Nayaka menutup pintu lalu menutup wajahnya. Menyembunyikan rasa malu yang menyeruak. Walau Bahana tak lagi ada di depannya, tapi degup jantungnya tak kunjung mereda. Rasanya masih panas, masih membuatnya merasa dipandangi.
Dia lalu membersihkan diri di kamar mandi. Mengguyur kepalanya agar segera reda semua rasa malu itu.
Sementara Bahana langsung merebahkan dirinya di tempat tidur. Tersenyum dan memejamkan matanya karena bahagia.
Dering ponsel membangunkannya, sudah pagi rupanya. Dia bahkan belum berganti baju. Pradnya.
“Ada apa?” tanya Bahana.
“Oke, aku akan ke sana. Semuanya kupasrahkan padamu,” kata Bahana lalu gegas mandi.
Nayaka masih belum keluar dari kamar, dia kemudian meninggalkan rumah dan berpesan pada Raka dan Mbok Inah, kalau dia hanya sebentar menemui Pradnya.
Nayaka membuka matanya, berusaha mengingat ini hari apa. Beruntung semua dokumen kerja sudah dia selesaikan beberapa hari yang lalu. Dia kemudian mengirimkan surat kepada bosnya untuk meminta waktu mengurus pernikahan. Hah, pernikahan, Nayaka bahkan masih tak percaya dia akan menikah. Beberapa tahun terjebak dalam hubungan yang toksik, membuat Nayaka lupa bagaimana rasanya mengharapkan sebuah pernikahan. Doni begitu mengintimidasinya, mengungkung semua perasaannya menjadi perasaan takut dan bersalah, yang sebenarnya tak beralasan.
Setelah mencuci muka, Nayaka keluar dan melihat kamar Bahana masih tertutup. Dia menuju dapur, Mbok Inah sudah masak nasi goreng.
“Mas Bahana keluar tadi Non, ketemu sama Bli Pradnya,” kata Mbok Inah membuat Nayaka mengangguk.
“Mbak Ka, gak ada acara?” tanya Raka yang kemudian ikut bergabung di meja makan.
“Aku cuti,” kata Nayaka.
“Yang mau nikah, pakai cuti segala,” goda Raka membuat Nayaka membulatkan matanya.
“Dih apaan sih,” sergah Nayaka malu.
“Aku ingin berbicara denganmu.” Suara Sangka membuat Nayaka dan Raka kaget.
Wanita itu menerobos masuk tanpa salam.
Sangka menarik tangan Nayaka ke ruang tamu.
“Jangan merasa kamu sudah mendapatkan Bahana, dengan restu Gama sekalipun, aku pastikan hati Bahana hanya untukku,” ancam Sangka membuat Nayaka merasa jijik.
Bagaimana bisa seorang yang sudah bersuami dengan lugas mengatakan masih mencintai laki-laki lain?
“Aku sudah bilang kemarin, Bahana bukan obyek yang bisa kamu tentukan. Dia entitas sendiri yang berhak untuk menentukan apa yang ingin dia lakukan, dengan hatinya, tubuhnya,” sergah Nayaka.
“Jangan mengajariku tentang perasaan. Yang harus kamu tahu, kamu belum memenangkan ini,” desis Sangka seraya mencengkeram lengan Nayaka erat.
Nayaka meringis kesakitan.
“Ini bukan perkara menang atau kalah, ini perkara hati seseorang yang sudah kamu permainkan,” desis Nayaka membuat Sangka semakin geram.
Raka yang melihat hal itu segera menghubungi Bahana, Mbok Inah langsung menelepon Gama.
“Mas, cepat pulang, Mbak Ka sedang dalam masalah,” kata Raka di ponselnya.
Bahana langsung mematikan sambungan dan pamit kepada Pradnya.
“Aku serahkan semuanya kepadamu. Berapa lama hukuman yang akan diterimanya, pastikan saja dia masuk penjara. Aku pergi, ada masalah di rumah,” kata Bahana membuat Pradnya mengerti.
