Gama menatap senja, yang berwarna saga. Mentari perlahan pergi, seperti hatinya yang sudah siap merelakan Sangka untuk berlalu.
Sangka melangkah menemui laki-laki yang sudah dia sakiti dengan gamang. Sepanjang jalan dari parkiran ke dalam, hatinya tak berhenti berperang.Sangka melihat laki-laki itu menyesap gelas birnya, matanya kosong ke arah pantai. Hati Sangka mencelos. Merasakan cubitan getir. Laki-laki itu bahkan telah dia bohongi selama ini. Tentang perasaannya.“Maaf menunggu,” kata Sangka rikuh.Sikapnya melunak saat dia melihat wajah itu terlihat menahan lelah. Wajah yang guratan beban seolah terlihat jelas.“Tak apa, duduklah,” kata Gama.Sangka duduk di sebelah Gama. Menatap mega yang kini lebih gelap, karena matahari sudah tenggelam separuh di lautan.“Maafkan aku,” desis Sangka.‘Untuk apa?” desak Gama.“Semuanya,” jawab Sangka singkat.“Semua yang mana?Bahana menghentikan mobilnya tepat di pinggir pantai. Dia hanya ingin menikmati waktu bersama Nayaka. Bahana turun, membukakan pintu untuk wanitanya dan mengulurkan tangan agar Nayaka menyambutnya.Dengan bergandengan tangan, mereka menyusuri pantai.“If life stuck, I will love stuck with you in this moment,” gumam Bahana.Langit yang memerah karena senja bergulir menyamarkan rona kemerahan di pipi Nayaka.“Bisa gak, jangan buat aku merasa dunia adalah milikku saat ini?” kata Nayaka jengah.“No, I mean it. You worth to feel that.” Bahana memeluk Nayaka.Semilir angin pantai dan matahari yang semakin hilang, membuat suasana semakin mendukung romansa mereka.“Na, bila nanti aku tak bisa melepasmu, aku terlalu menginginkanmu, apa kamu akan dengan sukarela bersamaku?” tanya Nayaka melempar elegi.“I will,” jawab Bahana mengecup puncak kepala Nayaka.Mereka kini duduk di pantai, memandang langit yang mulai berbintang, memandangi debur
“Ka! I need your help, here!” teriak Bahana dari dalam kamar, membuat Nayaka yang sedang mengerjakan tugas kantornya merasa capek. Ini sudah kelima kalinya Bahana memanggilnya untuk hal yang tidak penting.“Kali ini apalagi?” Nayaka melonggokkan kepalanya ke dalam kamar Bahana.“I need some water,” desis Bahana.“Tuan, tanganmu itu tak kenapa-kenapa, dan lagi kamu bebas bergerak. Yang luka hanya perutmu,” omel Nayaka seraya mengambilkan air yang ada di nakas dekat tempat tidur Bahana.“Aku kan gak boleh banyak gerak, agar lukaku tak terbuka.” Bahana tersenyum melihat Nayaka mengomelinya.“Alasan.” Nayaka memasang wajah sebal.“Apakah kamu sibuk?” goda Bahana.“Tuan, i’m working. I must pay my bill,&rdquo
Bahana menatap Nayaka yang sedang berdiam di dekat jendela. Perempuan yang ingin sekali direngkuhnya.“Sudah siap?” tanya Bahana membuat Nayaka kaget dan mengangguk.“Aku yang menyetir,” kata Nayaka sambil meraih kunci yang dipegang Bahana.“Up to you my lady,” desis Bahana seraya menyeringai.Mereka menyusuri jalanan lenggang di persawahan menuju Ubud. Nayaka sengaja mencari jalan yang tak ramai.“Apakah perutmu baik-baik saja?” tanya Nayaka setelah mereka berdiam diri.“I'm fine Ka. I’m always fine if I’m with you,” kata Bahana membuat Nayaka tergelak.“Kamu selalu saja gombal,” desisnya.“Ka, aku serius tentang, ayo menikah,” kata Bahana membuat Nayaka jengah.“Aku juga serius unt
