Diandra yang tergesa-gesa karena tak kuasa menahan perutnya yang sakit ingin buang air besar, dengan cepat memasuki ruang toilet. Sembari memegangi perutnya, dia duduk di kloset. Mengeluarkan sisa makanan yang tercerna, hingga perutnya merasa lega.
Namun, ketika ia hendak keluar dari bilik, langkahnya terhenti mendadak dan tangannya tergantung di udara. Dia ragu-ragu untuk membuka pintu, seolah-olah terhipnotis oleh suara pria yang tiba-tiba terdengar di luar. Dalam keadaan terjebak, Diandra memutuskan untuk tetap berada di dalam bilik toilet, merenung dengan cemas sambil mendengarkan pembicaraan yang terjadi di luar sana, di antara ketidakpastian dan kegelisahan yang merasukinya."Darren, bagaimana keadaan perusahaanku?"Suara berat seseorang menghamburkan perhatian Diandra. Suara air yang mengalir dari wastafel di depan membuat Diandra makin mempertajam pendengaran di balik pintu bilik ini. Diandra mulai mengangkat kakinya sedikit agar orang yang sedang berbincang tidak menyadari keberadaannya."Cukup baik, Tuan Juan," kata seseorang yang lain."Bahkan beberapa mitra ingin bekerja sama dengan kita," katanya lagi.Diandra seolah harus menahan napasnya saat mendengar suara dua orang laki-laki yang berada tepat di balik pintu. Dia menggigit bibirnya, merasa suhu semakin panas di sekitar. Ditambah dia mulai berkeringat dingin, tidak cukup hanya mengusapnya."Aku harus keluar," batinnya."Bukankah seharusnya Tuan yang jadi wajah di perusahaan?" tanya seseorang yang mungkin bernama Darren.Pria yang hanya memakai kemeja bermotif bunga dan celana pendek putih itu tertawa kecil, "Apa maksudmu? Kita sudah membahas dan sepakat," katanya."Kenapa menanyakannya" tanyanya lagi.Pria berjas hitam dan rapi itu terdiam sejenak, "Saya rasa kurang pantas saya berada di posisi ini dari awal berdiri hingga mulai berkembang, anda otak di balik semua ini. Anda juga yang ikut berkontribusi untuk perusahaan, saya hanya menjalankan tugas."Pria berbaju kemeja motif bunga itu berkata, "Bukannya kamu terlalu merendah Darren?""Sampai waktunya tiba, perusahaan Diamond Company akan tetap dipimpin olehmu. Aku hanya akan mengawasi kinerja dan memberikan saran atau perintah mutlak jika diperlukan," sambungnya."Aku tidak bisa terlalu mencolok di sini, Darren. Itu berbahaya untuk orang di perusahaan kita, aku tidak tau kapan mereka akan keluar," paparnya.Darren menatap Juan sebentar, "Kapan mereka akan muncul, Tuan?"Juan mengedikan bahunya sambil tersenyum, "Entahlah, tapi kita harus siap dalam segala kondisi."Juan kemudian mematikan wastafelnya, menatap dirinya dalam pantulan cermin. Dari situ dia pun menyadari ada yang aneh dengan bilik toilet di belakangnya. Bayangan samar-samar yang terlihat di sela bawah pintu membuatnya mengalihkan perhatian."Darren," panggilnya."Aku rasa kita harus melakukan transaksi lain di luar pekerjaan hari ini," katanya kemudian.Di tengah pembicaraan mereka, suara dering ponsel yang cukup keras mengejutkan Diandra. Semakin panik, dia bahkan tidak dapat menekan layar ponselnya dengan baik, harus memerlukan waktu beberapa sekian detik lebih lama. Sampai-sampai seseorang mengetuk pintu biliknya."Permisi, apa ada orang?"Mereka berdua menunggu jawaban, tapi tidak ada suara dari dalam. Selain keheningan setelah dering ponsel yang lantang terdengar. Pria itu melirik Darren, Darren mengangguk seolah tahu apa yang dimaksudkan.Sementara itu, detak jantung berdegup cukup kencang, Diandra menutup mulutnya rapat-rapat. Dia tidak berani mengambil napas terlalu