Minggu-minggu berikutnya terasa penuh dengan ketegangan bagi Taka dan Wisang. Mereka terus berusaha untuk membersihkan nama yayasan dari tuduhan palsu yang dilontarkan Dimas. Setiap langkah mereka diawasi dengan cermat oleh para pihak yang ingin melihat mereka gagal. Namun, meskipun beban yang mereka tanggung semakin berat, mereka berdua tetap saling mendukung, berpegangan tangan dengan kuat dan saling memberi semangat.Sementara itu, Dimas semakin terobsesi dengan menghancurkan mereka. Ia tahu bahwa jika ia bisa mengalahkan Taka dan Wisang, ia akan bisa merebut kembali kekuasaan yang pernah ia miliki dan menjadikan mereka sebagai sasaran untuk balas dendam. Dengan pengaruh yang masih dimilikinya, Dimas mulai merancang serangan-serangan lebih licik, memanfaatkan celah di dunia bisnis dan politik untuk memanipulasi keadaan demi keuntungannya.Pada suatu malam, Taka dan Wisang duduk bersama di kantor yayasan, melihat laporan investigasi yang telah mereka susun bersama tim pengacara. Tak
Pesan itu membuat jantung Wisang berdetak kencang. Dia tahu bahwa Dimas pasti sudah mendapatkan informasi tentang mereka. Meskipun dia berusaha menenangkan dirinya, ketegangan kembali melanda. “Taka, kita harus lebih berhati-hati. Dimas tahu apa yang kita lakukan. Dia sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar,” ujar Wisang dengan suara tegang.Taka mengerutkan kening, merasakan dorongan kemarahan yang tiba-tiba. “Kami tidak akan mundur sekarang, Wisang. Ini saatnya untuk membuat langkah berani. Dimas tak bisa terus mendikte hidup kita. Kita harus hadapi dia dengan cara yang lebih besar.”Malam itu, mereka memutuskan untuk mempercepat proses investigasi dan mempersiapkan langkah hukum yang lebih tegas. Mereka tidak hanya ingin membersihkan nama yayasan, tetapi juga memberikan pelajaran kepada Dimas tentang betapa berbahayanya kebohongan dan manipulasi yang ia sebarkan.Namun, mereka tidak bisa bekerja sendirian. Dalam pertemuan rahasia dengan beberapa sekutu yang mereka percayai, me
Meskipun Taka dan Wisang mulai menemukan kebahagiaan mereka setelah melalui banyak cobaan, bayang-bayang masa lalu yang penuh intrik dan pengkhianatan tetap mengintai di sudut kehidupan mereka. Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, kedamaian yang mereka bangun mulai terganggu oleh sebuah ancaman yang tak terduga.Sebuah kabar buruk datang melalui surat yang dikirimkan ke kantor yayasan mereka. Surat itu berisi ancaman yang jelas: "Kalian pikir kalian sudah menang? Tidak akan ada yang bisa melarikan diri dari masa lalu. Semuanya akan runtuh, satu per satu."Taka dan Wisang merasa ketegangan mulai kembali merayapi hidup mereka. Meski mereka berpikir bahwa Dimas sudah tidak memiliki kekuatan lagi setelah kejatuhannya, surat ini jelas mengindikasikan bahwa seseorang, mungkin dari lingkaran Dimas yang masih memiliki sisa-sisa pengaruh, berusaha untuk merusak mereka lagi.Taka menggelengkan kepalanya, matanya tajam menatap surat itu. “Ini pasti dari seseorang yang ingin membalas dendam.
