"Kevin! Ngapain dia kemari? Bukankah aku sudah bilang jangan menjemputku? Ayah tau lagi!" gumam Rania memanyunkan bibirnya."Kamu itu sudah bersuami. Jadi, ayah harap kamu bisa menjaga batasannmu dalam bergaul!" Perkataan sang ayah terlintas kembali dalam benak Rania. "Apa ayah akan marah, kalo aku keluar dengan Kevin?" tanya Rania seorang diri. Sudut matanya mengerut saat angin malam menerpa wajah cantiknya. Menahan dinginnya malam yang mengimbangi rasa cemas dalam dirinya."Hah, semoga saja apa yang aku khawatirkan tidak terjadi," kata Rania berharap dan berjalan menghampiri mereka.Om Hakim menopangkan kedua tangan di dada. Tatapan matanya yang tajam membuat Kevin seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Kevin merasa seperti orang lain di depan ayah Rania."Ada apa, Vin? Kenapa kamu malam-malam datang ke sini?" tanya om Hakim penasaran."Apa kamu ada janji dengan Rania?" Kevin menorehkan senyum. Hatinya lega, saat om Hakim mulai berbicara pada
Rania? Bukankah itu Rania, istrinya Sakti? tanya batin clara. Kenapa Kevin memasang foto Rania? Apa hubungan mereka?Clara seakan tercekat. Ia tak habis pikir, nama Rania selalu ada dalam lelaki yang sangat berharga baginya."Iya, tak apa. Kita bisa makan malam lain kali. Tidurlah!" ujar Kevin mematikan ponselnya."Kevin!"Kevin mendongak saat sapaan lembut keluar dari mulut Clara."Iya!" jawab Kevin datar."Apa wanita di wallpaper ponselmu itu kekasih kamu?" tanya Clara memastikan.Kevin menoleh. Sudut bibirnya mengembang saat pertanyaan itu terlontar."Tidak! Dia sahabatku," jawab Kevin memasukkan ponsel dalam saku celananya."Oh, aku kira dia kekasihmu!" Clara terlihat senang mendengarnya. Raut wajah yang tadinya memasang muka sebal dan penuh kekesalan, kini terlihat sumringah mendengar penuturan Kevin."Apa kamu sudah makan?" Kevin berdiri seraya memasukkan ponsel miliknya. Clara mendongak. Entah kenapa, ia tak bisa menyimpan rasa bahagia saat bersama dengan Kevin. Seakan ada seb
Bukankah sudah kubilang padamu. Jaga jarakmu!" Perkataan om Hakim membuat Kevin tercekat."Om Hakim ...," kata Kevin terhenti."Om Hakim tak mau karena kehadiranmu ini, menantuku jadi salah paham," tutur om Hakim seraya menopangkan kedua tangan di dada. Mencoba menahan rasa amarah dan kecewa yang datang menghampiri."Biarkanlah rania menjalankan kewajibannya menjadi seorang istri yang sesungguhnya. Mereka saling mencintai satu sama lain. Dan, om tak mau kamu berada di tengah-tengah mereka, Vin. Bukannya apa! Tapi, sangatlah tidak baik jika seorang sahabat terus saja bersikap seperti remaja," gumam om Hakim.Tidak, Om. Mereka tidak saling mencintai! Rania hanya mencintaiku bukan mencintai Sakti Argantara! kata batin Kevin seraya menegak salivanya dengan paksa."Pergilah! Dan jangan pernah lagi menjemput putriku lagi!" tegas om Hakim menyodorkan ponsel milik Kevin.Kevin terdiam. Kedua bola matanya tak berhenti menatap ke arah lelaki paruh baya yang pergi meninggalkan dirinya. Sungguh,
"Biarkan seperti ini, lima menit saja!" pinta Sakti menatap dua bola manik mata Rania.GlekTegakkan saliva Rania mengalir dengan paksa. Untuk pertama kalinya, ia melihat wajah tampan suaminya yang begitu dekat.Kenapa kamu terlahir sempurna? Rasanya jantungku berhenti berdetak dan tak mampu untuk menolak kecantikan yang ada di dirimu! gumam batin Sakti menyapu rambut panjang Rania yang mengganggu pandangannya."Kamu sedang sakit! Aku tak mau, gara-gara diriku, sakitmu bertambah parah!" gerutu Rania mencoba untuk bangkit.Sakti mengerjapkan matanya. Pandangan matanya beralih menatap ke arah wanita yang saat ini berdiri tepat di samping dirinya."Makan dulu, sesudah itu baru minum obat!" ucap Rania."Aku sudah minum obat!" jawab Sakti yang mulai bangkit dan bersandar di bahu tempat tidur.Sejenak, Rania melirik ke arah Sakti. Bibirnya merapat seraya memikirkan sesuatu hal melintas kembali di pikirannya."Sakti itu tak suka minum obat ataupun pergi ke rumah sakit. Dari dulu, dia sangat