dalam. Suhu menjadi semakin dingin untuknya, "Gawat," ucapnya dalam hati."Namaku Juan dan temanku satu lagi Darren, siapa namamu, nona?" tanya Juan.Diandra membisu, merekatkan bibirnya rapat-rapat, di balik bilik toilet itu, Diandra resah dengan suara yang dia dengar. Pria itu malah memperkenalkan dirinya dan rekannya kepada Diandra.Seorang pria bernama Juan itu kembali menoleh ke arah rekannya yang memakai setelan jas rapi, "Aku pikir sudah diperiksa semuanya," ucapnya sambil tersenyum."M-Maaf Tuan, tapi aku memang sudah memeriksanya tadi," katanya berusaha meyakinkan.Juan kembali beralih menatap pintu yang tertutup rapat, "Tok-tok, aku ingin mengajakmu bicara," ajaknya dengan nada suara seperti ingin mengajak bermain."P-Pergi!" titah Diandra."Suara wanita?" gumam Juan sembari melirik Darren."Kalian gak sopan masuk toilet wanita, lebih baik pergi sebelum aku ..., sebelum aku menelepon polisi!"Keringat dinginnya membasahi pelipis, kedua matanya mengawasi bayangan kaki yang nampak di sela bawah pintu. Tidak sedikit pun gerakan dari sana, mereka bahkan tidak pergi. Diandra menggigit bibir bawahnya, hingga dia mendengar tawa kecil dari luar sana."Apa kamu gak akan menghubungi polisi kalo kami pergi?" tanya pria itu dengan santai.Diandra mengiyakan dengan terbata-bata, dia berusaha berpikir mengusir atau kabur dari sana. Sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Namun, pemikiran berubah menjadi pertanyaan yang ambigu ketika Juan berkata, "Polisi tidak akan menangkap kami, nona.""Apa maksudnya?" begitulah yang dipikirkan Diandra."Begini, nona. Aku akan menjelaskan tapi aku juga ingin menjaga harga dirimu, apa keberatan jika ke luar dan ikuti kami?" tawar pria itu.Diandra mulai gelisah, tawarannya membuat wanita seperti Diandra curiga, "Kalo aku di apa-apain gimana? Ini orang bener gak, sih? Kenapa suruh ngikut? Sial banget hari ini," gerutunya dalam hati.Akhirnya setelah berpikir agak lama, dia angkat suara, "Kalian masuk toilet wanita, kalian laki-laki gak boleh asal masuk. Aku bisa menuntut kalian!" ancam Diandra.Juan menghela napasnya panjang, "Bisakah turuti kami sebentar?""Kenapa aku harus menuruti kalian?" tanya balik Diandra."Karena aku orang yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya," kata Juan percaya diri.Darren yang mendengar Juan berbicara hanya dapat menggelengkan kepalanya. Negosiasi yang begitu buruk dan sulit dipercaya, namun Juan terus berusaha membujuknya keluar. Beruntung keadaan toilet dalam restoran ini begitu sepi."Apa gak bisa kalian biarin aku pergi?" tanya Diandra mulai kesal."Aku rasa harus ada yang dibicarakan di meja, nona.""Aku bahkan gak tau namanya dia siapa," gumam Juan.Juan memegang dagunya menatap pintu yang tertutup rapat, "Apa dia lebih suka dipanggil, nona?" katanya lirih berbicara lirih.Tentu saja semua itu dapat didengar Diandra, karena jaraknya begitu dekat dengannya, "Mimpi apa aku semalam bisa kejadiam kayak gini," pikir Diandra."Tuan, apa sebaiknya kita tidak mempercepat ini dengan ...." kata-kata Darren yang menggantung membuat Juan menoleh kepadanya.Juan menggeleng, "Jangan, lakukanlah dengan lembut. Dia seorang wanita," katanya.Diandra takut keluar, tetapi dia juga kesal karena orang mencurigakan ini tak mau segera pergi. Pemikiran mereka saling bertolak belakang, "Ini toilet wanita, aku bilang pergilah, sebelum aku menelepon polisi!"Pria bernama Juan itu tertawa lagi, "Aku rasa kamu salah mengira, nona."Dalam bilik toilet itu, Diandra memikirkan cara keluar