Plak!
Wajah Lavina terlempar ke samping. Pipinya terasa kebas dan pandangannya sempat mengabur. Bekas tamparan Mawar tak hanya membekas di pipi saja, tetapi juga di hati.
“Kamu sadar selama ini kamu hidup dengan siapa, hah?! Berani-beraninya kamu nyuri kalung punya orang yang sudah ngerawat kamu!" teriak Mawar dengan wajah merah padam.
Tangan Lavina terkepal. “Udah aku bilang, Ma. Yang nyuri kalung Mama itu Kak Yasa, bukan aku!”
"Halah! Kebiasaan kamu dari dulu selalu nyalahin anak Mama! Yasa nggak mungkin mencuri apalagi sampai mencuri kalung Mama!” seru Mawar lagi, urat-urat di dahinya menonjol, napasnya memburu penuh emosi.
Lavina terdiam. Matanya menatap lantai keramik putih dengan tatapan datar. Bibirnya tersenyum miris.
‘Selalu nyalahin anak Mama.’
Ya, aku emang bukan anak Mama. Aku cuma beban di rumah ini. Mama nggak pernah anggap aku anak. Anak Mama cuma Kak Yasa dan Kak Resa.
“Pokoknya Mama nggak mau tahu. Kembaliin kalung itu, Lavina!”
“Akh!” pekik Lavina saat tubuhnya tiba-tiba terhuyung manakala Mawar mendorongnya. Lavina meringis. Perutnya membentur ujung meja. Ia kemudian menatap Mawar dengan tatapan terluka.
“Emangnya nggak bisa ya Mama percaya sama aku sekali aja, Ma? Kenapa Mama selalu bela Kak Yasa padahal udah jelas kalau Kak Yasa selalu ngabisin uang Mama buat judi dan mabuk? Kenapa?! Apa karena aku bukan anak Mama? Apa karena aku selalu nyusahin Mama?!” teriak Lavina, yang tak bisa lagi menahan diri untuk tidak melawan ibu tirinya itu.
“Seharusnya kamu bersyukur nggak Mama usir dari rumah ini setelah ayah kamu meninggal!” Mawar mengambil majalah dari atas meja, lalu melipatnya dan memukulkannya ke bahu Lavina dengan kasar.
Lavina diam menerima pukulan yang entah pukulan ke berapa ratus kali sejak ayahnya meninggal 6 tahun lalu. Kedua tangan Lavina kembali terkepal. Sesakit apapun hatinya, Lavina tidak ingin menangis.
“Memang benar. Kamu selalu nyusahin Mama! Setelah lulus SMA harusnya kamu cari kerja, ngasih duit buat makan! Bukan malah kuliah dan ngabisin duit terus nyuri barang Mama dan ujung-ujungnya nyalahin Yasa!”
Mawar seakan belum puas melontarkan kata-kata yang membuat hati Lavina terasa pedih.
Bahkan, sekarang ditambah pukulan-pukulan keras di punggung dan kepala. Lavina menutupi kepala menggunakan kedua lengan. Kini lengannya yang menjadi sasaran pukulan Mawar.
Lavina tidak mengerti, sebenarnya apa kesalahan yang pernah ia perbuat sehingga Mawar begitu membencinya?
Lavina selalu dibanding-bandingkan dengan Resa yang bekerja di perusahaan besar.
Memang, sebagian pendapatan Resa selalu diberikan kepada Mawar untuk kebutuhan rumah tangga dan makan sehari-hari. Meski demikian, bukan berarti Lavina tidak pernah berkontribusi, Lavina selalu menyisihkan uang hasil jerih payahnya meski sedikit, untuk Mawar.
Mungkin karena nominalnya tidak sebanyak yang Resa berikan dan itu kurang untuk memenuhi kebutuhan satu bulan, makanya Mawar selalu melampiaskan kemarahannya kepada Lavina. Seolah-olah Lavina adalah samsak yang tak memiliki perasaan.
Setelah puas melampiaskan kemarahannya, Mawar lantas pergi meninggalkan Lavina sambil berkata, “Mama nggak mau tahu! Gimanapun caranya kalung itu harus kembali!”
Lavina terdiam. Punggung, kepala dan lengannya terasa sakit. Namun ada yang jauh lebih sakit. Hatinya.
