Bukankah sudah kubilang padamu. Jaga jarakmu!" Perkataan om Hakim membuat Kevin tercekat."Om Hakim ...," kata Kevin terhenti."Om Hakim tak mau karena kehadiranmu ini, menantuku jadi salah paham," tutur om Hakim seraya menopangkan kedua tangan di dada. Mencoba menahan rasa amarah dan kecewa yang datang menghampiri."Biarkanlah rania menjalankan kewajibannya menjadi seorang istri yang sesungguhnya. Mereka saling mencintai satu sama lain. Dan, om tak mau kamu berada di tengah-tengah mereka, Vin. Bukannya apa! Tapi, sangatlah tidak baik jika seorang sahabat terus saja bersikap seperti remaja," gumam om Hakim.Tidak, Om. Mereka tidak saling mencintai! Rania hanya mencintaiku bukan mencintai Sakti Argantara! kata batin Kevin seraya menegak salivanya dengan paksa."Pergilah! Dan jangan pernah lagi menjemput putriku lagi!" tegas om Hakim menyodorkan ponsel milik Kevin.Kevin terdiam. Kedua bola matanya tak berhenti menatap ke arah lelaki paruh baya yang pergi meninggalkan dirinya. Sungguh,
"Biarkan seperti ini, lima menit saja!" pinta Sakti menatap dua bola manik mata Rania.GlekTegakkan saliva Rania mengalir dengan paksa. Untuk pertama kalinya, ia melihat wajah tampan suaminya yang begitu dekat.Kenapa kamu terlahir sempurna? Rasanya jantungku berhenti berdetak dan tak mampu untuk menolak kecantikan yang ada di dirimu! gumam batin Sakti menyapu rambut panjang Rania yang mengganggu pandangannya."Kamu sedang sakit! Aku tak mau, gara-gara diriku, sakitmu bertambah parah!" gerutu Rania mencoba untuk bangkit.Sakti mengerjapkan matanya. Pandangan matanya beralih menatap ke arah wanita yang saat ini berdiri tepat di samping dirinya."Makan dulu, sesudah itu baru minum obat!" ucap Rania."Aku sudah minum obat!" jawab Sakti yang mulai bangkit dan bersandar di bahu tempat tidur.Sejenak, Rania melirik ke arah Sakti. Bibirnya merapat seraya memikirkan sesuatu hal melintas kembali di pikirannya."Sakti itu tak suka minum obat ataupun pergi ke rumah sakit. Dari dulu, dia sangat
"O ... Aku kira siapa. Paling juga dia memberitahumu kalo dia sedang bulan madu madu ke Singapura," jawab Mike yang membuat Sarah terkejut setengah mati."Bulan madu? Apa maksud kamu?" tanya Sarah dengan tatapan tajam.Mike menegak salivanya dengan paksa. Bibirnya merapat mengimbangi alis tebalnya yang bertaut.Bibir sexyku! Kenapa kamu selalu kebablasan sih? Kamu tau kan, Lovely belum tau kalo mereka sudah menikah! ucap batin Mike seraya menutup meremas bibir sexynya itu."Seolah-olah kamu itu berpikiran kalo Rania dan pak Sakti sudah menikah. Apa jangan-jangan mereka menikah diam-diam, ya?"Mike menoleh. Lentik bulu matanya mengerjap saat perkataan Sarah lagi-lagi membuatnya kebingungan untuk menjawab.Apa yang harus aku jawab? tanya batin Mike berpikir sejenak. Jemari tangannya tak berhenti mengetuk gagang setir yang tepat di hadapannya. Mencoba mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Sarah.Sarah mengernyitkan dahi. Sudut matanya mengerut melihat Mike terdiam dengan tatapan
Semua mata tertuju ke arah kotak yang terlepas dari genggaman Rania.Rania mengernyit. Tatapan matanya mengarah ke arah tangan sang ayah yang akan mengambil kotak tersebut.Mati aku! gumam batin Rania menutup kedua bola matanya. Terlihat sangat pasrah dengan apa yang akan terjadi.Drt ... Drt ...Rania membuka matanya secara perlahan. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat sang ayah mengangkat telepon yang berdering.Huft Helaan nafas panjang Rania semakin terasa mengiringi rasa lega dalam hatinya. Apa yang ia takutkan akhirnya tidak terjadi juga."Nanti, tolong kamu antar ke bawah, ya! Ayah ada telpon dari Pak Bondan," lirih ayah seraya menutup ponselnya dengan telapak tangan."Iya, Ayah. Rania akan mengantarkan alat pencukurnya. Ayah tenang saja!" ucap Rania bangkit dengan senyum yang sumringah. "Ok!" jawab ayah melangkah pergi seraya mengacungkan jempolnya.Ia mengacungkan jempol untuk membalas kode sang ayah.Syukurlah! gumam batin Rania bangkit seraya meraih kotak