"O ... Aku kira siapa. Paling juga dia memberitahumu kalo dia sedang bulan madu madu ke Singapura," jawab Mike yang membuat Sarah terkejut setengah mati."Bulan madu? Apa maksud kamu?" tanya Sarah dengan tatapan tajam.Mike menegak salivanya dengan paksa. Bibirnya merapat mengimbangi alis tebalnya yang bertaut.Bibir sexyku! Kenapa kamu selalu kebablasan sih? Kamu tau kan, Lovely belum tau kalo mereka sudah menikah! ucap batin Mike seraya menutup meremas bibir sexynya itu."Seolah-olah kamu itu berpikiran kalo Rania dan pak Sakti sudah menikah. Apa jangan-jangan mereka menikah diam-diam, ya?"Mike menoleh. Lentik bulu matanya mengerjap saat perkataan Sarah lagi-lagi membuatnya kebingungan untuk menjawab.Apa yang harus aku jawab? tanya batin Mike berpikir sejenak. Jemari tangannya tak berhenti mengetuk gagang setir yang tepat di hadapannya. Mencoba mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Sarah.Sarah mengernyitkan dahi. Sudut matanya mengerut melihat Mike terdiam dengan tatapan
Semua mata tertuju ke arah kotak yang terlepas dari genggaman Rania.Rania mengernyit. Tatapan matanya mengarah ke arah tangan sang ayah yang akan mengambil kotak tersebut.Mati aku! gumam batin Rania menutup kedua bola matanya. Terlihat sangat pasrah dengan apa yang akan terjadi.Drt ... Drt ...Rania membuka matanya secara perlahan. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat sang ayah mengangkat telepon yang berdering.Huft Helaan nafas panjang Rania semakin terasa mengiringi rasa lega dalam hatinya. Apa yang ia takutkan akhirnya tidak terjadi juga."Nanti, tolong kamu antar ke bawah, ya! Ayah ada telpon dari Pak Bondan," lirih ayah seraya menutup ponselnya dengan telapak tangan."Iya, Ayah. Rania akan mengantarkan alat pencukurnya. Ayah tenang saja!" ucap Rania bangkit dengan senyum yang sumringah. "Ok!" jawab ayah melangkah pergi seraya mengacungkan jempolnya.Ia mengacungkan jempol untuk membalas kode sang ayah.Syukurlah! gumam batin Rania bangkit seraya meraih kotak
"Obat ini! Bukankah ibu pernah mempunyai obat ini?" tanya Rania memegang bungkus obat tersebut.Ia mulai berdiri dan duduk sembari mengamati obat yang membuat dirinya bertanya-tanya seorang diri.Flash back"Ibu ... Ibu .... Apa ibu tau se ...," kata Rania terhenti. Dua bola matanya mengerling menatap ibunya bersandar di meja kamar. Terlihat lemas seraya memegang dada."Ibu ... Ibu kenapa?" gegas Rania menghampiri.Rania berjongkok. Kedua tangannya memegang bahu ibunya. Rasa khawatir dan cemas terlihat jelas pada dirinya."Apa ibu baik-baik saja? Hidung ibu mimisan!" Rania semakin panik. Alisnya bertaut mengimbangi rasa takut dan kekhawatiran yang datang menghampiri. Begitu polos dan lugu itulah yang melekat di diri rania waktu itu. Rambut berkepang, itulah ciri khas Rania yang masih memakai seragam SMP."Rania, tolong ambilkan obat ibu yang ada di laci!" ucap ibu dengan lirih.Dengan cepat, Rania bergegas mengambil apa yang ibu perintahkan. Sejenak, sudut matanya mengerut menatap be
"Ibu kamu menderita leukimia!" Perkataan sang ayah kembali melintas dalam benaknya.Leukimia? Apa iya dia juga mengidap penyakit mematikan itu? tanya batin Rania terus menatap Sakti yang mulai menoleh ke arahnya.Sakti menyeringai. Alisnya bertaut melihat Rania yang tak biasanya menatapnya seperti itu. Tatapan sendu, seakan-akan menyimpan makna di dalamnya. Sakti beranjak dari duduknya. Ia mulai melangkah menghampiri Rania yang masih terdiam tepat di depan pintu.TekJentikan tangan Sakti mengejutkan Rania. "Apa yang ingin kamu tanyakan padaku?" Pertanyaan Sakti yang membuat Rania bingung untuk menjawab."Ta-nya? Tanya apa? Aku tak ingin bertanya," ujar Rania melangkah. Mencoba menghindari pertanyaan yang mungkin akan mencecar dirinya."Benarkah? Tidak ada pertanyaan yang ingin kamu tanyakan padaku?" cecar Sakti seraya mengikuti langkah kaki Rania.Rania berbalik dan terkejut saat kepalanya terbentur tepat di dada bidang Sakti. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap. Dua bo