"Namanya Diandra, saya harap kalian bisa membantunya kalo ada kesulitan yang dia hadapi."
Diandra berdiri di depan orang yang akan menjadi rekan satu kantornya. Darren begitu ahli membuat orang lain mendengarkan, tak satu orang yang berani bicara saat dia sedang mengucapkan sesuatu kepadanya.Meskipun begitu rasa gugup tetap dirasakan, apalagi atasan bernama Darren yang memimpin baru saja dia temui kemarin. Meskipun begitu, Diandra berusaha tetap profesional, dia tersenyum dan menyapa yang lain."Baik, itu saja. Lanjutkan pekerjaan kalian," titah Darren.Darren kemudian pergi seolah-olah dia tidak mengenal Diandra. Melihat punggung Darren yang semakin menjauh bersama seorang asisten wanitanya, Diandra merasa sedikit cemas. Bahkan dia kurang nyaman setelah apa yang menimpanya kemarin.Beberapa orang menyapa dan memperkenalkan diri. Kemudian, beberapa yang lain langsung ke tempat masing-masing. Diandra pun duduk di tempat yang sudah di instruksi kan. Ketika dia baru saja membuka komputernya dan memeriksa catatan yang menempel di depan, seseorang tiba dengan senyum gembira."Diandra," panggil seseorang dengan suara lirih.Diandra harus mendongak melihat wajah siapa yang datang. Dia menampilkan senyum sumringah di mukanya. Lambaian tangan kecil juga dia lakukan selama beberapa saat untuk menyapa."Gea ...."Seketika wajah Diandra menjadi masam, "Kenapa?" ketusnya."Eh, ketus amat jadi orang. Ayolah, ini hari pertama kamu kerja di Diamond Company," rayu Gea.Tidak dipungkiri jika Gea juga yang telah memberi tahu tentang lowongan pekerjaan di sini. Meskipun dia begitu menyebalkan karena membuat dirinya terjebak pada dua pekerjaan yang harus dia lakukan. Kesepakatan dengan Juan, ditambah dia harus bekerja di bawah tekanan seorang Darren. Menambah bebannya dua kali lipat."Hmm, semangat," jawab Diandra terpaksa."Aku sudah minta maaf, apa kamu gak mau maafin aku?" tanya Gea dengan mata seolah berkaca-kaca.Diandra menghela napas panjang, dia hanya mengangguk. Kemudian tangannya mengibas, menyuruh Gea segera pergi darinya. Diandra merasa tak mau di ganggu untuk beberapa saat. Gea pun tersenyum, "Aku tunggu pas jam istirahat!" ucapnya sembari kembali ke meja yang bersebelahan persis dengannya dan hanya tertutup oleh sekat.Melihat Gea yang tersenyum ketika Diandra baru sadar temannya duduk persis di samping, membuatnya harus menghela napas untuk ke dua kalinya. Diandra kembali melanjutkan tugasnya, orang-orang di sekitarnya terlihat begitu profesional. Meskipun begitu, sedari tadi Diandra merasa diawasi seseorang dari bagian belakangnya.Diandra mencoba mengambil ponselnya yang belum dinyalakan, dia berpura-pura sedang berkaca sambil sedikit memiringkan layar ponselnya. Benar saja, ada seorang wanita yang duduk di belakangnya nampak mendongak, mencuri pandang ke arahnya. Entah apa tujuannya, Diandra pun menaruh ponselnya kembali. Kemudian melanjutkan pekerjaan hingga jam istirahat dimulai."Diandra, makan yuk!" ajak Gea dengan satu wanita yang lain.Diandra pun mengikuti sampai mereka tiba di kantin kantor yang cukup luas. Ramai orang yang datang, mereka bisa memilih 3 jenis lauk dari beberapa makanan yang disajikan serta buahjeruk. Mungkin itu sudah lebih dari cukup baginya. Sebab makanan sudah sesuai kebutuhan tubuhnya, mungkin Diandra merasa begitu beruntung bisa mendapatkan pekerjaan dengan pelayanan terhadap karyawan yang cukup baik."Wih, rabu rendang," ucap Gea sambil mencium aroma makanan di tray piringnya."Rabu rendang?" tanya Diandra tidak