Nayaka berdiam diri sepanjang perjalanan pulang dari makan siang. Intimidasi Sangka terlihat nyata untuknya. Nayaka paham dengan sikap Sangka, tapi juga tak paham. Dia sudah memilih Gama, kenapa masih harus mempertanyakan perasaan Bahana? Apakah Sangka memang serakah ingin memiliki keduanya? Kalau begitu, Nayaka bertekat untuk mempertahankan Bahana, dan membuat Sangka tahu, Bahana bukan lagi miliknya. Baik hati dan raganya.
“Sangka mengatakan apa padamu? Sampai kamu diam tak menatapku,” desis Bahana curiga.
“Aku akan membuatnya tahu, kamu milikku,” desis Nayaka tak sadar, membuat Bahana menekan rem karena tak menyangka mendengar kata-kata itu dari mulut Nayaka.
“Apaan sih mengerem mendadak?” tanya Nayaka kesal karena kepalanya terantuk dashboard.
“Ulangi sekali lagi?” pinta Bahana berharap Nayaka tak melupakan desisannya tadi.
“Apa?” tanya Nayaka bingung.
“Ulangi perkataanmu tadi tentang Sangka,” tuntut Bahana membuat Nayaka sadar akan kelancangan mulutnya sendiri. Dia menepuk mulutnya, kenapa harus mengeluarkan kata-kata seperti itu.
Bunyi klakson dari mobil belakang mereka membuat Bahana kembali melajukan mobilnya.
“Ayo katakan lagi,” desak Bahana tak sabar.
“Apa?” Nayaka berpura-pura tak tahu apa yang Bahana maksud.
“Jangan mengelak. Ayo katakan,” tuntut Bahana membuat Nayaka kesal.
Bahana menepikan mobilnya. Menunggu Nayaka mengucapkan lagi kalimat itu. Sadar Bahana tak akan melajukan lagi mobilnya sampai Nayaka mau mengulangi lagi kata-kata itu, membuat Nayaka mendesah.
“Aku akan membuatnya tahu, kamu milikku,” desis Nayaka lirih, pada akhirnya. Bodoh.
“Lebih keras,” rajuk Bahana membuat Nayaka kesal.
“Kamu milikku,” kata Nayaka pada akhirnya.
Membuat Bahana tersenyum dan meraih dagu Nayaka, agar pandangan mereka bertemu. Nayaka jengah, harus menatap mata itu. Sungguh, dia luluh saat mata itu menatapnya. Kini dia bahkan yakin, perasaannya sudah berpindah. Kepada pemilik mata itu.
“Im yours,” desis Bahana menyukai pernyataan Nayaka. Pernyataan yang dia tunggu setelah sekian lama.
“Kita, ke butik untuk melihat wedding dress, aku tidak menerima penolakan,” kata Bahana membuat Nayaka mendesah protes.
Kini Bahana melajukan mobilnya dengan buncahan bahagia. Sikap persisten yang dia tunjukkan terhadap Nayaka, sudah membuat perempuan itu akhirnya mau mengakuinya.
Mereka berhenti di butik yang terkenal, baju pengantin yang cantik terpajang di etalase depan. Membuat nyali Nayaka menciut. Dia tak menginginkan pernikahan mewah, hanya pernikahan sederhana sudah sangat cukup.
“Halo Mas Bahana, sudah lama tidak mampir, biasanya pesan jas,” sapa karyawan butik itu.
“Iya nih, sudah lama gak ada acara formal,” jawab Bahana.
“Kali ini mau pesan apa?” tanya karyawan itu lebih lanjut.
“Ratna ada? Aku mau membicarakan gaun pengantin,” jelas Bahana membuat karyawan itu mengerti dan memanggil bosnya.
“Halo Na, apa kabar? Udah lama gai ketemu ya,” sapa seorang perempuan dengan baju kebaya Bali yang cantik.
“Iya nih. Kabar baik kok. Lagi banyak pesanan gak?” tanya Bahana seraya mengajak mereka untuk duduk di kursi.
“Hanya pesanan beberapa kebaya untuk acara Ngaben. Kenapa? Mau pesen gaun pengantin?” selidik Ratna.
“Iya, mendadak sih, buat sebulan lagi. Bisa gak?” tawar Bahana.
