Beranda / Pernikahan / My Cassanova Husband / 4. Menikahlah Dengan Saya

Share

4. Menikahlah Dengan Saya

Penulis: Rosa Uchiyamana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Lavina cukup kesulitan keluar dari rumah tersebut. Setiap kali ia akan pamit pulang, Aurora menahannya dengan alasan ingin makan malam bersama.

Namun, tak cukup sampai di situ, setelah selesai makan malam, Lavina mengira Aurora akan melepaskannya, tetapi lagi-lagi anak itu menahannya karena ingin dibacakan buku cerita sebelum tidur oleh Lavina.

Lavina pasrah.

Pertama, ia tidak mau berakhir di kantor polisi karena tuduhan pencurian tas Auriga.

Sebab meski Lavina sudah menjelaskan kepada Auriga saat makan malam, mengenai apa yang terjadi tadi siang, tentang Yasa yang merupakan kakak tirinya yang kabur membawa kalung milik Mawar, sampai kemudian Yasa membawa kabur tas Auriga. Namun sepertinya Auriga belum percaya sepenuhnya pada penjelasan Lavina.

Kedua, setiap kali menatap mata polos Aurora, Lavina merasa tersentuh dan tak sampai hati untuk menolak keinginannya.

Begitu pula dengan Auriga. Lavina melihat pria matang itu kesal dengan keinginan Aurora, tapi Auriga seperti tak berdaya.

Lavina menilai bahwa Auriga adalah sosok ayah yang selalu menuruti kemauan putrinya.

Saat sedang membacakan buku cerita, Lavina ketiduran. Ia bangun sepuluh menit kemudian dan mendapati Aurora sudah terlelap di sampingnya.

Lavina menggeliatkan tangan ke atas, mengembuskan napas panjang, lalu turun dari ranjang dan ia terkesiap melihat Auriga sudah berdiri di hadapannya sembari bersedekap dada. Ekspresi pria itu tampak datar, sorot matanya tajam.

“Aku rasa hantu aja nggak seseram kamu, Om,” gumam Lavina sembari mengelus dada.

Auriga tidak memberi tanggapan apapun. Hanya menatap Lavina dengan datar, yang membuat Lavina merasa tak enak hati.

“Oh, maaf, barusan saya ketiduran.” Lavina berdiri, merapikan seprai yang kusut bekas tidurnya, menepuk-nepuknya pelan, sambil sesekali melirik Auriga dan menyengir lebar. “Saya emang belum mandi, Om, tapi badan saya nggak bau, kok. Nggak bakal nempel juga baunya ke kasur Aurora.”

Auriga mendengus pelan.

Mendapat respons seperti itu Lavina sedikit mencebikkan bibir. “Ngomong-ngomong sejak kapan Om berdiri di situ? Om nggak ngintip aku pas lagi tidur, ‘kan?” tanyanya dengan mata memicing.

“Buat apa saya merhatiin tidur anak kecil seperti kamu?” Auriga mengurai kedua tangannya dari depan dada.

“Anak kecil?” pekik Lavina, tapi sedetik kemudian ia menutup mulut saat sadar suaranya bisa membangunkan Aurora. Mata Lavina mendelik, lalu berbisik, “Siapa yang Om bilang anak kecil? Saya bukan anak—”

“Ikut saya,” sela Auriga, kemudian berbalik dan berjalan keluar kamar.

Lavina menggembungkan pipi dan mengembuskan napasnya, lantas mengikuti Auriga. Ia duduk di sofa ruang tamu, tepat di hadapan pria berkaos abu-abu itu.

Lavina pikir, ini kesempatan bagus untuk bertanya tentang mengapa Aurora bisa menganggap Lavina sebagai ibunya. Sampai saat ini Lavina masih penasaran akan hal itu.

“Ada yang mau saya tanyain ke Om.”

“Ada sesuatu yang ingin saya bahas sama kamu.”

Keduanya bicara berbarengan. Auriga memandang Lavina. Lavina berdehem.

“Silahkan Om dulu yang ngomong.”

“Kamu duluan.” Auriga membuang muka.

“Nggak sopan kalau saya yang duluan. Seharusnya yang lebih tua dulu,” timpal Lavina dengan santai.

“Tua?” Auriga memandang Lavina lagi dengan mata disipitkan. “Siapa yang kamu maksud tua?”

“Om. Siapa lagi? Nggak ada orang lain di sini selain kita berdua.”

Lavina orang yang blak-blakan. Apa yang ia ucapkan berarti memang begitu kenyataannya. Auriga terlihat matang dan tampan. Dia seperti aktor-aktor yang sering Lavina lihat di film holywood, tapi sayang tipe wajah seperti Auriga bukan tipe idamannya.