mengerti.Gea menghentikan aktivitasnya, dia beralih menatap teman yang duduk di hadapannya, "Setiap hari itu makanannya bakal beda dan temanya selalu makanan lokal Indonesia. Contohnya kayak ini, nih. Temanya makanan Minang, ngobatin rindu sama kampung," paparnya.Diandra mengangguk paham, Gea memang orang yang berasal dari luar pulau. Tidak heran jika dia sangat antusias dengan sajian di depannya. Seperti di surga karena mendapatkan makanan seperti ini saat jam kerja."Kalian satu kampus ya?" tanya wanita di samping Gea.Diandra mengangguk sambil tersenyum, "Iya kami satu kampus."Gea yang baru menyuap makanannya harus menelan bulat-bulat, "Oh, ya ampun. Aku lupa, dia Risa. Dia udah lumayan lama kerja di sini," kata Gea.Diandra nampak terkejut dengan satu tangannya menutup mulutnya, "Benarkah?"Risa mengangguk dengan senyum canggungnya, "Aku rasa begitu.""Dia sudah 4 tahun, bentar lagi mau jadi manajer," ucap Gea setengah berbisik kepada Diandra.Wanita dengan kacamata minus dan rambut pendek berwarna biru gelap tergerai tersipu malu, "Apaan sih, kamu Gea," ucap Risa dengan senyum kikuk."Kak Risa, aku Diandra," kata Diandra memperkenalkan diri sembari menjulurkan tangannya."Risa aja," jabat tangan Risa.Mereka pun akhirnya saling berbincang ringan sambil menyantap makanannya. Hingga pada akhirnya Diandra membuka suara kembali. Dia butuh beberapa informasi untuk menghindari konflik di kantor."Ada yang buat aku penasaran," kata Diandra.Dua orang di depannya pun mulai mendengarkan. Gea mulai menghentikan suapannya dan Risa yang membenarkan kacamata minusnya. Mereka berdua mulai memperhatikan Diandra yang angkat bicara."Ada wanita yang duduk di belakang meja di kantor tadi, dia kenapa kayak ngawasin aku terus ya? Kayaknya dari awal aku perkenalan tatapannya serius banget, dia kenapa?""Oh fans fanatik Pak Darren itu mah," kata Gea.Risa pun ikut mengangguk, "Ada baiknya kamu ngehindar dari dia," saran Risa."Repot urusan sama si Mba Mawar itu, matanya bakal melotot kalo lihat orang lain deket atau cuman sekedar berdiri di deketnya kayak kamu tadi," jelas Gea lagi.Diandra mengernyitkan dahinya, "Loh, bukannya asisten Pak Darren juga cewek?"Risa menaruh botol minum yang baru saja dia gunakan, "Dia baru aja direkrut kemarin," katanya."Mau taruhan sampai kapan dia bertahan, gak?" tawar Gea antusias sambil mengeluarkan uang 50-ribuan miliknya.Gea tersenyum simpul melihat kedua teman-teman, seolah yakin akan apa yang akan dia pertaruhan nantinya. Risa yang nampak tidak tertarik, rupanya malah ikut mengeluarkan uangnya. Sementara Diandra hanya bisa menggeleng-geleng melihat sikap keduanya yang ternyata masih kanak-kanak."Besok dia resign," ucap Gea mantap."2 hari lagi baru resign," kata Risa tak mau kalah.Gea melirik ke arah Diandra, "Kamu berapa?"Diandra menggeleng, "Gak mau, kalian aja.""Gak asik, nih Diandra," ledek Gea.Diandra mengedikan bahunya sambil tersenyum. Setelah Gea menyimpan uang miliknya dan milik Risa. Gea mulai menaruh tangannya di atas meja, "Pak Darren emang ganteng banget, tapi jangan coba-coba buat masalah sama dia."Diandra hampir saja tersedak ketika mendengarnya, "Memang ada apa sama orang itu?" tanya Diandra penasaran."Terakhir kali ada orang yang gak sengaja tumpahin kopi ke bajunya, besoknya dia resign," kata Gea."Sekretaris dia juga gak ada yang betah sama dia," tambah Risa."Kira-kira kenapa, ya?" pikir Gea.Diandra tidak tahu jika akan berurusan dengan orang yang paling ditakuti di sini. Diandra terdiam kala orang yang