"Obat ini! Bukankah ibu pernah mempunyai obat ini?" tanya Rania memegang bungkus obat tersebut.Ia mulai berdiri dan duduk sembari mengamati obat yang membuat dirinya bertanya-tanya seorang diri.Flash back"Ibu ... Ibu .... Apa ibu tau se ...," kata Rania terhenti. Dua bola matanya mengerling menatap ibunya bersandar di meja kamar. Terlihat lemas seraya memegang dada."Ibu ... Ibu kenapa?" gegas Rania menghampiri.Rania berjongkok. Kedua tangannya memegang bahu ibunya. Rasa khawatir dan cemas terlihat jelas pada dirinya."Apa ibu baik-baik saja? Hidung ibu mimisan!" Rania semakin panik. Alisnya bertaut mengimbangi rasa takut dan kekhawatiran yang datang menghampiri. Begitu polos dan lugu itulah yang melekat di diri rania waktu itu. Rambut berkepang, itulah ciri khas Rania yang masih memakai seragam SMP."Rania, tolong ambilkan obat ibu yang ada di laci!" ucap ibu dengan lirih.Dengan cepat, Rania bergegas mengambil apa yang ibu perintahkan. Sejenak, sudut matanya mengerut menatap be
"Ibu kamu menderita leukimia!" Perkataan sang ayah kembali melintas dalam benaknya.Leukimia? Apa iya dia juga mengidap penyakit mematikan itu? tanya batin Rania terus menatap Sakti yang mulai menoleh ke arahnya.Sakti menyeringai. Alisnya bertaut melihat Rania yang tak biasanya menatapnya seperti itu. Tatapan sendu, seakan-akan menyimpan makna di dalamnya. Sakti beranjak dari duduknya. Ia mulai melangkah menghampiri Rania yang masih terdiam tepat di depan pintu.TekJentikan tangan Sakti mengejutkan Rania. "Apa yang ingin kamu tanyakan padaku?" Pertanyaan Sakti yang membuat Rania bingung untuk menjawab."Ta-nya? Tanya apa? Aku tak ingin bertanya," ujar Rania melangkah. Mencoba menghindari pertanyaan yang mungkin akan mencecar dirinya."Benarkah? Tidak ada pertanyaan yang ingin kamu tanyakan padaku?" cecar Sakti seraya mengikuti langkah kaki Rania.Rania berbalik dan terkejut saat kepalanya terbentur tepat di dada bidang Sakti. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap. Dua bo
GlekTegakkan salivanya mengalir dengan paksa. Mulutnya seakan terkunci rapat dan bingung melihat ekspresi mereka.Aduh! Apa mereka melihat cincin yang aku kenakan? tanya batin Rania dengan buru-buru menarik tangannya untuk bersembunyi."Ada apa?" tanya Rania mengembangkan senyum manisnya."Maaf, Bu. Meetingnya sudah siap!" kata mereka serempak."Iya! Saya akan ke sana!" jawab Rania datar."Kalo begitu kami permisi, Bu!" Perkataan mereka benar-benar membuat Rania mengernyit. Alisnya bertaut melihat mereka datang menemuinya hanya untuk memberitahukan hal itu.Dua bola matanya mengerling. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa melihat tiga staf kantor baru yang mulai pergi meninggalkannya.Bu!" lirih Rania tersenyum tipis."Baru kali ini aku di panggil Bu di kantor! gumam batin Rania seakan tak percaya."Hah, rasanya tenang bekerja dengan mereka. Aku tak bisa bayangkan jika bekerja dengan para senior yang mencoba menindasku!" gerutu Rania menoleh ke arah ponsel miliknya yang bergetar.