Lavina lebih suka oppa-oppa Korea yang pipinya mulus dan bermata sipit, bukan seperti Auriga yang rahangnya ditumbuhi rambut tipis dan bermata tegas.

“Terserah kamu saja,” ucap Auriga seraya menatap Lavina dengan malas. “Kembali ke pembahasan tadi. Kalau begitu saya yang bicara duluan.”

“Silahkan.” Lavina mengangguk.

Auriga menumpukan kedua siku ke lutut, tatapannya berubah serius. “Menikahlah dengan saya.”

“Oh itu, boleh—EH?!! APA?!!” Lavina tiba-tiba terperanjat, matanya membeliak seolah sedang melihat hantu. “Me-menikah? Saya nggak salah dengar, ‘kan? Menikah?!!” pekik Lavina.

Mata Auriga terpejam sejenak. “Bisa rendahkan suaramu? Saya nggak suka perempuan berisik.”

Namun, Lavina tak peduli. Ia masih berusaha mencerna ucapan Auriga yang tak masuk akal.

Menikah? Tidak mungkin. Sepertinya Lavina hanya salah dengar.

“Kamu nggak salah dengar. Saya memang sedang mengajakmu menikah dengan saya,” jelas Auriga, seolah-olah mengerti kebingungan di kepala Lavina.

Lavina panik. Lututnya bergetar.

Siapa yang tidak kaget ketika tiba-tiba diajak menikah oleh orang asing yang baru ditemui tadi siang? Lavina memang percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Namun, langsung mengajak menikah secepat ini rasanya benar-benar menakutkan.

“Ke-kenapa Om mau me-menikahi saya?” Lavina bicara tergagap. “Memangnya Om bisa jatuh cinta sama saya secepat ini? Padahal… kita baru ketemu tadi—”

“Saya nggak butuh cinta dalam pernikahan ini.”

Belum juga hilang keterkejutan Lavina, sekarang ia dibuat terkejut lagi oleh pernyataan Auriga yang bernada rendah dan santai itu.

“Maksud Om?” tanyanya tak mengerti.

“Pernikahan bisnis.” Auriga menyandarkan punggung ke sandaran sofa. “Itu yang sedang saya tawarkan sama kamu. Pernikahan yang saling menguntungkan, bukan pernikahan atas dasar cinta.”

“Hah?” Lavina ternganga. Jadi maksudnya pernikahan kayak di drama dan novel gitu? Lavina masih mencari-cari kewarasannya untuk mencerna penjelasan Auriga.

“Tapi kenapa saya harus mau menikah sama Om? Saya nggak butuh apa-apa dari Om, kok.”

“Kalau begitu gimana caranya kamu bertanggung jawab pada tas saya yang hilang?”

“I-itu ‘kan bukan saya yang mencuri.”

“Tetap saja.” Auriga membuang napasnya lagi. “Laki-laki itu kakak tiri kamu, ‘kan? Kalau kamu nggak ketemu dia, paspor, dokumen penting, kartu debet dan kredit, juga identitas saya nggak akan hilang. Kamu pikir, mengurus semua itu mudah?” Tatapan Auriga semakin serius dan tajam. “Semuanya butuh waktu yang nggak sebentar untuk mengurusnya dan akan membuang-buang waktu saya yang sangat berharga.”

Lavina menunduk, membuat tirai poninya menggantung menutupi wajah. Ia akui dirinya salah. “Maaf,” ucapnya penuh rasa bersalah.

“Saya nggak butuh permintaan maafmu. Kata maaf saja nggak akan menyelesaikan masalah saya.”

Bahu Lavina terkulai lesu. “Tapi kenapa harus dengan menikah? Saya masih sangat muda, Om. Kalau saya menikah, masa muda saya bakal terenggut. Lagian saya nggak punya rencana menikah di usia—”

“Aurora menyukaimu.”

“Huh?” Lavina mengangkat wajah, menatap Auriga dengan tatapan bingung. “Aurora?”

Auriga mengangguk. Ia mengusap wajah dan menyandarkan kembali punggungnya. “Sejak ditinggalkan ibunya tiga tahun yang lalu, Aurora berubah jadi anak yang pendiam dan takut dengan dunia luar,” ujar Auriga dengan suara yang jauh lebih berat dari sebelumnya. “Dia cuma bisa berinteraksi dengan keluarga saja. Sedangkan dengan orang lain, dia selalu merasa takut sampai sering berteriak histeris.”

