Share

3. Rumah Asing

Author: Rosa Uchiyamana
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Tante, em… maksud aku Mommy, ayo kita pulang ke rumah!”

“Hah?!”

Lavina ternganga. Mulutnya terbuka untuk bicara, tapi melihat tatapan Aurora yang mengiba, lidah Lavina mendadak terasa kelu. Bibirnya mengatup lagi, lalu menatap Auriga, seolah-olah lewat tatapan itu ia ingin bilang apa yang harus saya katakan?

Sejak awal melihat Aurora, Lavina merasa kasihan karena anak ini tampak ketakutan saat melihat orang lain.

Lavina melihat Auriga mengembuskan napas kasar. Sekali lagi, Auriga berkata kepada putrinya bahwa Lavina bukanlah ibunya. Auriga meminta Aurora untuk melepaskan pelukannya.

Namun, tanpa diduga-duga, tangisan Aurora malah semakin kencang. Aurora menolak dipeluk ayahnya dan memilih untuk menangis berguling-guling di lantai seperti anak sedang tantrum.

Melihat pemandangan itu, hati Lavina yang sehalus kapas ikut merasakan sakit. Ia pernah berada di posisi Aurora, yang ingin sekali bertemu dengan ibu kandung yang tak pernah Lavina lihat seumur hidup.

Sementara itu Aurora masih mengamuk kendati Auriga sudah berhasil menggendongnya. Aurora terus meronta, meminta turun. Auriga kewalahan hingga ia menyerah dan menurunkan Aurora kembali.

Tanpa berpikir dua kali, Lavina segera menghampiri Aurora, memeluknya sambil berbisik, “Iya, ayo kita pulang. Maafin Mommy ya baru datang sekarang.”

Itu kata-kata yang ingin Lavina dengar dari ibu kandungnya meski hanya satu kali. Sayang, Lavina tak pernah mendengarnya.

Tangisan Aurora seketika terhenti. Napasnya tersengal-sengal, mata coklat terangnya menatap Lavina dengan sendu.

“Mommy,” lirih Aurora.

Lavina tersenyum lembut, tangannya mengusap pipi Aurora yang bersimbah air mata. “Nggak capek emangnya nangis terus?”

Bibir Aurora cemberut. Dia tidak berbicara lagi, hanya memeluk Lavina dengan erat.

Kemudian Lavina membawa Aurora duduk di kursi, di samping Auriga yang sedang memijat pelipis. Lavina melihat pria itu tampak frustrasi menghadapi anak ini.

“Aurora,” panggil Auriga setelah beberapa saat ia terdiam.

“Iya, Dad?”

“Sekali lagi Daddy tegaskan, perempuan ini bukan—” Auriga mengembuskan napas kasar dan berhenti bicara saat wajah Aurora kembali murung dan terlihat siap menangis. Auriga mengusap wajahnya dengan kasar.

“Dia bener-bener mommy aku, Dad, dan mommy mau kok pulang ke rumah."

“Apa?” Auriga menatap Lavina dengan mata dipicingkan, seolah sedang protes melalui tatapan tajamnya itu.

“Cuma itu satu-satunya cara, ‘kan?” gumam Lavina.

“Kamu sengaja meracuni pikiran anak saya?” Auriga balas berbisik.

Lavina mendelik. “Udah dibantuin bukannya berterima kasih malah nuduh yang nggak-nggak.” Seketika Lavina menyesal sudah membantu menenangkan putri laki-laki tua di sampingnya ini.

Auriga mendengus. Laki-laki itu seperti ingin mengatakan sesuatu dengan ekspresi jengkelnya pada Lavina, tapi Auriga hanya membuang muka setelah menatap Aurora sebentar.

“Dad, ayo kita pulang. Aku nggak marah liburannya batal, asal Mommy ikut bareng kita pulang ke rumah,” celetuk Aurora dengan polos, yang membuat Auriga memejamkan matanya dengan geram.

***

Mobil baru saja berhenti melaju. Lavina terperangah melihat rumah mewah tiga lantai di hadapannya. Sudah ia duga, laki-laki bernama Auriga itu bukan orang sembarangan, dia kaya raya.