Bahana sudah bersiap pagi itu untuk ke pengadilan. Pradnya sudah menunggunya di ruang tamu. Nayaka mondar-mandir di dekatnya.“Na, aku ikut,” pinta Nayaka membuat Bahana menggeleng.“Biarkan aku ikut, aku akan tetap di mobil,” lanjut Nayaka tak bisa membiarkan Bahana peegi sendiri.“Oke, ajak Raka,” kata Bahana luluh saat melihat Nayaka mengiba.“Buat apa?” tanya Nayaka tak paham maksudnya membawa Raka.“Biarkan dia menyetir,” kata Bahana.Dengan kebingungan Nayaka memberitahu Raka.Mereka berempat ke pengadilan. Sepanjang jalan Nayaka tak berhenti memilin ujung bajunya. Bahana meraih tangan Nayaka dan menggenggamnya erat. Meredam kegelisahan yang Nayaka perlihatkan. Nayaka menatap Bahana yang memberinya tanda bahwa semua akan baik-baik saja. Dia menghela napasnya berat. Berusaha mempercayai Bahana.“Ka, tunggu di mobil bersama Nayaka. Pastikan dia
Bahana sudah siap, hatinya sedang tak baik-baik saja mengingat hari ini dia harus bertemu Sangka. Hari yang selama setahun bisa dihindarinya, kini harus dihadapinya.Dia mengetuk pintu kamar Nayaka, pelan.“Ka, bangunlah, ini bajumu,” kata Bahana sambil bersandar di pintu.Hampir saja dia terjatuh saat Nayaka membuka pintu dengan mata masih setengah terpejam.“Ayo mandi, kita sarapan dulu baru ke kantor Gama.” Bahana mengulurkan paper bag yang berisi belanjaan mereka kemarin.Nayaka menerimanya dengan enggan. Masih ingin melanjutkan mimpinya. Bahana kemudian mengecup kedua mata Nayaka, membuatnya seketika tersadar dan terkejut.“Na,” protesnya.“Sana mandi. Apa mau aku temenin,” goda Bahana membuat Nayaka menutup pintunya.Bahana tertawa, kemudian menuju dapur. Raka sudah ada di sana, menyantap masakan Mbok Inah.“Hari ini Mas mau dianterin atau nyetir
Nayaka berdiam diri sepanjang perjalanan pulang dari makan siang. Intimidasi Sangka terlihat nyata untuknya. Nayaka paham dengan sikap Sangka, tapi juga tak paham. Dia sudah memilih Gama, kenapa masih harus mempertanyakan perasaan Bahana? Apakah Sangka memang serakah ingin memiliki keduanya? Kalau begitu, Nayaka bertekat untuk mempertahankan Bahana, dan membuat Sangka tahu, Bahana bukan lagi miliknya. Baik hati dan raganya.“Sangka mengatakan apa padamu? Sampai kamu diam tak menatapku,” desis Bahana curiga.“Aku akan membuatnya tahu, kamu milikku,” desis Nayaka tak sadar, membuat Bahana menekan rem karena tak menyangka mendengar kata-kata itu dari mulut Nayaka.“Apaan sih mengerem mendadak?” tanya Nayaka kesal karena kepalanya terantuk dashboard.“Ulangi sekali lagi?” pinta Bahana berharap Nayaka tak melupakan desisannya tadi.“Apa?” tanya Nayaka bingung.“Ulangi perk
Nayaka menutup pintu lalu menutup wajahnya. Menyembunyikan rasa malu yang menyeruak. Walau Bahana tak lagi ada di depannya, tapi degup jantungnya tak kunjung mereda. Rasanya masih panas, masih membuatnya merasa dipandangi.Dia lalu membersihkan diri di kamar mandi. Mengguyur kepalanya agar segera reda semua rasa malu itu.Sementara Bahana langsung merebahkan dirinya di tempat tidur. Tersenyum dan memejamkan matanya karena bahagia.Dering ponsel membangunkannya, sudah pagi rupanya. Dia bahkan belum berganti baju. Pradnya.“Ada apa?” tanya Bahana.“Oke, aku akan ke sana. Semuanya kupasrahkan padamu,” kata Bahana lalu gegas mandi.Nayaka masih belum keluar dari kamar, dia kemudian meninggalkan rumah dan berpesan pada Raka dan Mbok Inah, kalau dia hanya sebentar menemui Pradnya.Nayaka membuka matanya, berusaha mengingat ini hari apa. Beruntung semua dokumen kerja sudah dia selesaikan beberapa hari yang lalu. Dia k