sedang dibicarakan sedang melihat situasi kantin dan berbincang kepada asistennya. Asistennya itu nampak berusaha keras mencatat semua yang dibicarakan.Orang-orang tak ada yang melihatnya, bahkan Gea dan Risa yang menyadari langsung menyantap makanannya. Diandra tanpa sadar memperhatikan gerak-gerik Darren. Seolah memastikan apa yang dibicarakan teman-temannya. Hingga tanpa sadar, kedua saling menatap.Diandra yang menyadari langsung mengalihkan pandangan. Sementara Darren melanjutkan aktivitas dengan senyum tipis di wajahnya."Kamu ke ruangan saya."Diandra baru saja duduk di kursinya untuk melanjutkan beberapa tugas yang diberikan. Namun, sayangnya keberuntungan cukup sulit untuk dibiarkan menetap. Dia harus kembali berurusan dengan Darren.Hampir semua pasang mata melihatnya, Diandra yang kebingungan hanya bisa pasrah untuk mengiyakan apa yang diminta Darren. Diandra terpaksa mengikuti langkah Darren di belakang, meskipun kakinya terasa begitu berat. Berjalan melewati lorong dan menaiki lift, tak ada percakapan yang memecah keheningan. Sesampainya di ruangan Darren, laki-laki itu berdiri membelakanginya. "Tolong tinggalkan kami sebentar," katanya kepada seorang wanita yang memegang catatan di tangan.Wanita itu mengangguk kepada Darren, kemudian melangkah pergi dengan melirik Diandra sebentar. Tatapan keduanya bertemu sebentar, lalu wanita asisten itu melenggang pergi. Kini, hanya ada Darren dan Diandra seorang."Aku punya pesan untukmu," ucapnya di depan Diandra."Pesan?"Darren mengangguk, "Dia memint
"Apa pekerjaan Pak Darren selama ini sebagai asisten rumah juga?"Juan tertawa mendengarnya, "Ya, bisa dibilang dia yang terbaik!""Jadi asisten rumah tangga, toh. Multitasking banget orang ini," ucap Diandra dalam benaknya.Diandra tidak membaca dengan baik kontrak kerja yang langsung ditanda tangani oleh dirinya sendiri. Apa yang dia tahu hanya sebagai asisten. Mungkin ini akan menjadi pekerjaan yang melelahkan baginya."Kamu lucu juga, ya," puji Juan tiba-tiba."Bagian mana lucunya?" batin Diandra.Diandra pun menunjukkan senyum andalannya, "Hehe, bisa aja Pak Juan."Apa yang dipikirkan dalam benaknya selalu berbanding terbalik dengan kelakuan yang dia tunjukkan kepada orang lain. Diandra merasa harus menunjukkan berbagai macam topengnya untuk menyenangkan hati atasannya atau orang lain. Begitulah yang selalu Diandra lakukan selama ini."Berhentilah tersenyum seperti itu, aku tau itu bukan senyum yang mau kamu tunjukkan," kata Juan.Seketika Diandra terkejut dengan apa yang dikatak
"Pak Juan, ayolah, sini!"Diandra semakin kesal kala Juan mematung di depan sebuah lemari minuman dingin yang menampilkan banyak varian susu serta olahan susu lainnya. Layaknya anak kecil yang menginginkan sesuatu dia akan memperhatikan sesuatu begitu lama, kemudian baru menunjuk apa yang diinginkan. Hampir sama seperti yang dilakukan pria pemilik hidung mancung dan mata coklatnya yang begitu cantik ini."Bukankah kita juga harus beli ini?" katanya.Diandra merasa ingin meremas kepala orang itu, sebab dia tidak yakin sudah membeli semua yang harus dibeli. Namun, orang ini malah merengek meminta membeli sekotak yogurt. Diandra mengangguk, anehnya pria itu begitu senang setelah diizinkan. Bukankah dia bisa membelinya sendiri? Kenapa perlu izin darinya. Begitulah isi pikiran Diandra ketika menatap lama Juan. "B-Boleh, silahkan aja, Pak," ucap Diandra ragu.Diandra kembali mendorong troli ke tempat perbelanjaan selanjutnya. Juan selalu diawasi ketika Diandra hendak mengambil sesuatu. Hi