Lavina berusaha berdiri meski kepalanya pening. Ia berjalan melewati ruang tamu dan sempat melihat Resa yang sedang memainkan ponsel sambil berselonjor kaki ke meja.
Resa berusia 25 tahun. Dia tumbuh menjadi gadis cantik dan feminin. Karirnya juga cemerlang. Bahkan bulan kemarin Resa mendapatkan mobil. Katanya hadiah dari atasannya.
“Hei! Ke sini! Bersihin high heels gue!”
Lavina menghentikan langkah. Dengan malas ia menatap Resa dan berkata, “Sudah malam, Kak. Aku ngantuk, mau tidur.”
“Jangan belagu.” Resa melemparkan cushion ke kepala Lavina. “Lo harus tahu diri posisi lo di rumah ini sebagai siapa.”
Lavina mengembuskan napas kasar. Tanpa banyak bicara ia berbalik badan lalu berjalan ke dapur.
Tak lama kemudian Lavina kembali dengan handuk kering, lalu mendekati Resa dan berjongkok di hadapannya. Mengambil high heels yang tergeletak di lantai, kemudian membersihkannya dengan handuk yang Lavina ambil barusan.
“Jadi anak kok keras kepala banget, sih. Ngotot banget pengen kuliah, ujung-ujungnya di drop out juga ‘kan?” Resa terkekeh dengan senyuman mengejek, tatapannya tetap tertuju pada layar ponsel. “Buang-buang uang aja.”
“Aku punya mimpi. Semester depan aku bakal lanjut kuliah lagi, kok,” jawab Lavina dengan ekspresi datar.
Resa mendengus. “Mending buang aja mimpi-mimpi lo itu jauh-jauh. Percuma. Nggak bakal jadi kenyataan. Entar lo malah gila karena mimpi lo gak kesampean.”
Tangan Lavina terkepal hingga high heels di tangannya bergetar. Ia bersumpah, akan membuktikan kepada Mawar dan Resa bahwa ia pun bisa menjadi orang sukses.
Pada saat yang sama, dengan sengaja kaki Resa menyenggol kopi panas di atas meja, hingga tumpah ke lengan Lavina yang tengah mengelap high heels, yang membuat Lavina berteriak mengaduh kesakitan dan lengannya terasa terbakar.
“Oops! Sorry, gak sengaja.” Dengan wajah tanpa dosa, Resa beranjak pergi.
Lavina mengetatkan rahangnya. Seketika ia berdiri, lalu melemparkan high heels Resa ke lantai keras-keras. Kemudian menyusul Resa dan menarik rambut Resa yang panjang sekeras yang Lavina bisa.
“Aku sudah muak diperlakukan kayak binatang!”
“Aaaah! Sakit! Mama, tolong aku! Kepala aku sakit, Ma! Aaaah!” teriak Resa. Tangannya terulur ke kepala Lavina dan balas menarik rambutnya.
Mawar keluar dari kamar. Melihat anak kandung dan anak tirinya bertengkar dan saling menjambak, Mawar pun semakin marah. Dia berteriak hingga urat lehernya menonjol, meminta mereka berhenti. Namun mereka tidak ada yang mau berhenti. Akhirnya Mawar menarik paksa tubuh Lavina dan mendorongnya hingga Lavina terjerembab ke lantai.
“Jaga sikapmu kalau kamu masih mau tinggal di rumah ini!” tegas Mawar pada Lavina, sebelum kemudian pergi membawa Resa ke kamar.
Napas Lavina memburu, rambutnya acak-acakan. Ada yang terasa begitu nyeri di dalam dada. Meski tinggal di rumah ini tapi Lavina merasa seperti hidup sebatang kara. Ia tidak punya tempat untuk mengadu. Tidak ada pula orang yang mau membelanya.
Lavina masuk ke kamar dan tanpa sengaja ia melihat selembar kartu nama di meja. Dipandanginya kartu itu sesaat, lalu mengambilnya beserta ponsel dan tas kecil.
Tanpa banyak berpikir, Lavina segera pergi dari rumah yang penuh dengan kenangan pahit tersebut.
***
Ting tong!
Lavina menekan bel sebuah rumah yang sempat ia kunjungi dua hari lalu. Ia merasa sangsi sang tuan rumah mau membukakan pintu, karena saat ini sudah hampir tengah malam.