“Tergantung, mau desain yang simple apa ribet,” kata Ratna sambil menatap Nayaka yang hanya diam.
“Kamu pengen gaun yang gimana?” tanya Bahana membuat Nayaka bingung. Seumur-umur dia tak pernah membayangkan akan membeli baju pengantin kepada desainer.
“Simpel saja sih, gak banyak ornamen, dan juga gak banyak aksen,” jawab Nayaka membayangkan gaun simpel.
“Tunggu, Nari, ambilkan buku sketsa dan pensilku,” pinta Ratna membuat karyawan bernama Nari membawakan barang yang diminta.
Kemudian Ratna menggambarkan sebuah gaun yang simpel untuk Nayaka.
“Aku ingin dia hanya berada di bawah lutut, tak panjang dan tak pendek, aku ingin bebas bergerak,” kata Nayaka.
Ratna kemudian mengoreksi gambarnya.
“Tambahkan ekor transparan tapi tidak terlalu panjang, masih bisa membuatku bergerak tanpa kesusahan,” kata Nayaka yang merasa entah kenapa kepalanya mendadak lancar memikirkan tentang gaun ini.
“Bolehkah berwarna biru muda?” tanya Nayaka takut-takut kepada Bahana.
“Its up to you, my lady,” jawab Bahana membuat Nayaka tersipu.
“Aih, manis sekali kamu Na,” ledek Ratna semakin membuat Nayaka malu.
“Aku tak mempermasalahkan warna gaun pengantin. Yang terpenting adalah hatimu,” desis Bahana membuat Ratna menutup mukanya dengan buku sketsa.
“Boleh tidak untuk kemesraannya jangan diumbar di sini? Jomlo merana mendengarnya,” desah Ratna membuat Bahana tertawa.
“Makanya nikah, perancang gaun pengantin kok malah ngerancang gaun buat yang lain terus,” ledek Bahana.
Mereka tertawa. Tawa lepas. Kelegaan entah karena apa, tapi Nayaka merasakan hatinya meringan. Tawanya tak lagi ada beban. Mungkin, ini awal dari kebahagiaannya.
Ratna menggambar gaun yang sesuai dengan keinginan Nayaka, mereka sepakat seminggu lagi akan melakukan fitting, untuk Bahana, jas formal sudah sangat cukup. Berwarna biru muda. Seperti langit, yang mengantungkan harapan mereka.
Bahana tak berhenti tersenyum sepanjang perjalanan pulang, sikap Nayaka hari ini membuatnya melupakan semua perih akan Sangka. Berharap kebahagiaan ini tak akan hilang selamanya.
“Apa senyum-senyum sendiri?” Nayaka jengah dengan sikap Bahana.
Nayaka turun dari mobil dan meninggalkan Bahana di belakang. Berharap segera menyembunyikan wajahnya di bantal. Sungguh hari ini dia malu, mengakui perasaannya yang bahkan belum pasti, bahkan tanpa sungkan memesan gaun pengantin. Sungguh, dia tak ingin lagi berhadapan dengan Bahana, karena laki-laki itu tak akan membuatnya tenteram, pasti akan menggodanya.
Tapi dia salah. Sebelum langkahnya sampai di pintu kamar, langkah panjang Bahana sudah mendahuluinya, tanpa basa-basi bahkan kini memeluknya.
“Terima kasih untuk hari ini. Pengakuanmu, membuatku tahu, setidaknya aku masih bisa mencintai seseorang dan melindunginya,” bisik Bahana.
Nayaka menyembunyikan wajahnya di dada Bahana, diam, tak mengatakan apa-apa, karena rasanya apa yang dia lakukan hari ini sudah sangat menunjukkan pernyataannya.
“Ayo, bicaralah,” kata Bahana melihat Nayaka diam.
“Apalagi yang bisa kukatakan,” elak Nayaka. Semakin menenggelamkan wajahnya, menolak saat Bahana mengurai pelukan. Sungguh dia malu menatap mata itu.
Bahana tertawa.
“Kita, ke Lombok dengan status baru, aku tak ingin membawamu ke sana tanpa kepastian. Aku hanya ingin, kita menjadi sebuah kesatuan,” desis Bahana. Nayaka masih tak ingin menunjukkan wajahnya yang mungkin bersemu merah.
