarnya masih kesal dengan Bagas, tidak mungkin dia menunjukkan rasa kesalnya pada Bagas di depan Juan dan Revan."Iya nih, biasa. Suami lo kalau gak gue samperin ke kantornya mana mau dia makan siang di luar. Ngomong-ngomong tumben di sekitaran sini. Gak ke resto?""Iya, ada urusan sedikit. Oh iya, kenalin ini Revan teman SMA gue." Arin memperkenalkan Revan pada Bagas dan Juan.Revan pun menjulurkan tangannya untuk berkenalan. Juan dengan senang hati menyambut tangan Revan. Namun, Bagas hanya diam ketika Revan ingin berkenalan dengannya."Gas." Juan langsung menyikut Bagas aga
"Akh!"Bagas yang baru saja bangun dan hendak mandi seketika mengurungkan niatnya ketika mendengar teriakan Arin dari dalam kamar. Bagas segera menuju kamar Arin lalu mengetuk pintunya. "Arin. Ada apa?""Gak ada apa-apa."Jawaban Arin justru membuat Bagas tidak percaya. Dia pun membuka pintu kamar Arin. Bagas segera mendekati Arin yang sedang terduduk di lantai sembari memegang kakinya. Arin yang meringis langsung diam karena Bagas masuk ke kamarnya. "Kamu kenapa?" Bagas hendak membantu Arin berdiri, namun Arin menolak. "Saya bisa sendiri." Arin perlahan mencoba berdiri, namun dia kesulitan. "Saya bantuin." Bagas segera menggendong Arin membuatnya seketika membulatkan mata. "Ngapain digendong? Saya kan udah bilang saya bisa sendiri."Bagas mendudukkan Arin di ranjang. "Kenapa bisa jatuh?" Bagas bertanya."Mau ganti lampu," jawab Arin ogah-ogahan.Bagas baru menyadari kalau ada tangga lipat. "Kenapa gak minta tolong?""Karena saya bisa sendiri.""Kalau bisa sendiri gak mungkin ja
"Loh, kok mama ada di sini?" Arin terkejut ketika bangun dan mendapati Karina sedang berada di dapur.Karina menoleh lalu menaruh masakannya yang baru matang di meja makan."Tadi Bagas telfon mama. Katanya kamu lagi sakit jadi gak bisa masak. Bagas minta tolong ke mama buat masakin kamu. Kaki kamu gimana? Udah mendingan?"Untuk beberapa saat Arin tertegun. Bagas lagi-lagi perhatian padanya. Ini benar-benar bukan Bagas. "Rin? Kok malah diam?""Udah lumayan membaik kok, ma.""Lagian kok bisa sih kamu jatuh? Emang kamu ngapain?"Bagas memang memberitahu Karina kalau Arin sempat jatuh sehingga kakinya terkilir, tapi Bagas tidak memberitahu penyebab Arin jatuh."Aku mau ganti lampu kamar yang putus, tapi malah jatuh.""Emang kamu gak minta tolong sama Bagas? Kok malah kamu yang ganti?""Gak sempat, ma. Soalnya kan Bagas sibuk terus.""Ya kalau Bagas gak bisa kan kamu bisa manggil tukang. Gak harus kamu sendiri. Lain kali jangan ngelakuin kerjaan kayak gitu. Itu kerjaan laki-laki bukan per
Setelah hampir satu minggu, Arin akhirnya bisa sembuh dan dapat kembali ke restauran. Cukup jenuh memang ketika di rumah dan tidak melakukan kegiatan apapun, tapi untungnya Ela dan Safira sesekali mengunjunginya. Jangan tanyakan Bagas, karena Arin hanya bertemu dengannya dipagi dan malam hari."Mbak Arin, kita senang banget akhirnya mbak udah sembuh."Arin tersenyum. "Maaf ya, Va, belum lama saya sakit udah sakit lagi.""Mbak Arin selalu aja minta maaf. Padahal kan mbak gak salah.""Keadaan resto gimana? Pelanggan ramai gak?""Ramai kok mbak. Pak Bagas sama temannya juga beberapa hari ini makan siang di sini. Terus pak Bagas juga nanya-nanya kondisi resto gimana.""Oh gitu.""Kalau gitu saya ke belakang dulu, ya, mbak."Arin hanya mengangguk.Bagas benar-benar susah untuk ditebak. Kemarin saat Arin sakit, Bagas cukup perhatian padanya. Bahkan sampai restaurannya pun diam-diam lelaki itu memperhatikannya. Tapi, tadi pagi sikap Bagas padanya kembali dingin. Arin sampai dibuat bingung ol
