"Mereka sudah keterlaluan!" gerutu Sandra sambil menelusuri jalanan yang masih ramai oleh kendaraan lalu lalang.
"Suatu saat aku akan menikah dan membuat mereka menyesal telah memperlakukanku dan keluargaku seperti itu." Sandra mengepal kedua tangannya sambil terus melangkahkan kaki.
Dia terpaksa meninggalkan orang tua dan adiknya, sebelum kemarahannya tak terkendalikan. Sandra keluar dari rumah neneknya dan memilih pulang sendiri ke kosnya.
Tiba-tiba sebuah mobil menyerempetnya yang hendak menyeberangi jalan. Pengemudi mobil itu keluar, menghampiri Sandra yang terjatuh, seorang pria dengan setelan formal. Sandra tak dapat menampik bahwa makhluk di hadapannya itu sangat tampan.
"Maaf, berapa uang yang harus kubayarkan?" Kekaguman Sandra seketika sirna mendengar ucapannya.
"Apa? Kamu gak lihat kakiku berdarah?" Sandra yang sejak tadi sudah dirudung emosi, kembali mengangkat suaranya.
"Justru itu," jawab laki-laki itu dengan santai.
"Aku mau kamu bawa aku ke rumah sakit dan membayar biayanya di sana!" tegas Sandra.
Laki-laki itu berpaling sejenak untuk membuang kekesalan yang juga bersarang di dadanya. Lalu dia kembali menatap Sandra.
"Baik, ayo ikut!" Dia mengulurkan tangan, membantu Sandra berdiri. Setelah masuk, mobilnya kembali melaju, membelah keramaian malam.
Tidak ada percakapan di antara mereka. Tiba-tiba ketakutan menghantui Sandra. Apa benar-benar laki-laki yang duduk di sampingnya itu akan membawanya ke rumah sakit atau justru melakukan sesuatu hal buruk padanya. Sandra merasa mereka melewati jalan asing, bukan ke rumah sakit.
"Ki-kita kenapa ke sini?" Mobilnya masuk ke dalam perkarangan sebuah rumah mewah.
"Kamu akan diobati di sana," beritahu laki-laki itu dengan dinginnya.
"Aku gak mau masuk ke tempat asing," teriak Sandra.
"Aku gak akan menyentuhmu. Di dalam sana ada keluarga besarku, jadi bersikap santai dan manislah." Laki-laki itu seolah tahu apa yang sedang ditakuti oleh Sandra.
Tidak ada pilihan, Sandra terpaksa ikut masuk ke dalam rumah mewah itu. Jauh lebih mewah dibandingkan rumah nenek atau saudara-saudara ibunya. Dengan kaki pincang, dia mengiringi langkah laki-laki itu.
Mereka masuk sampai ke ruang makan. Di sana ada sebuah meja makan besar, ada belasan orang yang duduk di sana, menatap heran pada kehadiran mereka berdua. Sandra yang terkejut, memeriksa penampilannya yang jauh dari kata anggun.
"Adriel," sapa seorang pria tua yang duduk di bangku utama.
"Maaf terlambat, Kek," ucap laki-laki yang kini sedang menggandeng tangan Sandra.
"Ayo, langsung duduk," suruh wanita tua yang duduk di dekat pria tadi.
Adriel membawa Sandra mendekati meja makan. Semua masih terpana melihat wanita yang datang bersamanya. Mereka mengisi tempat duduk yang kosong, yang ternyata memang disediakan untuk mereka.
"Perkenalkan, ini calon istriku. Kami akan segera menikah." Semua semakin terkejut mendengar pernyataan Adriel, termasuk Sandra yang sedang meneguk minumannya.
Tidak ada yang bertanya mengenai keputusan Adriel. Semua sibuk saling pandang dan akan berani berargumen saat cucu kesayang Dewanda dan Melati itu sudah pergi. Makan malam itu mereka lalui dalam sunyi dan kekakuan. Hanya kakek dan neneknya yang tersenyum bahagia, menerima kabar bahagia dari Adriel.
***
"Kamu apa-apaan?" sergah Sandra ketika mereka sudah kembali berada di dalam mobil.
"Kita akan menikah, itu keinginan mereka," ujar Adriel dingin.
"Aku gak mau!" tegas Sandra setengah berteriak.