Lavina tertegun. Ia jadi teringat dengan sikap Aurora saat pertama kali melihatnya tadi siang. Anak itu terlihat ketakutan dan terus bersembunyi di belakang kaki ayahnya.

Ternyata begitu kenyataannya, batin Lavina.

“Em… kalau boleh tahu, dengan kondisi seperti itu apa Aurora sudah dibawa ke Psikolog?”

“Sering, tapi nggak ada hasil. Karena….” Auriga mengembuskan napas panjang, ia membuka mulut hendak melanjutkan kalimatnya, tapi kemudian mengatupkannya lagi.

“Karena?”

“Bukan sesuatu yang harus kamu tahu.”

Lavina terdiam. Ia mengangguk, sadar diri karena ia hanya orang asing yang mungkin tidak pantas mendengar privasi keluarga Auriga.

“Tapi… kenapa Aurora bisa menganggap saya sebagai ibunya yang dia lihat di mimpi?” Akhirnya Lavina punya kesempatan untuk menyuarakan pertanyaan itu. “Bukannya dia sudah pernah tinggal sama ibunya? Kenapa bisa begitu?”

Tatapan Auriga seketika tertuju pada Lavina. Sorot matanya yang dalam membuat Lavina tiba-tiba salah tingkah. Lavina membuang muka sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal.

“Karena kamu mirip sama ibunya.”

“Ya?!!” Lavina menatap Auriga lagi dengan mata membulat. “Mirip?”

“Hm.” Auriga mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Mata Lavina mengerjap pelan. Ia pernah mendengar bahwa setiap manusia di dunia ini memiliki ‘kembaran’. Kembar dalam artian wajahnya mirip meski tidak ada hubungan darah. Entah anggapan itu benar atau tidak. Namun sampai sejauh ini Lavina percaya dengan hal itu. Beberapa tahun terakhir sempat viral wajah seorang pria biasa yang mirip dengan presiden. Dan hal itu membuat dugaan seseorang memiliki ‘kembaran’ itu semakin kuat.

Mungkin saja salah satu ‘kembaran’ Lavina adalah ibunya Aurora? Entahlah.

“Tapi saya nggak bisa nikah sama Om,” tolak Lavina dengan hati-hati. “Saya bisa, kok, jadi teman Aurora. Nggak harus jadi….” Tenggorokan Lavina tercekat saat mau mengatakan ‘ibu sambung’.

Auriga mengambil sebuah buku dari bawah meja, dan mengeluarkan selembar kartu nama yang terselip di antara lembaran buku itu. Kemudian menaruhnya di meja, tepat di hadapan Lavina.

Lavina melirik kartu nama itu. Auriga Space Ivander. Mata Lavina mengerjap. Ternyata dia seorang pilot?

Pilot?

Wajah Lavina memdadak berubah menegang.

“Saya kasih kamu waktu tiga hari. Kalau kamu mau menikah sama saya, kamu akan terbebas dari tuduhan pencurian, selain itu kamu juga akan mendapat pengganti kalung ibumu yang hilang dan… biaya hidup setiap bulan.”

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
oke deal......
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
si polos Lavina bakalan terjebak sama sang cassanova nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • My Cassanova Husband   5. Ayo Kita Menikah

    Plak!Wajah Lavina terlempar ke samping. Pipinya terasa kebas dan pandangannya sempat mengabur. Bekas tamparan Mawar tak hanya membekas di pipi saja, tetapi juga di hati.“Kamu sadar selama ini kamu hidup dengan siapa, hah?! Berani-beraninya kamu nyuri kalung punya orang yang sudah ngerawat kamu!" teriak Mawar dengan wajah merah padam.Tangan Lavina terkepal. “Udah aku bilang, Ma. Yang nyuri kalung Mama itu Kak Yasa, bukan aku!”"Halah! Kebiasaan kamu dari dulu selalu nyalahin anak Mama! Yasa nggak mungkin mencuri apalagi sampai mencuri kalung Mama!” seru Mawar lagi, urat-urat di dahinya menonjol, napasnya memburu penuh emosi.Lavina terdiam. Matanya menatap lantai keramik putih dengan tatapan datar. Bibirnya tersenyum miris.‘Selalu nyalahin anak Mama.’Ya, aku emang bukan anak Mama. Aku cuma beban di rumah ini. Mama nggak pernah anggap aku anak. Anak Mama cuma Kak Yasa dan Kak Resa.“Pokoknya Mama nggak mau tahu. Kembaliin kalung itu, Lavina!”“Akh!” pekik Lavina saat tubuhnya tiba-

  • My Cassanova Husband   6A. Wanita Berambut Pirang

    “Menikah?” Seketika, Resa tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut. “Hey! Emangnya ada cowok yang mau nikah sama lo? Ya… kalaupun ada, gue yakin dia cuma bocah kemaren yang masih minta duit sama orang tua.”Itulah respons pertama Resa setelah Lavina menyampaikan rencananya untuk menikah. Resa seolah tidak percaya Lavina akan mendapat lelaki yang sempurna, karena penampilan Lavina yang jauh dari kata anggun dan berkelas.Lavina hanya remaja yang berpenampilan sederhana, wajahnya nyaris tidak pernah dipoles make up. Sehari-harinya hanya memakai sunscreen dan bedak tipis. Tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya selain lip gloss untuk melembabkan bibir. Tubuhnya pun kecil dan tidak begitu tinggi.Berbeda sekali dengan Resa yang tinggi semampai dan fasionista.Jadi, ketika Auriga datang ke rumah Mawar bersama orang tuanya untuk melamar Lavina, Resa nyaris pingsan karena dugaannya salah besar.Calon suami Lavina bukan bocah kemarin yang biaya hidupnya masih ditanggung orang tu

  • My Cassanova Husband   6B. Bukan Perempuan Ideal Auriga

    Siapa dia? Kenapa keluar dari kamar Om Auriga?Lavina mengamati wanita itu yang berjalan semakin mendekat. Saat berpapasan, wanita berambut pirang itu memandangi Lavina sembari tersenyum. Lavina balas tersenyum dan mengangguk.Harum banget, parfumnya pasti mahal. Dalam hati Lavina mengomentari parfum wanita itu yang wangi semerbak dan masih tercium meski orangnya sudah pergi cukup jauh.Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Auriga, ia menoleh ke punggung wanita itu yang semakin menjauh. Tidak mungkin wanita itu salah satu petugas wedding organizer, bukan? Penampilannya tidak terlihat seperti petugas yang berseragam.“Sedang apa kamu di sini?”“Oh?” Lavina kaget. Ia mengalihkan tatapannya ke depan dan mendapati Auriga yang baru saja membuka pintu.Mata Lavina mengerjap, mulutnya sedikit ternganga melihat wajah segar nan tampan pria di hadapannya itu. Garis rahang Auriga yang tegas memberikan kesan maskulin yang kuat. Matanya seperti permata hitam yang mengilap, seperti mala

  • My Cassanova Husband   7A. Malam Pertama

    “Malam ini aku mau tidur sama Grandma dan Grandpa.” Aurora tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.“Apa?!” Sontak, Lavina membungkam mulut dengan telapak tangan saat ia menyadari suaranya terlalu kencang, hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. “Tapi… kenapa? Kamu nggak mau tidur bareng aku?”Lavina masih belum terbiasa menyebut dirinya mommy pada Aurora, jadi ia tetap berbicara tidak formal dengan menyebut dirinya aku.“Mau, Mom, tapi nggak malam ini ya? Nggak apa-apa ‘kan, Mom, Dad?Menyadari ia akan tidur satu kamar berdua saja dengan Auriga, Lavina merasa keberatan. Ia lantas menatap Auriga dengan tatapan seolah sedang berkata, lakukan sesuatu!Namun, Auriga hanya mengedikkan bahunya dengan cuek, ekspresi wajahnya tetap datar, tapi tatapannya melembut begitu menatap Aurora di pangkuannya.“Grandma yang meminta kamu tidur di kamarnya, hm?” tanya Auriga dengan suara lembut.Aurora tersenyum lebar dan mengangguk. “Iya, Dad.”“Tapi…,” sela Lavina, “gimana kala

  • My Cassanova Husband   7B. Auriga Space Ivander

    Pria berusia 30 tahun itu mengembuskan napas kasar, air mukanya mendadak berubah serius saat berkata, “Tadi saya cuma bercanda, jangan dianggap serius.”“Hah? Tadi?”“Ya, yang mengajak kamu melakukan itu.” Tangan Auriga sibuk mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil selagi ia menghampiri lemari. “Jangan khawatir, saya nggak akan pernah menyentuh kamu selama kita menikah. Sesuai perjanjian di awal, pernikahan kita hanya sebatas bisnis saja.”Mendengarnya, seketika Lavina mengembuskan napas dengan lega. Ia seolah mendapatkan kembali kekuatannya untuk berdiri.“Kalau gitu Om bisa keluar selama aku mandi?” tanya Lavina sembari melepas cardigan. Gaun pengantinnya sudah ia lepas tadi setelah selesai acara dan dibantu MUA.“Nggak bisa. Saya ngantuk, mau tidur.”“Lho?!! Kok gitu? Terus aku mandi gimana?”“Ya mandi saja. nggak perlu ribet begitu.”“Tapi—”“Masih ingat yang saya bilang tadi siang?” sela Auriga sembari menghampiri Lavina. “Tubuh kamu bukan tipe ideal saya.”Mata Lav

  • My Cassanova Husband   8. Om Pakai Parfum Cewek, Ya?