“Hm ... mulutmu terkunci? Apa aku harus membukanya?” goda Bahana yang membuat Nayaka semakin diam. Sial.
Dengan paksa Bahana menjauhkan wajah Nayaka dari dadanya. Lalu menatap mata yang kini melirik jauh ke samping karena tak ingin bertemu pandang. Sungguh, Bahana gemas dengan reaksi yang Nayaka perlihatkan.
“Tatap aku,” tuntut Bahana. Nayaka bergeming.
“Ka,” desis Bahana, mau tak mau Nayaka menatapnya. Mata itu, dia semakin jatuh ke dalam perasaan yang tak menentu.
“Katakan, kamu melakukan ini karena kamu mau,” desak Bahana.
“Kamu, milikku, Sangka, tak akan bisa merebutmu. Atau perempuan lain,” desis Nayaka pada akhirnya.
Bahana kembali merengkuh perempuan aneh ini ke pelukannya. Tak ingin melepasnya, sampai suara deheman membuyarkan semua romansa.
“Selamat malam Ka,” bisik Bahana sambil melotot ke arah Raka yang mengawasi mereka berdua.
Nayaka menutup pintu dengan malu yang sudah di ubun. Sementara Bahana menunjuk kamarnya, memberi kode kepada Raka bahwa dia akan tidur. Membuat Raka menggelengkan kepalanya.
Nayaka menutup pintu lalu menutup wajahnya. Menyembunyikan rasa malu yang menyeruak. Walau Bahana tak lagi ada di depannya, tapi degup jantungnya tak kunjung mereda. Rasanya masih panas, masih membuatnya merasa dipandangi.Dia lalu membersihkan diri di kamar mandi. Mengguyur kepalanya agar segera reda semua rasa malu itu.Sementara Bahana langsung merebahkan dirinya di tempat tidur. Tersenyum dan memejamkan matanya karena bahagia.Dering ponsel membangunkannya, sudah pagi rupanya. Dia bahkan belum berganti baju. Pradnya.“Ada apa?” tanya Bahana.“Oke, aku akan ke sana. Semuanya kupasrahkan padamu,” kata Bahana lalu gegas mandi.Nayaka masih belum keluar dari kamar, dia kemudian meninggalkan rumah dan berpesan pada Raka dan Mbok Inah, kalau dia hanya sebentar menemui Pradnya.Nayaka membuka matanya, berusaha mengingat ini hari apa. Beruntung semua dokumen kerja sudah dia selesaikan beberapa hari yang lalu. Dia k
Nayaka menatap Bahana yang kini berbaring, menunggu lukanya untuk dibersihkan. Bahana menutup matanya dengan lengan. Entah menyembunyikan rasa sakit atau air mata. Nayaka tak berani mengungkitnya. Dengan pelan dia membersihkan luka itu. Belum kering sepenuhnya. Seperti luka hati Nayaka, belum kering karena ulah Doni, sekarang Sangka bahkan ikut menggarami. Perih.Bahana sedang bergelut dengan perasaannya sendiri, menahan air mata yang mungkin saja meluruh tanpa dia sadari. Gama sudah mengetahui rahasia gelapnya, beruntung Gama menerima semuanya. Perlakuan Sangka masih menyisakan duka baginya. Sudah ditinggalkan, kini bahkan seolah dia tak direlakan untuk bahagia.Nayaka mengangkat lengan Bahana, memperlihatkan mata yang memejam dengan terpaksa itu.“Aku sudah selesai membersihkan lukamu. Jangan menangis,” bisik Nayaka seraya mengecup mata Bahana.Entah perasaan apa yang menjalar, kini air mata itu mengalir tanpa bisa lagi dibendung. Nayaka yan