"Rania, makan malam dengan Kevin. Itu yang aku tau!" Perkataan Sarah melintas dalam benak Mike.Bagaimana mungkin aku memberitahukan hal ini padanya? Dia terlihat sangat bahagia! kata batin Mike menatap sahabatnya itu.Sakti menoleh. Senyumnya perlahan memudar melihat Mike yang masih berdiri dan terdiam tak jauh darinya.Sakti menghela nafas panjang. Ia mulai melangkah menghampiri sahabatnya itu."Kamu tak berniat untuk menjadi obat nyamuk antara aku dan Rania, kan?" tanya Sakti seraya menyembunyikan kedua tangan di saku celananya."Mana mungkin aku berani! Ya sudah, aku pulang dulu. Jika ada sesuatu yang kamu perlukan, kamu langsung saja hubungi sahabatmu ini. Dengan sigap, aku akan datang, Ok!" ucap Mike melangkah pergi meninggalkan Sakti seorang diri.Sakti menyeringai sekaligus mengernyit heran dengan sikap Mike kepadanya. Selalu, setiap dia sakit atau habis sakit, Mike selalu memberi perhatian lebih kepadanya."Andai saja Larisa belum menikah, sudah pasti aku akan menikahkan mere
Clara terkejut. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat suara Kevin terdengar olehnya. Ia menoleh. Dan TUARRTamparan keras melesat tepat di pipi kanannya."Dasar wanita sialan!" ketus ibu Mega yang terlihat marah dengan Clara.Kevin dan Mike tercengang di buatnya."Kakak!" ucap Clara seraya memegang pipi kanannya. Sungguh, terasa sangat sakit dan membekas tamparaan keras tersebut."Kakak?" tanya Mike mengerutkan keningnya. Ia seakan tak percaya jika ibu Mega adalah kakak kandungnya Clara."Bagaimana bisa kamu melakukan semua ini? Kamu tau? Rumah ini adalah kenangan kita bersama ayah dan ibu. Dan bisa-bisanya kamu menjual tanpa ijin terlebih dulu padaku. Apa kamu sudah tak menganggap kakak lagi!" ketus ibu mega meluapkan rasa amarah yang tertahan. Clara terdiam. Bibirnya bergetar mengimbangi rasa sakit hati yang masih membekas di hati."Maafkan aku, Kak. Aku terpaksa menjualnya. Aku tak mau aku berhutang budi dengan lelaki yang sudah menjadi milik orang lain. Sudah cu
"Sebentar lagi, sebentar lagi kehidupanmu akan berubah, Rania Agatha! Dan aku pastikan mereka tak akan mau dengan wanita sepertimu!" ucap Clara begitu senang bukan main.Rania terdiam. Sungguh, ia sangat bingung akan perkataan yang terlontar dari mulut Clara. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa. Terasa sangat kering dan sakit. "Bersiaplah!" gegas Clara mulai pergi meninggalkan rania seorang diri di kamar.Rania menghela nafas berat. Dua bola manik matanya tak berhenti menatap ke arah Clara yang mulai pergi meninggalkannya. Akan tetapi, Rania mengerling saat Clara berjabat tangan dengan lelaki paruh baya yang terlihat begitu menyeramkan."Aku tak bisa bayangkan, bagaimana ekspresi sakti setelah orang yang ia cintai telah di peristri oleh orang lain. Hah, sudah pasti dia akan menjadi gila!" Perkataan Clara seketika mengingatkan rania.'Kurang ajar! Bisa-bisanya dia ingin menjualku." Rania menggigit bibir bawahnya menahan rasa amarah yang tertahan saat melihat Clara tersenyum senang