dari zona dua orang yang menurutnya cukup mencurigakan. Orang bernama Juan seolah berusaha meyakinkannya bahwa dia orang yang baik. Namun, di pikiran Diandra begitu berbeda. Seolah dia bisa tamat jika menuruti orang-orang ini. Meskipun suhu meningkat, Diandra berusaha berpikir jernih di tengah kegelisahan yang dia alami.Apa pun yang terjadi, Diandra akan berusaha melindungi dirinya. Mungkin ini adalah hari yang siap baginya, tapi setidaknya dia ingin hari sialnya tidak berlipat ganda. Dia ingin pulang dengan selamat."Ayo, pikirkan sesuatu Diandra!""Kenapa kakak ga angkat telepon?"Fani termenung melihat layar ponselnya, panggilan darinya ditolak oleh sang kakak. Padahal biasanya Diandra akan langsung mengangkatnya, meskipun Fani hanya akan menanyakan hal sepele kepadanya. Kecuali jika di jam kerja, Diandra akan kesulitan mengangkat panggilannya. Sementara itu, di tempat lain Diandra mulai ketakutan. Entah kenapa suhu udara menjadi dingin. Apa yang ada di balik pintu membuatnya begitu was-was. Diandra memegang erat ponsel miliknya. Dua kaki yang menapak terlihat bayangannya dari balik pintu."Aku pikir kamu salah mengira, nona.""Aku hanya akan memberi tahu sesuatu kepadamu," katanya.Diandra mulai berpikir keras, "Aku akan keluar," katanya kemudian."Okey, keluar lah baik-baik," sarannya. Diandra menurunkan tas sling bag yang melekat pada pundak, kemudian tas itu dia pegang dengan erat. Tangan kanan bersiap dengan tas miliknya, sementara tangan kiri berjaga pada kunci pintu.Bunyi kunci yang terbuka seolah memberikan sinyal u
"Namanya Diandra, saya harap kalian bisa membantunya kalo ada kesulitan yang dia hadapi."Diandra berdiri di depan orang yang akan menjadi rekan satu kantornya. Darren begitu ahli membuat orang lain mendengarkan, tak satu orang yang berani bicara saat dia sedang mengucapkan sesuatu kepadanya.Meskipun begitu rasa gugup tetap dirasakan, apalagi atasan bernama Darren yang memimpin baru saja dia temui kemarin. Meskipun begitu, Diandra berusaha tetap profesional, dia tersenyum dan menyapa yang lain."Baik, itu saja. Lanjutkan pekerjaan kalian," titah Darren.Darren kemudian pergi seolah-olah dia tidak mengenal Diandra. Melihat punggung Darren yang semakin menjauh bersama seorang asisten wanitanya, Diandra merasa sedikit cemas. Bahkan dia kurang nyaman setelah apa yang menimpanya kemarin.Beberapa orang menyapa dan memperkenalkan diri. Kemudian, beberapa yang lain langsung ke tempat masing-masing. Diandra pun duduk di tempat yang sudah di instruksi kan. Ketika dia baru saja membuka kompute
"Kamu ke ruangan saya."Diandra baru saja duduk di kursinya untuk melanjutkan beberapa tugas yang diberikan. Namun, sayangnya keberuntungan cukup sulit untuk dibiarkan menetap. Dia harus kembali berurusan dengan Darren.Hampir semua pasang mata melihatnya, Diandra yang kebingungan hanya bisa pasrah untuk mengiyakan apa yang diminta Darren. Diandra terpaksa mengikuti langkah Darren di belakang, meskipun kakinya terasa begitu berat. Berjalan melewati lorong dan menaiki lift, tak ada percakapan yang memecah keheningan. Sesampainya di ruangan Darren, laki-laki itu berdiri membelakanginya. "Tolong tinggalkan kami sebentar," katanya kepada seorang wanita yang memegang catatan di tangan.Wanita itu mengangguk kepada Darren, kemudian melangkah pergi dengan melirik Diandra sebentar. Tatapan keduanya bertemu sebentar, lalu wanita asisten itu melenggang pergi. Kini, hanya ada Darren dan Diandra seorang."Aku punya pesan untukmu," ucapnya di depan Diandra."Pesan?"Darren mengangguk, "Dia memint