Nayaka menatap Bahana yang kini berbaring, menunggu lukanya untuk dibersihkan. Bahana menutup matanya dengan lengan. Entah menyembunyikan rasa sakit atau air mata. Nayaka tak berani mengungkitnya. Dengan pelan dia membersihkan luka itu. Belum kering sepenuhnya. Seperti luka hati Nayaka, belum kering karena ulah Doni, sekarang Sangka bahkan ikut menggarami. Perih.Bahana sedang bergelut dengan perasaannya sendiri, menahan air mata yang mungkin saja meluruh tanpa dia sadari. Gama sudah mengetahui rahasia gelapnya, beruntung Gama menerima semuanya. Perlakuan Sangka masih menyisakan duka baginya. Sudah ditinggalkan, kini bahkan seolah dia tak direlakan untuk bahagia.Nayaka mengangkat lengan Bahana, memperlihatkan mata yang memejam dengan terpaksa itu.“Aku sudah selesai membersihkan lukamu. Jangan menangis,” bisik Nayaka seraya mengecup mata Bahana.Entah perasaan apa yang menjalar, kini air mata itu mengalir tanpa bisa lagi dibendung. Nayaka yan
Bahana menghentikan mobilnya tepat di pinggir pantai. Dia hanya ingin menikmati waktu bersama Nayaka. Bahana turun, membukakan pintu untuk wanitanya dan mengulurkan tangan agar Nayaka menyambutnya.Dengan bergandengan tangan, mereka menyusuri pantai.“If life stuck, I will love stuck with you in this moment,” gumam Bahana.Langit yang memerah karena senja bergulir menyamarkan rona kemerahan di pipi Nayaka.“Bisa gak, jangan buat aku merasa dunia adalah milikku saat ini?” kata Nayaka jengah.“No, I mean it. You worth to feel that.” Bahana memeluk Nayaka.Semilir angin pantai dan matahari yang semakin hilang, membuat suasana semakin mendukung romansa mereka.“Na, bila nanti aku tak bisa melepasmu, aku terlalu menginginkanmu, apa kamu akan dengan sukarela bersamaku?” tanya Nayaka melempar elegi.“I will,” jawab Bahana mengecup puncak kepala Nayaka.Mereka kini duduk di pantai, memandang langit yang mulai berbintang, memandangi debur
Gama menatap senja, yang berwarna saga. Mentari perlahan pergi, seperti hatinya yang sudah siap merelakan Sangka untuk berlalu.Sangka melangkah menemui laki-laki yang sudah dia sakiti dengan gamang. Sepanjang jalan dari parkiran ke dalam, hatinya tak berhenti berperang.Sangka melihat laki-laki itu menyesap gelas birnya, matanya kosong ke arah pantai. Hati Sangka mencelos. Merasakan cubitan getir. Laki-laki itu bahkan telah dia bohongi selama ini. Tentang perasaannya.“Maaf menunggu,” kata Sangka rikuh. Sikapnya melunak saat dia melihat wajah itu terlihat menahan lelah. Wajah yang guratan beban seolah terlihat jelas.“Tak apa, duduklah,” kata Gama.Sangka duduk di sebelah Gama. Menatap mega yang kini lebih gelap, karena matahari sudah tenggelam separuh di lautan.“Maafkan aku,” desis Sangka.‘Untuk apa?” desak Gama.“Semuanya,” jawab Sangka singkat.“Semua yang mana?