"Kamu nggak usah ke sana! Biar aku yang mengurusnya!" ucap Mike."Jangan melarangku! Katakan! Di mana dan siapa yang membawa istriku pergi?" tegas Sakti meluapkan rasa amarahnya."Clara! Tadi clara menghubungiku dan dia tau di mana Rania berada," tutur Mike menjelaskan."Lalu, kamu percaya dengan kata-katanya?" tanya Sakti yang tak mendengar bantahan dari sahabatnya itu. "Yang aku butuhkan saat ini adalah informasi yang akurat dari plat nomor mobil yang aku kirimkan padamu itu. Cari sekarang!"Sakti segera mematikan ponselnya. Ia mendesah sebal saat Mike tak melakukan apa yang ia minta."Bagaimana bisa dia mengabaikan perintahku yang sangat penting ini?" keluh Sakti menegak salivanya dengan paksa. Untuk kali pertama, Mike tak secepat kilat seperti biasanya. Biasanya, di saat sakti selalu memberikan perintah, tak butuh waktu lama mike menyelesaikannya. Sangat berbeda dengan perintah kali ini. Padahal, perintah kali ini sangat berharga bagi Sakti. Bahkan melebihi nyawanya.Di kantor, M
Rania terjatuh tak sadarkan diri."Bawa dia masuk!" perintah seseorang yang membuat Rania pingsan karenanya.Sedangkan, Sakti bingung mencari keberadaan Rania yang tak ada di restoran.'Apa dia sudah pulang ke rumah?' batin Sakti bertanya. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi sopir yang sudah ia tugaskan untuk mengantar sang istri pergi."Halo, Pak! Di mana sekarang?" tanya Sakti memastikan.Sesaat, kedua bola matanya mengerling mengimbangi tegakan salivanya yang mengalir begitu saja. Bibirnya merapat seraya berpikir kemana sang istri pergi."Hubungi yang lain. Dan segera hubungi saya jika sudah menemukan ibu Rania!" Perintah Sakti menutup teleponnya.Alisnya bertaut. Kedua tangannya menopang di pinggang sembari mengamati tempat duduk yang memperlihatkan sesuatu yang tidak asing baginya.Dengan cepat, ia mulai melangkah. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah pesanan yang sama persis dengan permintaannya pada Rania. "Minumannya masih utuh. Apa mungkin di
"Siapa wanita itu? Bisa-bisanya memanggil suamiku dengan sebutan 'Say'? Dan dia juga, kenapa dia berbicara terang-terangan menjawab pertanyaan wanita itu di depanku?"Bibir ranum rania memanyun. Rasa bahagia dan semangat yang membara perlahan mulai memudar saat rasa cemburu mulai menguasai dirinya."Setelah aku memberikan semua kepadanya, bisa-bisanya dia mempermainkan perasaanku? Hah," keluh Rania melempar dua baju yang ada di tangannya.Di kantor, Sakti berjalan menghampiri Bu Mega, manager keuangan yang usianya lebih tua darinya. Sakti sudah menganggap Bu Mega seperti ibunya sendiri. Tak heran jika mereka begitu akrab. Layaknya ibu dan anak."Semuanya sudah beres, ibu tinggal membenahi selisih keuangannya saja!" tunjuk Sakti ke arah laporan yang di pegang oleh bu Mega."Jadi, hari ini ibu harus lembur, dong?" tanya Ibu Mega memastikan."Heem. Bukankah ibu tak pernah salah dalam berhitung? Tapi, kenapa laporan ini banyak kesalahan?" cecar Sakti yang menatap wanita paruh baya yang du
Tak seharusnya kamu menyuruhku ke sini melihat keromantisan kalian!" Lirih mike dengan tatapan sinis.Sakti menyeringai. Ia tak habis pikir, Mike sudah datang membawa makanan yang ia pesan."Letakkan saja di meja dan kamu ...," kata Sakti terhenti."Masih belum kelar?" tanya Mike berjalan ke arah meja kerja Sakti yang masih sama seperti waktu ia pulang kerja. Laporan menumpuk dan tak ada kegiatan laptop untuk melakukan pekerjaan.'Hah! Pasti dia menyuruhku ke sini untuk lembur. Dan sudah pasti, dia akan beralasan mengantar pulang rania,' gumam batin Mike melirik sahabatnya yang masih sibuk dengan benda layar pipih yang menempel di telinga."Baik, Pak. Sebelum jam dua belas, saya akan mengirimkan file-nya!" Perkataan Sakti yang membuat Mike mendesah sebal dan sudah sangat bisa di tebak, dia akan lembur seorang diri.'Dasar sahabat laknat! Dia tak tau apa, seharian aku tak istirahat karenanya!' gerutu batin Mike membanting tubuhnya tepat di kursi putar milik sahabatnya itu."Pulanglah!