"Lo tuh kenapa sih hobi banget buat masalah? Lo kan udah gede, Ron. Mau sampe kapan lo kayak gini terus?" omel Arin.Saat ini Arin dan Bagas sedang berada di parkiran kampus Aaron. Tadi Aaron sempat menghubungi Bagas meminta tolong agar Bagas menolongnya, tapi kebetulan ketika menerima panggilan dari Aaron tidak sengaja didengar oleh Arin.Sebenarnya Arin melarang Bagas untuk tidak ikut dengannya, karena Arin tidak mau merepotkan Bagas. Apalagi Aaron adalah adiknya. Arin tidak mau punya hutang budi pada Bagas. "Sorry, kak, gue beneran gak sengaja nyerempet mobilnya.""Kenapa lo gak telfon gue? Kenapa lo malah telfon Bagas?"Aaron yang menunduk seketika menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue takut lo marah. Ternyata bener kan lo marah.""Pemilik mobilnya udah tahu kalau mobilnya diserempet sama kamu?" Bagas bertanya bermaksud mengalihkan topik pembicaraan agar Arin tidak lagi mengomeli Aaron. Lagipula menurut Bagas tidak ada gunanya terus-terusan mengomel, karena semuanya sudah t
"Thanks ya, Rin. Gue jadi gak enak nih udah makan, tapi gak bayar," ucap Juan.Juan sedang berada di restoran Arin. Niatnya ingin makan malam agar sesampainya di rumah dia langsung istirahat.Arin tersenyum. "Gak papa, kan sekali-kali.""Oh iya, gue mau nanya boleh?""Boleh dong masa gak boleh. Mau nanya apa?""Waktu Bagas sakit gue sempat dengar dia nyebut seseorang. Tapi dia cuma manggil Ta. Kira-kira lo kenal gak?" Tiba-tiba saja Arin kepikiran dengan Bagas yang waktu itu mengingau menyebut seseorang dan membuat Arin penasaran. Ingin memastikan apakah Juan mengenal orang tersebut.Juan terdiam beberapa saat. Arin bisa merasakan kalau Juan menunjukkan reaksi yang cukup kaget, tapi Juan seperti menyembunyikannya."Em, kalau itu sih gue gak tahu. Kayaknya gue harus balik sekarang. Sekali lagi makasih, ya.""Ah iya, hati-hati, ya.""Apa Juan lagi nyembunyiin sesuatu?"***Bagas yang baru saja masuk ke dalam mobil hendak pulang langsung merogoh saku celananya, ketika ponselnya berderin
"Sorry, saya gak sengaja." Seorang cewek secara tidak sengaja menabrak Bagas yang sedang menunggu Arin di parkiran restoran. Kebetulan cewek itu sedang bertelepon sembari sibuk mengecek barang belanjaannya, sehingga tidak sempat melihat Bagas."Iya, gak papa."Untuk beberapa saat cewek itu terdiam lama menatap wajah Bagas. Seperti terpesona dengan ketampanan Bagas. "Ini barangnya." Bagas memberikan beberapa paper bag milik cewek itu yang tadi sempat jatuh."Ah iya, thankyou. Sorry, boleh kenalan gak? Siapa tahu kalau kita ketemu lagi bisa saling sapa.""Saya Bagas.""Saya Kiara. Salam kenal, ya.""Bagas."Bagas seketika menoleh."Em, kalau gitu saya duluan, ya. Sekali lagi makasih," ucap cewek bernama Kiara tersebut lalu masuk ke dalam mobilnya.Arin menghampiri Bagas dengan ekspresi datar. "Ngapain ke sini?""Jemput kamu. Kata Aaron mobil kamu masuk bengkel."Arin menghela napas. Kenapa Aaron harus memberitahu Bagas? Arin sama sekali tidak menginginkan bantuan Bagas."Harusnya lo ga