Naya sudah siap di dapur, memakan sarapannya. Sambil menunggu Bahana yang tak kunjung keluar.“Non Ka, kenapa gelisah?” tanya Mbok Inah tahu Nayaka gelisah karena sesekali melirik arah kamar Bahana.“Mau, Mbok aja yang bangunin Mas Bahana, apa Non Ka sendiri?” tawar Mbok Inah membuat Nayaka bangkit juga.“Aku saja, Mbok.” Nayaka meninggalkan dapur.Dia mengetuk pintu kamar Bahana pelan. Tak ada jawaban. Tak biasanya Bahana belum bangun di jam-jam ini. Sekali lagi dia mengetuk pintu. Tapi tak ada respons. Nayaka mulai cemas.Dibukanya pintu dengan pelan. Terlihat Bahana sedang meringkuk di tempat tidur. Nayaka khawatir.“Na?” tegur Nayaka. Tak ada balasan.Nayaka menyentuh tubuh Bahana. Panas sekali. Tangannya sedang menekan perutnya. Saat Nayaka mengangkatnya, terlihat darah di sana.“Na, ada apa?” teriak Nayaka panik.Teriakan Nayaka membuat Mbok Inah dan Raka
Nayaka tak bisa memejamkan matanya, melihat Bahana mendengkur halus di sampingnya, membuatnya masih tak percaya, laki-laki ini akan menjadi suaminya beberapa hari ke depan.Nayaka mengusap wajah Bahana dengan jemarinya, menyusuri setiap lekuknya, mensyukuri setiap pahatan Tuhan di sana. Garis wajah yang tegas, dengan kulit bersih, sungguh perpaduan yang memabukkan.Nayaka masih tak percaya Bahana menyerahkan diri untuk menikahinya. Bahana bisa mendapatkan perempuan cantik mana pun yang dia inginkan, tapi, Bahana malah memilihnya. Nayaka, perempuan yang mungkin biasa saja.Saat tangan Nayaka menyusuri bibir Bahana, dia tak tahan untuk tak mengusapnya. Bibir tipis yang sudah dia kecup entah berapa kali belakangan ini. Tanpa sadar, Nayaka menciumnya. Merasakan manisnya. Kemudian tersenyum saat Bahana menggeliat dalam tidurnya.“Jangan pergi,” gumam Bahana dalam tidurnya sambil memeluk Nayaka erat.“Aku menginginkanmu,” lanjut B
Nayaka sangat gugup, saat Ratna datang ke kamar hotelnya, membawakan gaun pengantin, dia malah terpaku dan tak percaya bahwa ini adalah harinya.Nari dan Ratna membantu Nayaka memakai gaunnya. Nayaka sudah berias sendiri.Sementara Bahana berjalan mondar-mandir di depan Gama.“Tenang, Na,” gumam Gama malas melihat Bahana gelisah.“Aku akan menikah,” desis Bahana tak sabar.“I know. Calm down.” Gama menepuk pundak Bahana.Nayaka keluar kamar dibimbing oleh Paman yang menggenggam erat tangannya.Bahana terpaku, Nayaka benar-benar memesona. Membuatnya tak bisa berkata-kata.Saat Paman menyerahkan tangan Nayaka padanya, Bahana menerimanya dengan lembut, mengecup punggung tangan Nayaka dan memberinya senyum yang membuat Nayaka harus menahan napas.Ikrar sehidup semati mereka terucap. Bahana tak henti menatap Nayaka yang jengah di hadapannya.“Selamat, jaga hubungan kal
Nayaka memejamkan matanya saat Bahana meletakkannya di ranjang. Ingin rasanya dia berlari.“Ka,” bisik Bahana yang kini berbaring di samping Nayaka.“Hm,” balas Nayaka tanpa membuka matanya.“Tatap aku,” bisik Bahana.Nayaka bergeming, sampai akhirnya, Bahana memiringkan tubuhnya. Melumat bibirnya yang sedari tadi berdiam.“Na,” desis Nayaka saat Bahana memberinya jeda untuk bernapas setelah lumatan demi lumatan di bibirnya.“You know that, I want you so badly,” bisik Bahana disela deru napasnya yang memburu.Akhirnya, mau tak mau Nayaka membuka matanya, menelusuri wajah Bahana dengan jarinya. Ini waktunya, menikmati ciptaan Tuhan yang sempurna ini, hanya untuk dirinya sendiri.“You know that, I want you so badly, too,” gumam Nayaka lalu mencium bibir Bahana dengan lembut.Bahana tersenyum, merespons ciuman itu dengan penuh hasrat.
Sangka menyesap tehnya pagi ini. Sendirian. Di meja makan. Joy menunggu dengan posisi tegap di sebelah kanannya. Kemarin, hari pernikahan Bahana, Gama mengurungnya di rumah. Memastikan dia tak melangkah keluar dari pintu. Sekarang, Gama bahkan belum bangun. Dia tidur di kamar tamu sejak kejadian di rumah Bahana waktu itu.“Aku ingin pergi keluar hari ini.” Sangka menatap Joy, tapi gadis itu tak terintimidasi sama sekali.“Kata Mas Gama, hari ini, Anda belum boleh keluar rumah,” kata Joy masih dengan posisinya yang berdiri tegap.“Sampai kapan? Aku tak akan mengacau,” desis Sangka geram karena tak bisa melabrak wanita yang sudah menjadi istri Bahana sekarang.Hatinya sangat sakit mengingat hal itu. Kini, tak ada lagi kesempatan untuk mendekati Bahana, untuk meluapkan perasaannya. Sudah satu tahun dia memendam semua kerinduannya, dan kini saat dia ingin menuntaskannya, Bahana sudah meninggalkannya. Ralat, Bahana
Sangka berjalan mondar-mandir di kamarnya. Jarinya mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan tak sabar.[Kamu yakin?]Balasan yang dia tunggu dari Binar, sahabatnya.[Aku harus bagaimana?][Kalau aku jadi kamu. Aku terima saja Gama. Apa sih yang kamu cari dari Bahana?][Ini tentang rasa dikalahkan][Dikalahkan oleh siapa? Kamu sudah memilih Gama. Lagian, jika kamu pergi dari Gama dan lari ke Bahana, apa dia akan melihatmu lagi?]Sangka mendengkus. Binar benar. Bahana bahkan kini berani mencintai wanita lain.Joy mengetuk pintu kamar Sangka. Ini sudah waktunya makan.“Mbak, Mas Gama sudah menunggu di meja makan,” kata Joy dari luar kamar.“Aku tak ingin makan.” Sangka sedang tak ingin berhadapan dengan Gama untuk sekarang.“Mas Gama memaksa,” kata Joy tanpa beranjak dari tempatnya.Sangka membuka pintu dengan kesal. Berjalan meninggalkan Joy yang kemudian mengikutinya.Gama sudah duduk d
Bahana menghentikan mobilnya tepat di pinggir pantai. Dia hanya ingin menikmati waktu bersama Nayaka. Bahana turun, membukakan pintu untuk wanitanya dan mengulurkan tangan agar Nayaka menyambutnya.Dengan bergandengan tangan, mereka menyusuri pantai.“If life stuck, I will love stuck with you in this moment,” gumam Bahana.Langit yang memerah karena senja bergulir menyamarkan rona kemerahan di pipi Nayaka.“Bisa gak, jangan buat aku merasa dunia adalah milikku saat ini?” kata Nayaka jengah.“No, I mean it. You worth to feel that.” Bahana memeluk Nayaka.Semilir angin pantai dan matahari yang semakin hilang, membuat suasana semakin mendukung romansa mereka.“Na, bila nanti aku tak bisa melepasmu, aku terlalu menginginkanmu, apa kamu akan dengan sukarela bersamaku?” tanya Nayaka melempar elegi.“I will,” jawab Bahana mengecup puncak kepala Nayaka.Mereka kini duduk di pantai, memandang langit yang mulai berbintang, memandangi debur
Gama menatap senja, yang berwarna saga. Mentari perlahan pergi, seperti hatinya yang sudah siap merelakan Sangka untuk berlalu.Sangka melangkah menemui laki-laki yang sudah dia sakiti dengan gamang. Sepanjang jalan dari parkiran ke dalam, hatinya tak berhenti berperang.Sangka melihat laki-laki itu menyesap gelas birnya, matanya kosong ke arah pantai. Hati Sangka mencelos. Merasakan cubitan getir. Laki-laki itu bahkan telah dia bohongi selama ini. Tentang perasaannya.“Maaf menunggu,” kata Sangka rikuh. Sikapnya melunak saat dia melihat wajah itu terlihat menahan lelah. Wajah yang guratan beban seolah terlihat jelas.“Tak apa, duduklah,” kata Gama.Sangka duduk di sebelah Gama. Menatap mega yang kini lebih gelap, karena matahari sudah tenggelam separuh di lautan.“Maafkan aku,” desis Sangka.‘Untuk apa?” desak Gama.“Semuanya,” jawab Sangka singkat.“Semua yang mana?
Bahana kembali berkutat dengan dokumen dan laptopnya.Gilang mencoba untuk mulai mengatur strategi, mengumpulkan data mana yang ternyata tak sinkron.Nares yang tak tahu akan kecurigaan Bahana dan Gilang masih berusaha untuk menyusun strategi bagaimana membuat Bahana takluk kepadanya.Nayaka mulai membuka laptop dan mengerjakan semua email yang masuk. Pekerjaan yang untuk beberapa saat dia lupakan, karena sibuk menata hati dan hidupnya bersama Bahana.Sangka dan Gama semakin berjarak. Sangka tak tahu harus ke mana melangkah. Perasaannya masih terlalu tinggi untuk menghadapi kenyataan, Bahana tak lagi melihatnya.“Antarkan aku ke Ubud,” kata Sangka kepada Joy yang berdiri tak jauh darinya.“Baik,” jawab Joy singkat.“Tumben kamu tak membantah?” tanya Sangka heran.“Saya tak pernah membantah jika Mbak Sangka tak mengajukan permintaan yang bisa saya sanggupi,” jawab Joy tenang. Tak ingin terpancing
Nayaka terus menggerutu di belakang Bahana, sepanjang mereka berlalu dari aula kembali ke ruangan Bahana.“Sayang, aku, kan sudah memastikan mereka tahu, kamu istriku. Jadi, gak akan ada yang macam-macam. Mana berani mereka bersaing dengan wanita secantik dirimu?” tanya Bahana saat mereka sudah berada di ruangan.Gilang sudah berada di mejanya yang berada luar ruangan Bahana. Memeriksa semua berkas yang Bahana perlukan untuk dia cek. Karena ada sesuatu yang sedikit mencurigakan.“Tapi, Na. Bukan dengan begini. Aku tak siap menghadapi setiap mata yang menatapku, mungkin mereka tak akan suka kepadaku,” elak Nayaka masih berusaha memprotes semua kelakuan Bahana tadi.“Sayang, dengerin. Kamu, tak perlu malu dengan semua yang kulakukan. Kamu berhak mendapatkan itu. Kamu pantas untuk menerima semua pengakuanku,” terang Bahana seraya membingkai pipi Nayaka yang kini sudah bersemu merah, bukan karena blush on yang dia kenakan, tapi kar
“Lang, aku mau besok kamu kumpulin karyawan di aula. Aku merasa perlu untuk memperkenalkan diri secara resmi untuk menghindari hal yang tak diinginkan,” titah Bahana membuat Gilang mengerti.“Besok, kita berangkat bersama, Nayaka akan ikut juga. Setelah itu, Raka antar ke mana dia mau, terserah dia,” kata Bahana kepada Raka.“Na, aku gak perlu ikut,” desis Nayaka.“Tidak. Aku akan mengenalkanmu secara resmi,” tekan Bahana membuat Nayaka membuang napasnya kesal.Bukan seperti ini, dia hanya tak mau Bahana terjerat wanita semacam Nares. Bukan dikenalkan dengan resmi seperti itu.“Tapi ....” Nayaka menatap Bahana dengan tatapan memohon.“Ka, aku tak ingin kamu cemas. Terlebih jika mereka mengira aku masih sendiri.” Bahana balas menatapnya dengan lembut.“Kerjaku hari pertama, langsung berat ya, Bos?” kekeh Gilang.“Susah kalau punya Bos macam dia emang,” timpal Raka.Bahana tertawa, mereka menyelesaikan makan malam dengan saling melempar candaan.“Istiraha