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rania mulai panik.'Kenapa dia diam saja? Apa jangan-jangan dia ....' kata batin Rania terhenti saat pikiran negatif mulai menghantuinya."Tidak! Dia tak mungkin mati! Tidak!' Batin Rania seakan berkecamuk. Dua bola matanya berkaca-kaca. Rasa nikmat dan bahagia yang ia rasakan seketika berubah menjadi rasa takut dan sedih yang teramat dalam."Bangunlah! Tolong, jangan tinggalkan aku!" kata Rania mengoyak tubuh Sakti yang masih berada dalam pelukannya. Air matanya pun menetes saat tak ada jawaban yang keluar dari mulut suaminya itu. Dua bola mata Rania berputar. Semua terlihat begitu gelap dan hanya terdengar detakan jam dinding yang ada di ruangan tersebut.Perlahan, Rania mencoba mendorong tubuh Sakti dan berusaha untuk duduk. Bibirnya bergetar, jemari tangannya mulai mencari dan meraba remote yang akan menerangi ruangan tersebut.TekRania mengernyip. Sinar beberapa lampu yang menyala membuat kedua matanya silau.GlekTegakkan salivanya mengalir de
' Kenapa tatapan matanya seperti itu? Apa rasa cintanya kepadaku berubah hanya gegara sapu itu?' tanya Rania dalam hati seraya melihat sapu yang berada dalam genggaman sakti."Rania, apa kamu tau ...," ucap Sakti terhenti."Bukankah kamu bilang sangat mencintaiku? Lalu, kenapa kamu marah padaku hanya gegara sapu jelek itu? Kamu tau! Sejak semalam, perasaanku bercampur aduk karenamu," gumam Rania memanyunkan bibirnya. Sakti menyeringai. Perlahan, ia mulai meletakkan sapu itu di samping meja dan berjalan menghampiri Rania. Ia tak menyangka, istrinya salah paham dengan tingkah lakunya itu."Di saat aku mulai mencintaimu, kamu malah ...."GlekDua bola manik mata Rania mengerling. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa saat lumatan hangat mengarah pada bibir ranum miliknya. Begitu hangat dan kenyal. Sejenak, lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat Sakti melepas ciumannya. Apalagi jemari tangan Sakti mendongakkan dagunya secara perlahan. Sungguh, membuat detakan ritme jant
DegRania mengerling saat melihat tulisan yang membuat dirinya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.'Jadi dia ....' Dua bola mata indahnya berkaca-kaca. Tangannya bergetar saat melihat penyakit yang tertulis dalam rongsen tersebut. Sebuah penyakit yang selama ini berada dalam pikirannya.'Ya Tuhan, apa ini benar?' tanya batin Rania seraya menggelengkan kepala.Alis Sarah bertaut. Ia melirik sahabatnya yang terlihat sedih setelah membuka barang yang ia berikan."Ada apa?" tanya Sarah penasaran. Jemari tangannya dengan cepat menggenggam tangan sahabatnya itu.Rania buru-buru memasukkan kembali hasil rongsen tersebut. Bibirnya mengembang, mencoba menutupi rasa sedih yang menguasai dirinya."Tidak! Tidak ada apa-apa! By the way, terimakasih ya! Kamu sudah mau mengantar ini padaku!" ucap Rania mencoba untuk tersenyum."Serius. Kamu tak apa? Tapi, kenapa mata kamu ...," tunjuk Sarah memastikan."Oh ini," tunjuk Rania ke arah sudut matanya."Tadi, tadi aku menguap tiada henti. Jad