Taka berdiri di depan jendela, matanya menatap mobil yang terbakar di luar dengan tatapan yang keras. Suasana malam itu terasa semakin menegangkan. Wisang berdiri di sampingnya, tangan terkepal erat. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, namun juga tekad yang membara.“Dimas... ini sudah di luar kendali,” bisik Wisang, suara bergetar, meski dia mencoba menenangkan dirinya sendiri.Taka mengalihkan pandangannya ke Wisang, kemudian berbalik menghadapnya dengan tatapan penuh rasa waspada. "Tidak, ini bukan hanya Dimas. Ini lebih dari itu, Wisang. Kita tahu siapa yang berusaha menjatuhkan kita, tapi sekarang mereka semakin berani."Wisang menggelengkan kepala, kebingungan merayapi pikirannya. “Tapi bagaimana bisa mereka tahu kita sedang mencari bukti tentang Arka? Bagaimana mereka bisa mendekati kita tanpa kita ketahui?”Taka menggenggam bahu Wisang, menatapnya dengan serius. “Ada seseorang di dalam kita. Seseorang yang mendekatkan diri untuk mendapatkan kepercayaan kita. Dan dia sekarang be
Taka menghela napas keras, tetapi menuruti permintaan Wisang. Dia kembali duduk, meski tubuhnya masih tegang seperti busur yang siap memanah. "Baik. Arka, lanjutkan."Arka menelan ludah, suaranya bergetar ketika dia mulai berbicara lagi. “Mereka memberiku tugas untuk mendapatkan informasi. Apa pun tentang keuangan yayasan, jaringan relasi kalian, bahkan proyek-proyek kecil. Mereka ingin tahu kelemahan kalian.”Wisang menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit. "Jadi, semua data yang bocor beberapa bulan terakhir... itu ulahmu?"Arka mengangguk pelan, rasa bersalah terpancar jelas di wajahnya. "Aku tidak punya pilihan, Wisang. Mereka mengancam keluargaku. Aku... aku hanya ingin melindungi mereka."Taka mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap tajam ke dalam mata Arka. "Dan sekarang, kamu akan menebus kesalahanmu. Kamu akan memberikan setiap nama, setiap detail, dan semua bukti yang kamu miliki. Jika tidak, aku sendiri yang akan memastikan kamu tidak bisa menyentuh ke
Seminggu berlalu dengan persiapan penuh kecemasan dan antisipasi. Ghenta, anak semata wayang Taka, akhirnya tiba di Indonesia.Di bandara, Taka berdiri dengan Wisang di sampingnya. Kedua pria itu sama-sama tampak cemas namun penuh harapan. Ketika pintu kedatangan internasional terbuka, seorang bocah lelaki berusia sekitar 10 tahun muncul, membawa koper kecil dengan ekspresi penuh kegembiraan.“Papa!” serunya sambil berlari menuju Taka.Ghenta memandang Wisang dengan mata penuh rasa ingin tahu.Taka berdiri, menepuk bahu Ghenta dengan lembut. “Dia lebih dari sekadar sahabat Papa, Nak. Nanti Papa ceritakan.”Ghenta mengangguk kecil, lalu kembali memegang tangan Taka. “Aku lapar, Papa. Bisa kita makan sesuatu dulu?”Taka dan Wisang saling pandang sebelum mengangguk serempak. “Tentu. Ada kafe kecil yang Papa suka di dekat sini. Yuk, kita ke sana,” kata Taka sambil membawa koper Ghenta.---Di kafe, mereka duduk di meja sudut yang tenang. Ghenta dengan antusias menceritakan kehidupan di Er