"Apa pekerjaan Pak Darren selama ini sebagai asisten rumah juga?"Juan tertawa mendengarnya, "Ya, bisa dibilang dia yang terbaik!""Jadi asisten rumah tangga, toh. Multitasking banget orang ini," ucap Diandra dalam benaknya.Diandra tidak membaca dengan baik kontrak kerja yang langsung ditanda tangani oleh dirinya sendiri. Apa yang dia tahu hanya sebagai asisten. Mungkin ini akan menjadi pekerjaan yang melelahkan baginya."Kamu lucu juga, ya," puji Juan tiba-tiba."Bagian mana lucunya?" batin Diandra.Diandra pun menunjukkan senyum andalannya, "Hehe, bisa aja Pak Juan."Apa yang dipikirkan dalam benaknya selalu berbanding terbalik dengan kelakuan yang dia tunjukkan kepada orang lain. Diandra merasa harus menunjukkan berbagai macam topengnya untuk menyenangkan hati atasannya atau orang lain. Begitulah yang selalu Diandra lakukan selama ini."Berhentilah tersenyum seperti itu, aku tau itu bukan senyum yang mau kamu tunjukkan," kata Juan.Seketika Diandra terkejut dengan apa yang dikatak
"Pak Juan, ayolah, sini!"Diandra semakin kesal kala Juan mematung di depan sebuah lemari minuman dingin yang menampilkan banyak varian susu serta olahan susu lainnya. Layaknya anak kecil yang menginginkan sesuatu dia akan memperhatikan sesuatu begitu lama, kemudian baru menunjuk apa yang diinginkan. Hampir sama seperti yang dilakukan pria pemilik hidung mancung dan mata coklatnya yang begitu cantik ini."Bukankah kita juga harus beli ini?" katanya.Diandra merasa ingin meremas kepala orang itu, sebab dia tidak yakin sudah membeli semua yang harus dibeli. Namun, orang ini malah merengek meminta membeli sekotak yogurt. Diandra mengangguk, anehnya pria itu begitu senang setelah diizinkan. Bukankah dia bisa membelinya sendiri? Kenapa perlu izin darinya. Begitulah isi pikiran Diandra ketika menatap lama Juan. "B-Boleh, silahkan aja, Pak," ucap Diandra ragu.Diandra kembali mendorong troli ke tempat perbelanjaan selanjutnya. Juan selalu diawasi ketika Diandra hendak mengambil sesuatu. Hi
Dalam taksi di jalan yang sepi, supir taksi itu nampak sesekali melihat ke layar kaca untuk melihat di belakang. Juan menyunggingkan bibirnya, tatapan mata yang saling bersinggungan membuat supir itu langsung mengalihkan pandangan. Juan kini beralih menatap Diandra yang sibuk memandang sekitar. Juan mendekat sampai tatapan mereka berdua terkikis oleh jarak, udara makin panas ketika wajah mereka hanya beberapa senti saja. Jendela kaca mobil yang masih tertutup membuat oksigen luar tak dapat masuk. Dekatnya wajah Juan, membuat Diandra sulit untuk mengalihkan pandangan, "Dengar," bisik Juan dari dekat."Keluarlah sebentar dan berpura-pura menelpon seseorang sambil bersembunyi di gang kecil itu," suruh Juan sambil menunjuknya dengan gerak mata.Bunyi pintu mobil yang terbuka terdengar, angin semilir membawa masuk suhu dingin saat senja hampir usai. Diandra bergegas beranjak keluar mobil, serta menggunakan ponsel sesuai arahan Juan sebelumnya. Setelah Diandra mulai menjauh, Juan langsung