Meski begitu Lavina tidak menyerah. Ia kembali menekan bel beberapa menit kemudian. Angin malam berembus, menerpa Lavina dan membuat rambutnya yang berantakan melambai-lambai.
Tak disangka, seseorang membukakan pintu. Lavina menegakkan punggung ketika pintu itu perlahan terbuka, kemudian memperlihatkan sosok jangkung yang kini berdiri di hadapannya.
“Se-selamat malam, Om!” sapa Lavina dengan perasaan gugup.
“Kamu?” Kedua alis Auriga terangkat. Ia memindai penampilan Lavina dari ujung kepala sampai kaki. “Untuk apa malam-malam datang ke sini?”
Lavina menggosokkan telapak tangannya yang berkeringat ke celana. Ia terdiam, memastikan bahwa keputusan yang akan ia ambil adalah keputusan yang benar.
“Sebenarnya apa yang—”
“Ayo kita menikah!” sela Lavina dengan cepat sembari mengangkat wajah, mendongak menatap Auriga yang tampak tidak begitu kaget mendengarnya.
“Kamu sedang melamar saya sekarang?”
“Saya sedang menerima tawaran Om waktu itu.” Lavina mengepalkan tangannya yang bergetar, ia menggigit bibir bawahnya sejenak. Ini memang keputusan gila, tapi Lavina tidak punya cara lain untuk keluar dari penderitaan yang ia alami di rumah Mawar, selain menerima tawaran Auriga.
“Saya mau menikah sama Om dan jadi ibu sambung Aurora. Tapi dengan syarat saya harus tinggal di sini dan Om izinin saya kuliah dan biayain kuliah saya. Selain itu, sebagai imbalannya Om harus kasih saya uang buat ganti kalung ibu saya di awal,” ujar Lavina blak-blakan. Ia harus jadi orang sukses, ia akan membuktikan pada Mawar dan Resa bahwa mimpi-mimpinya akan menjadi kenyataan.
Mata Auriga mengerjap. Lalu detik berikutnya ia tertawa hingga bahunya berguncang.
Lavina tidak mengerti apanya yang lucu sampai Auriga tertawa sepuas itu?
Ini pertama kalinya Lavina melihat Auriga tertawa, dan tak bisa dipungkiri bahwa tawanya itu membuat Auriga terlihat semakin menawan.
“Baiklah. Saya juga punya syarat buat kamu,” ucap Auriga setelah tawanya berhenti.
Lavina menelan saliva. Apa itu artinya Auriga setuju dengan syarat yang Lavina utarakan barusan?
“Syarat yang lebih detail-nya akan dijelaskan dalam surat perjanjian. Tapi sekarang, saya berikan dua poin yang paling penting dari semua yang penting.” Auriga menjejalkan kedua lengan ke saku celana. Ia menunduk, menatap Lavina dengan tatapan yang semakin serius.
“Pertama, jadilah ibu yang baik untuk Aurora. Jangan sampai kamu menyakiti dan mengecewakan dia. Dan yang kedua…." Auriga menjeda kalimatnya dengan helaan napas pelan. "Jangan mengharapkan cinta dalam pernikahan kita, karena saya nggak bisa memberikannya untukmu.”