Namun Lavina heran, kenapa orang seperti Auriga harus kehilangan ibu dari putrinya?

Lavina memang belum mendengar cerita yang sebenarnya mengenai ibu kandung Aurora, tapi dari apa yang ia alami di bandara tadi, cukup membuat Lavina paham jika Aurora tidak pernah melihat wajah ibu kandungnya, sehingga anak itu menganggap Lavina sebagai ibu yang ia lihat dalam mimpi.

Apa wajahku mirip sama wajah ibunya? batin Lavina.

“Mommy, ayo turun.”

“Eh?! Aku?”

Suara Aurora membuyarkan lamunan Lavina.

“Iya, siapa lagi? Masa aku manggil ‘mommy’ ke Pak Amir, sih?”

Lavina menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali, lalu tersenyum canggung pada sopir bernama Pak Amir yang baru saja membuka pintu.

Lavina lantas keluar, menyusul Auriga yang sudah turun lebih dulu.

Ya, setelah perdebatan panjang yang terjadi di bandara, akhirnya Lavina tak punya pilihan lain selain ikut kemari, karena jika tidak, Lavina akan berakhir di kantor polisi atas tuduhan pencurian tas Auriga.

Auriga sendiri yang bilang begitu kepada Lavina.

“Urusan tas saya yang kamu curi belum selesai,” ucap Auriga dengan dingin setelah memasuki rumah. “Lakukan apa yang Aurora mau lakukan bersama kamu. Tapi ingat, jangan sekali-kali berani mencuri satu barang pun dari rumah saya, kamera CCTV terpasang di mana-mana.”

Tangan Lavina terkepal. Wajahnya merah padam karena marah, tatapannya tajam menatap punggung Auriga yang berlalu pergi dari hadapannya.

Lavina hendak protes kalau ia bukan pencuri, tapi terhalang Aurora yang tiba-tiba mendekat sambil menggenggam tangannya.

“Mommy, ayo ikut ke kamar aku!” pinta Aurora dengan mata berbinar-binar.

Terpaksa Lavina menyembunyikan kekesalannya pada ayah anak ini, lalu tersenyum lebar dan mengangguk cepat. “Ayo!”

Aurora membawa Lavina ke kamarnya. Cat dinding, furniture, kasur dan boneka di kamar itu nyaris berwarna pink semua. Anak itu dengan semangat menunjukkan mainan yang ia miliki. Sampai-sampai Lavina tidak percaya kalau Aurora yang pertama kali ia lihat—yang penakut dan parno ketemu orang, adalah orang yang sama dengan Aurora yang sekarang ia lihat.

Sejujurnya Lavina tidak ingin terlibat terlalu jauh. Ia bukan ibu anak ini, dan Lavina tidak mau membuat Aurora berharap lebih kepadanya.

Baiklah.

Lavina mengembuskan napas panjang.

Aku cuma harus berpura-pura jadi ibu buat hari ini aja!

***

“Kamu masih libur sampai lusa, ‘kan?”

“Iya, Dad.” Auriga membuka pintu balkon dan berjalan menghampiri satu-satunya sofa yang ada di sana sambil menempelkan ponsel di telinga kiri. Matahari mulai turun ke peraduannya. “Kenapa memangnya?”

“Besok malam temani Daddy makan malam sama klien Daddy.”

Auriga mengembuskan napas berat. “Daddy mau ngejodohin aku lagi?”

“Ya, begitulah.”

“Sama siapa lagi sekarang?” erang Auriga sambil menahan kesal. “Daddy nggak kapok setelah selama ini aku tolak terus-terusan itu para perempuan yang Daddy kenalin ke aku?”

“Kali ini Daddy yakin kamu pasti suka. Ngomong-ngomong, Daddy nggak akan kapok sebelum kamu menerima salah satu perempuan pilihan Daddy.”