Keesokan harinya, Taka dan Wisang bertemu dengan tim keamanan untuk merencanakan langkah selanjutnya. Mereka memutuskan untuk meningkatkan pengamanan, bukan hanya di rumah, tetapi juga saat mereka bepergian. Taka memutuskan untuk tidak membiarkan Dimas melihat ketakutan mereka, tetapi lebih memilih untuk menunjukkan sikap tenang dan terkontrol.Di sisi lain, Dimas tidak berhenti mengawasi. Setiap langkah Taka dan Ghenta dipantau dengan cermat. Namun, Dimas juga menyadari bahwa Taka semakin berhati-hati dan mulai menyusun langkah yang lebih strategis.Pada suatu sore, ketika Taka dan Wisang sedang berbincang di ruang kerja, seorang pengacara dari firma hukum Taka datang membawa kabar penting. Ternyata, Dimas telah mulai menggerakkan pengaruhnya untuk mengancam bisnis Taka dengan berbagai cara—baik melalui penyebaran rumor maupun dengan memanipulasi pasar.“Ini sudah di luar dugaan kita,” kata pengacara itu. “Dimas telah membeli saham dari beberapa perusahaan sekutu Taka dan mulai membe
Keesokan harinya, Taka memanggil tim pengamanan untuk melakukan pengecekan lebih mendalam terhadap setiap detail di rumah dan sekitar area sekolah Ghenta. Ia tidak bisa lagi menganggap remeh ancaman yang terus datang. Tidak hanya pengamanan fisik yang diperkuat, tetapi juga sistem keamanan digitalnya—termasuk kamera dan perangkat pemantau—diperiksa kembali untuk mengantisipasi kemungkinan serangan dari segala arah.Di tengah persiapan itu, Wisang menghampiri Taka dengan ekspresi serius. "Aku ingin ikut serta dalam langkah-langkahmu. Dimas sudah terlalu jauh. Kita tidak bisa hanya diam dan menunggu."Taka menatap Wisang sejenak. "Aku tahu. Aku tidak akan membiarkan dia menyentuh Ghenta. Tapi ini bukan hanya soal perlindungan fisik. Kita perlu langkah hukum yang lebih kuat.""Dan aku akan siap mendukungmu, Taka," jawab Wisang dengan keyakinan. "Aku akan berbicara dengan pengacara kita. Kita bisa menggunakan semua bukti ini untuk menjatuhkan Dimas."Taka mengangguk. "Aku percaya padamu,
Setelah hari yang penuh ketegangan, Wisang memutuskan untuk membuat sesuatu yang istimewa untuk Taka. Dimas boleh saja terus mengusik mereka, tetapi malam ini, ia hanya ingin menikmati kebersamaan dengan pria yang dicintainya.Di dapur apartemen kecil mereka, Wisang berdiri dengan celemek terikat di pinggang. Taka duduk di kursi bar, mengamati dengan senyum miring. "Aku tak pernah tahu kalau kau bisa memasak," katanya, menyandarkan dagunya di tangan.Wisang tertawa pelan sambil membalik steak di atas panggangan. "Kau pikir aku hanya bisa bekerja dan bertengkar dengan Dimas?" ia melirik ke belakang dengan senyum menggoda.Taka mengangkat bahu. "Yah, jujur saja, aku selalu melihatmu sebagai orang yang lebih suka makan di luar daripada repot-repot memasak sendiri."Wisang mengangguk sambil menuangkan saus ke atas steak yang sudah matang. "Itu benar. Tapi untuk orang yang kucintai, aku rela melakukan apa pun. Termasuk belajar memasak."Taka menatapnya, matanya melembut. Wisang memang buka
Setelah Dimas pergi, Wisang menghela napas panjang dan menyandarkan kepalanya ke bahu Taka. "Aku tidak tahu apakah dia benar-benar akan menyerah atau hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali mengacau," gumamnya lirih.Taka membelai lembut rambut Wisang, menenangkan perempuan yang ia cintai. "Yang penting sekarang, kita tetap berdiri bersama. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya, Wisang."Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dua hari kemudian, Wisang menerima sebuah panggilan telepon dari kantor lamanya."Wisang, kami baru saja mendapat surat dari pengacara. Dimas mengajukan tuntutan."Jantung Wisang berdegup kencang. "Tuntutan apa?" tanyanya dengan suara tertahan."Dia menuntut karena dugaan penyalahgunaan informasi internal saat kamu masih bekerja di sini. Dia mengklaim ada kebocoran data yang merugikan perusahaan. Kami tahu ini mungkin hanya alasan, tapi... ini bisa menjadi masalah besar."Wisang hampir tidak bisa bernapas. Dimas benar-benar tidak akan membiarkan
Keesokan harinya, setelah kembali dari perjalanan mereka, Wisang dan Taka memutuskan untuk duduk bersama di ruang tamu mereka yang tenang. Meskipun mereka baru saja menikmati ketenangan Eropa yang indah, kenyataan kembali menghantui mereka, dan ketegangan yang mengalir dari Dimas semakin terasa.Wisang menggenggam tangan Taka dengan erat. "Aku rasa kita sudah cukup jauh dari Dimas, tapi dia tetap mengawasi kita," katanya, suara penuh kecemasan yang tidak bisa disembunyikan. "Aku tidak ingin dia menghancurkan apa yang sudah kita bangun."Taka menatapnya dengan penuh perhatian, meyakinkan Wisang dengan tatapan yang dalam. "Kita harus ingat satu hal, Wisang," kata Taka lembut. "Kita sudah berjalan sejauh ini bersama. Tidak ada yang bisa mengubah itu, tidak peduli berapa banyak dia berusaha mengontrol kita. Kita akan melalui ini bersama, apapun yang terjadi."Wisang mengangguk, meskipun di dalam hatinya, keraguan itu tetap ada. Dimas bukan orang yang mudah dihadapi, dan dia tahu betul apa
"Dimas tidak akan pernah menyerah, padahal dia yang terus menyakitiku sebelumnya," lirih Wisang."Bagaimana jika kita pergi ke Eropa?" Taka yang mendengar kalimat lirih sang istri pun bertanya kepada Wisang.Wisang meliriknya dengan sedikit kebingungan. "Eropa? Serius? Bukankah kita lebih baik tetap di sini?"Taka tersenyum, meletakkan cangkir kopi di mejanya. "Justru karena kita sibuk mengawasi segalanya, kita perlu jeda. Aku bisa menyelesaikan semuanya dari sana, dan kita bisa sejenak meninggalkan segala tekanan ini. Pikirkan ini sebagai kesempatan untuk menyegarkan diri."Wisang terdiam sejenak, memikirkan tawaran itu. Dia tahu, ini bukan hanya tentang liburan biasa. Taka tidak pernah meminta sesuatu yang tidak penting, dan kesempatan ini mungkin menjadi satu-satunya cara untuk keluar dari rutinitas penuh stres yang mereka jalani."Tapi, Eropa... itu jauh sekali. Dan kita masih begitu berisiko."Taka mengangguk memahami kekhawatiran Wisang. "Aku tahu, tapi ini bukan hanya soal peke
Taka terdiam sejenak, menatap jauh ke luar jendela ruang kerjanya. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara detik jam yang menggema di dinding. Wisang, yang selama ini menjadi pendamping setianya, melangkah mendekat.“Wisang…” Taka memulai, suaranya berat. “Kau tahu apa yang membuatku tidak pernah mundur dalam menghadapi Dimas?”Wisang menatapnya penuh perhatian, mencoba membaca pikiran pria di depannya. “Karena kau tahu dia akan terus menjadi ancaman bagi semua yang kau bangun, Taka. Aku mengerti itu.”Taka tersenyum pahit. “Sebagian benar. Tapi lebih dari itu, aku melihat pantulan diriku di dalam dirinya. Kita berdua bukan orang baik, Wisang. Kita hanya mencoba bertahan di dunia yang tidak pernah adil sejak awal.”Wisang tertegun, lalu mendekatkan diri lebih dekat. Dengan ragu, ia merentangkan tangannya dan memeluk Taka. “Taka, kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Mungkin… mungkin Dimas tidak akan seperti ini jika saja dulu kalian tidak pernah bertemu. Jika dia ti
Malam berikutnya, Taka dan timnya mengadakan pertemuan tertutup di vila terpencil miliknya. Wisang, Sofia, dan beberapa anggota kunci hadir untuk merancang langkah berikutnya."Informasi yang kita terima menunjukkan bahwa Dimas sedang merencanakan serangan besar," ujar Sofia sambil memproyeksikan data ke layar besar. "Dia sedang menghubungi beberapa pengusaha besar untuk mendukung kampanye negatif terhadap Anda, Taka."Taka menyimak dengan tenang, kemudian mengarahkan pandangan ke Wisang. "Berapa banyak di antara mereka yang benar-benar berpengaruh?"Wisang membuka catatan di laptopnya. "Dari sepuluh nama yang terlibat, tiga di antaranya punya koneksi kuat dengan media dan pemerintah. Sisanya hanya pengikut Dimas yang mencari keuntungan.""Kalau begitu, fokuskan perhatian kita pada tiga orang itu," perintah Taka. "Cari celah mereka. Semua orang punya kelemahan."Sofia tersenyum tipis. "Aku sudah mulai menyelidiki salah satu dari mereka. Dia memiliki masalah pajak yang belum terselesai
Keesokan harinya, media penuh dengan spekulasi dan analisis tentang pertemuan Taka dan Dimas. Foto-foto mereka menjadi headline di berbagai portal berita, dengan tajuk seperti “Dua Raksasa Bisnis Bertemu: Konflik atau Kerjasama?” hingga “Ketegangan di Pameran Seni: Apa yang Sebenarnya Terjadi Antara Taka dan Dimas?”.Wisang, yang menyadari betapa besarnya dampak pemberitaan ini, masuk ke ruang kerja Taka sambil membawa tablet yang menampilkan beberapa berita terbaru."Ini semakin membesar, Taka. Media tidak hanya fokus pada pameran, mereka membuat narasi bahwa ini adalah perang kekuasaan," kata Wisang sambil menyodorkan tablet itu.Taka menatap layar tanpa banyak ekspresi, lalu mengembalikan tablet itu ke meja. "Itu yang Dimas inginkan. Dia tahu cara menggunakan media untuk memancingku," ujarnya dengan nada datar.Wisang mengangguk. "Tapi ini juga kesempatan, Taka. Kita bisa membalikkan narasi ini menjadi keuntungan kita. Mungkin...""Jangan pikirkan strategi yang terlalu mencolok," p
Di sebuah pameran seni yang diselenggarakan di pusat kota, seluruh kota seakan terfokus pada acara tersebut. Pameran itu menarik perhatian banyak tokoh penting dan masyarakat luas, namun yang paling menyita perhatian adalah dua sosok yang hadir: Taka dan Dimas. Meskipun mereka berada di belahan dunia yang berbeda, pertemuan mereka di acara itu menjadi titik balik yang sangat diantisipasi.Taka hadir sebagai seorang pengusaha sukses dengan citra kuat dan penuh percaya diri. Ia berjalan melalui pameran dengan langkah mantap, tampak elegan dalam balutan setelan hitam yang mengesankan. Di sampingnya, Wisang dan beberapa anggota tim pengamanan mengikuti dengan hati-hati, memastikan segala sesuatunya berjalan lancar.Sementara itu, Dimas juga hadir, namun dengan penampilan yang lebih sederhana dibandingkan Taka. Ia tidak secerah Taka, namun ada ketegangan di wajahnya yang menunjukkan bahwa pertemuan ini adalah sebuah kesempatan besar baginya. Dimas datang bersama beberapa orang kepercayaann
Keadaan semakin tegang seiring berjalannya waktu. Meskipun Taka sudah memperkuat pengamanan di rumah baru, ia tahu ancaman Dimas tidak akan berhenti hanya karena mereka pindah tempat. Taka merasa bahwa mereka harus bergerak lebih cepat dan lebih cermat, mengambil langkah hukum yang lebih besar untuk menekan Dimas sekaligus melindungi Ghenta.Di pagi hari, Taka memutuskan untuk mengunjungi pengacara mereka, menanyakan kemungkinan untuk mempercepat proses gugatan terhadap Dimas. Dengan penuh tekad, Taka memasuki kantor pengacara, disertai Wisang yang selalu mendukung langkah-langkahnya. Begitu mereka duduk di ruang rapat pengacara, Taka langsung berbicara."Bagaimana perkembangannya? Aku tidak punya banyak waktu. Dimas sudah pasti merencanakan sesuatu."Pengacara itu menatap mereka dengan serius. "Kami sudah mendapatkan dokumen-dokumen yang bisa memperkuat gugatan kita. Namun, untuk memastikan agar Dimas tidak lolos, kita harus melakukan dua hal: pertama, kita harus memastikan bahwa sem