Maya menyenggol lengan Sandra sebelum mempercepat langkahnya. Arman yang biasanya garang tidak dapat berkata apa-apa, bahkan untuk membela karyawan kesayangannya, Maya. Tak bisa dipungkiri, Sandra sedikit merasa di atas angin, meski ada kecemasan di hatinya. Bagaimana nasib pekerjaannya setelah ini.
Sandra bergegas mengerjakan tugas dari Adriel. Sesuai dengan perintah tambahan dari Arman tadi setelah mereka keluar, Sandra harus segera menyerahkannya ke ruangan Adriel. Dengan sedikit keraguan, gadis itu mengetuk pintu ruangan Adriel kembali dengan surat yang sudah di tangannya.
"Masuk!" Suara baritonnya terdengar dari dalam.
Sandra langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruangannya. Suasana di dalam lebih tegang dibandingkan tadi saat ada Arman. Menghadapi Adriel seorang diri yang menjadi bosnya, membuat jantung Sandra berdegub kencang.
"Saya mau menyerahkan surat itu," ujar Sandra sambil berjalan mendekati meja Adriel.
Adriel mengambil kertas yang diletakkan Sandra di atas meja tanpa melihat pada gadis yang akan menjadi istrinya itu. Kepalanya mengangguk-angguk, membaca apa yang sudah diketik okeh Sandra.
"OK," jawab Adriel singkat, membuat Sandra bingung harus berbuat apa lagi. Biasanya, Pak Arman akan memberi tugas berikutnya atau mempersilakan keluar.
"Saya boleh keluar, Pak?" tanya Sandra ragu. Dia sedikit ganjalkarena tiba-tiba harus memanggil Adriel dengan sebutan pak.
"Ikut aku! Kita akan fitting pakaian pengantin." Tiba-tiba Adriel bangkit dari duduknya.
"Tapi ...." Sandra membuat Adriel menghentikan langkahnya dan akhirnya menoleh.
"Kita akan pergi bersama?" Sandra menanyakannya dengan ragu.
"Memang kenapa?" Adriel menghampiri Sandra, membuat gadis itu mundur selangkah.
"Aku gak enak dengan orang kantor." Sandra memasang wajah memelas.
"Bukankah ini tujuanmu?" Tatapan Adriel menyerbu Sandra yang semakin salah tingkah di hadapan laki-laki yang tak dapat dipungkiri ketampanannya itu.
"Tapi, terlalu mendadak. Setelah menikah, baru ...." Sandra berharap, senyumnya dapat membuat Adriel setuju.
"Aku gak mau! Ikut aku sekarang! Kalau tidak, besok aku akan menciummu di meja kerjamu." Adriel langsung melangkah keluar, meninggalkan Sandra yang masih terpana pada ancaman calon suaminya itu.
Sandra memukul keningnya sebelum melangkah, menyusul Adriel. Adriel sudah berjalan lebih jauh, membuat Sandra dapat bernapas lega. Dia segera menuju ke mejanya, bermaksud untuk mengambil tas.
"Sudah selesai, Sandra?" tanya Merlyn, kepala admin.
"Sudah, Mbak," jawab Sandra dengan senyum yang dipaksakan.
"Kamu dipanggil pak Arman keruangannya," beritahu Merlyn.
"Sekarang, Mbak?" Sandra tahu, pertanyaan itu terlalu bodoh untuk karyawan yang sudah bertahun-tahun bekerja seperti dia.
"Biasanya perintah itu diberikan untuk besok?" Jelas tampak kejengkelan Merlyn atas pertanyaan Sandra.
"Maaf, Mbak. Saya akan segera menemuinya."
Sandra benar-benar bingung mengambil sikap. Dia tidak mungkin membantah pak Arman, sementara ancaman Adriel tak bisa disepelekan. Dia tahu laki-laki itu tidak hanya sekedar mengancam, tapi akan melakukan jika yang diinginkannya tidak tercapai.
Sandra mengetuk pintu ruangan pak Arman. Dia berharap, bos lamanya itu tidak akan memakan waktu banyak hingga dia bisa langsung menyusul Adriel. Suaranya terdengar dari dalam, mempersilakan Sandra masuk.
"Bapak memanggil saya?" tanyanya dengan sopan.
"Surat itu sudah kamu selesaikan?" Sandra sangat hafal dengan tatapan bosnya itu. Hal yang sudah sangat dikenal oleh semua karyawan saat melakukan kesalahan ataupun tidak disenanginya. Mungkin hanya Maya yang jarang menerima tatapan seperti itu.
"Sudah, Pak?" Sandra mengangguk.
"Ingat, aku tetap atasanmu!' Dia menatap Sandra lebih tajam.
Arman merasa tersinggung karena kejadian di ruangan Adriel tadi. Adriel menjelaskan otoritasnya sebagai pemilik perusahaan yang baru, sementara dia menjadi tidak berarti. Adriel masih bermurah hati untuk mempekerjakannya sebagai pimpinan perusahaan. Namun, otoritasnya tentu tidak sepenuh sebelumnya, ada Adriel yang menjadi puncak setiap keputusan.
"Iya, Pak." Sandra kembali mengangguk. Dia mencuri pandang pada jam di tangannya. Sepuluh menit telah berlalu, Adriel pasti sudah sampai di parkiran.
"Sekarang juga, kamu siapkan surat kontrak untuk klien berikutnya, serahkan pada saya dulu sebelum ke tangan pak Adriel. Saya perlu mensortir mana yang bisa bekerja sama dengan kita, mana yang tidak. Perusahaan ini sudah belasan tahun di tangan saya."