"Ayah sama bunda kok gak bilang-bilang mau ke sini?" Bagas cukup terkejut karena kedua orangtuanya datang ke rumah tanpa menghubunginya lebih dulu."Iya, soalnya kita dengar dari Arin kamu lagi sakit. Gimana kondisi kamu? Udah baikan?" Karina bertanya.Bagas mengangguk. "Udah mendingan kok, bun. Tadinya sih mau ke kantor, tapi sama Arin gak dibolehin.""Bunda setuju sama Arin. Kamu boleh ke kantor kalau kondisi kamu udah benar-benar pulih. Katanya semalam kamu sempat dibawa ke rumah sakit karena siangnya kamu ke kantor. Padahal kamu lagi sakit.""Iya, tapi Bagas juga gak lama-lama di kantor kok. Itu juga karena ada beberapa berkas yang harus Bagas tandatangani." Bagas menjelaskan agar sang bunda tidak mengomelinya lagi."Emang gak bisa ditunda sehari gitu sampe kamu harus banget ke kantor. Gara-gara kamu maksa ke kantor jadinya makin parah, kan. Untung ada Arin yang bantuin.""Ayah salut sama Arin pasti semalam dia panik banget, tapi dia sama sekali gak telfon kita karena gak mau kita
Arin pulang lebih awal dari biasanya karena khawatir dengan kondisi Bagas. Walaupun Bagas menyebalkan, Arin masih peduli dengan cowok itu.Arin mengetuk pintu kamar Bagas sebelum masuk. "Gas, aku masuk, ya." Arin membuka pintu perlahan lalu masuk ke dalam kamar Bagas.Arin segera mendekati Bagas yang menggigil sesekali mengigau. Dia lalu kembali mengecek suhu tubuh Bagas. "Kok malah makin demam?" Arin seketika panik. Dia pikir setelah minum obat tadi kondisi Bagas sudah membaik. Ternyata malah lebih parah."Ta... Ta... jangan tinggalin aku." Bagas mengigau."Ta?" gumam Arin bingung.Siapa yang disebut-sebut Bagas? Apa mungkin mantan pacarnya? Arin segera menggeleng, tidak mau memikirkan hal tersebut karena yang terpenting sekarang adalah kondisi Bagas.***"Makasih ya, Juan udah mau bantuin gue. Sorry, jadi ngerepotin. Tadi gue bingung banget gak tahu mau hubungin siapa lagi," ucap Arin.Tadi Arin sempat menghubungi Juan, meminta bantuan untuk mengantarkan Bagas ke rumah sakit. Karena
"Jadi Bagas gak suka lo nganterin makan siang ke kantornya?"Arin mengangguk. "Padahal juga gue terpaksa. Kalau gak disuruh sama nyokap gue juga gak bakal mau ke kantor dia.""Wah, parah banget, sih. Gak nyangka gue Bagas sampe segitunya. Kalaupun dia gak suka lo ke kantornya kan bisa ngomong kalau udah di rumah. Jangan pas di kantor. Gimana kalau karyawannya pada dengar? Emang dia gak malu apa?" Walaupun tidak melihat langsung hanya mendengar cerita Arin saja sudah membuat Ela ikut kesal dengan Bagas."Untung di kantor dia, makanya gue masih nahan emosi.""Lagian dia bukannya berterimakasih karena udah dianterin makan, malah suruh lo gak usah datang. Gak habis pikir gue sama dia. Hatinya kebuat dari batu apa gimana deh?""Gue baru nikah sama dia belum setahun, tapi gue gak tahu gue bisa bertahan sama dia sampe kapan. Susah banget bikin dia luluh, La. Gue capek."Ela mengusap-usap punggung Arin. "Gue tahu lo kuat, Rin. Lo pasti bisa."Arin menggeleng. "Gue gak bisa, La. Gue gak kuat k