***
“Menikah?” Seketika, Resa tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut. “Hey! Emangnya ada cowok yang mau nikah sama lo? Ya… kalaupun ada, gue yakin dia cuma bocah kemaren yang masih minta duit sama orang tua.”Itulah respons pertama Resa setelah Lavina menyampaikan rencananya untuk menikah. Resa seolah tidak percaya Lavina akan mendapat lelaki yang sempurna, karena penampilan Lavina yang jauh dari kata anggun dan berkelas.Lavina hanya remaja yang berpenampilan sederhana, wajahnya nyaris tidak pernah dipoles make up. Sehari-harinya hanya memakai sunscreen dan bedak tipis. Tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya selain lip gloss untuk melembabkan bibir. Tubuhnya pun kecil dan tidak begitu tinggi.Berbeda sekali dengan Resa yang tinggi semampai dan fasionista.Jadi, ketika Auriga datang ke rumah Mawar bersama orang tuanya untuk melamar Lavina, Resa nyaris pingsan karena dugaannya salah besar.Calon suami Lavina bukan bocah kemarin yang biaya hidupnya masih ditanggung orang tu
Siapa dia? Kenapa keluar dari kamar Om Auriga?Lavina mengamati wanita itu yang berjalan semakin mendekat. Saat berpapasan, wanita berambut pirang itu memandangi Lavina sembari tersenyum. Lavina balas tersenyum dan mengangguk.Harum banget, parfumnya pasti mahal. Dalam hati Lavina mengomentari parfum wanita itu yang wangi semerbak dan masih tercium meski orangnya sudah pergi cukup jauh.Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Auriga, ia menoleh ke punggung wanita itu yang semakin menjauh. Tidak mungkin wanita itu salah satu petugas wedding organizer, bukan? Penampilannya tidak terlihat seperti petugas yang berseragam.“Sedang apa kamu di sini?”“Oh?” Lavina kaget. Ia mengalihkan tatapannya ke depan dan mendapati Auriga yang baru saja membuka pintu.Mata Lavina mengerjap, mulutnya sedikit ternganga melihat wajah segar nan tampan pria di hadapannya itu. Garis rahang Auriga yang tegas memberikan kesan maskulin yang kuat. Matanya seperti permata hitam yang mengilap, seperti mala
“Malam ini aku mau tidur sama Grandma dan Grandpa.” Aurora tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.“Apa?!” Sontak, Lavina membungkam mulut dengan telapak tangan saat ia menyadari suaranya terlalu kencang, hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. “Tapi… kenapa? Kamu nggak mau tidur bareng aku?”Lavina masih belum terbiasa menyebut dirinya mommy pada Aurora, jadi ia tetap berbicara tidak formal dengan menyebut dirinya aku.“Mau, Mom, tapi nggak malam ini ya? Nggak apa-apa ‘kan, Mom, Dad?Menyadari ia akan tidur satu kamar berdua saja dengan Auriga, Lavina merasa keberatan. Ia lantas menatap Auriga dengan tatapan seolah sedang berkata, lakukan sesuatu!Namun, Auriga hanya mengedikkan bahunya dengan cuek, ekspresi wajahnya tetap datar, tapi tatapannya melembut begitu menatap Aurora di pangkuannya.“Grandma yang meminta kamu tidur di kamarnya, hm?” tanya Auriga dengan suara lembut.Aurora tersenyum lebar dan mengangguk. “Iya, Dad.”“Tapi…,” sela Lavina, “gimana kala
Pria berusia 30 tahun itu mengembuskan napas kasar, air mukanya mendadak berubah serius saat berkata, “Tadi saya cuma bercanda, jangan dianggap serius.”“Hah? Tadi?”“Ya, yang mengajak kamu melakukan itu.” Tangan Auriga sibuk mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil selagi ia menghampiri lemari. “Jangan khawatir, saya nggak akan pernah menyentuh kamu selama kita menikah. Sesuai perjanjian di awal, pernikahan kita hanya sebatas bisnis saja.”Mendengarnya, seketika Lavina mengembuskan napas dengan lega. Ia seolah mendapatkan kembali kekuatannya untuk berdiri.“Kalau gitu Om bisa keluar selama aku mandi?” tanya Lavina sembari melepas cardigan. Gaun pengantinnya sudah ia lepas tadi setelah selesai acara dan dibantu MUA.“Nggak bisa. Saya ngantuk, mau tidur.”“Lho?!! Kok gitu? Terus aku mandi gimana?”“Ya mandi saja. nggak perlu ribet begitu.”“Tapi—”“Masih ingat yang saya bilang tadi siang?” sela Auriga sembari menghampiri Lavina. “Tubuh kamu bukan tipe ideal saya.”Mata Lav