Dalam taksi di jalan yang sepi, supir taksi itu nampak sesekali melihat ke layar kaca untuk melihat di belakang. Juan menyunggingkan bibirnya, tatapan mata yang saling bersinggungan membuat supir itu langsung mengalihkan pandangan. Juan kini beralih menatap Diandra yang sibuk memandang sekitar. Juan mendekat sampai tatapan mereka berdua terkikis oleh jarak, udara makin panas ketika wajah mereka hanya beberapa senti saja. Jendela kaca mobil yang masih tertutup membuat oksigen luar tak dapat masuk. Dekatnya wajah Juan, membuat Diandra sulit untuk mengalihkan pandangan, "Dengar," bisik Juan dari dekat."Keluarlah sebentar dan berpura-pura menelpon seseorang sambil bersembunyi di gang kecil itu," suruh Juan sambil menunjuknya dengan gerak mata.Bunyi pintu mobil yang terbuka terdengar, angin semilir membawa masuk suhu dingin saat senja hampir usai. Diandra bergegas beranjak keluar mobil, serta menggunakan ponsel sesuai arahan Juan sebelumnya. Setelah Diandra mulai menjauh, Juan langsung
"Pegang ini."Juan memberikan satu kantung plastik besar kepada Diandra. Sementara itu, Juan membuka kode kunci pintu masuk apartemen. Setelah bunyi kode kunci benar, Juan mengambil kembali kantung belanjaan yang dia titipkan kepada Diandra. Kemudian dia masuk ke dalam, menaruh belanjaan di dapur yang berdekatan dengan ruang tengah.Diandra masih terdiam di pintu, ini kali pertama baginya masuk ke dalam apartemen laki-laki. Melihat ruang yang begitu rapi dengan suhu dingin dari pendingin ruang menyapa."Apa yang kamu lakukan di sana? Sini masuk!" teriak Juan dari dalam.Mendengar suara yang cukup lantang dari sana, Diandra buru-buru masuk ke dalam. Juan menghampiri Diandra yang berdiri di dekat pintu. Tinggi mereka yang berbeda, membuat Diandra harus mendongak untuk melihat matanya."Kenapa lama sekali?"Diandra terdiam ketika Juan yang menjulurkan tangannya di samping pinggang. Tanpa sepatah kata pun, Juan mendekat dan menatapnya dalam diam. Di saat itu Diandra memundurkan langkah k
Sentuhan di pipi membuat Diandra membuka matanya perlahan. Seseorang terus menyentuh pipinya dengan hari telunjuk, meskipun Diandra sudah mulai sadar dari bunga tidur. Tangan terasa pegal karena posisi yang sama dengan waktu begitu lama."Diandra bangun, sudah malam," ucap seseorang dengan suara beratnya."Bangun putri tidur, pekerjaan sudah selesai hari ini, pulang lah," katanya lagi.Diandra mengejapkan mata, mengumpulkan kesadaran. Suara dari samping, membuat Diandra menolehkan kepalanya. Dia melihat Juan yang jongkok di dekatnya sambil memperhatikan. Pria itu masih setia dengan jari telunjuk yang menggantung di udara, seolah siap menyentuh dengan jari panjangnya. "Jam kerja mu sudah selesai hari ini, terima kasih. Aku akan menghubungi mu nanti," ucapnya sambil tersenyum simpul.Kedua mata terbuka lebar, ketika dia menyadari seseorang yang tidak lain adalah bosnya sendiri berada di dekatnya. Memperhatikan tidur lelap nan entah seperti apa wajah Diandra tadi. Terkejutnya dia sekali