Bahana melarikan mobilnya dengan pikiran, masalah apa yang terjadi.
Sementara Gama melajukan mobilnya ke arah yang sama dengan pikiran aneh, kenapa Sangka ada di rumah Bahana dan membuat masalah?
Sangka hendak melayangkan tangannya ke arah Nayaka saat Bahana sampai di rumah. Tangannya dengan sigap menangkap tangan Sangka yang terayun. Membuat Sangka kaget dan mundur selangkah.
“Aku sudah bilang, kamu sentuh dia, aku pastikan Gama tahu semuanya.” Bahana menatap Sangka tajam.
“Memastikan aku tahu tentang apa?” Suara Gama membuat Sangka semakin mundur. Sial. Perempuan itu membuatnya dalam masalah.
“Kamu ingin tahu?” Bahana membuat Sangka menggelengkan kepalanya.
Gama menatapnya dengan penuh pertanyaan.
“Bahana dan Sangka adalah sepasang kekasih. Sebelum akhirnya Sangka lebih memilihmu,” kata Nayaka yang sedari tadi diam.
Gama melangkah mundur. Tak percaya dengan pendengarannya.
Bahana menghalangi Sangka yang ingin maju menggapai Nayaka. Tatapan Bahana mengancam.
“Kamu, harus menjelaskan ini padaku,” kata Gama seraya menarik Sangka pergi dari hadapan Bahana dan Nayaka.
Sementara itu Nayaka meluruh pada kedua lututnya. Merosot dan terduduk di lantai. Bahana masih mengumpulkan semua repihan hatinya. Kemudian memeluk Nayaka erat.
“Maafkan, maafkan aku meninggalkanmu, hingga harus menghadapinya sendirian,” bisik Bahana.
“Tak perlu meminta maaf. Bukan salahmu. Aku, harus terbiasa menghadapinya tanpamu,” desis Nayaka.
Raka dan Mbok Inah saling menatap dan lega semuanya tak berakhir dengan pertumpahan darah.
“Aku, tak akan lagi membiarkanmu sendirian,” kata Bahana masih merasa bersalah.
“Aku sudah mengatakan padanya, kamu milikku. Dan akan kupertahankan,” kata Nayaka membuat Bahana tersenyum.
Sementara itu, Gama menghentikan mobilnya di tepi jalan. Menuntut penjelasan dari Sangka yang memilih diam.
“Katakan padaku, apa benar semua yang aku dengar tadi?” desak Gama.
“Katakan!” Gama tak bisa mengontrol emosinya. Bagaimana bisa Sangka mempermainkan perasaannya dan perasaan Bahana.
Jadi, alasan Bahana pergi selama setahun menghindari semua pertemuan itu adalah Sangka.
“Aku sudah memilihmu, apa itu masih kurang,” elak Sangka semakin membuat Gama emosi.
“Kamu pikir dengan begitu semuanya baik-baik saja? Dan aku bahkan tak tahu dengan semua yang kamu sembunyikan,” erang Gama menahan dirinya agar tak melukai Sangka.
“Aku melepasnya. Demi dirimu,” desis Sangka.
“Tapi untuk apa hari ini kamu ke sana?” cecar Gama.
“Hanya memastikan dia perempuan yang baik untuknya,” elak Sangka.
“Bukan karena kamu cemburu dan masih tak bisa melepasnya?” selidik Gama tak percaya begitu saja dengan ucapan Sangka.
“Aku sudah memilihmu.” Sangka memalingkan wajahnya.
“Itu bukan jawaban dari pertanyaanku,” kata Gama kemudian.
Keduanya diam. Bergelut dengan pikiran masing-masing. Mencoba mencerna apa yang Tuhan sodorkan pada mereka.
“Untuk sementara, jangan pernah keluar dari rumah,” kata Gama pada akhirnya.
“Kamu ingin mengurungku?” Sangka tak terima.
“Kamu ingin kita berpisah?” tawar Gama membuat Sangka meluruh.
Perpisahan dengan Gama, bisa jadi akhir dari pasokan untuk perusahaannya, atau dia bahkan bisa kehilangan perusahaan itu, karena saham terbanyak ada di tangan Gama.
“Pikirkan baik-baik usulku,” kata Gama kemudian melajukan mobilnya.
Sangka terdiam. Gama melajukan mobil ke rumah. Kemudian memastikan Sangka menuruti semua perkataannya.
“Aku melakukan ini demi kebaikanmu, dan juga demi Bahana,” ancam Gama membuat Sangka menundukkan kepalanya, merasakan pening seketika, bagaimana caranya dia harus berkilah?
Gama melajukan kembali mobilnya ke arah rumah Bahana. Dengan perasaan berkecamuk dan tak menentu. Jadi selama ini, Bahana mengalah untuknya, merelakan Sangka memilihnya, dan perempuan itu bahkan tak mau melepasnya. Sial. Kenapa begitu rumit.
Nayaka masih berada dipelukan Bahana saat Gama datang. Dengan wajah yang tak bisa dijelaskan, dia menatap Bahana yang mengurai pelukannya.
“Aku ingin bicara,” desis Gama.
Nayaka memegang erat tangan Bahana sementara Gama duduk di depan mereka.
“Aku, ingin penjelasan tentang ini semua.” Gama menatap Bahana lekat.
“Sejak kapan kalian berhubungan? Kamu dan Sangka?” lanjut Gama membuat Bahana menghela napasnya berat. Ini yang paling dia takutkan.
“Aku, bertaut kepadanya sebelum kamu mengatakan akan melamarnya,” kata Bahana mengenang masa lalu.
“Tapi memang aku bodoh, menutupi semua perasaanku, hanya karena dia mengatakan, yak enak denganmu. Tapi aku tahu kalau dirimu memang menyukainya, terlepas dari pernikahan bisnis kalian,” kata Bahana membuat Gama meluruh.
“Lalu kenapa tak kamu pertahankan?”
“Karena dia memilihmu,” kata Bahana.
“Sekarang, kamu tahu apa yang terjadi. Aku hanya minta, kendalikan dia, agar tak lagi mengonfrontasi Nayaka soal diriku. Aku sudah melepasnya. Aku ingin memulai semuanya dengan Nayaka.” Bahana menatap Nayaka dengan penuh harap.
“Apakah kamu menerima dia dengan sepenuh hati? Sekalipun kamu tahu masa lalunya dan hubungan rumit ini?” selidik Gama yang kini menatap Nayaka.
“Aku menerimanya, dan semakin yakin untuk sekarang.” Nayaka meyakinkan hatinya sendiri. Mungkin memang sekarang adalah batasnya untuk melangkah maju. Meninggalkan ketakutan yang di rasa tak perlu.
Nayaka menatap Bahana yang kini berbaring, menunggu lukanya untuk dibersihkan. Bahana menutup matanya dengan lengan. Entah menyembunyikan rasa sakit atau air mata. Nayaka tak berani mengungkitnya. Dengan pelan dia membersihkan luka itu. Belum kering sepenuhnya. Seperti luka hati Nayaka, belum kering karena ulah Doni, sekarang Sangka bahkan ikut menggarami. Perih.Bahana sedang bergelut dengan perasaannya sendiri, menahan air mata yang mungkin saja meluruh tanpa dia sadari. Gama sudah mengetahui rahasia gelapnya, beruntung Gama menerima semuanya. Perlakuan Sangka masih menyisakan duka baginya. Sudah ditinggalkan, kini bahkan seolah dia tak direlakan untuk bahagia.Nayaka mengangkat lengan Bahana, memperlihatkan mata yang memejam dengan terpaksa itu.“Aku sudah selesai membersihkan lukamu. Jangan menangis,” bisik Nayaka seraya mengecup mata Bahana.Entah perasaan apa yang menjalar, kini air mata itu mengalir tanpa bisa lagi dibendung. Nayaka yan
Naya sudah siap di dapur, memakan sarapannya. Sambil menunggu Bahana yang tak kunjung keluar.“Non Ka, kenapa gelisah?” tanya Mbok Inah tahu Nayaka gelisah karena sesekali melirik arah kamar Bahana.“Mau, Mbok aja yang bangunin Mas Bahana, apa Non Ka sendiri?” tawar Mbok Inah membuat Nayaka bangkit juga.“Aku saja, Mbok.” Nayaka meninggalkan dapur.Dia mengetuk pintu kamar Bahana pelan. Tak ada jawaban. Tak biasanya Bahana belum bangun di jam-jam ini. Sekali lagi dia mengetuk pintu. Tapi tak ada respons. Nayaka mulai cemas.Dibukanya pintu dengan pelan. Terlihat Bahana sedang meringkuk di tempat tidur. Nayaka khawatir.“Na?” tegur Nayaka. Tak ada balasan.Nayaka menyentuh tubuh Bahana. Panas sekali. Tangannya sedang menekan perutnya. Saat Nayaka mengangkatnya, terlihat darah di sana.“Na, ada apa?” teriak Nayaka panik.Teriakan Nayaka membuat Mbok Inah dan Raka
Nayaka tak bisa memejamkan matanya, melihat Bahana mendengkur halus di sampingnya, membuatnya masih tak percaya, laki-laki ini akan menjadi suaminya beberapa hari ke depan.Nayaka mengusap wajah Bahana dengan jemarinya, menyusuri setiap lekuknya, mensyukuri setiap pahatan Tuhan di sana. Garis wajah yang tegas, dengan kulit bersih, sungguh perpaduan yang memabukkan.Nayaka masih tak percaya Bahana menyerahkan diri untuk menikahinya. Bahana bisa mendapatkan perempuan cantik mana pun yang dia inginkan, tapi, Bahana malah memilihnya. Nayaka, perempuan yang mungkin biasa saja.Saat tangan Nayaka menyusuri bibir Bahana, dia tak tahan untuk tak mengusapnya. Bibir tipis yang sudah dia kecup entah berapa kali belakangan ini. Tanpa sadar, Nayaka menciumnya. Merasakan manisnya. Kemudian tersenyum saat Bahana menggeliat dalam tidurnya.“Jangan pergi,” gumam Bahana dalam tidurnya sambil memeluk Nayaka erat.“Aku menginginkanmu,” lanjut B
Nayaka sangat gugup, saat Ratna datang ke kamar hotelnya, membawakan gaun pengantin, dia malah terpaku dan tak percaya bahwa ini adalah harinya.Nari dan Ratna membantu Nayaka memakai gaunnya. Nayaka sudah berias sendiri.Sementara Bahana berjalan mondar-mandir di depan Gama.“Tenang, Na,” gumam Gama malas melihat Bahana gelisah.“Aku akan menikah,” desis Bahana tak sabar.“I know. Calm down.” Gama menepuk pundak Bahana.Nayaka keluar kamar dibimbing oleh Paman yang menggenggam erat tangannya.Bahana terpaku, Nayaka benar-benar memesona. Membuatnya tak bisa berkata-kata.Saat Paman menyerahkan tangan Nayaka padanya, Bahana menerimanya dengan lembut, mengecup punggung tangan Nayaka dan memberinya senyum yang membuat Nayaka harus menahan napas.Ikrar sehidup semati mereka terucap. Bahana tak henti menatap Nayaka yang jengah di hadapannya.“Selamat, jaga hubungan kal
Nayaka memejamkan matanya saat Bahana meletakkannya di ranjang. Ingin rasanya dia berlari.“Ka,” bisik Bahana yang kini berbaring di samping Nayaka.“Hm,” balas Nayaka tanpa membuka matanya.“Tatap aku,” bisik Bahana.Nayaka bergeming, sampai akhirnya, Bahana memiringkan tubuhnya. Melumat bibirnya yang sedari tadi berdiam.“Na,” desis Nayaka saat Bahana memberinya jeda untuk bernapas setelah lumatan demi lumatan di bibirnya.“You know that, I want you so badly,” bisik Bahana disela deru napasnya yang memburu.Akhirnya, mau tak mau Nayaka membuka matanya, menelusuri wajah Bahana dengan jarinya. Ini waktunya, menikmati ciptaan Tuhan yang sempurna ini, hanya untuk dirinya sendiri.“You know that, I want you so badly, too,” gumam Nayaka lalu mencium bibir Bahana dengan lembut.Bahana tersenyum, merespons ciuman itu dengan penuh hasrat.
Sangka menyesap tehnya pagi ini. Sendirian. Di meja makan. Joy menunggu dengan posisi tegap di sebelah kanannya. Kemarin, hari pernikahan Bahana, Gama mengurungnya di rumah. Memastikan dia tak melangkah keluar dari pintu. Sekarang, Gama bahkan belum bangun. Dia tidur di kamar tamu sejak kejadian di rumah Bahana waktu itu.“Aku ingin pergi keluar hari ini.” Sangka menatap Joy, tapi gadis itu tak terintimidasi sama sekali.“Kata Mas Gama, hari ini, Anda belum boleh keluar rumah,” kata Joy masih dengan posisinya yang berdiri tegap.“Sampai kapan? Aku tak akan mengacau,” desis Sangka geram karena tak bisa melabrak wanita yang sudah menjadi istri Bahana sekarang.Hatinya sangat sakit mengingat hal itu. Kini, tak ada lagi kesempatan untuk mendekati Bahana, untuk meluapkan perasaannya. Sudah satu tahun dia memendam semua kerinduannya, dan kini saat dia ingin menuntaskannya, Bahana sudah meninggalkannya. Ralat, Bahana
Sangka berjalan mondar-mandir di kamarnya. Jarinya mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan tak sabar.[Kamu yakin?]Balasan yang dia tunggu dari Binar, sahabatnya.[Aku harus bagaimana?][Kalau aku jadi kamu. Aku terima saja Gama. Apa sih yang kamu cari dari Bahana?][Ini tentang rasa dikalahkan][Dikalahkan oleh siapa? Kamu sudah memilih Gama. Lagian, jika kamu pergi dari Gama dan lari ke Bahana, apa dia akan melihatmu lagi?]Sangka mendengkus. Binar benar. Bahana bahkan kini berani mencintai wanita lain.Joy mengetuk pintu kamar Sangka. Ini sudah waktunya makan.“Mbak, Mas Gama sudah menunggu di meja makan,” kata Joy dari luar kamar.“Aku tak ingin makan.” Sangka sedang tak ingin berhadapan dengan Gama untuk sekarang.“Mas Gama memaksa,” kata Joy tanpa beranjak dari tempatnya.Sangka membuka pintu dengan kesal. Berjalan meninggalkan Joy yang kemudian mengikutinya.Gama sudah duduk d
Sangka sudah bersiap untuk keluar rumah. Dia menunggu Gama selesai dengan sarapannya. Dia tak ingin membuat Gama semakin kesal. Mulai sekarang, dia harus bisa bermain cantik.Posisinya harus tetap aman, tapi juga bisa menjangkau Bahana dan menghancurkan pernikahan itu.Joy menunggu di depan pintu kamar Sangka dengan sabar. Setelah mengikuti Nyonyanya itu selama beberapa belakangan, membuat Joy tahu harus bagaimana bersikap dengan sifat Sangka.“Aku akan bertemu temanku, aku perlu ruang untuk pribadi, apa kamu akan mengekoriku?” tanya Sangka tak suka dengan kehadiran gadis itu.“Saya hanya mengikuti perintah,” jawab Joy datar.“Terserah saja. Aku ingin kamu berada dalam jarak tertentu,” kata Sangka menyerah untuk mengenyahkannya.Joy menyetir mobil Sangka menuju sebuah kafe di daerah Seminyak. Mereka saling berdiam sepanjang jalan. Tak ada basa-basi yang harus dilempar jika Joy sedang bertugas mengawal wanita yang dudu