“Nggak akan ada yang berubah dengan kita meski aku sudah menikah. Aku menikahi perempuan itu demi Aurora.” Yoana tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku tahu. Tapi apa dia nggak bakal terluka ya?” Auriga menunduk, menatap tangan Yoana yang turun ke bawah meja dan mengusap pahanya yang dibalut celana denim. Auriga tidak menepis tangan Yoana, hanya membiarkan Yoana berbuat sesukanya. “Seharusnya nggak. Dia sudah aku beri peringatan.” “Baguslah.” Yoana kembali mengangguk. “Cuti berapa lama?” “Cuma tiga hari.” “Kenapa nggak ngambil satu minggu gitu? Biar agak lamaan dikit liburnya.” “Aku akan libur satu bulan kalau pernikahan ini benar-benar pernikahan yang aku inginkan.” Auriga mendengus pelan. Yoana mendecak lidah menanggapinya, lalu mengangguk pada waitress yang mengantar minumannya. Yoana lantas meneguk minuman itu sejenak, dan menaruh kembali gelas dengan elegan ke atas meja. “Seenggaknya kamu bisa ngabisin waktu bersamaku kalau cuti seminggu. Bisa aku jamin cutimu n
"Om pakai parfum cewek ya?!" “Apa?” Lavina mendekati Auriga dan mengendus kaos pria itu di bagian dada. Auriga langsung mundur selangkah, jari telunjuknya mendorong dahi Lavina supaya menjauh. “Apa yang kamu lakukan?” Satu alis Auriga terangkat. “Ish!” bibir Lavina mencebik. “Penampilan aja yang cool, tapi selera parfumnya aneh. Cowok, kok, malah suka pakai parfum cewek? Udah paling bener aku nggak suka sama tipe cowok kayak Om.” Lavina geleng-geleng kepala prihatin lalu berjalan menghampiri lemari. Auriga mengendus tubuhnya sendiri, terdiam sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan langkah ke kamar mandi. “Semalam Om nginap di mana? Kenapa nggak balik lagi ke sini?!” seru Lavina, yang membuat langkah Auriga terhenti. Auriga mengembuskan napas dan menatap Lavina. “Di manapun saya menginap, itu—” “Bukan urusanku!” Lavina menyela, melanjutkan kalimat Auriga. Ia tersenyum lebar dan membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Oke! Aku tahu itu bukan urusan aku, jadi aku ngga
“Saya nggak tahu selera baju kamu, jadi lemarinya masih kosong dan kamu bisa membelinya sendiri.” Auriga menyerahkan sebuah kartu gold pada Lavina. “Huh? Apa ini, Om?” Lavina mengerjap menatap kartu tersebut. Ia tahu itu kartu debet, tapi… untuk apa? “Ini bisa kamu gunakan untuk kebutuhan kamu. Saya akan transfer uangnya setiap bulan ke sini,” jelas Auriga seraya menatap Lavina dengan tatapannya yang masih tanpa ekspresi. “Jangan khawatir, ini sudah terisi untuk nafkahmu bulan ini. Gunakan dengan bijak. Dan ini…." Kali ini Auriga menyerahkan sebuah remot kecil pada Lavina yang masih tampan kebingungan. Dan kembali berkata, “Ini kunci mobil. Saya sudah menyediakan satu mobil buat kamu. Gunakan itu untuk keperluanmu.” Lavina tertegun. Matanya berkaca-kaca. Lidahnya pun mendadak terasa kelu meski banyak hal yang ingin ia ucapkan. Namun, yang bisa keluar dari mulutnya hanya…. “Terima kasih banyak,” lirihnya, “aku akan menggunakannya dengan bijak.” Lavina ragu untuk mengambil kartu da
“Aurora?! Boleh aku masuk?!” seru Lavina sembari melongokan kepala di celah pintu kamar Aurora yang terbuka, bibirnya tersenyum lebar.Aurora sedang menulis di meja belajar. Anak itu menoleh dan tersenyum, lalu mengangguk.Setelah mendapat izin, Lavina pun menghampiri Aurora. “Hey, rajin sekali! Pagi-pagi udah belajar aja ya?” candanya dengan senyuman lebar yang masih terpatri di bibirnya.Aurora terkikik sembari menutup buku lalu memeluknya di dada, seolah takut buku itu akan direbut Lavina. “Aunty nggak boleh lihat!”“Eh?”Lavina terkejut hingga langkahnya mendadak berhenti di dekat meja.Bukan. Ia bukan terkejut karena Aurora terlihat memiliki rahasia di buku itu. Namun, Lavina terkejut karena panggilan aunty yang Aurora lontarkan barusan.“Aun… ty?” gumam Lavina. Padahal sejak awal bertemu, Aurora selalu memanggilnya mommy. Ada apa dengan anak ini?Aurora turun dari kursi, lalu menggenggam tangan Lavina dan menariknya ke tepian tempat tidur. Keduanya duduk di sana berdampingan.“A
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab