Orang yang dicintai adalah bagian berharga di dalam hidupku. Aku adalah orang yang tidak suka, jika milikku diganggu gugat. Ya walaupun, aku dengan Lucer belum memiliki status yang jelas, tetapi kami sudah saling menyatakan cinta–kurasa aku punya hak.Hal yang pernah dirasakan Necia akhirnya menjadi karmaku. Ternyata begitu rupanya, jikalau cinta ditikung teman sendiri. Menyakitkan!Tepian pekarangan rumah itu dipenuhi dengan bunga warna-warni. Aku belum mendapati sosok Chel, ataupun pria yang kusukai–Lucer. Mereka seakan lenyap, tatkala kami sampai di sana."Rumahnya udah banyak berubah. Dulu pas aku ke sini, pekarangannya cuma ada batu-bata, dan tanah yang tandus." Aku berhenti di depan pintu berukiran gaya hidup modern.Keluarga Chel adalah pribadi yang lebih memprioritaskan pemimpin. Pak Koo membangun semacam ajaran disiplin, sehingga Chel jarang sekali mendapatkan kebebasan.Jika tipe orang tua sering memaksakan kehendak pada anaknya, suatu saat akan dilawan. Jiwa buah hati bukan
Sebelum jam makan siang dimulai, aku berkumpul bersama Dona dan Lionel. Kami menikmati obrolan santai, sebelum berpisah untuk menyelesaikan urusan masing-masing. Aku mendengarkan banyak masalah dari penuturan Dona. Dia bilang, "Keluargaku selalu ingin menjadikanku anak gadis yang sempurna. Ibuku setiap hari menghiasku, agar aku tetap tampil dengan cantik. Pun, ayahku juga selalu meminta setoran nilai setiap akhir pekan. Rasanya lelah punya keluarga yang begini, Ret, Lio."Lionel mengadu nasib. "Ayahku juga suka gitu, Na. Kalian yang ngelihat mungkin nggak ngerasa ada perbedaan. Tapi bagiku banyak."Mereka punya segudang masalah. Aku yang sering melihat mereka senyum-senyum, dan bergaul layaknya orang tanpa adanya beban hidup, nyatanya mereka terlalu rapi bermain peran.Aku tidak ingin mengumbar lika-liku konflik. Biarlah hanya menjadi pendengar yang baik, untuk kisah tragis mereka berdua."Enaknya jadi Margaret. Kalo aku nggak ada orang tua, aku pasti bahagia," tutur Lionel. Pria it
Aku sangat lelah membujuk seorang Renata Elga. Gadis bermata biru sedikit gelap itu hanya menggerutu, dan tidak berpindah tempat; mematung sambil menyilangkan tangannya.Siswa-siswi yang melihat ke arah kami, seraya berbisik-bisik, membuatku tidak suka. Kalau dipikir-pikir, aku lebih mirip pengemis pertolongan daripada seorang teman."Yaelah, Ta. Kamu kok gini amat, sih, sama temen sendiri padahal." Aku melepaskan jas almamater, lalu berjalan meninggalkan gadis yang berlagak seperti orang bisu itu.Beragam rayuan sudah kuberikan padanya, tetapi takmampu meluluhkan pertahanan yang dibangun oleh Renata. Aku perlu mencari moderator lain, yang pasti, bukan dia. Masa bodoh dengan rombongan Lucer yang akan marah, karena aku tidak berhasil membujuk Renata."Tunggu, Ret!" Suara yang kutunggu-tunggu, akhirnya terdengar.Aku berbalik. "Loh, katanya tadi nggak mau jadi moderator, Ta. Kok sekarang manggil-manggil namaku?""Gue tadi lagi berfikir doang. Sekarang mah gue udah nentuin keputusan yang
"Nggak." Hanya itu yang bisa kuberikan sebagai jawaban dari permohonan Jerome. Mau mengurusi hubungannya dengan Renata? No way. Salah sendiri kenapa dia cinta karena memandang fisik? Kalau saja dia tidak pernah tergoda rayuan maut Chel, mungkin dia masih bisa bersama-sama Renata Elga."Aku bakalan bayar, deh." Dia memberikan sebuah amplop tebal di depan mejaku. Sejujurnya, aku cukup tertarik dengan tawaran menggiurkan itu. Namun, ada hati seorang pria yang harus kujaga. Aku tidak mau ada salah paham, dan lagi-lagi dihadapkan dengan pertengkaran."Kalo kamu masih cinta sama dia, kamu perjuangkan sendiri. Aku cuman bisa kasih saran dikit-dikit doang ke kamu, Jerome. Selebihnya, kamu yang menentukan pilihan di atas keputusan kamu sendiri." Aku menggeserkan amplop tebal yang isinya mungkin ratusan juta itu ke arah kiri–kembali padanya."Mr. Sei itu pamanku. Aku ada lihat nilai kamu kecil di materi biologi. Ujian tiga bulan lagi bakalan berlangsung."Perasaanku mulai tidak enak. Jangan-j
Gadis yang tertidur di kursi penumpang tampak lelap. Aku tidak tega membangunkannya, karena kami sudah sampai di kastil Keluarga Zayden. Kuharap dia tidak terjerumus pada emosi, ataupun takut pada kenyataannya. Di lain sisi, mungkin memang sudah saatnya ia tahu."Selamat datang di kastil Zayden. Eh, nggak reply-reply!" Geofrey Zayden–reinkarnasi Pangeran Ergo, membuka pintu gerbang dengan tangan terbuka lebar. Aku berdesis, "Sttt! Chel lagi tidur di dalam mobil, nanti dia bangun."Frey mungkin tidak percaya dengan ucapanku, makanya dia langsung mengintip di kaca mobil Lucer. Tidak lama setelahnya, dia nampak membuka pintu."Aku di mana? Kenapa aku di sini? Ini bukan kunjungan tour agensi perfilman, kan?" Chel keluar seperti Tarzan lepas. Dia tampak kebingungan, melirik ke kanan-kiri."Halo, Nona Chel?" Frey menyapanya dengan senyuman di wajah."Argh! Geofrey Zayden ada di dalam mimpiku? Oh astaga, ganteng banget!" Chel memeluknya sambil menciumi pipi kanan-kiri Frey.Huek!Lucer yan
Lucer membuka sebuah buku rapalan mantra-mantra kuno. Aku dan Frey menahan pergerakan Chel, yang dia sendiri tengah tertidur–untuk jaga-jaga jika dia bangun dan mengamuk lagi.Halaman setebal lima centimeter sudah hampir setengahnya terbaca oleh Lucer. Aku melirik ke arah arloji. Sial! Sudah tiga jam.Frey yang mungkin menyadari, bahwasanya aku sedikit lelah, pun bertanya. "Kenapa, Ret? Kamu mau tukar tugas sama Si Lucer, ya?" "Aku nggak bisa baca dalam kecepatan dua ribu kata per lima menit, Frey. Kalo aku gantian sama Lucer, sampe dini hari pun nggak akan kelar. Toh, aku orangnya malas membaca," tuturku."Haduh, kalo gini kapan kamu pintarnya!?" Lucer menyahuti obrolan kami."Nanti Margaret bakal pintar kok. Iya, nanti, pas nikah sama kamu. Hahaha." Frey lagi-lagi begitu. Agaknya dia sudah bisa melupakanku, dan taklagi terobsesi pada perasaannya yang tidak akan pernah terbalas.Lucer dan Frey menjadi sahabat dekat, setelah diperbolehkan oleh Pak Aiden. Kabar baik itu disampaikan me
Aku mengintip di sela-sela pintu yang sedikit terbuka. Di ruangan serba berlantaikan emas itu hanya ada Zahra seorang. Entah apa yang membuatnya ada di sana. Aku sendiri masih menyelidikinya.Zahra Clover bukan diriku yang lemah di masa Margaret Phire. Aku mengenal diriku sebagai sosok yang berpikiran luas, hafal segala magis, dan bijaksana dalam menentukan keputusan.Akan tetapi, ramalan-ramalan yang dibuat oleh Tuan Liu, akhirnya menjadi pemicu paling tragis. Aku kehilangan banyak kefokusan, hanya karena memikirkan masa depan yang terlalu berlebihan–gen dari Ratu Jingga–ibuku."Arsenio tidak boleh memaksakan diri hanya untuk menyelamatkan Tuan Fin. Aku tidak bisa mengambil risiko yang besar," Zahra bergumam sambil mondar-mandir di dekat singgasana."Sejak kapan aku kayak gitu, ya? Kok ingatanku belum sepenuhnya pulih?" ucapku bertanya-tanya di dalam hati.Kekuatan yang ada pada Zahra mungkin jauh lebih besar. Pun, kemampuan bela dirinya. Dulunya, aku di masa lalu adalah wanita yang
"Bukankah aku sudah membunuhmu berulangkali di masa Swifolges masih berdiri? Kenapa ... kenapa kamu masih tetap bernafas hingga detik ini?" Aku mengeluarkan banyak sihir berwarna ungu–khusus penyerangan.Pria yang kuajak bicara hanya diam, tetapi terus melangkah maju. Telinganya sepertinya sengaja mengabaikan suaraku. "Apakah kamu pria yang tuli? Kamu tidak pernah sekali pun mau mendengarkanku," ucapku bertanya lagi."Membunuh tanpa perasaan. Bagaimana aku bisa mati, jika kamu membunuh lewat pikiran?" Ia akhirnya membuka suara juga, setelah banyak pertanyaan kulemparkan padanya."Aku tidak pernah menyia-nyiakan sekali pun kesempatan untuk selalu membunuhmu, Horris!" "Tidakkah kamu berpikir ini adalah suatu realita? Jika aku mati, aku tidak akan berdiri di depanmu, Nona," katanya.Horris adalah pria yang pernah melamarku, hingga membuatku percaya dunia adalah milik kami berdua. Dia datang lebih dulu, bahkan jauh sebelum Pangeran Ergo, dan Pangeran Arsenio menjadi bagian dari kisah hi