"Pegang ini."Juan memberikan satu kantung plastik besar kepada Diandra. Sementara itu, Juan membuka kode kunci pintu masuk apartemen. Setelah bunyi kode kunci benar, Juan mengambil kembali kantung belanjaan yang dia titipkan kepada Diandra. Kemudian dia masuk ke dalam, menaruh belanjaan di dapur yang berdekatan dengan ruang tengah.Diandra masih terdiam di pintu, ini kali pertama baginya masuk ke dalam apartemen laki-laki. Melihat ruang yang begitu rapi dengan suhu dingin dari pendingin ruang menyapa."Apa yang kamu lakukan di sana? Sini masuk!" teriak Juan dari dalam.Mendengar suara yang cukup lantang dari sana, Diandra buru-buru masuk ke dalam. Juan menghampiri Diandra yang berdiri di dekat pintu. Tinggi mereka yang berbeda, membuat Diandra harus mendongak untuk melihat matanya."Kenapa lama sekali?"Diandra terdiam ketika Juan yang menjulurkan tangannya di samping pinggang. Tanpa sepatah kata pun, Juan mendekat dan menatapnya dalam diam. Di saat itu Diandra memundurkan langkah k
Sentuhan di pipi membuat Diandra membuka matanya perlahan. Seseorang terus menyentuh pipinya dengan hari telunjuk, meskipun Diandra sudah mulai sadar dari bunga tidur. Tangan terasa pegal karena posisi yang sama dengan waktu begitu lama."Diandra bangun, sudah malam," ucap seseorang dengan suara beratnya."Bangun putri tidur, pekerjaan sudah selesai hari ini, pulang lah," katanya lagi.Diandra mengejapkan mata, mengumpulkan kesadaran. Suara dari samping, membuat Diandra menolehkan kepalanya. Dia melihat Juan yang jongkok di dekatnya sambil memperhatikan. Pria itu masih setia dengan jari telunjuk yang menggantung di udara, seolah siap menyentuh dengan jari panjangnya. "Jam kerja mu sudah selesai hari ini, terima kasih. Aku akan menghubungi mu nanti," ucapnya sambil tersenyum simpul.Kedua mata terbuka lebar, ketika dia menyadari seseorang yang tidak lain adalah bosnya sendiri berada di dekatnya. Memperhatikan tidur lelap nan entah seperti apa wajah Diandra tadi. Terkejutnya dia sekali
"Pak Juan? Ini aku Diandra," ucap Diandra sambil menekan bel.Beberapa kali Diandra memanggil nama sang tuan rumah, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Diandra memilih untuk menekan beberapa angka untuk membuka pintu apartemen. Darren memberikan informasi yang begitu penting kepadanya demi jaga-jaga akan kejadian semacam ini.Langkah kaki mulai memasuki ruang yang pengap, hanya ada beberapa lampu kuning yang menyala di beberapa sudut. Ruang tengah begitu remang-remang, dia segera melepas sepatu, lalu suhu dingin menyentuh kakinya yang menapak lantai. Entah sudah berapa lama ruangan ini begitu tertutup tanpa cahaya matahari yang menghangatkan, bahkan hingga membuat sinar matahari itu kembali terlelap di malam hari."Pak Juan di dalam?"Diandra memandang seluruh sudut yang ia temui di ruang tengah ini. Dia tidak menemukan apa pun, selain bau menyengat dari sebuah ruang. Ruangan itu tak lain adalah kamar pribadi sekaligus tempat Juan menyelesaikan pekerjaan. Diandra memberanikan diri untuk
Udara makin dingin ketika matahari mulai tergelincir di ufuk barat. Wanita itu telah menenteng sebuah kantung belanjaan dari minimarket tak jauh dari depan gedung Diamond Company. Dia meraih ponsel dari tas bahu yang dikenakan, mengetuk dua kalo pada layar hingga menampilkan waktu pukul setengah enam sore.Diandra berdiri di pinggir jalan, hingga seseorang pengendara motor mengenakan pakaian hijau datang lalu berhenti di depannya. Pria paruh baya itu tersenyum dan menanyakan kepastian nama pelanggannya. Diandra meraih helm yang disodorkan, kemudian menaiki ojek online yang dipesannya."Pak Apartemen Anggrek, ya," kata Diandra."Baik, neng," balas pria paruh baya itu.Motor pun melaju menerobos kemacetan di jam pulang, beberapa kali harus terhenti karena mobil di depannya. Panas jalanan mengalahkan waktu yang seharusnya lebih dingin. Meskipun matahari sudah mulai menghilang, panas dari asap kendaraan dan mesin serta banyak orang di sekitar membuat hawa makin terasa tidak nyaman.Di te
Diandra menarik langkah kakinya mundur, dia mencari kontak Darren sesegera mungkin. Dengan tergesa-gesa, Diandra mengetikkan isi pesannya pada layar ponselnya."Pak, tadi Pak Juan nelpon saya, tapi gak ada jawaban dan cuman suara berisik. Bisa bapak lakukan sesuatu? Kayaknya gak mungkin kalo saya pergi sebelum jam pulang, gak enak sama anak-anak yang lain," tuturnya dalam pesan yang dia ketik.Diandra terdiam di depan pintu lift, dia menoleh ke belakang dimana tempat kerja Darren berada tak jauh dari sana. Beberapa saat terdengar bunyi notifikasi dari ponsel. Pesan dari Darren muncul di gelembung notifikasi, dengan sigap Diandra menekan layarnya."Akan kukirim orang untuk memeriksanya hari ini," balas Darren.Meskipun hatinya masih gundah, Diandra sedikit merasa lega. Dia kembali berjalan menuju tempat kerjanya. Sementara itu di sisi lain kantor ini, Darren berdiri menghadap kaca jendela yang memperlihatkan kota di bawahnya. Tatanan kota yang kurang beraturan di sisi lain, menyimpan s
"Mati atau kembali."Setelah mengatakan hal itu, pria misterius tersebut tertawa menggelegar. Dia tertawa seperti orang kurang waras hingga membuat semua di sekitarnya merasa keherenan sekaligus takut. Beberapa orang mulai pergi karena takut, beberapa pegawai memanggil satpam untuk segera datang."Apa maksudnya?" gumam Diandra.Sementara Juan hanya terdiam dengan genggaman tangan yang makin mengerat kepadanya. Seolah mengkhawatirkan akan sesuatu dalam otaknya. Akhirnya pria misterius itu pun berhenti tertawa lepas, lalu berkata, "Jangan biarkan Tuanku menunggu jawabanmu," pungkas pria misterius itu.Tak lama setelahnya, tiga orang satpam yang bertugas langsung meringkus pria berjaket hitam tersebut. Dia tidak mengelak apalagi memberontak saat dibawa oleh para satpam. Malahan dia tertawa dan bersenandung seperti orang kurang waras."Hahaha! Pertaruhan dimulai!" teriaknya sembari diseret dua satpam lainnya.Salah satu satpam menghampiri Juan dan Diandra, "Apa ada yang terluka?" tanyany
Pria bertubuh tinggi ini memasuki mobil, dia mengambil sebuah kunci dari saku celananya. Deruman mobil terdengar halus ketika mulai melaju. Sementara Diandra masih membisu, memandang kendaraan yang berlalu lalang."Ini masih siang, ayo kita ke Mall," ajak Juan tanpa menoleh.Diandra mengalihkan pandangan setelah mendengar apa yang dikatakan Juan. Keningnya berkerut saat dia sedang mencerna apa yang ingin dilakukan pria ini di sana. Dengan tidak nyaman, Diandra sedikit membenarkan posisi duduknya, lalu mencondongkan tubuhnya beberapa senti kepada pengemudi yang ada di sampingnya, "Emang ada tugas lagi, Pak?" tanya Diandra heran.Juan menarik kedua sudut bibirnya, dan berucap, "Tentu ada tugas lagi.""Apa kamu gak penasaran?" tanya Juan kemudian.Diandra yang sudah mulai lelah akhirnya mengangguk ragu disertai senyum tipisnya. Juan menengok ke samping, kemudian tersenyum dengan rentetan gigi yang nampak manis. Tanpa aba-aba, Juan melajukan mobilnya lebih kencang menuju Mall terdekat. So
