"Kenapa kakak ga angkat telepon?"
Fani termenung melihat layar ponselnya, panggilan darinya ditolak oleh sang kakak. Padahal biasanya Diandra akan langsung mengangkatnya, meskipun Fani hanya akan menanyakan hal sepele kepadanya. Kecuali jika di jam kerja, Diandra akan kesulitan mengangkat panggilannya.Sementara itu, di tempat lain Diandra mulai ketakutan. Entah kenapa suhu udara menjadi dingin. Apa yang ada di balik pintu membuatnya begitu was-was. Diandra memegang erat ponsel miliknya. Dua kaki yang menapak terlihat bayangannya dari balik pintu."Aku pikir kamu salah mengira, nona.""Aku hanya akan memberi tahu sesuatu kepadamu," katanya.Diandra mulai berpikir keras, "Aku akan keluar," katanya kemudian."Okey, keluar lah baik-baik," sarannya.Diandra menurunkan tas sling bag yang melekat pada pundak, kemudian tas itu dia pegang dengan erat. Tangan kanan bersiap dengan tas miliknya, sementara tangan kiri berjaga pada kunci pintu.Bunyi kunci yang terbuka seolah memberikan sinyal untuk bersiap, perlahan tapi semakin cepat dia membuka pintunya. Lalu, tangan kanannya melempar tas itu kepada pria yang berdiri di depannya. Meskipun tas ditangkap dengan baik, Diandra berusaha berbelok keluar. Namun, sayangnya tangan kanan langsung dicekal oleh pria berpakaian rapi yang berjaga dekat pintu. Cengkeraman yang kuat bagi Diandra, meskipun dia berusaha melepaskan tangan darinya, tapi tidak berhasil."Apa mau kalian?" geram Diandra."Bentar-bentar, tenang dulu ya," kata Juan yang memegang tas milik Diandra."Gimana aku bisa tenang diantara dua orang laki-laki dalam toilet?!"Pria yang memegangnya erat melepasnya, "Kamu ada di toilet laki-laki," jelasnya.Seketika Diandra terdiam, kedua matanya langsung melihat sekitar. Benar saja, dia melihat tempat buang air kecil laki-laki yang berderet. Diandra membelalakan matanya, menyadari keteledoran yang sangat fatal. Bagaimana dia bisa masuk ke sini tanpa sadar akan sekitar sedikit pun."Bukan kita," kata Juan."Tapi kamu yang berada di toilet laki-laki," sambungnya.Juan pun tersenyum, "Ayo kita bicara," ajaknya.Diandra harus menahan rasa malunya di hadapannya dua orang pria. Mereka duduk di dekat meja yang sama, keduanya menatap dengan tatapan berbeda. Juan menatap dengan senyuman di bibirnya, sementara Darren memandangnya dingin."Apa kali ini sudah diperiksa, Darren?" tanya Juan.Darren mengangguk, "Sudah, Tuan Juan.""Okey, sekarang mari kita bicara," kata Juan.Udara semakin mendingin ketika pria itu terdiam membisu menatapnya serius. Senyumnya sirna begitu saja, "Aku akan memberikanmu kesepakatan."Darren memberikan selembar kertas yang dikeluarkan dari tas kantor hitam miliknya. Diandra yang awalnya bingung, mengambil kertas itu. Wanita itu tak mengerti kenapa dia harus menerima surat perjanjian dia atas materai."Apa maksudnya ini?"Juan tersenyum, "Itu hanyalah surat perjanjian agar kamu melupakan apa pun yang kamu dengar tadi. Kami juga akan melupakan kejadian tadi. Selan itu," katanya menggantung.Juan menoleh ke arah Darren, kemudian kembali menatap Diandra, "Kami akan membayarmu berupa cek senilai 25 juta, apa itu cukup?"Diandra melotot mendengar jumlah uang yang diberikan begitu saja. Juan nampak mengangguk setelah melihat Diandra hanya terdiam kebingungan, "Kami akan mengirimkannya sesegera mungkin, jadi kamu gak usah khawatir."Sayangnya bukan itu yang Diandra cemas kan, "Bukan itu, aku gak bisa nerima ini," katanya sembari menaruh selembar kertas."Dimana kamu bekerja?" tanya Juan kemudian.Diandra diam sejenak, "Aku baru akan masuk kerja besok pagi," katanya kemudian."Di Diamond Company-" ucapannya tersekat ketika dia baru menyadari sesuatu.Diandra baru saja menjalani interview tadi siang atas saran temannya Gea yang bekerja di sana. Dia baru sadar, orang di hadapannya adalah orang yang berkaitan dengan Diamond Company. Rasanya ada yang menghantam keberuntungannya.Juan menepuk tangannya sekali dan tertawa, "Oh, kebetulan! Kamu masuk di perusahaan Diamond Company?""Darren, dia bawahanmu," ucap Juan sambil tersenyum lebar.Seketika Diandra terkejut dengan ucapan Juan. Orang yang ada di depan, seseorang yang menatapnya dingin adalah atasannya? Sepertinya belum ada keberuntungan untuknya hingga hari ini."Okey, kita ubah kesepakatannya.""Bekerja paruh waktu untukku dan aku akan membayarmu dengan pantas," katanya kemudian.Diandra mengernyitkan dahinya, "Paruh waktu?""Aku akan memanggilmu di luar jam kerja utama, tenang aja. Aku cuman mau kamu gantiin Darren dalam beberapa kesempatan kalo orang ini sibuk sama pekerjaannya," jelasnya."Mungkin lebih tepatnya asisten paruh waktu," ucapnya sambil melihat ke atas.Juan menunggu jawaban Diandra setelah banyak berbicara. Sementara rekan di sampingnya menatap datar kepada Diandra. Entah harus bersyukur atau tidak karena mendapatkan uang tambahan, tapi harus dihadapkan dengan dua orang yang memiliki kepribadian bertolak belakang. Ditambah calon atasannya ada di depan, bernama Darren, Diandra masih belum memahami posisinya. Karena Darren begitu menghormati keberadaan Juan.Tak kunjung mendapatkan jawaban akhirnya Juan mengatakan, "Jika kamu gak bisa nerima tawaran ini, maka pihak Diamond Company akan langsung memecat kamu."Ancaman itu berhasil membuat Diandra hampir merasakan serangan jantung. Cukup sulit baginya mendapatkan pekerjaan sebagus di Diamond Company. Seolah tak punya pilihan lain karena harus membiayai adiknya sekolah serta membayar hutang, Diandra pun menyanggupinya.Diandra menerima surat perjanjian yang diberikan Darren, surat perjanjian di tulis ulang oleh Juan dalam selembar kertas putih. Akhirnya Diandra pun menanda tangani kontrak, meskipun dia sempat ragu untuk menggoreskan pena."Nah, surat perjanjian sudah ditanda tangani. Semoga kedepannya kita bisa bekerja sama," ucap Juan menjulurkan tangannya kepada Diandra.Diandra menerima jabatannya ragu, tapi Juan menjabatnya dengan mantap. Pertemuan itu, menjadikan seluruh tubuhnya terasa lemas saat dia tiba di rumah. Diandra tidak habis pikir akan apa yang menimpanya hari ini. Setelah kembali ke rumah, dengan gontai dia berjalan menuju kamarnya mengabaikan sang adik yang memanggilnya beberapa kali.Setibanya di kamar, dia menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya serta termenung. Kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu, terus berputar di otaknya walaupun menolak karena rasa malu."Argh!"Diandra menutup wajahnya dengan bantal, dia berteriak kencang di sana. Begitu frustasi sampai dia sulit tidur untuk bekerja besok. Benar saja, telat bangun sedikit lagi Diandra tidak akan punya cukup waktu untuk mempersiapkan dirinya."Fani, kenapa kamu ga bangunin kakak?" tanya Diandra dengan rambut acak-acakan.Fani yang sudah berpakaian batik serta bawahan rok biru mudanya menatap sinis di meja makan, "Aku udah bangunin," katanya dengan nada kesal.Diandra berdecak kesal melihat waktu yang terus berjalan. Diandra mengganti pakaiannya dengan cepat, memakai riasan tipis kemudian pergi dengan membawa sling bag miliknya. Dia pergi ke jalan besar untuk menunggu angkutan umum tiba di halte. Namun, seseorang menelepon ketika sedang tergesa-gesa.Diandra mengangkat telepon sambil memeriksa bus selanjutnya. Suara seseorang di balik telepon menyapanya, "Aku Juan, datanglah sepulang kerja ke minimarket dekat perusahaan."Kemudian, orang yang menelpon itu mematikan panggilan tanpa meminta persetujuan atau alasan untuk yang menerima. Diandra pun semakin geram, wajahnya semakin memerah ketika dia mulai marah, "Juan br*ngsek.""Namanya Diandra, saya harap kalian bisa membantunya kalo ada kesulitan yang dia hadapi."Diandra berdiri di depan orang yang akan menjadi rekan satu kantornya. Darren begitu ahli membuat orang lain mendengarkan, tak satu orang yang berani bicara saat dia sedang mengucapkan sesuatu kepadanya.Meskipun begitu rasa gugup tetap dirasakan, apalagi atasan bernama Darren yang memimpin baru saja dia temui kemarin. Meskipun begitu, Diandra berusaha tetap profesional, dia tersenyum dan menyapa yang lain."Baik, itu saja. Lanjutkan pekerjaan kalian," titah Darren.Darren kemudian pergi seolah-olah dia tidak mengenal Diandra. Melihat punggung Darren yang semakin menjauh bersama seorang asisten wanitanya, Diandra merasa sedikit cemas. Bahkan dia kurang nyaman setelah apa yang menimpanya kemarin.Beberapa orang menyapa dan memperkenalkan diri. Kemudian, beberapa yang lain langsung ke tempat masing-masing. Diandra pun duduk di tempat yang sudah di instruksi kan. Ketika dia baru saja membuka kompute
"Kamu ke ruangan saya."Diandra baru saja duduk di kursinya untuk melanjutkan beberapa tugas yang diberikan. Namun, sayangnya keberuntungan cukup sulit untuk dibiarkan menetap. Dia harus kembali berurusan dengan Darren.Hampir semua pasang mata melihatnya, Diandra yang kebingungan hanya bisa pasrah untuk mengiyakan apa yang diminta Darren. Diandra terpaksa mengikuti langkah Darren di belakang, meskipun kakinya terasa begitu berat. Berjalan melewati lorong dan menaiki lift, tak ada percakapan yang memecah keheningan. Sesampainya di ruangan Darren, laki-laki itu berdiri membelakanginya. "Tolong tinggalkan kami sebentar," katanya kepada seorang wanita yang memegang catatan di tangan.Wanita itu mengangguk kepada Darren, kemudian melangkah pergi dengan melirik Diandra sebentar. Tatapan keduanya bertemu sebentar, lalu wanita asisten itu melenggang pergi. Kini, hanya ada Darren dan Diandra seorang."Aku punya pesan untukmu," ucapnya di depan Diandra."Pesan?"Darren mengangguk, "Dia memint
"Apa pekerjaan Pak Darren selama ini sebagai asisten rumah juga?"Juan tertawa mendengarnya, "Ya, bisa dibilang dia yang terbaik!""Jadi asisten rumah tangga, toh. Multitasking banget orang ini," ucap Diandra dalam benaknya.Diandra tidak membaca dengan baik kontrak kerja yang langsung ditanda tangani oleh dirinya sendiri. Apa yang dia tahu hanya sebagai asisten. Mungkin ini akan menjadi pekerjaan yang melelahkan baginya."Kamu lucu juga, ya," puji Juan tiba-tiba."Bagian mana lucunya?" batin Diandra.Diandra pun menunjukkan senyum andalannya, "Hehe, bisa aja Pak Juan."Apa yang dipikirkan dalam benaknya selalu berbanding terbalik dengan kelakuan yang dia tunjukkan kepada orang lain. Diandra merasa harus menunjukkan berbagai macam topengnya untuk menyenangkan hati atasannya atau orang lain. Begitulah yang selalu Diandra lakukan selama ini."Berhentilah tersenyum seperti itu, aku tau itu bukan senyum yang mau kamu tunjukkan," kata Juan.Seketika Diandra terkejut dengan apa yang dikatak
"Pak Juan, ayolah, sini!"Diandra semakin kesal kala Juan mematung di depan sebuah lemari minuman dingin yang menampilkan banyak varian susu serta olahan susu lainnya. Layaknya anak kecil yang menginginkan sesuatu dia akan memperhatikan sesuatu begitu lama, kemudian baru menunjuk apa yang diinginkan. Hampir sama seperti yang dilakukan pria pemilik hidung mancung dan mata coklatnya yang begitu cantik ini."Bukankah kita juga harus beli ini?" katanya.Diandra merasa ingin meremas kepala orang itu, sebab dia tidak yakin sudah membeli semua yang harus dibeli. Namun, orang ini malah merengek meminta membeli sekotak yogurt. Diandra mengangguk, anehnya pria itu begitu senang setelah diizinkan. Bukankah dia bisa membelinya sendiri? Kenapa perlu izin darinya. Begitulah isi pikiran Diandra ketika menatap lama Juan. "B-Boleh, silahkan aja, Pak," ucap Diandra ragu.Diandra kembali mendorong troli ke tempat perbelanjaan selanjutnya. Juan selalu diawasi ketika Diandra hendak mengambil sesuatu. Hi
Dalam taksi di jalan yang sepi, supir taksi itu nampak sesekali melihat ke layar kaca untuk melihat di belakang. Juan menyunggingkan bibirnya, tatapan mata yang saling bersinggungan membuat supir itu langsung mengalihkan pandangan. Juan kini beralih menatap Diandra yang sibuk memandang sekitar. Juan mendekat sampai tatapan mereka berdua terkikis oleh jarak, udara makin panas ketika wajah mereka hanya beberapa senti saja. Jendela kaca mobil yang masih tertutup membuat oksigen luar tak dapat masuk. Dekatnya wajah Juan, membuat Diandra sulit untuk mengalihkan pandangan, "Dengar," bisik Juan dari dekat."Keluarlah sebentar dan berpura-pura menelpon seseorang sambil bersembunyi di gang kecil itu," suruh Juan sambil menunjuknya dengan gerak mata.Bunyi pintu mobil yang terbuka terdengar, angin semilir membawa masuk suhu dingin saat senja hampir usai. Diandra bergegas beranjak keluar mobil, serta menggunakan ponsel sesuai arahan Juan sebelumnya. Setelah Diandra mulai menjauh, Juan langsung
"Pegang ini."Juan memberikan satu kantung plastik besar kepada Diandra. Sementara itu, Juan membuka kode kunci pintu masuk apartemen. Setelah bunyi kode kunci benar, Juan mengambil kembali kantung belanjaan yang dia titipkan kepada Diandra. Kemudian dia masuk ke dalam, menaruh belanjaan di dapur yang berdekatan dengan ruang tengah.Diandra masih terdiam di pintu, ini kali pertama baginya masuk ke dalam apartemen laki-laki. Melihat ruang yang begitu rapi dengan suhu dingin dari pendingin ruang menyapa."Apa yang kamu lakukan di sana? Sini masuk!" teriak Juan dari dalam.Mendengar suara yang cukup lantang dari sana, Diandra buru-buru masuk ke dalam. Juan menghampiri Diandra yang berdiri di dekat pintu. Tinggi mereka yang berbeda, membuat Diandra harus mendongak untuk melihat matanya."Kenapa lama sekali?"Diandra terdiam ketika Juan yang menjulurkan tangannya di samping pinggang. Tanpa sepatah kata pun, Juan mendekat dan menatapnya dalam diam. Di saat itu Diandra memundurkan langkah k
Sentuhan di pipi membuat Diandra membuka matanya perlahan. Seseorang terus menyentuh pipinya dengan hari telunjuk, meskipun Diandra sudah mulai sadar dari bunga tidur. Tangan terasa pegal karena posisi yang sama dengan waktu begitu lama."Diandra bangun, sudah malam," ucap seseorang dengan suara beratnya."Bangun putri tidur, pekerjaan sudah selesai hari ini, pulang lah," katanya lagi.Diandra mengejapkan mata, mengumpulkan kesadaran. Suara dari samping, membuat Diandra menolehkan kepalanya. Dia melihat Juan yang jongkok di dekatnya sambil memperhatikan. Pria itu masih setia dengan jari telunjuk yang menggantung di udara, seolah siap menyentuh dengan jari panjangnya. "Jam kerja mu sudah selesai hari ini, terima kasih. Aku akan menghubungi mu nanti," ucapnya sambil tersenyum simpul.Kedua mata terbuka lebar, ketika dia menyadari seseorang yang tidak lain adalah bosnya sendiri berada di dekatnya. Memperhatikan tidur lelap nan entah seperti apa wajah Diandra tadi. Terkejutnya dia sekali
Beberapa saat setelah Diandra melambaikan tangan dan tersenyum kepada seseorang di balik mobil berwarna hitam yang tak lain adalah Darren. Wanita itu kemudian berbalik melangkahkan kaki menuju pintu coklat di sebuah rumah yang tidak terlalu luas. Dia mengetukkan pintunya sambil memanggil adiknya, "Fani, kakak pulang!"Beberapa menit tidak ada jawaban, akhirnya Diandra berinisiatif memutar knop pintu perlahan. Decitan suara pintu membuat hatinya mulai was-was. Kepalanya melongok ketika celah pintu mulai sedikit terbuka, tapi tak ada seorang pun di sana.Diandra kembali memanggil nama adiknya lagi untuk kesekian kalinya. Masih tidak ada jawaban, hingga suara pecahan benda terdengar dari dalam. Diandra segera membuka pintunya lebar dan berjalan cepat masuk tanpa melepas sepatunya."Fani?"Dengan tas pundak yang masih menggantung, Diandra membuka kamarnya yang sedikit terbuka di sana. Dia menemukan pria paruh baya yang sibuk mengacak lemari pakaian. Sementara Fani duduk di lantai dan mena
"Pak Juan? Ini aku Diandra," ucap Diandra sambil menekan bel.Beberapa kali Diandra memanggil nama sang tuan rumah, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Diandra memilih untuk menekan beberapa angka untuk membuka pintu apartemen. Darren memberikan informasi yang begitu penting kepadanya demi jaga-jaga akan kejadian semacam ini.Langkah kaki mulai memasuki ruang yang pengap, hanya ada beberapa lampu kuning yang menyala di beberapa sudut. Ruang tengah begitu remang-remang, dia segera melepas sepatu, lalu suhu dingin menyentuh kakinya yang menapak lantai. Entah sudah berapa lama ruangan ini begitu tertutup tanpa cahaya matahari yang menghangatkan, bahkan hingga membuat sinar matahari itu kembali terlelap di malam hari."Pak Juan di dalam?"Diandra memandang seluruh sudut yang ia temui di ruang tengah ini. Dia tidak menemukan apa pun, selain bau menyengat dari sebuah ruang. Ruangan itu tak lain adalah kamar pribadi sekaligus tempat Juan menyelesaikan pekerjaan. Diandra memberanikan diri untuk
Udara makin dingin ketika matahari mulai tergelincir di ufuk barat. Wanita itu telah menenteng sebuah kantung belanjaan dari minimarket tak jauh dari depan gedung Diamond Company. Dia meraih ponsel dari tas bahu yang dikenakan, mengetuk dua kalo pada layar hingga menampilkan waktu pukul setengah enam sore.Diandra berdiri di pinggir jalan, hingga seseorang pengendara motor mengenakan pakaian hijau datang lalu berhenti di depannya. Pria paruh baya itu tersenyum dan menanyakan kepastian nama pelanggannya. Diandra meraih helm yang disodorkan, kemudian menaiki ojek online yang dipesannya."Pak Apartemen Anggrek, ya," kata Diandra."Baik, neng," balas pria paruh baya itu.Motor pun melaju menerobos kemacetan di jam pulang, beberapa kali harus terhenti karena mobil di depannya. Panas jalanan mengalahkan waktu yang seharusnya lebih dingin. Meskipun matahari sudah mulai menghilang, panas dari asap kendaraan dan mesin serta banyak orang di sekitar membuat hawa makin terasa tidak nyaman.Di te
Diandra menarik langkah kakinya mundur, dia mencari kontak Darren sesegera mungkin. Dengan tergesa-gesa, Diandra mengetikkan isi pesannya pada layar ponselnya."Pak, tadi Pak Juan nelpon saya, tapi gak ada jawaban dan cuman suara berisik. Bisa bapak lakukan sesuatu? Kayaknya gak mungkin kalo saya pergi sebelum jam pulang, gak enak sama anak-anak yang lain," tuturnya dalam pesan yang dia ketik.Diandra terdiam di depan pintu lift, dia menoleh ke belakang dimana tempat kerja Darren berada tak jauh dari sana. Beberapa saat terdengar bunyi notifikasi dari ponsel. Pesan dari Darren muncul di gelembung notifikasi, dengan sigap Diandra menekan layarnya."Akan kukirim orang untuk memeriksanya hari ini," balas Darren.Meskipun hatinya masih gundah, Diandra sedikit merasa lega. Dia kembali berjalan menuju tempat kerjanya. Sementara itu di sisi lain kantor ini, Darren berdiri menghadap kaca jendela yang memperlihatkan kota di bawahnya. Tatanan kota yang kurang beraturan di sisi lain, menyimpan s
"Mati atau kembali."Setelah mengatakan hal itu, pria misterius tersebut tertawa menggelegar. Dia tertawa seperti orang kurang waras hingga membuat semua di sekitarnya merasa keherenan sekaligus takut. Beberapa orang mulai pergi karena takut, beberapa pegawai memanggil satpam untuk segera datang."Apa maksudnya?" gumam Diandra.Sementara Juan hanya terdiam dengan genggaman tangan yang makin mengerat kepadanya. Seolah mengkhawatirkan akan sesuatu dalam otaknya. Akhirnya pria misterius itu pun berhenti tertawa lepas, lalu berkata, "Jangan biarkan Tuanku menunggu jawabanmu," pungkas pria misterius itu.Tak lama setelahnya, tiga orang satpam yang bertugas langsung meringkus pria berjaket hitam tersebut. Dia tidak mengelak apalagi memberontak saat dibawa oleh para satpam. Malahan dia tertawa dan bersenandung seperti orang kurang waras."Hahaha! Pertaruhan dimulai!" teriaknya sembari diseret dua satpam lainnya.Salah satu satpam menghampiri Juan dan Diandra, "Apa ada yang terluka?" tanyany
Pria bertubuh tinggi ini memasuki mobil, dia mengambil sebuah kunci dari saku celananya. Deruman mobil terdengar halus ketika mulai melaju. Sementara Diandra masih membisu, memandang kendaraan yang berlalu lalang."Ini masih siang, ayo kita ke Mall," ajak Juan tanpa menoleh.Diandra mengalihkan pandangan setelah mendengar apa yang dikatakan Juan. Keningnya berkerut saat dia sedang mencerna apa yang ingin dilakukan pria ini di sana. Dengan tidak nyaman, Diandra sedikit membenarkan posisi duduknya, lalu mencondongkan tubuhnya beberapa senti kepada pengemudi yang ada di sampingnya, "Emang ada tugas lagi, Pak?" tanya Diandra heran.Juan menarik kedua sudut bibirnya, dan berucap, "Tentu ada tugas lagi.""Apa kamu gak penasaran?" tanya Juan kemudian.Diandra yang sudah mulai lelah akhirnya mengangguk ragu disertai senyum tipisnya. Juan menengok ke samping, kemudian tersenyum dengan rentetan gigi yang nampak manis. Tanpa aba-aba, Juan melajukan mobilnya lebih kencang menuju Mall terdekat. So
Dalam senyap tatapan matanya menyelidik kedua orang yang sedang duduk di kursi sofa pada hadapannya. Bolak-balik kedua bola mata memandang dua orang secara bergantian, sampai tatapannya terkunci kepada seorang pria berpakaian jas hitam. Dia sibuk melihat gelas cangkir teh berwarna putih mengkilap."Siapa dia?" tanya Risa sambil menunjuk dengan gerak matanya ke arah Juan.Diandra melirik beberapa saat kepada Juan, berpikir sampai Juan menatapnya balik, "D-Dia ....""Kita langsung saja," ucap Juan tiba-tiba.Juan menaruh cangkirnya di atas meja, kemudian mengambil sebuah kertas dari balik jas hitam miliknya bersama sebuah pena yang ada di saku. Dia menaruh di atas meja bersama dengan pena yang telah disiapkan. Lalu, dia kembali mengapkan tubuhnya dan menatap Risa dalam."Mungkin sudah terlambat untuk memintamu menghapus foto yang kamu ambil, tetapi saya harap kamu mau mengundurkan diri menjadi karyawan di perusahaan Diamond Company," tutur Juan. "Maksudnya apa ya?" tanya Risa dengan ke
"Potong gaji 50%, mau?"Diandra terdiam membisu, dia menggertakkan gigi ketika mendengar ucapan pria yang masih terduduk di sofa. Kemudian Juan tiba-tiba bangkit dari duduknya, melangkah agar lebih dekat dengan Diandra.Jarak mereka kini hanya sekitar setengah meter. Udara semakin panas, angin yang masuk melalui jendela balkon tidak dapat mengusir suhu panasnya. Diandra memundurkan langkahnya menjauh, tetapi Juan kembali selangkah lebih dekat dengannya."Apa nona ini baru saja mengancamku buat mogok kerja?" tanya Juan sambil menyeringai. Juan memegang dagu wanita di depannya, kemudian berkata, "Kamu sudah menandatangani kontrak ini. Selama satu bulan ke depan kamu harus bekerja denganku, bukan?"Juan menaikan salah satu alisnya, Diandra dapat melihat mata coklat itu lagi dari dekat. Tanpa sepatah kata lain yang dikeluarkan, Juan melepaskan dagu Diandra. Kemudian dia kembali menegakkan tubuhnya."Berhenti banyak bertanya, aku punya pekerjaan tambahan hari ini. Jadi aku mengundang kamu
Rambut berantakan, pakaian tidak serapi sebelumnya. Begitulah yang terlihat jelas dari Diandra saat ini. Duduk di kursi sambil sesekali menatap sinis orang di dekatnya. Sama halnya dengan Diandra, Mawar pun dalam kondisi demikian. Dalam ruangan tersebut mereka duduk di kursi, menghadap Darren. Sementara Juan sibuk melihat tanaman di dekat jendela. Atas kejadian ini, Diandra dan dibawa dibawa ke ruang khusus Darren."Apa masalahnya?"Darren berubah menjadi orang yang dingin dan kaku, bahkan tatapan itu lebih lama kepada Mawar. Darren berdiri dari tempat dan berjalan menghampiri Mawar, dia memegang sandaran tangan kursi yang diduduki wanita berambut pendek ini, dengan sedikit memajukan tubuhnya mendekat dia berkata, "Saya tau ini bukan kali pertamanya kamu membuat karyawan saya pergi dari kantor ini.""Apa kamu tau kenapa saya masih membiarkan kamu di sini?" tanyanya dengan sorotan mata tajam.Kaki Mawar mulai bergetar saat ini, dia menggeleng gugup. Dia terdiam, lidahnya begitu kelu
Pukul 10 pagi dalam kantor, kedua mata tak berhenti menatap layar. Telinganya menangkap banyak suara orang di sekitarnya, riuh bisik dari mulut ke mulut lainnya membuat telinganya terasa panas. Setelah Diandra bekerja sampai malam kemarin, dia tidak menyangka akan ada hal yang mengejutkan lainnya."Ih, jadi dia beneran sama Pak Darren gitu? Dia masuk pake orang dalem, dong," bisik seorang wanita dari belakang.Suasana di kantor menjadi kurang nyaman baginya. Dia merasa ingin mengambil langkah seribu dari sini. Menatap layar monitor saja rasanya membuat enggan. Meskipun sudah menatap lama, suara riuh itu membuatnya merasa sangat terganggu."Kamu sama Pak Darren ada hubungan, ya?" tanya setengah berisik sambil memberikan sebuah permen di meja.Gea berdiri di dekat Diandra, sambil terdiam menatapnya. Seolah dia sedang menunggu jawaban pasti dari temannya itu. Diandra melamun, memandang sebua permen kemasan berwarna merah dengan kata-kata kekinian di situ."Santai," ucap Diandra lirih me