    “Nggak akan ada yang berubah dengan kita meski aku sudah menikah. Aku menikahi perempuan itu demi Aurora.” Yoana tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku tahu. Tapi apa dia nggak bakal terluka ya?” Auriga menunduk, menatap tangan Yoana yang turun ke bawah meja dan mengusap pahanya yang dibalut celana denim. Auriga tidak menepis tangan Yoana, hanya membiarkan Yoana berbuat sesukanya. “Seharusnya nggak. Dia sudah aku beri peringatan.” “Baguslah.” Yoana kembali mengangguk. “Cuti berapa lama?” “Cuma tiga hari.” “Kenapa nggak ngambil satu minggu gitu? Biar agak lamaan dikit liburnya.” “Aku akan libur satu bulan kalau pernikahan ini benar-benar pernikahan yang aku inginkan.” Auriga mendengus pelan. Yoana mendecak lidah menanggapinya, lalu mengangguk pada waitress yang mengantar minumannya. Yoana lantas meneguk minuman itu sejenak, dan menaruh kembali gelas dengan elegan ke atas meja. “Seenggaknya kamu bisa ngabisin waktu bersamaku kalau cuti seminggu. Bisa aku jamin cutimu n

  • My Cassanova Husband   9. Kamar Kita Terpisah?

    "Om pakai parfum cewek ya?!" “Apa?” Lavina mendekati Auriga dan mengendus kaos pria itu di bagian dada. Auriga langsung mundur selangkah, jari telunjuknya mendorong dahi Lavina supaya menjauh. “Apa yang kamu lakukan?” Satu alis Auriga terangkat. “Ish!” bibir Lavina mencebik. “Penampilan aja yang cool, tapi selera parfumnya aneh. Cowok, kok, malah suka pakai parfum cewek? Udah paling bener aku nggak suka sama tipe cowok kayak Om.” Lavina geleng-geleng kepala prihatin lalu berjalan menghampiri lemari. Auriga mengendus tubuhnya sendiri, terdiam sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan langkah ke kamar mandi. “Semalam Om nginap di mana? Kenapa nggak balik lagi ke sini?!” seru Lavina, yang membuat langkah Auriga terhenti. Auriga mengembuskan napas dan menatap Lavina. “Di manapun saya menginap, itu—” “Bukan urusanku!” Lavina menyela, melanjutkan kalimat Auriga. Ia tersenyum lebar dan membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Oke! Aku tahu itu bukan urusan aku, jadi aku ngga

  • My Cassanova Husband   10. Sugar Babby

    “Saya nggak tahu selera baju kamu, jadi lemarinya masih kosong dan kamu bisa membelinya sendiri.” Auriga menyerahkan sebuah kartu gold pada Lavina. “Huh? Apa ini, Om?” Lavina mengerjap menatap kartu tersebut. Ia tahu itu kartu debet, tapi… untuk apa? “Ini bisa kamu gunakan untuk kebutuhan kamu. Saya akan transfer uangnya setiap bulan ke sini,” jelas Auriga seraya menatap Lavina dengan tatapannya yang masih tanpa ekspresi. “Jangan khawatir, ini sudah terisi untuk nafkahmu bulan ini. Gunakan dengan bijak. Dan ini…." Kali ini Auriga menyerahkan sebuah remot kecil pada Lavina yang masih tampan kebingungan. Dan kembali berkata, “Ini kunci mobil. Saya sudah menyediakan satu mobil buat kamu. Gunakan itu untuk keperluanmu.” Lavina tertegun. Matanya berkaca-kaca. Lidahnya pun mendadak terasa kelu meski banyak hal yang ingin ia ucapkan. Namun, yang bisa keluar dari mulutnya hanya…. “Terima kasih banyak,” lirihnya, “aku akan menggunakannya dengan bijak.” Lavina ragu untuk mengambil kartu da

Bab terbaru

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 9

    Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 8

    Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 7

    5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 6

    Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 5

    “Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 4

    Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 3

    Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 2

    Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 1

    Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab

DMCA.com Protection Status