“Kamu mau menunggu di sini?” tanya Bahana setelah Raka berangkat menjemput Gilang ke bandara.“Boleh?” tanya Nayaka ragu.“Kamu, duduk saja di sana. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku secepatnya,” kata Bahana gemas.Bagaimana bisa Nayaka bertanya boleh menunggunya di sana, tentu saja boleh. Bahana sangat senang bisa terus melihat wajah istrinya itu langsung.Nayaka mulai memainkan ponselnya, mencoba tidak mengganggu Bahana dengan menyibukkan dirinya sendiri.Nares memutar handle pintu ruangan Bahana karena mendengar kabar kalau Raka sudah pulang, dia berasumsi maka Nayaka juga sudah pergi.“Maaf,” kata Nares terkejut, karena Nayaka masih duduk manis di sana, kini bahkan menatapnya tajam.“Di mana sopan santunmu? Masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu?” geram Bahana.“Maaf, saya tidak tahu kalau Bapak masih di sini,” kata Nares gugup.“Akan lebih mencurigakan kalau kamu masuk ke sini saat aku tak ada,” kata Bahana membuat Nares mati langkah.“A
Nayaka melihat isi kulkas, memastikan ada sesuatu yang bisa dia masak untuk siang ini.“Non mau masak apa?” tanya Mbok Ijah membantu Nayaka menyiapkan bahan.“Masak pasta saja ya, Mbok. Lagi malas masak ribet ya,” kata Nayaka disambut oleh tawa Mbok Ijah.“Non, kan bisa minta Mbok yang masak,” kata Mbok Ijah.“Sesekali, Mbok,” desis Nayaka.Gilang yang mendapat perintah untuk ke Lombok, mendampingi Bahana gegas menyiapkan semua persiapannya. Bahana adalah atasannya saat dia masih masuk di kantor ini. Jadi dia tahu harus bagaimana menghadapinya nanti.“Jaga dia untukku, Lang,” kata Gama sambil menyandarkan tubuhnya di pintu ruangan Gilang.“Apa yang, Mas Gama takutkan?” tanya Gilang merasa Gama sangat khawatir tentang adiknya itu.“Semuanya,” gumam Gama menutup matanya.“Aku akan memperhatikannya, Mas,” kata Gilang sambil menepuk pundak Gama.Gama benar-benar tak ingin Bahana kenapa-kenapa. Sangka akan dia atasi. Tapi masalah lain, dia tak bisa mengawasi
Sangka sudah bersiap untuk keluar rumah. Dia menunggu Gama selesai dengan sarapannya. Dia tak ingin membuat Gama semakin kesal. Mulai sekarang, dia harus bisa bermain cantik.Posisinya harus tetap aman, tapi juga bisa menjangkau Bahana dan menghancurkan pernikahan itu.Joy menunggu di depan pintu kamar Sangka dengan sabar. Setelah mengikuti Nyonyanya itu selama beberapa belakangan, membuat Joy tahu harus bagaimana bersikap dengan sifat Sangka.“Aku akan bertemu temanku, aku perlu ruang untuk pribadi, apa kamu akan mengekoriku?” tanya Sangka tak suka dengan kehadiran gadis itu.“Saya hanya mengikuti perintah,” jawab Joy datar.“Terserah saja. Aku ingin kamu berada dalam jarak tertentu,” kata Sangka menyerah untuk mengenyahkannya.Joy menyetir mobil Sangka menuju sebuah kafe di daerah Seminyak. Mereka saling berdiam sepanjang jalan. Tak ada basa-basi yang harus dilempar jika Joy sedang bertugas mengawal wanita yang dudu
Sangka berjalan mondar-mandir di kamarnya. Jarinya mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan tak sabar.[Kamu yakin?]Balasan yang dia tunggu dari Binar, sahabatnya.[Aku harus bagaimana?][Kalau aku jadi kamu. Aku terima saja Gama. Apa sih yang kamu cari dari Bahana?][Ini tentang rasa dikalahkan][Dikalahkan oleh siapa? Kamu sudah memilih Gama. Lagian, jika kamu pergi dari Gama dan lari ke Bahana, apa dia akan melihatmu lagi?]Sangka mendengkus. Binar benar. Bahana bahkan kini berani mencintai wanita lain.Joy mengetuk pintu kamar Sangka. Ini sudah waktunya makan.“Mbak, Mas Gama sudah menunggu di meja makan,” kata Joy dari luar kamar.“Aku tak ingin makan.” Sangka sedang tak ingin berhadapan dengan Gama untuk sekarang.“Mas Gama memaksa,” kata Joy tanpa beranjak dari tempatnya.Sangka membuka pintu dengan kesal. Berjalan meninggalkan Joy yang kemudian mengikutinya.Gama sudah duduk d