Beberapa saat setelah Diandra melambaikan tangan dan tersenyum kepada seseorang di balik mobil berwarna hitam yang tak lain adalah Darren. Wanita itu kemudian berbalik melangkahkan kaki menuju pintu coklat di sebuah rumah yang tidak terlalu luas. Dia mengetukkan pintunya sambil memanggil adiknya, "Fani, kakak pulang!"Beberapa menit tidak ada jawaban, akhirnya Diandra berinisiatif memutar knop pintu perlahan. Decitan suara pintu membuat hatinya mulai was-was. Kepalanya melongok ketika celah pintu mulai sedikit terbuka, tapi tak ada seorang pun di sana.Diandra kembali memanggil nama adiknya lagi untuk kesekian kalinya. Masih tidak ada jawaban, hingga suara pecahan benda terdengar dari dalam. Diandra segera membuka pintunya lebar dan berjalan cepat masuk tanpa melepas sepatunya."Fani?"Dengan tas pundak yang masih menggantung, Diandra membuka kamarnya yang sedikit terbuka di sana. Dia menemukan pria paruh baya yang sibuk mengacak lemari pakaian. Sementara Fani duduk di lantai dan mena
Bau menyengat dari sampah tercium semerbak dari dalam sebuah kost. Satu orang berbadan besar dan tinggi berada di luar gerbang masuk, sementara yang satu lagi berjaga di luar pintu kost. Darren pergi ke sebuah indekos, dimana supir taksi gadungan yang bernama Rudi ini tinggal di sana.Darren yang masih mengenakan setelah jas biru miliknya bergegas pergi ke kos-kosan Rudi saat pagi menjelang siang, dimana orang masih sibuk dengan aktivitas bekerja dan berkuliah. Meskipun masih ada beberapa orang tinggal di dalam ruang kos tak jauh dari kos yang sedang dikunjungi.Kedua mata Darren bergerak dari ke kanan lalu ke kiri, beberapa barang nampak berkarat dan usang. Sebuah tempat tidur lantai begitu berantakan dengan bau menyengat dari sampah yang ada di dekatnya. Botol alkohol dan plastik makanan ringan berserakan di mana-mana.Terdapat seseorang yang sibuk memeriksa tiap barang, furnitur, bahkan sampah yang berserakan. Sementara itu, Darren berdiri dan memperhatikan sekitar. Memperhatikan r
"Pak Juan? Ini aku Diandra," ucap Diandra sambil menekan bel.Beberapa kali Diandra memanggil nama sang tuan rumah, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Diandra memilih untuk menekan beberapa angka untuk membuka pintu apartemen. Darren memberikan informasi yang begitu penting kepadanya demi jaga-jaga akan kejadian semacam ini.Langkah kaki mulai memasuki ruang yang pengap, hanya ada beberapa lampu kuning yang menyala di beberapa sudut. Ruang tengah begitu remang-remang, dia segera melepas sepatu, lalu suhu dingin menyentuh kakinya yang menapak lantai. Entah sudah berapa lama ruangan ini begitu tertutup tanpa cahaya matahari yang menghangatkan, bahkan hingga membuat sinar matahari itu kembali terlelap di malam hari."Pak Juan di dalam?"Diandra memandang seluruh sudut yang ia temui di ruang tengah ini. Dia tidak menemukan apa pun, selain bau menyengat dari sebuah ruang. Ruangan itu tak lain adalah kamar pribadi sekaligus tempat Juan menyelesaikan pekerjaan. Diandra memberanikan diri untuk
Udara makin dingin ketika matahari mulai tergelincir di ufuk barat. Wanita itu telah menenteng sebuah kantung belanjaan dari minimarket tak jauh dari depan gedung Diamond Company. Dia meraih ponsel dari tas bahu yang dikenakan, mengetuk dua kalo pada layar hingga menampilkan waktu pukul setengah enam sore.Diandra berdiri di pinggir jalan, hingga seseorang pengendara motor mengenakan pakaian hijau datang lalu berhenti di depannya. Pria paruh baya itu tersenyum dan menanyakan kepastian nama pelanggannya. Diandra meraih helm yang disodorkan, kemudian menaiki ojek online yang dipesannya."Pak Apartemen Anggrek, ya," kata Diandra."Baik, neng," balas pria paruh baya itu.Motor pun melaju menerobos kemacetan di jam pulang, beberapa kali harus terhenti karena mobil di depannya. Panas jalanan mengalahkan waktu yang seharusnya lebih dingin. Meskipun matahari sudah mulai menghilang, panas dari asap kendaraan dan mesin serta banyak orang di sekitar membuat hawa makin terasa tidak nyaman.Di te