Bahana kembali berkutat dengan dokumen dan laptopnya.Gilang mencoba untuk mulai mengatur strategi, mengumpulkan data mana yang ternyata tak sinkron.Nares yang tak tahu akan kecurigaan Bahana dan Gilang masih berusaha untuk menyusun strategi bagaimana membuat Bahana takluk kepadanya.Nayaka mulai membuka laptop dan mengerjakan semua email yang masuk. Pekerjaan yang untuk beberapa saat dia lupakan, karena sibuk menata hati dan hidupnya bersama Bahana.Sangka dan Gama semakin berjarak. Sangka tak tahu harus ke mana melangkah. Perasaannya masih terlalu tinggi untuk menghadapi kenyataan, Bahana tak lagi melihatnya.“Antarkan aku ke Ubud,” kata Sangka kepada Joy yang berdiri tak jauh darinya.“Baik,” jawab Joy singkat.“Tumben kamu tak membantah?” tanya Sangka heran.“Saya tak pernah membantah jika Mbak Sangka tak mengajukan permintaan yang bisa saya sanggupi,” jawab Joy tenang. Tak ingin terpancing
Nayaka terus menggerutu di belakang Bahana, sepanjang mereka berlalu dari aula kembali ke ruangan Bahana.“Sayang, aku, kan sudah memastikan mereka tahu, kamu istriku. Jadi, gak akan ada yang macam-macam. Mana berani mereka bersaing dengan wanita secantik dirimu?” tanya Bahana saat mereka sudah berada di ruangan.Gilang sudah berada di mejanya yang berada luar ruangan Bahana. Memeriksa semua berkas yang Bahana perlukan untuk dia cek. Karena ada sesuatu yang sedikit mencurigakan.“Tapi, Na. Bukan dengan begini. Aku tak siap menghadapi setiap mata yang menatapku, mungkin mereka tak akan suka kepadaku,” elak Nayaka masih berusaha memprotes semua kelakuan Bahana tadi.“Sayang, dengerin. Kamu, tak perlu malu dengan semua yang kulakukan. Kamu berhak mendapatkan itu. Kamu pantas untuk menerima semua pengakuanku,” terang Bahana seraya membingkai pipi Nayaka yang kini sudah bersemu merah, bukan karena blush on yang dia kenakan, tapi kar
“Lang, aku mau besok kamu kumpulin karyawan di aula. Aku merasa perlu untuk memperkenalkan diri secara resmi untuk menghindari hal yang tak diinginkan,” titah Bahana membuat Gilang mengerti.“Besok, kita berangkat bersama, Nayaka akan ikut juga. Setelah itu, Raka antar ke mana dia mau, terserah dia,” kata Bahana kepada Raka.“Na, aku gak perlu ikut,” desis Nayaka.“Tidak. Aku akan mengenalkanmu secara resmi,” tekan Bahana membuat Nayaka membuang napasnya kesal.Bukan seperti ini, dia hanya tak mau Bahana terjerat wanita semacam Nares. Bukan dikenalkan dengan resmi seperti itu.“Tapi ....” Nayaka menatap Bahana dengan tatapan memohon.“Ka, aku tak ingin kamu cemas. Terlebih jika mereka mengira aku masih sendiri.” Bahana balas menatapnya dengan lembut.“Kerjaku hari pertama, langsung berat ya, Bos?” kekeh Gilang.“Susah kalau punya Bos macam dia emang,” timpal Raka.Bahana tertawa, mereka menyelesaikan makan malam dengan saling melempar candaan.“Istiraha