"Aku akan membayarmu," jawab Adriel, menatap Sandra dengan sombong.
"Jangan kamu pikir, aku perempuan yang bisa kamu beli." Sandra menantang mata Adriel.
"Aku tidak berniat membelimu. Aku hanya membayarmu hingga tujuanku tercapai. Setelah itu, hubungan kita berakhir." Mata Adriel menyisir wanita yang duduk di sampingnya itu.
Tiba-tiba sebuah rencana lahir di benaknya. Sandra teringat akan tekadnya untuk membalas perlakuan keluarga ibunya padanya. Senyum tipis terbit di bibirnya, dia menatap Adriel beberapa detik sebelum mulai bicara.
"Aku tidak perlu dibayar olehmu, tapi kita bisa bersimbiosis mutualisme." Sandra mengangkat kedua alisnya.
"Maksudmu?" Kedua alis Adriel beradu.
"Jika kamu butuh aku berpura-pura menjadi istrimu untuk sebuah tujuan, aku juga butuh kamu pura-pura menjadi suamiku untuk sebuah tujuan." Senyuman gadis bermata kecil itu melebar.
"Kamu jangan coba-coba memanfaatkanku. Kamu tidak tahu siapa aku?"
"Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Terserah kamu, mau atau tidak." Sandra berlagak hendak membuka pintu mobil, padahal dia tidak tahu jalan untuk pulang dari kediaman keluarga Adriel itu.
"Tunggu! Aku perlu tahu, apa tujuanmu?" Adriel menahannya.
"Kalau begitu, aku juga harus tahu apa tujuanmu." Alih-alih menjelaskannya, Sandra justru mengembalikan pertanyaan Adriel padanya sendiri.
"Apa itu butuh?" Kekesalan mulai mengisi suara Adriel.
"Sama seperti kamu juga butuh alasanku."
"OK. Aku diharuskan menikah oleh kakek dan nenekku," jelas Adriel singkat.
"Aku gak yakin hanya itu." Sandra menyipitkan matanya.
"Memang hanya itu. Sekarang beritahu alasanmu!" Adriel kesal dicurigai seperti itu.
"Aku hanya ingin membalas orang-orang yang telah menghinaku dan keluargaku. Mereka pikir aku akan menjadi perawan tua atau hanya sanggup menikah dengan pria miskin."
"Kamu mau memanfaatkan kekayaanku?" Adriel tertawa meledek.
"Aku mungkin hanya meminjam fasilitas darimu untuk meyakinkan mereka. Tidak akan aku ambil. Kalau pun ada uangmu yang terpakai, aku akan menggantinya. Aku ini bekerja." Sandra tidak mau dianggap perempuan matre oleh Adriel.
"Tapi, aku kurang yakin." Mata Adriel tertuju pada sepatu flat yang dipakai oleh Sandra. Menyadari hal itu, Sandra menggeser-geser kakinya yang hanya beralaskan sepatu bermerk lokal.
"Terserah kamu, sih. Kalau kamu tidak terima, berarti aku tidak bisa menjadi istrimu." Sandra berusaha mengalihkan perhatian Adriel, dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke hadapan Adriel.
"Jangan pikir kamu akan bisa memegang kendali." Tatapan Adriel semakin tajam dan semakin dekat.
Tanpa peringatan, Adriel langsung menyerang wanita yang di hadapannya itu. Sebelah tangannya telah mengunci kepala Sandra dari belakang dan yang sebelahnya lagi melingkar di pinggang Sandra. Wajah mereka tak berjarak, Sandra dapat merasakan sesuatu yang lembut dan basah di bibirnya.
Sandra tak bisa melawan, Adriel terlalu kuat menguncinya. Hitungan detik, dia memasrahkan dirinya pada kekuasaan Adriel. Bahkan tidak sadar ketika pria itu melepas tangannya dari pinggang Sandra. Adriel mengangkat ponsel yang sudah digenggamnya sejak tadi dengan kamera yang sudah diaktifkan. Dengan satu kali kilatan, pose mereka terabadikan dalam ponsel Adriel.
Menyadari kelicikan Adriel, Sandra yang sempat hanyut segera mendorong tubuh laki-laki itu. Kekuatan yang hilang, tiba-tiba muncul kembali. Tangannya terangkat, hendak mendaratkan sebuah tamparan pada Adriel. Namun, secepat kilat, laki-laki itu menangkap tangannya.