Diandra menarik langkah kakinya mundur, dia mencari kontak Darren sesegera mungkin. Dengan tergesa-gesa, Diandra mengetikkan isi pesannya pada layar ponselnya."Pak, tadi Pak Juan nelpon saya, tapi gak ada jawaban dan cuman suara berisik. Bisa bapak lakukan sesuatu? Kayaknya gak mungkin kalo saya pergi sebelum jam pulang, gak enak sama anak-anak yang lain," tuturnya dalam pesan yang dia ketik.Diandra terdiam di depan pintu lift, dia menoleh ke belakang dimana tempat kerja Darren berada tak jauh dari sana. Beberapa saat terdengar bunyi notifikasi dari ponsel. Pesan dari Darren muncul di gelembung notifikasi, dengan sigap Diandra menekan layarnya."Akan kukirim orang untuk memeriksanya hari ini," balas Darren.Meskipun hatinya masih gundah, Diandra sedikit merasa lega. Dia kembali berjalan menuju tempat kerjanya. Sementara itu di sisi lain kantor ini, Darren berdiri menghadap kaca jendela yang memperlihatkan kota di bawahnya. Tatanan kota yang kurang beraturan di sisi lain, menyimpan s
"Mati atau kembali."Setelah mengatakan hal itu, pria misterius tersebut tertawa menggelegar. Dia tertawa seperti orang kurang waras hingga membuat semua di sekitarnya merasa keherenan sekaligus takut. Beberapa orang mulai pergi karena takut, beberapa pegawai memanggil satpam untuk segera datang."Apa maksudnya?" gumam Diandra.Sementara Juan hanya terdiam dengan genggaman tangan yang makin mengerat kepadanya. Seolah mengkhawatirkan akan sesuatu dalam otaknya. Akhirnya pria misterius itu pun berhenti tertawa lepas, lalu berkata, "Jangan biarkan Tuanku menunggu jawabanmu," pungkas pria misterius itu.Tak lama setelahnya, tiga orang satpam yang bertugas langsung meringkus pria berjaket hitam tersebut. Dia tidak mengelak apalagi memberontak saat dibawa oleh para satpam. Malahan dia tertawa dan bersenandung seperti orang kurang waras."Hahaha! Pertaruhan dimulai!" teriaknya sembari diseret dua satpam lainnya.Salah satu satpam menghampiri Juan dan Diandra, "Apa ada yang terluka?" tanyany
Pria bertubuh tinggi ini memasuki mobil, dia mengambil sebuah kunci dari saku celananya. Deruman mobil terdengar halus ketika mulai melaju. Sementara Diandra masih membisu, memandang kendaraan yang berlalu lalang."Ini masih siang, ayo kita ke Mall," ajak Juan tanpa menoleh.Diandra mengalihkan pandangan setelah mendengar apa yang dikatakan Juan. Keningnya berkerut saat dia sedang mencerna apa yang ingin dilakukan pria ini di sana. Dengan tidak nyaman, Diandra sedikit membenarkan posisi duduknya, lalu mencondongkan tubuhnya beberapa senti kepada pengemudi yang ada di sampingnya, "Emang ada tugas lagi, Pak?" tanya Diandra heran.Juan menarik kedua sudut bibirnya, dan berucap, "Tentu ada tugas lagi.""Apa kamu gak penasaran?" tanya Juan kemudian.Diandra yang sudah mulai lelah akhirnya mengangguk ragu disertai senyum tipisnya. Juan menengok ke samping, kemudian tersenyum dengan rentetan gigi yang nampak manis. Tanpa aba-aba, Juan melajukan mobilnya lebih kencang menuju Mall terdekat. So
Dalam senyap tatapan matanya menyelidik kedua orang yang sedang duduk di kursi sofa pada hadapannya. Bolak-balik kedua bola mata memandang dua orang secara bergantian, sampai tatapannya terkunci kepada seorang pria berpakaian jas hitam. Dia sibuk melihat gelas cangkir teh berwarna putih mengkilap."Siapa dia?" tanya Risa sambil menunjuk dengan gerak matanya ke arah Juan.Diandra melirik beberapa saat kepada Juan, berpikir sampai Juan menatapnya balik, "D-Dia ....""Kita langsung saja," ucap Juan tiba-tiba.Juan menaruh cangkirnya di atas meja, kemudian mengambil sebuah kertas dari balik jas hitam miliknya bersama sebuah pena yang ada di saku. Dia menaruh di atas meja bersama dengan pena yang telah disiapkan. Lalu, dia kembali mengapkan tubuhnya dan menatap Risa dalam."Mungkin sudah terlambat untuk memintamu menghapus foto yang kamu ambil, tetapi saya harap kamu mau mengundurkan diri menjadi karyawan di perusahaan Diamond Company," tutur Juan. "Maksudnya apa ya?" tanya Risa dengan ke
"Potong gaji 50%, mau?"Diandra terdiam membisu, dia menggertakkan gigi ketika mendengar ucapan pria yang masih terduduk di sofa. Kemudian Juan tiba-tiba bangkit dari duduknya, melangkah agar lebih dekat dengan Diandra.Jarak mereka kini hanya sekitar setengah meter. Udara semakin panas, angin yang masuk melalui jendela balkon tidak dapat mengusir suhu panasnya. Diandra memundurkan langkahnya menjauh, tetapi Juan kembali selangkah lebih dekat dengannya."Apa nona ini baru saja mengancamku buat mogok kerja?" tanya Juan sambil menyeringai. Juan memegang dagu wanita di depannya, kemudian berkata, "Kamu sudah menandatangani kontrak ini. Selama satu bulan ke depan kamu harus bekerja denganku, bukan?"Juan menaikan salah satu alisnya, Diandra dapat melihat mata coklat itu lagi dari dekat. Tanpa sepatah kata lain yang dikeluarkan, Juan melepaskan dagu Diandra. Kemudian dia kembali menegakkan tubuhnya."Berhenti banyak bertanya, aku punya pekerjaan tambahan hari ini. Jadi aku mengundang kamu
Rambut berantakan, pakaian tidak serapi sebelumnya. Begitulah yang terlihat jelas dari Diandra saat ini. Duduk di kursi sambil sesekali menatap sinis orang di dekatnya. Sama halnya dengan Diandra, Mawar pun dalam kondisi demikian. Dalam ruangan tersebut mereka duduk di kursi, menghadap Darren. Sementara Juan sibuk melihat tanaman di dekat jendela. Atas kejadian ini, Diandra dan dibawa dibawa ke ruang khusus Darren."Apa masalahnya?"Darren berubah menjadi orang yang dingin dan kaku, bahkan tatapan itu lebih lama kepada Mawar. Darren berdiri dari tempat dan berjalan menghampiri Mawar, dia memegang sandaran tangan kursi yang diduduki wanita berambut pendek ini, dengan sedikit memajukan tubuhnya mendekat dia berkata, "Saya tau ini bukan kali pertamanya kamu membuat karyawan saya pergi dari kantor ini.""Apa kamu tau kenapa saya masih membiarkan kamu di sini?" tanyanya dengan sorotan mata tajam.Kaki Mawar mulai bergetar saat ini, dia menggeleng gugup. Dia terdiam, lidahnya begitu kelu
Pukul 10 pagi dalam kantor, kedua mata tak berhenti menatap layar. Telinganya menangkap banyak suara orang di sekitarnya, riuh bisik dari mulut ke mulut lainnya membuat telinganya terasa panas. Setelah Diandra bekerja sampai malam kemarin, dia tidak menyangka akan ada hal yang mengejutkan lainnya."Ih, jadi dia beneran sama Pak Darren gitu? Dia masuk pake orang dalem, dong," bisik seorang wanita dari belakang.Suasana di kantor menjadi kurang nyaman baginya. Dia merasa ingin mengambil langkah seribu dari sini. Menatap layar monitor saja rasanya membuat enggan. Meskipun sudah menatap lama, suara riuh itu membuatnya merasa sangat terganggu."Kamu sama Pak Darren ada hubungan, ya?" tanya setengah berisik sambil memberikan sebuah permen di meja.Gea berdiri di dekat Diandra, sambil terdiam menatapnya. Seolah dia sedang menunggu jawaban pasti dari temannya itu. Diandra melamun, memandang sebua permen kemasan berwarna merah dengan kata-kata kekinian di situ."Santai," ucap Diandra lirih me