“Astaga,” gumam Auriga sembari mengusap wajahnya dengan kasar. “Dad, lebih baik Daddy berhenti ngejodohin aku, karena sampai kapanpun aku—”

“Jangan cuma mikirin diri kamu sendiri, Bang,” sela Axl di seberang sana. “Pikirkan juga Aurora. Dia butuh ibu. Kamu mau ngebiarin dia terus menerus seperti itu sampai dia dewasa?”

Auriga bergeming.

“Bukannya kamu sendiri tahu? Sekarang kondisi Aurora makin sulit terkendali. Kamu nggak kasihan sama anak kamu?”

Auriga memijat ruang di antara kedua alis. Ia menunduk sejenak, menghela napas, lalu menatap langit jingga dengan gamang.

“Aku akan cari wanita pilihanku sendiri, Dad,” gumam Auriga. “Jangan khawatir.”

“Kamu selalu bilang begitu, tapi buktinya nihil.” Axl berdecak lidah. “Pokoknya Daddy tunggu satu minggu. Lebih dari itu, kamu harus terima siapapun wanita yang Daddy pilih!"

“Dad!” protes Auriga. “Nggak bisa begitu! Satu minggu terlalu cepat, gimana bisa aku nemu wanita yang cocok denganku?”

“Itu urusan kamu, bukan urusan Daddy. Dan Daddy berharap, kamu juga bisa berhenti dari kehidupan bebasmu.”

***

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Erich Banget
asikkk ada cerita, adiknya, archer
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
Daddy pusing juga ya anaknya hampir mirip sama Daddynya dimasa muda kehidupan bebasnya sebelum.ketemu mommy Darly
goodnovel comment avatar
Siti Nur janah
kok bingung sih mas auriga, kan udah ketemu sama jodohnya, tinggal di bawa kerumah terus di kenalin sama orang tua juga ............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • My Cassanova Husband   4. Menikahlah Dengan Saya

    Lavina cukup kesulitan keluar dari rumah tersebut. Setiap kali ia akan pamit pulang, Aurora menahannya dengan alasan ingin makan malam bersama. Namun, tak cukup sampai di situ, setelah selesai makan malam, Lavina mengira Aurora akan melepaskannya, tetapi lagi-lagi anak itu menahannya karena ingin dibacakan buku cerita sebelum tidur oleh Lavina. Lavina pasrah. Pertama, ia tidak mau berakhir di kantor polisi karena tuduhan pencurian tas Auriga. Sebab meski Lavina sudah menjelaskan kepada Auriga saat makan malam, mengenai apa yang terjadi tadi siang, tentang Yasa yang merupakan kakak tirinya yang kabur membawa kalung milik Mawar, sampai kemudian Yasa membawa kabur tas Auriga. Namun sepertinya Auriga belum percaya sepenuhnya pada penjelasan Lavina. Kedua, setiap kali menatap mata polos Aurora, Lavina merasa tersentuh dan tak sampai hati untuk menolak keinginannya. Begitu pula dengan Auriga. Lavina melihat pria matang itu kesal dengan keinginan Aurora, tapi Auriga seperti tak berdaya

  • My Cassanova Husband   5. Ayo Kita Menikah

    Plak!Wajah Lavina terlempar ke samping. Pipinya terasa kebas dan pandangannya sempat mengabur. Bekas tamparan Mawar tak hanya membekas di pipi saja, tetapi juga di hati.“Kamu sadar selama ini kamu hidup dengan siapa, hah?! Berani-beraninya kamu nyuri kalung punya orang yang sudah ngerawat kamu!" teriak Mawar dengan wajah merah padam.Tangan Lavina terkepal. “Udah aku bilang, Ma. Yang nyuri kalung Mama itu Kak Yasa, bukan aku!”"Halah! Kebiasaan kamu dari dulu selalu nyalahin anak Mama! Yasa nggak mungkin mencuri apalagi sampai mencuri kalung Mama!” seru Mawar lagi, urat-urat di dahinya menonjol, napasnya memburu penuh emosi.Lavina terdiam. Matanya menatap lantai keramik putih dengan tatapan datar. Bibirnya tersenyum miris.‘Selalu nyalahin anak Mama.’Ya, aku emang bukan anak Mama. Aku cuma beban di rumah ini. Mama nggak pernah anggap aku anak. Anak Mama cuma Kak Yasa dan Kak Resa.“Pokoknya Mama nggak mau tahu. Kembaliin kalung itu, Lavina!”“Akh!” pekik Lavina saat tubuhnya tiba-