“Kamu mau menunggu di sini?” tanya Bahana setelah Raka berangkat menjemput Gilang ke bandara.“Boleh?” tanya Nayaka ragu.“Kamu, duduk saja di sana. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku secepatnya,” kata Bahana gemas.Bagaimana bisa Nayaka bertanya boleh menunggunya di sana, tentu saja boleh. Bahana sangat senang bisa terus melihat wajah istrinya itu langsung.Nayaka mulai memainkan ponselnya, mencoba tidak mengganggu Bahana dengan menyibukkan dirinya sendiri.Nares memutar handle pintu ruangan Bahana karena mendengar kabar kalau Raka sudah pulang, dia berasumsi maka Nayaka juga sudah pergi.“Maaf,” kata Nares terkejut, karena Nayaka masih duduk manis di sana, kini bahkan menatapnya tajam.“Di mana sopan santunmu? Masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu?” geram Bahana.“Maaf, saya tidak tahu kalau Bapak masih di sini,” kata Nares gugup.“Akan lebih mencurigakan kalau kamu masuk ke sini saat aku tak ada,” kata Bahana membuat Nares mati langkah.“A
Nayaka melihat isi kulkas, memastikan ada sesuatu yang bisa dia masak untuk siang ini.“Non mau masak apa?” tanya Mbok Ijah membantu Nayaka menyiapkan bahan.“Masak pasta saja ya, Mbok. Lagi malas masak ribet ya,” kata Nayaka disambut oleh tawa Mbok Ijah.“Non, kan bisa minta Mbok yang masak,” kata Mbok Ijah.“Sesekali, Mbok,” desis Nayaka.Gilang yang mendapat perintah untuk ke Lombok, mendampingi Bahana gegas menyiapkan semua persiapannya. Bahana adalah atasannya saat dia masih masuk di kantor ini. Jadi dia tahu harus bagaimana menghadapinya nanti.“Jaga dia untukku, Lang,” kata Gama sambil menyandarkan tubuhnya di pintu ruangan Gilang.“Apa yang, Mas Gama takutkan?” tanya Gilang merasa Gama sangat khawatir tentang adiknya itu.“Semuanya,” gumam Gama menutup matanya.“Aku akan memperhatikannya, Mas,” kata Gilang sambil menepuk pundak Gama.Gama benar-benar tak ingin Bahana kenapa-kenapa. Sangka akan dia atasi. Tapi masalah lain, dia tak bisa mengawasi
Sangka sudah bersiap untuk keluar rumah. Dia menunggu Gama selesai dengan sarapannya. Dia tak ingin membuat Gama semakin kesal. Mulai sekarang, dia harus bisa bermain cantik.Posisinya harus tetap aman, tapi juga bisa menjangkau Bahana dan menghancurkan pernikahan itu.Joy menunggu di depan pintu kamar Sangka dengan sabar. Setelah mengikuti Nyonyanya itu selama beberapa belakangan, membuat Joy tahu harus bagaimana bersikap dengan sifat Sangka.“Aku akan bertemu temanku, aku perlu ruang untuk pribadi, apa kamu akan mengekoriku?” tanya Sangka tak suka dengan kehadiran gadis itu.“Saya hanya mengikuti perintah,” jawab Joy datar.“Terserah saja. Aku ingin kamu berada dalam jarak tertentu,” kata Sangka menyerah untuk mengenyahkannya.Joy menyetir mobil Sangka menuju sebuah kafe di daerah Seminyak. Mereka saling berdiam sepanjang jalan. Tak ada basa-basi yang harus dilempar jika Joy sedang bertugas mengawal wanita yang dudu
Sangka berjalan mondar-mandir di kamarnya. Jarinya mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan tak sabar.[Kamu yakin?]Balasan yang dia tunggu dari Binar, sahabatnya.[Aku harus bagaimana?][Kalau aku jadi kamu. Aku terima saja Gama. Apa sih yang kamu cari dari Bahana?][Ini tentang rasa dikalahkan][Dikalahkan oleh siapa? Kamu sudah memilih Gama. Lagian, jika kamu pergi dari Gama dan lari ke Bahana, apa dia akan melihatmu lagi?]Sangka mendengkus. Binar benar. Bahana bahkan kini berani mencintai wanita lain.Joy mengetuk pintu kamar Sangka. Ini sudah waktunya makan.“Mbak, Mas Gama sudah menunggu di meja makan,” kata Joy dari luar kamar.“Aku tak ingin makan.” Sangka sedang tak ingin berhadapan dengan Gama untuk sekarang.“Mas Gama memaksa,” kata Joy tanpa beranjak dari tempatnya.Sangka membuka pintu dengan kesal. Berjalan meninggalkan Joy yang kemudian mengikutinya.Gama sudah duduk d