Dalam senyap tatapan matanya menyelidik kedua orang yang sedang duduk di kursi sofa pada hadapannya. Bolak-balik kedua bola mata memandang dua orang secara bergantian, sampai tatapannya terkunci kepada seorang pria berpakaian jas hitam. Dia sibuk melihat gelas cangkir teh berwarna putih mengkilap."Siapa dia?" tanya Risa sambil menunjuk dengan gerak matanya ke arah Juan.Diandra melirik beberapa saat kepada Juan, berpikir sampai Juan menatapnya balik, "D-Dia ....""Kita langsung saja," ucap Juan tiba-tiba.Juan menaruh cangkirnya di atas meja, kemudian mengambil sebuah kertas dari balik jas hitam miliknya bersama sebuah pena yang ada di saku. Dia menaruh di atas meja bersama dengan pena yang telah disiapkan. Lalu, dia kembali mengapkan tubuhnya dan menatap Risa dalam."Mungkin sudah terlambat untuk memintamu menghapus foto yang kamu ambil, tetapi saya harap kamu mau mengundurkan diri menjadi karyawan di perusahaan Diamond Company," tutur Juan. "Maksudnya apa ya?" tanya Risa dengan ke
"Potong gaji 50%, mau?"Diandra terdiam membisu, dia menggertakkan gigi ketika mendengar ucapan pria yang masih terduduk di sofa. Kemudian Juan tiba-tiba bangkit dari duduknya, melangkah agar lebih dekat dengan Diandra.Jarak mereka kini hanya sekitar setengah meter. Udara semakin panas, angin yang masuk melalui jendela balkon tidak dapat mengusir suhu panasnya. Diandra memundurkan langkahnya menjauh, tetapi Juan kembali selangkah lebih dekat dengannya."Apa nona ini baru saja mengancamku buat mogok kerja?" tanya Juan sambil menyeringai. Juan memegang dagu wanita di depannya, kemudian berkata, "Kamu sudah menandatangani kontrak ini. Selama satu bulan ke depan kamu harus bekerja denganku, bukan?"Juan menaikan salah satu alisnya, Diandra dapat melihat mata coklat itu lagi dari dekat. Tanpa sepatah kata lain yang dikeluarkan, Juan melepaskan dagu Diandra. Kemudian dia kembali menegakkan tubuhnya."Berhenti banyak bertanya, aku punya pekerjaan tambahan hari ini. Jadi aku mengundang kamu
Rambut berantakan, pakaian tidak serapi sebelumnya. Begitulah yang terlihat jelas dari Diandra saat ini. Duduk di kursi sambil sesekali menatap sinis orang di dekatnya. Sama halnya dengan Diandra, Mawar pun dalam kondisi demikian. Dalam ruangan tersebut mereka duduk di kursi, menghadap Darren. Sementara Juan sibuk melihat tanaman di dekat jendela. Atas kejadian ini, Diandra dan dibawa dibawa ke ruang khusus Darren."Apa masalahnya?"Darren berubah menjadi orang yang dingin dan kaku, bahkan tatapan itu lebih lama kepada Mawar. Darren berdiri dari tempat dan berjalan menghampiri Mawar, dia memegang sandaran tangan kursi yang diduduki wanita berambut pendek ini, dengan sedikit memajukan tubuhnya mendekat dia berkata, "Saya tau ini bukan kali pertamanya kamu membuat karyawan saya pergi dari kantor ini.""Apa kamu tau kenapa saya masih membiarkan kamu di sini?" tanyanya dengan sorotan mata tajam.Kaki Mawar mulai bergetar saat ini, dia menggeleng gugup. Dia terdiam, lidahnya begitu kelu
Pukul 10 pagi dalam kantor, kedua mata tak berhenti menatap layar. Telinganya menangkap banyak suara orang di sekitarnya, riuh bisik dari mulut ke mulut lainnya membuat telinganya terasa panas. Setelah Diandra bekerja sampai malam kemarin, dia tidak menyangka akan ada hal yang mengejutkan lainnya."Ih, jadi dia beneran sama Pak Darren gitu? Dia masuk pake orang dalem, dong," bisik seorang wanita dari belakang.Suasana di kantor menjadi kurang nyaman baginya. Dia merasa ingin mengambil langkah seribu dari sini. Menatap layar monitor saja rasanya membuat enggan. Meskipun sudah menatap lama, suara riuh itu membuatnya merasa sangat terganggu."Kamu sama Pak Darren ada hubungan, ya?" tanya setengah berisik sambil memberikan sebuah permen di meja.Gea berdiri di dekat Diandra, sambil terdiam menatapnya. Seolah dia sedang menunggu jawaban pasti dari temannya itu. Diandra melamun, memandang sebua permen kemasan berwarna merah dengan kata-kata kekinian di situ."Santai," ucap Diandra lirih me