  • My Cassanova Husband   6A. Wanita Berambut Pirang

    “Menikah?” Seketika, Resa tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut. “Hey! Emangnya ada cowok yang mau nikah sama lo? Ya… kalaupun ada, gue yakin dia cuma bocah kemaren yang masih minta duit sama orang tua.”Itulah respons pertama Resa setelah Lavina menyampaikan rencananya untuk menikah. Resa seolah tidak percaya Lavina akan mendapat lelaki yang sempurna, karena penampilan Lavina yang jauh dari kata anggun dan berkelas.Lavina hanya remaja yang berpenampilan sederhana, wajahnya nyaris tidak pernah dipoles make up. Sehari-harinya hanya memakai sunscreen dan bedak tipis. Tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya selain lip gloss untuk melembabkan bibir. Tubuhnya pun kecil dan tidak begitu tinggi.Berbeda sekali dengan Resa yang tinggi semampai dan fasionista.Jadi, ketika Auriga datang ke rumah Mawar bersama orang tuanya untuk melamar Lavina, Resa nyaris pingsan karena dugaannya salah besar.Calon suami Lavina bukan bocah kemarin yang biaya hidupnya masih ditanggung orang tu

  • My Cassanova Husband   6B. Bukan Perempuan Ideal Auriga

    Siapa dia? Kenapa keluar dari kamar Om Auriga?Lavina mengamati wanita itu yang berjalan semakin mendekat. Saat berpapasan, wanita berambut pirang itu memandangi Lavina sembari tersenyum. Lavina balas tersenyum dan mengangguk.Harum banget, parfumnya pasti mahal. Dalam hati Lavina mengomentari parfum wanita itu yang wangi semerbak dan masih tercium meski orangnya sudah pergi cukup jauh.Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Auriga, ia menoleh ke punggung wanita itu yang semakin menjauh. Tidak mungkin wanita itu salah satu petugas wedding organizer, bukan? Penampilannya tidak terlihat seperti petugas yang berseragam.“Sedang apa kamu di sini?”“Oh?” Lavina kaget. Ia mengalihkan tatapannya ke depan dan mendapati Auriga yang baru saja membuka pintu.Mata Lavina mengerjap, mulutnya sedikit ternganga melihat wajah segar nan tampan pria di hadapannya itu. Garis rahang Auriga yang tegas memberikan kesan maskulin yang kuat. Matanya seperti permata hitam yang mengilap, seperti mala

  • My Cassanova Husband   7A. Malam Pertama

    “Malam ini aku mau tidur sama Grandma dan Grandpa.” Aurora tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.“Apa?!” Sontak, Lavina membungkam mulut dengan telapak tangan saat ia menyadari suaranya terlalu kencang, hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. “Tapi… kenapa? Kamu nggak mau tidur bareng aku?”Lavina masih belum terbiasa menyebut dirinya mommy pada Aurora, jadi ia tetap berbicara tidak formal dengan menyebut dirinya aku.“Mau, Mom, tapi nggak malam ini ya? Nggak apa-apa ‘kan, Mom, Dad?Menyadari ia akan tidur satu kamar berdua saja dengan Auriga, Lavina merasa keberatan. Ia lantas menatap Auriga dengan tatapan seolah sedang berkata, lakukan sesuatu!Namun, Auriga hanya mengedikkan bahunya dengan cuek, ekspresi wajahnya tetap datar, tapi tatapannya melembut begitu menatap Aurora di pangkuannya.“Grandma yang meminta kamu tidur di kamarnya, hm?” tanya Auriga dengan suara lembut.Aurora tersenyum lebar dan mengangguk. “Iya, Dad.”“Tapi…,” sela Lavina, “gimana kala