"Kamu akan menjadi istriku!" Adriel tersenyum licik, "Jika tidak mau foto ini tersebar luas dan mempermalukanmu."
Sandra baru menyadari ponselnya tidak ada di dalam tas kecilnya ketika Adriel mengayun-ayunkan benda itu di hadapannya. Saat dia terjatuh tadi, tasnya yang hanya berkancing magnet, terbuka. Ingin rasaya dia menghilang dari dunia, menghadapi permasalahan ini jauh lebih berat daripada nyinyiran keluarga besarnya.
"Kamu?" geram Sandra.
"Aku akan menuruti maumu, tapi jangan coba-coba memanfaatkanku apalagi menipuku."
Setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, Adriel langsung memacu mobilnya. Dia mengantar Sandra ke klinik untuk mengobati kakinya, lalu lanjut ke tempat kosnya. Orang tua dan adiknya sudah kembali dari rumah neneknya.
"Kita mulai sandiwara kita malam ini." Adriel ikut keluar dari mobil ketika mengetahui yang berdiri di depan pintu adalah orang tua Sandra.
"Apa?" Sandra terkejut mendengar pernyataan Adriel, namun terlambat, laki-laki itu sudah keluar dan tak dapat lagi dicegah.
"Selamat malam, Pak, Bu." Adriel menyapa Maria dan Damar, kedua orang tua Sandra."Malam," jawab mereka serentak. Mata mereka tertuju pada Sandra yang sudah berdiri di hadapan mereka."Perkenalkan, saya Adriel, pacarnya ...." Adriel baru sadar, dia belum mengetahui nama gadis yang akan dinikahinya itu. "Cinta," lanjutnya kemudian."Cinta?" tanya Maria heran."Maaf, itu panggilan sayang saya padanya." Adriel tersenyum dibuat-buat sambil melirik Sandra."Sandra, kamu kok gak pernah cerita pada kami?" Maria menatap putri sulungnya yang sudah salah tingkah."Sandra masih belum berani, Ma." Sandra juga memaksa senyumnya."Mungkin Sandra masih ragu pada keseriusan saya. Tapi, kali ini saya akan membuktikan kalau saya serius dan ingin menikahinya." Sandra langsung menahan napasnya, mendengar pernyataan Adriel pada orang tuanya."Oh, maaf atas kelancangan saya. Tidak sepantasnya saya melamar Sandra seperti ini. Sekali lagi maafkan saya, Pak, B
Sementara itu, Adriel langsung menuju ke rumahnya selepas mengantarkan Sandra. Wajahnya tampak lesu, jauh berbeda saat pertama dia keluar dari rumahnya. Dia memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi agar dapat segera sampai dan beristirahat. Entah mengapa, malam itu dia merasa lelah sekali.Baru saja sampai di depan rumahnya, Adriel melihat sebuah sedan merah parkir di depan pagar. Tatapannya tajam ke arah mobil itu. Dia melepas napas dengan keras.Seorang asisten rumah tangganya membuka pagar, Adriel langsung masuk ke dalam rumah. Pemilik mobil merah itu segera keluar dari mobil dan menyusulnua ke dalam."Sayang, aku minta maaf atas kejadian tadi." ujar wanita yang keluar dari mobil itu.Dia berlari mendapati Adriel yang tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Wanita itu masih mengenakan gaun merahnya, yang sengaja dibelikan Adriel untuk acara malam ini. Dengan riang, Adriel datang menjemput dan hendak membawanya ke hadapan kekuarga besarnya."Ak
Adriel sudah menetapkan keputusan sementaranya untuk menikahi Sandra. Tidak ada pilihan, kakek dan neneknya sudah kepalang senang saat Sandra diperkenalkan pada mereka. Sebenarnya, Adriel heran, entah apa yang membuat kedua orang tua itu menyukainya.Adriel teringat pada ponsel gadis itu yang telah habis diperiksanya beberapa malam yang lalu. Entah mengapa juga, rasa penasarannya mencuat hingga dia tak sadar pagi sudah menjelang. Dia masih sibuk mengotak-atik ponsel si gadis.Hari itu, dia, Dewanda dan Melati pergi ke tempat kediaman orang tua Sandra untuk menyampaikan lamaran. Awalnya, Adriel tidak ingin melakukan prosesi itu. Namun, karena dikira pernikahan mereka adalah sungguhan, Dewanda memaksa untuk melaksanakannya sebagai penghormatan kepada calon besan.Sebelumnya, Adriel telah menghubungi Sandra untuk juga pulang ke kampungnya."Kami akan berangkat besok," beritahu Adriel lewat telepon."Aku gak bisa. Aku gak bisa libur mendadak, harus izin tig
"Bapak kenal dengan ibu Ani?" tanya Damar tak menyangka."Iya, saya pernah bertemu dengannya dulu." Dewanda melirik istrinya dan Adriel bergantian."Di mana beliau sekarang?" tanya Dewanda pada Sandra."Dia dibawa ke rumah sakit di pinggir kota. Puskesmas di sini tidak mempunyai peralatan yang lengkap untuk menanganinya. Dia terkena serangan jantung," terang Sandra."Kita ke sana, Pak?" Maria tampak cemas sekali mendengar berita tentang ibu Ani, pendiri dan pemilik panti asuhan Belaian Kasih itu."Tapi ...." Damar melirik tamunya sejenak."Tidak apa, Pak. Kami juga ingin melihat keadaannya." Dewanda mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh calon besannya itu. Melati dan Adriel menoleh padanya secara bersamaan.Tanpa diskusi panjang, mereka langsung berangkat ke rumah sakit, tempat wanita yang sudah berusia lebih dari 70 tahun itu. Sandra ikut bersama Adriel di mobil, sementara Damar dan Melati memilih untuk naik sepeda motor saja deng
Sandra kembali ke kota bersama Adriel dan kedua kakek, neneknya. Sementara, Damar dan Maria masih tinggal di rumah sakit untuk menunggui ibu Ani. Sebenarnya, banyak pertanyaan di benak Sandra untuk calon suaminya itu. Salah satunya, bagaimana mereka bisa mengenal ibu Ani. Namun, semua itu diurungkannya, takut terlalu dalam masuk ke kehidupan pribadi mereka. Mengingat posisinya hanya sebagai istri pura-pura.Perjalanan yang ditempuhnya terasa sangat panjang karena keheningan yang mengisi ruang mobil. Hanya Melati yang sekali-sekali bertanya, itu pun dijawabnya dengan singkat. Setiap kali hendak menjawab pertanyaan Melati, Adriel selalu mengontrolnya dari kaca spion. Sandra paham itu adalah sebuah pengendalian agar dia tetap pada rencana kepura-puraan mereka.Tidak ada kata mesra dari Adriel saat mereka berpisah di kos Sandra, layaknya seorang kekasih. Dia sengaja mengantar Sandra ke depan pagar agar terlihat romantis oleh kakek dan neneknya. Padahal, hanya ada diam di a
"Perhatian semuanya!" Arman mulai bersuara, semua mata fokus pada laki-laki paruh baya itu."Mungkin sebagian dari kalian sudah mendengar kabar ini, tentang perusahaan kita yang berpindah kepemilikan. Seperti yang dapat dilihat di hadapan kita saat ini, telah hadir pemilik baru dari perusahaan, Bapak Adriel Jhonatan." Arman mengarahkan tangannya ke arah Adriel.Semua mata serentak bergerak ke arahnya. Hampir wanita yang hadir berbinar memandangnya, tidak terkecuali Maya. Sepupu yang selalu menganggap remeh Sandra itu tanpa sadar menggigit bibirnya."Ganteng banget," bisik Mimi pada Sandra sambil menyenggol lengan sahabatnya itu."Kami seluruh karyawan PT. Domestik Distribution mengucapkan selamat datang kepada Bapak. Kami berharap, kiranya Bapak berkenan pada kami untuk mengabdi di perusahaan ini," sambut Arman pada Adriel. Adriel hanya mengangguk pelan dengan tatapan dinginnya, menyisir semua orang yang berdiri di hadapannya. Sudah dapat dipastikan, Sandra t
Maya menyenggol lengan Sandra sebelum mempercepat langkahnya. Arman yang biasanya garang tidak dapat berkata apa-apa, bahkan untuk membela karyawan kesayangannya, Maya. Tak bisa dipungkiri, Sandra sedikit merasa di atas angin, meski ada kecemasan di hatinya. Bagaimana nasib pekerjaannya setelah ini.Sandra bergegas mengerjakan tugas dari Adriel. Sesuai dengan perintah tambahan dari Arman tadi setelah mereka keluar, Sandra harus segera menyerahkannya ke ruangan Adriel. Dengan sedikit keraguan, gadis itu mengetuk pintu ruangan Adriel kembali dengan surat yang sudah di tangannya."Masuk!" Suara baritonnya terdengar dari dalam.Sandra langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruangannya. Suasana di dalam lebih tegang dibandingkan tadi saat ada Arman. Menghadapi Adriel seorang diri yang menjadi bosnya, membuat jantung Sandra berdegub kencang."Saya mau menyerahkan surat itu," ujar Sandra sambil berjalan mendekati meja Adriel.Adriel mengambil kertas yang dil
Mereka sampai di sebuah butik khusus pakaian pengantin. Dapat dilihat dari gaun dan setelan jas yang dipajang di balik kaca. Kalau bukan menjaga harga diri di hadapan Adriel, Sandra sudah berdecak kagum melihat gaun-gaun super mewah dan cantik itu. Itu adalah mimpinya setiap kali dia dihina atas kesendiriannya, setiap kali Maya pamer tentang rencana pernikahannya. Sandra ingin sekali bisa berdiri di hadapan mereka dengan menggunakan gaun itu."Masuk," suruh Adriel karena Sandra yang terpana melihat gaun yang di pajang di etalase paling depan. Sandra segera sadar dan mengikuti Adriel ke dalam."Hai, sepertinya aku akan mendengar kabar baik, nih," sapa seorang wanita dengn akrabnya pada Adriel."Aku mau cari pakaian pengantin," balas Adriel, tetap saja dingin, meski wanita di hadapannya sudah tersenyum selebar mungkin."Nah, benar dugaanku, kan? Tapi, kok sendiri aja?" Wanita itu melihat di sekitar Adriel, seolah tidak melihat Sandra yang berdiri canggung d
Adriel menatap mereka berdua secara bergantian. Mereka seperti enggan untuk menceritakannya. Dia menyorot linangan air di lensa mata Maria. Napas Sandra pun terlihat tidak normal, seperti tertahan-tahan."Adriana telah meninggal setelah sepuluh tahun menjadi bagian keluarga kami." Ada getaran dalam kalimat Maria. Linangan air itu memenuhi rongga matanya dan hendak meluap."Kami mengadopsinya dari panti asuhan Belaian Kasih. Dia adalah korban kecelakaan dan kedua orang tuanya meninggal. Beruntung dia selamat." Sebuah senyuman pahit terbit di wajahnya yang penuh guratan menua."Namun, tak seperti yang diharapkan. Kecelakaan itu menyisakan penderitaan baginya. Beberapa kali dia mengalami kejang dan kesakitan. Kondisi panti saat itu tidak memungkinkan untuk merawatnya. Entah mengapa juga, hati kami tergerak untuk mengadopsinya." Maria kembali tersenyum pilu mengenang Adriana."Lalu?"Sekuat hati Adriel berusaha bersikap biasa saja, seolah yang mengalami itu bukan adik kan
"Pak Anto," sahut Damar dari dalam. Ia berjalan menghampiri pria itu yang masih berdiri di ambang pintu."Aku ingin menyampaikan sesuatu," ujarnya dengan suara dipelankan, namun dapat terdengar jelas oleh Adriel dan Sandra."Nanti saja kita bicarakan, Pak. Anak dan menantu saya baru saja datang." Damar melirik sebentar ke dalam rumah, sambil tersenyum sungkan pada Adriel. Dia tampak sekali salah tingkah.Anto berusaha menganalisa arti kedipan mata Damar, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan. Sekejap menoleh Adriel yang tengah memandangnya penuh selidik.Adriel ingat betul wajah laki-laki yang menemukannya bersama Adriana di tengah hutan dekat tepi jurang saat itu. Dia tak sanggup lagi menangis karena harus menenangkan adiknya yang terisak meraung-raung. Hanya saja air matanya turun bagai aliran air dari mata air."Anto," sebutnya dalam hati.Baru kali ini dia mengetahui nama pria itu. Setelah menemukan mereka, Anto membawanya ke panti asuhan, bertemu deng
Matahari belum terlalu tinggi saat mereka sampai di desa kediaman orang tua Sandra. Adriel memilih berjalan pagi sekali agar bisa santai, mengingat kondisi Sandra. Beruntung, Sandra sudah melewati masa-masa mualnya sehingga perjalanan dapat ditempuh dengan mulus."Stop, stop." Tiba-tiba Sandra meminta sopir memberhentikan mobil ketika melewati Panti Asuhan Belaian Kasih.Hampir tidak dapat dipercayainya, melihat bangunan tua dan reok itu sudah berubah menjadi bangunan baru dan kokoh. Adriel tahu apa yang membuat istrinya ingin berhenti, tapi dia tak ingin memberi tahunya sekarang. Sandra akan mengetahui saat semuanya sudah jelas.Bukan tanpa alasan Adriel mau menemani Sandra menemui orang tuanya. Sejak mengetahui bahwa Damar dan Maria yang mengadopsi Adriana, dia berusaha mencari waktu untuk membicarakannya."Aku sudah terlalu lama tidak ke sini. Tapi, siapa yang melakukannya?" oceh Sandra sendiri entah pada siapa dia bicara. Tapi, dia yakin kedua orang di dekatnya, mend
Bi Tuti mengingat-ingat, matanya berotasi seperti anak sekolah yang sedang berkutat dengan hafalannya. Kemudian dia menggeleng perlahan."Pernah, sih." Wajahnya mendadak masam.Seperti yang ditakutinya, seketika itu juga hati Sandra mencelos. Baru saja ia merasakan manis perhatian Adriel ditambah bumbu godaan dari Bi Tuti, kini dia kembali dibawa ke alam sadar. Sandra harus sadar diri bahwa pernikahannya dengan Adriel hanya sebatas sebuah perjanjian sementara. Semua yang dilakukan suaminya adalah untuk mencapai tujuannya."Tapi, Nyonya ...." Bi Tuti buru-buru memperbaiki informasi yang diberikannya setelah melihat ekspresi Sandra."Bukan Tuan yang membawanya, dia yang datang sendiri," lanjutnya lagi."Siapa? Alena?" tebak Sandra yakin dengan mata tajam menyorot kepolosan seorang Tuti."Nyonya kenal? Pasti sedih sekali jika mengetahui mantan suami." Bi Tuti berlagak sedih seolah pernah merasakannya juga.Sandra hanya menarik kedua sudut bibirnya untuk memaksakan
Sandra terlena, pertahanannya kacau oleh sihir Adriel. Dia tak mampu menahan ketika bibir Adriel bekerja nakal. Pagutan laki-laki itu tak terbantahkan.Mereka masih berada di depan pintu kamar. Adriel tidak perlu takut ketahuan oleh siapapun di dalam rumah, ini adalah rumahnya. Dia juga tak perlu takut dimarahi karena Sandra adalah istrinya.Sandra merasakan dirinya semakin lemah. Bukan, hatinya yang lemah. Lidah Adriel telah menerobos masuk, mencari pasangannya. Organ tak bertulang itu begitu liar, memberi sensasi lain yang belum pernah dirasakan oleh Sandra.Ya, ini adalah kali pertamanya meski sebelumnya mereka pernah menyatu. Tidak seperti waktu lalu, Adriel tanpa permisi langsung pada intinya. Menerobos masuk tanpa pembukan, sangat menyakiti. Kali ini, Adriel meminta dengan penuh kelembutan.Dengan mudah, tanpa melepas pelukan dan pagutan, Adriel berhasil membawa Sandra masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup dengan pelan, sepelan langkah mereka menuju ranjang lu
Adriel mendongak sebentar, lalu kembali menatap meja. Wajahnya datar, tak ada ekspresi kaget kedatangan mantan kekasih.Ya, mantan. Sejak dia melihat langsung, kekasihnya itu berada dalam kamar bersama Denis, dia sudah tak menganggapnya kekasih lagi. Rasa yang selalu bergejolak setiap kali bertemu Alena, mendadak sirna, bagaikan goresan pasir terhapus ombak."Aku gak masalah, kamu kembali padanya untuk sementara waktu. Semua demi masa depan kita, kan? Tapi, gak gini juga, Sayang. Masa kamu mau makan di tempat seperti ini." Suara Alena terlalu nyaring, tak menyadari sepasang telinga milik penjual nasi goreng itu ikut mendengarnya. Wajahnya mengguratkan ketidaksenangan atas ucapan Alena."Kalau sudah selesai makan, kita langsung balik, ya," pinta Adriel pada Sandra. Wajahnya yang tenang berubah kusam.Alih-alih menjawab dan menanggapi Alena, dia malah menarik tangan Sandra yang tidak jadi menghabiskan nasi gorengnya. Seleranya menguap akibat kedatangan Alena.Sandra men
Sandra memaksa matanya untuk terbuka meski terasa sangat berat. Hampir pagi baru dia berhasil terlelap setelah lelah dengan segala pikirannya.Dia merasa ada aktivitas di dalam kamar. Terbiasa sendiri di dalam kamar, membuat dia merasa risih jika ada orang lain.Adriel sudah berpakaian lengkap, bersiap ke kantor. Tidak dapat dipungkirinya, laki-laki itu sangat tampan dan mampu mendominasi hati setiap wanita yang berada di dekatnya. Seperti Sandra saat ini yang berada sekamar dengannya.Aroma parumnya menyeruak di hidung Sandra. Wangi, tapi entah mengapa Sandra merasa mual. Dia langsung menutup mulutnya."Mual lagi?" Adriel menghampirinya.Sandra menahan dengan telapak tangannya, memberi isyarat agar Adriel menjauh. Kedua alis laki-laki itu terangkat, membentuk beberapa lipatan vertikal di dahinya."Aroma parfummu," ucap Sandra dengan mulut tertutup.Adriel mencium kedua pundaknya sendiri bergantian, memastikan aromanya yang sebenarnya sangat wangi."Ada beber
Sandra sudah berada di dalam mobil bersama Adriel. Membahas mengenai hubungan mereka akan semakin membuatnya lelah hati. Akhirnya, dia memilih untuk diam dan menunggu apapun keputusan laki-laki yang sedang sibuk dengan kemudi di sampingnya.Mereka sampai di rumah Adriel. Ibu Tuti sudah menunggu, berlari mendapati Sandra untuk membantunya turun dari mobil."Dokternya sudah dihubungi?" tanya Adriel pada wanita paruh baya itu."Sudah, Tuan. Sebentar lagi dia akan sampai," jawab Tuti punuh hormat.Tidak lama kemudian, dokter yang dimaksud juga datang. Sandra sudah dibawa ke kamar Adriel."Kenapa di sini?" tanya Sandra pada Bi Tuti."Tuan yang menyuruh, Nyonya."Sandra mengernyitkan dahinya, tidak mengerti pada perubahan sikap Adriel. Bukankah dia berencana akan menceraikannya, lalu mengapa harus berlaku seperti ini."Apa jangan-jangan dia mengubah keputusannya kembali? Dasar plin plan. Dia mau aku melahirkan anak ini untuknya. Cuih, dasar laki-laki egois." Sandra
Bu Ani sedang tidak dalam keadaan sehat. Sejak pertemuannya dengan Dewanda dan Melati, kondisinya menurun. Beruntung tidak sampai dirawat kembali, cukup istirahat di rumah.Saat Adriel ke rumahnya, menantunya yang selalu ada mendampingi, memperingatkan. Adriel berjanji hanya membicarakan soal panti asuhan agar mendapatkan izin.Benar saja, saat Ani keluar dari kamarnya, Adriel dapat melihat kelelahan di wajahnya. Tapi, dia tampak sedikit bersemangat ketika mendengar siapa yang datang."Apa Ibu kuat?" tanya Adriel tulus karena melihat kondisinya."Tidak apa-apa, saya hanya kecapean. Namanya juga sudah tua." Ani memaksa senyum di wajah keriputnya."Saya hanya memberitahu bahwa saya sudah selesai dengan data-data itu. Ternyata tidak semudah itu menemukan mereka kembali." Adriel tampak murung dengan kalimat terakhirnya."Maaf telah merepotkan," sesal Ani."Tidak apa." Adriel meresponnya dengan senyuman."O ya, ada yang ingin saya tanyakan perihal Sandra." Adriel