Taka menghela napas keras, tetapi menuruti permintaan Wisang. Dia kembali duduk, meski tubuhnya masih tegang seperti busur yang siap memanah. "Baik. Arka, lanjutkan."Arka menelan ludah, suaranya bergetar ketika dia mulai berbicara lagi. “Mereka memberiku tugas untuk mendapatkan informasi. Apa pun tentang keuangan yayasan, jaringan relasi kalian, bahkan proyek-proyek kecil. Mereka ingin tahu kelemahan kalian.”Wisang menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit. "Jadi, semua data yang bocor beberapa bulan terakhir... itu ulahmu?"Arka mengangguk pelan, rasa bersalah terpancar jelas di wajahnya. "Aku tidak punya pilihan, Wisang. Mereka mengancam keluargaku. Aku... aku hanya ingin melindungi mereka."Taka mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap tajam ke dalam mata Arka. "Dan sekarang, kamu akan menebus kesalahanmu. Kamu akan memberikan setiap nama, setiap detail, dan semua bukti yang kamu miliki. Jika tidak, aku sendiri yang akan memastikan kamu tidak bisa menyentuh ke
Seminggu berlalu dengan persiapan penuh kecemasan dan antisipasi. Ghenta, anak semata wayang Taka, akhirnya tiba di Indonesia.Di bandara, Taka berdiri dengan Wisang di sampingnya. Kedua pria itu sama-sama tampak cemas namun penuh harapan. Ketika pintu kedatangan internasional terbuka, seorang bocah lelaki berusia sekitar 10 tahun muncul, membawa koper kecil dengan ekspresi penuh kegembiraan.“Papa!” serunya sambil berlari menuju Taka.Ghenta memandang Wisang dengan mata penuh rasa ingin tahu.Taka berdiri, menepuk bahu Ghenta dengan lembut. “Dia lebih dari sekadar sahabat Papa, Nak. Nanti Papa ceritakan.”Ghenta mengangguk kecil, lalu kembali memegang tangan Taka. “Aku lapar, Papa. Bisa kita makan sesuatu dulu?”Taka dan Wisang saling pandang sebelum mengangguk serempak. “Tentu. Ada kafe kecil yang Papa suka di dekat sini. Yuk, kita ke sana,” kata Taka sambil membawa koper Ghenta.---Di kafe, mereka duduk di meja sudut yang tenang. Ghenta dengan antusias menceritakan kehidupan di Er
Keesokan harinya, Taka dan Wisang bertemu dengan tim keamanan untuk merencanakan langkah selanjutnya. Mereka memutuskan untuk meningkatkan pengamanan, bukan hanya di rumah, tetapi juga saat mereka bepergian. Taka memutuskan untuk tidak membiarkan Dimas melihat ketakutan mereka, tetapi lebih memilih untuk menunjukkan sikap tenang dan terkontrol.Di sisi lain, Dimas tidak berhenti mengawasi. Setiap langkah Taka dan Ghenta dipantau dengan cermat. Namun, Dimas juga menyadari bahwa Taka semakin berhati-hati dan mulai menyusun langkah yang lebih strategis.Pada suatu sore, ketika Taka dan Wisang sedang berbincang di ruang kerja, seorang pengacara dari firma hukum Taka datang membawa kabar penting. Ternyata, Dimas telah mulai menggerakkan pengaruhnya untuk mengancam bisnis Taka dengan berbagai cara—baik melalui penyebaran rumor maupun dengan memanipulasi pasar.“Ini sudah di luar dugaan kita,” kata pengacara itu. “Dimas telah membeli saham dari beberapa perusahaan sekutu Taka dan mulai membe
Keesokan harinya, Taka memanggil tim pengamanan untuk melakukan pengecekan lebih mendalam terhadap setiap detail di rumah dan sekitar area sekolah Ghenta. Ia tidak bisa lagi menganggap remeh ancaman yang terus datang. Tidak hanya pengamanan fisik yang diperkuat, tetapi juga sistem keamanan digitalnya—termasuk kamera dan perangkat pemantau—diperiksa kembali untuk mengantisipasi kemungkinan serangan dari segala arah.Di tengah persiapan itu, Wisang menghampiri Taka dengan ekspresi serius. "Aku ingin ikut serta dalam langkah-langkahmu. Dimas sudah terlalu jauh. Kita tidak bisa hanya diam dan menunggu."Taka menatap Wisang sejenak. "Aku tahu. Aku tidak akan membiarkan dia menyentuh Ghenta. Tapi ini bukan hanya soal perlindungan fisik. Kita perlu langkah hukum yang lebih kuat.""Dan aku akan siap mendukungmu, Taka," jawab Wisang dengan keyakinan. "Aku akan berbicara dengan pengacara kita. Kita bisa menggunakan semua bukti ini untuk menjatuhkan Dimas."Taka mengangguk. "Aku percaya padamu,
Keadaan semakin tegang seiring berjalannya waktu. Meskipun Taka sudah memperkuat pengamanan di rumah baru, ia tahu ancaman Dimas tidak akan berhenti hanya karena mereka pindah tempat. Taka merasa bahwa mereka harus bergerak lebih cepat dan lebih cermat, mengambil langkah hukum yang lebih besar untuk menekan Dimas sekaligus melindungi Ghenta.Di pagi hari, Taka memutuskan untuk mengunjungi pengacara mereka, menanyakan kemungkinan untuk mempercepat proses gugatan terhadap Dimas. Dengan penuh tekad, Taka memasuki kantor pengacara, disertai Wisang yang selalu mendukung langkah-langkahnya. Begitu mereka duduk di ruang rapat pengacara, Taka langsung berbicara."Bagaimana perkembangannya? Aku tidak punya banyak waktu. Dimas sudah pasti merencanakan sesuatu."Pengacara itu menatap mereka dengan serius. "Kami sudah mendapatkan dokumen-dokumen yang bisa memperkuat gugatan kita. Namun, untuk memastikan agar Dimas tidak lolos, kita harus melakukan dua hal: pertama, kita harus memastikan bahwa sem
Di sebuah pameran seni yang diselenggarakan di pusat kota, seluruh kota seakan terfokus pada acara tersebut. Pameran itu menarik perhatian banyak tokoh penting dan masyarakat luas, namun yang paling menyita perhatian adalah dua sosok yang hadir: Taka dan Dimas. Meskipun mereka berada di belahan dunia yang berbeda, pertemuan mereka di acara itu menjadi titik balik yang sangat diantisipasi.Taka hadir sebagai seorang pengusaha sukses dengan citra kuat dan penuh percaya diri. Ia berjalan melalui pameran dengan langkah mantap, tampak elegan dalam balutan setelan hitam yang mengesankan. Di sampingnya, Wisang dan beberapa anggota tim pengamanan mengikuti dengan hati-hati, memastikan segala sesuatunya berjalan lancar.Sementara itu, Dimas juga hadir, namun dengan penampilan yang lebih sederhana dibandingkan Taka. Ia tidak secerah Taka, namun ada ketegangan di wajahnya yang menunjukkan bahwa pertemuan ini adalah sebuah kesempatan besar baginya. Dimas datang bersama beberapa orang kepercayaann
Keesokan harinya, media penuh dengan spekulasi dan analisis tentang pertemuan Taka dan Dimas. Foto-foto mereka menjadi headline di berbagai portal berita, dengan tajuk seperti “Dua Raksasa Bisnis Bertemu: Konflik atau Kerjasama?” hingga “Ketegangan di Pameran Seni: Apa yang Sebenarnya Terjadi Antara Taka dan Dimas?”.Wisang, yang menyadari betapa besarnya dampak pemberitaan ini, masuk ke ruang kerja Taka sambil membawa tablet yang menampilkan beberapa berita terbaru."Ini semakin membesar, Taka. Media tidak hanya fokus pada pameran, mereka membuat narasi bahwa ini adalah perang kekuasaan," kata Wisang sambil menyodorkan tablet itu.Taka menatap layar tanpa banyak ekspresi, lalu mengembalikan tablet itu ke meja. "Itu yang Dimas inginkan. Dia tahu cara menggunakan media untuk memancingku," ujarnya dengan nada datar.Wisang mengangguk. "Tapi ini juga kesempatan, Taka. Kita bisa membalikkan narasi ini menjadi keuntungan kita. Mungkin...""Jangan pikirkan strategi yang terlalu mencolok," p
Malam berikutnya, Taka dan timnya mengadakan pertemuan tertutup di vila terpencil miliknya. Wisang, Sofia, dan beberapa anggota kunci hadir untuk merancang langkah berikutnya."Informasi yang kita terima menunjukkan bahwa Dimas sedang merencanakan serangan besar," ujar Sofia sambil memproyeksikan data ke layar besar. "Dia sedang menghubungi beberapa pengusaha besar untuk mendukung kampanye negatif terhadap Anda, Taka."Taka menyimak dengan tenang, kemudian mengarahkan pandangan ke Wisang. "Berapa banyak di antara mereka yang benar-benar berpengaruh?"Wisang membuka catatan di laptopnya. "Dari sepuluh nama yang terlibat, tiga di antaranya punya koneksi kuat dengan media dan pemerintah. Sisanya hanya pengikut Dimas yang mencari keuntungan.""Kalau begitu, fokuskan perhatian kita pada tiga orang itu," perintah Taka. "Cari celah mereka. Semua orang punya kelemahan."Sofia tersenyum tipis. "Aku sudah mulai menyelidiki salah satu dari mereka. Dia memiliki masalah pajak yang belum terselesai
Beberapa hari setelah pertemuan itu…Wisang kembali ke rutinitasnya, mencoba menata hidup di rumah barunya. Ia mulai mengajar les lagi, membuka kelas daring, dan menata hari-harinya agar tetap sibuk. Tapi pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Tatapan Dimas, cara Taka meminta maaf, semua itu terus berputar dalam benaknya.Dan benar saja…Malam itu, saat Wisang baru saja selesai membersihkan dapur, pintu rumahnya diketuk keras.Dug… dug… dug…Ia mengintip dari jendela—jantungnya langsung melompat.Dimas. Lagi.Namun kali ini, ekspresinya jauh berbeda. Wajahnya tampak marah. Sorot matanya tajam. Seperti seseorang yang datang membawa dendam.Wisang membuka pintu dengan hati-hati. “Apa lagi, Dim?”“Boleh aku masuk?” tanya Dimas, tanpa senyum.“Kalau kamu datang buat bikin keributan, lebih baik kamu pulang.”“Bukan. Aku cuma mau kasih kamu sesuatu.”Ia menyerahkan sebuah amplop cokelat besar.Wisang ragu, tapi ia mengambilnya. Begitu dibuka, matanya membelalak.“Ini…?”Foto-foto. Bebera
Beberapa hari setelah Wisang memutuskan untuk berpisah dari Taka...Taka masih menjaga jarak. Meskipun Wisang sudah menjelaskan semuanya, termasuk pengorbanannya, Taka tetap memilih diam. Ia seperti membangun benteng, tak lagi memberi ruang untuk bicara, apalagi untuk mendekat.Wisang tak marah. Ia tahu luka di hati Taka tak bisa sembuh dalam semalam. Ia bersabar, menunggu, sambil diam-diam tetap memperhatikan dari kejauhan. Ya, Wisang memilih keluar dari rumah Taka dan kini mengisi rumahnya sendiri.Namun, pagi itu…Untuk pertama kalinya, Wisang membuka pintu rumahnya dan melihat seseorang yang tak pernah ia bayangkan akan datang.Dimas.Pria yang dulu ia nikahi. Pria yang pernah ia cintai—dan yang telah menghancurkan semuanya.Wisang menegang. “Ngapain kamu ke sini?”Dimas mengenakan jaket gelap, rambutnya sedikit acak, tapi sorot matanya tetap penuh percaya diri. Ia tersenyum kecil.“Aku hanya mau bicara sebentar. Itu saja.”“Dengan aku?” Wisang menahan nada ketusnya.“Ya. Hanya de
Tanpa Wisang sadari, dia bermimpi panjang kali ini. Ya ... Di tengah keriuhan reuni, Wisang berusaha menjaga dirinya tetap tenang. Dimas telah menanamkan benih keraguan di benaknya, dan meskipun ia berusaha mengabaikannya, kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. Sementara itu, Taka masih berada di dalam aula, berhadapan dengan Larissa yang tak henti-hentinya mencoba menariknya kembali ke masa lalu. "Kau tidak bisa menyangkalnya, Taka," kata Larissa, suaranya lembut namun penuh keyakinan. "Kita punya sejarah yang lebih dalam daripada yang kau dan Wisang miliki. Apa kau benar-benar berpikir dia bisa memahami dirimu seperti aku dulu?" Taka mengatupkan rahangnya. "Larissa, aku sudah mengatakan ini berkali-kali. Aku tidak bisa kembali padamu. Aku mencintai Wisang." Larissa menyeringai kecil. "Tapi apakah Wisang benar-benar mencintaimu? Atau dia hanya berada di sisimu karena merasa tidak punya pilihan lain?" Ucapan itu menusuk lebih dalam dari yang Taka harapkan. Namun, se
Keesokan harinya, matahari belum tinggi ketika Taka terbangun lebih awal dari biasanya. Malam tadi terlalu panjang untuk bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Larissa memang bukan sahabat dekat, tapi bukan juga orang yang mudah asal bicara tanpa maksud.Taka menoleh ke samping. Wisang masih tertidur, wajahnya tenang dan damai seperti biasanya. Tapi justru ketenangan itu yang membuat Taka merasa tidak tenang. Ia perlahan turun dari ranjang, berjalan ke dapur dan membuat secangkir teh hangat, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah.Tak lama kemudian, Wisang muncul di ambang pintu dapur, mengenakan kaus putih dan celana tidur. Ia menatap Taka dengan mata yang masih sembab namun penuh perhatian."Kau tak bisa tidur?" tanyanya lembut.Taka mengangguk. "Kepalaku penuh…"Wisang mendekat dan duduk di sampingnya. "Kau masih memikirkan Larissa?""Ya. Dan juga... kata-katamu. Aku ingin percaya sepenuhnya padamu, Wisang. Tapi a
Di dalam mobil yang melaju pelan di bawah cahaya lampu jalan, Taka menatap Wisang dengan ekspresi yang sulit diartikan. Suara lembut musik dari radio mengisi kesunyian di antara mereka, namun ada ketegangan yang tak terucapkan."Jika aku tiada... apakah kau akan kembali pada Dimas?" Taka akhirnya bertanya, suaranya nyaris tenggelam dalam desiran AC mobil.Wisang yang tengah fokus menyetir menoleh sekilas dengan kening berkerut. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"Taka menghela napas, menatap ke luar jendela. "Aku hanya penasaran. Dimas pernah menjadi bagian besar dalam hidupku. Aku tahu dia bukan pria yang baik, tapi... jika aku tak ada lagi di sisimu, kau mungkin akan merasa lebih mudah untuk kembali padanya."Wisang menggeleng pelan, matanya tetap terarah ke jalan. "Dimas adalah masa lalu, Taka. Aku tidak akan kembali padanya, bahkan jika kau tiada sekalipun."Taka tertawa kecil, meskipun terdengar getir. "Benarkah? Kau tadi tampak begitu bersyukur karena dia berhasil membangun
Reuni SMA itu seharusnya menjadi malam penuh nostalgia dan kebahagiaan bagi para alumni. Namun, bagi Wisang dan Taka, malam itu perlahan berubah menjadi ajang konspirasi yang mengancam hubungan mereka.Di balkon yang sepi, Wisang masih berdiri berhadapan dengan Dimas. Suasana di antara mereka penuh ketegangan. Wisang mencoba mengendalikan emosinya, tapi kata-kata Dimas terus menggema di pikirannya.“Aku bahagia dengan pilihanku,” ulang Wisang dengan suara lebih tegas. Namun, Dimas hanya tersenyum kecil, seolah-olah dia tahu sesuatu yang Wisang sendiri enggan akui.“Aku tidak yakin, Wisang,” kata Dimas, bersandar di pagar balkon. “Aku hanya ingin kau memikirkan sesuatu… Jika Taka benar-benar mencintaimu, mengapa dia tidak pernah benar-benar melepaskanku dari hidupnya?”Wisang menegang. “Apa maksudmu?”Dimas merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah foto kecil. Dia menyerahkannya pada Wisang dengan ekspresi penuh kemenangan.Deng
Di suatu tempat yang remang-remang, di sebuah lounge eksklusif yang hanya dihadiri oleh kalangan tertentu, Larissa duduk di sofa beludru dengan segelas anggur merah di tangannya. Di hadapannya, Dimas bersandar dengan santai, mengaduk minuman di gelasnya sambil menatap Larissa dengan tatapan penuh perhitungan."Jadi, kau sudah memikirkan rencana kita?" tanya Larissa, menyesap anggurnya dengan tenang.Dimas menyeringai. "Tentu saja. Taka tidak akan bisa menolak masa lalunya. Kita hanya perlu memancingnya ke dalam situasi yang membuatnya tak punya pilihan selain kembali padamu."Larissa menyilangkan kakinya, mengangkat alisnya dengan ekspresi tertarik. "Dan bagaimana kau berencana melakukannya? Wisang adalah masalah utama di sini. Taka mungkin masih memiliki perasaan padaku, tapi Wisang selalu ada di sampingnya. Dia tidak akan begitu saja membiarkan Taka kembali padaku."Dimas mengetukkan jemarinya di atas meja, berpikir sejenak sebelum berbicara, "Kau benar. Maka kita harus membuat Wisa
Wisang duduk di sudut kamar, tangannya mengepal di atas lututnya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, tetapi pikirannya jauh dari pemandangan yang terbentang di luar sana. Semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir terus berputar di kepalanya seperti film yang tak ada habisnya.Pertemuannya dengan Larissa membuatnya merasa semakin terpojok. Wanita itu berbicara seolah-olah dirinya adalah korban, seolah-olah Wisang adalah orang ketiga yang masuk ke dalam pernikahan Taka. Padahal, selama ini, Wisang yang harus menghadapi kenyataan bahwa dia menikahi seorang pria yang masih dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya.Dia mencintai Taka, tidak diragukan lagi. Tetapi cinta itu kini terasa bercampur dengan rasa sakit yang sulit ia jelaskan. Bagaimana mungkin dia harus terus bertahan sementara Larissa seolah berusaha membuatnya tampak seperti perebut suami orang? Bagaimana mungkin dia harus bertahan dengan fakta bahwa Dimas dan Larissa sedang berusaha memisahkan mereka?Taka sudah ber
Malam semakin larut ketika Wisang tiba di yayasan tempat Taka bekerja. Langkahnya mantap, tapi hatinya dipenuhi keraguan. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar tentang pertemuannya dengan Larissa sore tadi. Wanita itu bukan hanya kembali ke kehidupan Taka, tapi juga membawa aura ancaman yang sulit diabaikan.Ketika Wisang memasuki kantor utama yayasan, ia menemukan Taka masih sibuk di balik meja kerjanya. Pria itu tengah membaca laporan keuangan dengan serius, tetapi begitu melihat Wisang, ia langsung meletakkan dokumen itu dan menatap istrinya dengan lembut.“Kau masih di sini?” Taka bertanya, suaranya rendah namun penuh perhatian.Wisang mengangguk, kemudian duduk di kursi di hadapan suaminya. “Aku ingin bicara.”Taka menatapnya dengan penuh perhatian. “Tentang Larissa?”Wisang menghela napas, merasa terbebani dengan segala yang ada di pikirannya. “Aku bertemu dengannya sore ini. Dia datang untuk menjemput Ghenta.”Taka mengangguk, tidak terkejut. “Aku tahu dia akan datang