  • My Cassanova Husband   7B. Auriga Space Ivander

    Pria berusia 30 tahun itu mengembuskan napas kasar, air mukanya mendadak berubah serius saat berkata, “Tadi saya cuma bercanda, jangan dianggap serius.”“Hah? Tadi?”“Ya, yang mengajak kamu melakukan itu.” Tangan Auriga sibuk mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil selagi ia menghampiri lemari. “Jangan khawatir, saya nggak akan pernah menyentuh kamu selama kita menikah. Sesuai perjanjian di awal, pernikahan kita hanya sebatas bisnis saja.”Mendengarnya, seketika Lavina mengembuskan napas dengan lega. Ia seolah mendapatkan kembali kekuatannya untuk berdiri.“Kalau gitu Om bisa keluar selama aku mandi?” tanya Lavina sembari melepas cardigan. Gaun pengantinnya sudah ia lepas tadi setelah selesai acara dan dibantu MUA.“Nggak bisa. Saya ngantuk, mau tidur.”“Lho?!! Kok gitu? Terus aku mandi gimana?”“Ya mandi saja. nggak perlu ribet begitu.”“Tapi—”“Masih ingat yang saya bilang tadi siang?” sela Auriga sembari menghampiri Lavina. “Tubuh kamu bukan tipe ideal saya.”Mata Lav

  • My Cassanova Husband   8. Om Pakai Parfum Cewek, Ya?

    “Nggak akan ada yang berubah dengan kita meski aku sudah menikah. Aku menikahi perempuan itu demi Aurora.” Yoana tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku tahu. Tapi apa dia nggak bakal terluka ya?” Auriga menunduk, menatap tangan Yoana yang turun ke bawah meja dan mengusap pahanya yang dibalut celana denim. Auriga tidak menepis tangan Yoana, hanya membiarkan Yoana berbuat sesukanya. “Seharusnya nggak. Dia sudah aku beri peringatan.” “Baguslah.” Yoana kembali mengangguk. “Cuti berapa lama?” “Cuma tiga hari.” “Kenapa nggak ngambil satu minggu gitu? Biar agak lamaan dikit liburnya.” “Aku akan libur satu bulan kalau pernikahan ini benar-benar pernikahan yang aku inginkan.” Auriga mendengus pelan. Yoana mendecak lidah menanggapinya, lalu mengangguk pada waitress yang mengantar minumannya. Yoana lantas meneguk minuman itu sejenak, dan menaruh kembali gelas dengan elegan ke atas meja. “Seenggaknya kamu bisa ngabisin waktu bersamaku kalau cuti seminggu. Bisa aku jamin cutimu n

  • My Cassanova Husband   9. Kamar Kita Terpisah?

    "Om pakai parfum cewek ya?!" “Apa?” Lavina mendekati Auriga dan mengendus kaos pria itu di bagian dada. Auriga langsung mundur selangkah, jari telunjuknya mendorong dahi Lavina supaya menjauh. “Apa yang kamu lakukan?” Satu alis Auriga terangkat. “Ish!” bibir Lavina mencebik. “Penampilan aja yang cool, tapi selera parfumnya aneh. Cowok, kok, malah suka pakai parfum cewek? Udah paling bener aku nggak suka sama tipe cowok kayak Om.” Lavina geleng-geleng kepala prihatin lalu berjalan menghampiri lemari. Auriga mengendus tubuhnya sendiri, terdiam sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan langkah ke kamar mandi. “Semalam Om nginap di mana? Kenapa nggak balik lagi ke sini?!” seru Lavina, yang membuat langkah Auriga terhenti. Auriga mengembuskan napas dan menatap Lavina. “Di manapun saya menginap, itu—” “Bukan urusanku!” Lavina menyela, melanjutkan kalimat Auriga. Ia tersenyum lebar dan membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Oke! Aku tahu itu bukan urusan aku, jadi aku ngga

Latest chapter

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 9

    Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 8

    Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 7

    5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 6

    Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 5

    “Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 4

    Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 3

    Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 2

    Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 1

    Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab

DMCA.com Protection Status