"Pagi kak, bang." Aaron menyapa dengan senyum lebar.Bagas hanya tersenyum tipis, sedangkan Arin menatap Aaron malas."Kok belum pulang?" tanya Arin."Kan mau sarapan dulu baru balik. Lagian hari ini gue juga konsul skripsinya siang.""Buruan kelarin skripsi lo kek. Jangan banyak main doang.""Iya, ini lagi diusahain kok. Gue juga mau kali wisuda." Aaron beralih menatap Bagas yang sedaritadi memijat lehernya. "Kenapa bang? Salah bantal?""Iya nih." Semalam Bagas dan Arin terus berdebat siapa yang akan tidur di sofa hingga akhirnya Bagas yang tidur di sofa."Kak, gue nungguin sarapannya nih."Arin berdecak. "Bentar, baru juga bangun.""Kalau di rumah jam segini udah sarapan malah mungkin udah selesai. Mama kan bangunnya pagi. Masa lo udah nikah, tapi bangunnya jam segini," cibir Aaron yang seketika langsung diberikan tatapan tajam oleh Arin."Lo kalau mau ceramahin gue mending pulang sekarang. Jangan bikin gue naik darah."***"Selamat siang.""Siang bu Arin. Ada yang bisa saya bantu?
"Bang, selama enam bulan nikah sama kak Arin gimana perasaannya? Kak Arin nyebelin gak?" Aaron bertanya di sela mereka bermain playstation."Gak gimana-gimana. Aman aja.""Yakin? Bang Bagas gak bohong, kan?""Iya.""Syukur deh, lega gue dengarnya. Jujur, waktu awal gue dengar kalau kak Arin mau dijodohin gue gak setuju, bang. Soalnya gue takut kak Arin bakal sama cowok yang gak benar. Apalagi dia sering dapat cowok yang cuma manfaatin dia doang. Tapi, untungnya kak Arin nikah sama lo, bang. Jadi gue gak perlu khawatir lagi. Dia udah dapatin orang yang tepat."Bagas hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Aaron yang cukup menyentuh. Tapi karena Aaron berpikir kalau dirinya adalah orang yang tepat bagi Arin membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan apa, hanya saja kalau Aaron tahu selama ini mereka tidak saling mencintai dan tidak memiliki hubungan yang harmonis, apakah Aaron masih berpikir demikian?"Bang, kok malah diam? Itu kita hampir kalah, loh.""Oh iya."***"Heran gue, betah banget l
"Arin! Aku senang banget kalian datang." "Aku udah gak sabar bentar lagi bakal jadi tante. Semoga kak Tari dan dedek bayinya sehat terus sampe lahiran, ya."Bagas dan Arin pergi ke acara tujuh bulanan sepupu Arin. Karena Arin cukup dekat dengan Tari, jadi dia tidak mungkin kalau tidak datang. Awalnya Arin ingin datang sendiri, tapi karena Tari berpesan pada Arin untuk mengajak Bagas jadilah dia mengajak lelaki itu."Amin. Makasih Rin.""Semoga sehat-sehat terus ya kak dan semoga persalinannya lancar," ucap Bagas."Amin, thankyou, Gas, udah mau sempatin waktu buat datang.""Sama-sama, kak.""Aku doain kalian cepat nyusul, ya. Biar anak kita bisa main bareng."Ucapan Tari membuat Arin tersenyum kikuk, sedangkan Bagas terlihat tidak menunjukkan ekspresi apapun."Kok malah pada diam? Gak mau diaminin?" tanya Tari melihat Bagas dan Arin yang tidak merespons ucapannya."Amin kak.""Ya udah, kalau gitu kita ke sana dulu, ya."***"Rin, Gas, kalian kapan nyusul Tari sama Iwan?" Lita, yang m