"Baik, Pak." Hanya itu yang mampu dijawab oleh Sandra.
"Kamu lebih mematuhi perintah siapa, Sandra Joana?"
Mereka berdua terkejut, pintu tiba-tiba terbuka dan Adriel muncul dari luar. Arman sontak bangkit berdiri dari singgasananya. Sandra membalikkan badan dengan cepat untuk melihat si pemilik suara.
"Sa-sa-saya minta maaf, Pak." Sandra berada dalam dilema. Dia menyadari otoritas Adriel, namun dia juga tidak berani membantah Arman.
"Saya suruh kamu ikut saya, tapi kamu ke sini." Adriel menatap Sandra dengan kesal.
"Saya dipanggil ...." Sandra takut melanjutkan kalimatnya, dia hanya menoleh pada Arman dan diikuti oleh Adriel.
"Saya belum sempat mencari posisi yang pas buat Pak Arman. Tidak mungkin perusahaan ini mempunyai dua kepala, karyawan akan bingung mengikuti yang mana." Kalimat Adriel terdengar tegas dan menguntimidasi Arman, membuat laki-laki paruh baya itu menghela napas panjang.
"Oh ya, sekalian saya juga akan mengumumkan posisi baru untuk Sandra." Arman semakin terkejut apalagi Sandra.
"Saya umumkan sekarang di depan kalian. Sandra saya angkat jadi sekretaris. Pindahkan ruangannya ke sebelah ruangan saya." Adriel tidak membutuhkan persetujuan Arman, dia sengaja melakukannya untuk menunjukkan otoritasnya pada laki-laki itu.
Hanya butuh waktu yang sebentar saja bagi Arman untuk mengetahui watak Adriel. Dia tidak lagi membantah bos mudanya itu, meski dalam hati dia tidak setuju. Selama ini, Mayalah yang menjadi prioritasnya untuk rekomendasi karir. Sepupu Sandra itu paling bisa meluluhkan hati. Dia rela menjadi gunjingan karyawan yang lain demi itu dan demi lebih menang dari Sandra.
"Baik, Pak." Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Arman.
"Sekarang kamu ikut saya keluar!" perintah Adriel pada Sandra.
Tidak ada yang bisa membantah, Arman pun tidak. Mereka melupakan tugas yang diberikan Arman sebelumnya. Sandra segera mengikuti langkah Adriel yang cepat, meninggalkan Arman yang masih belum percaya pada apa yang sedang terjadi.
Mereka berjalan melewati ruangan besar tempat Sandra dan teman-temannya bekerja selam ini. Semua mata tertuju pada mereka. Tadi saat Sandra menuju ruangan Arman, Adriel kembali untuk mencarinya. Tampak kemarahan di wajah Adriel mendengar bahwa Sandra memilih ke ruangan Arman dibandingkan mematuhinya.
"Aku tidak mau hal ini terulang lagi, kamu akan terima akibatnya nanti." Adriel terdengar serius dengan ucapannya saat mereka telah berada di dalam mobil.
"Tapi, kamu gak bisa juga mengatur kehidupanku." Sandra berusaha mempertahankan otoritas atas dirinya sendiri.
"Aku gak akan mengatur hidupmu, hubungan kita tetap simbiosis mutualisme. Tapi, ingat kamu adalah karyawanku. Kalau mau kerja di perusahaanku, kamu harus patuh padaku."
Tidak ada jawaban lagi dari Sandra. Dia sudah mengerti apa alasan Adriel mau membeli perusahaan tempatnya bekerja. Sandra mulai bimbang untuk meneruskan permainan ini.
"Dan jangan berpikir untuk mundur dari rencana ini. Kita sudah jauh." Sandra kaget karena Adriel sudah mendekat ke arahnya.
Dia menarik diri ke belakang, tapi satu tangan Adriel membuatnya mendekat kembali. Mata mereka beradu. Hangat napas Adriel terasa di kulit wajahnya.
Tiba-tiba kejadian di mobil malam itu terulang kembali. Wajah mereka tak berjarak, bahkan napas yang keluar dari tubuh mereka hanya mendapat celah kecil untuk lepas ke udara bebas. Adriel menunjukkan otoritasnya pada bibir Sandra. Dan tanpa disadari, Sandra pun mengakuinya dengn mengikuti alur Adriel yang berlangsung sekitar dua menit. Singkat, tapi cukup menjelaskan.
Adriel langsung memacu mobil. Sandra mengusap bibirnya sendiri, dia berusaha menghilangkan pikiran aneh di benaknya. Dia meyakinkan diri bahwa ini hanya cara Adriel untuk menunjukkan kuasa Adriel atas rencana mereka, bukan karena yang lain.
Mereka sampai di sebuah butik khusus pakaian pengantin. Dapat dilihat dari gaun dan setelan jas yang dipajang di balik kaca. Kalau bukan menjaga harga diri di hadapan Adriel, Sandra sudah berdecak kagum melihat gaun-gaun super mewah dan cantik itu. Itu adalah mimpinya setiap kali dia dihina atas kesendiriannya, setiap kali Maya pamer tentang rencana pernikahannya. Sandra ingin sekali bisa berdiri di hadapan mereka dengan menggunakan gaun itu."Masuk," suruh Adriel karena Sandra yang terpana melihat gaun yang di pajang di etalase paling depan. Sandra segera sadar dan mengikuti Adriel ke dalam."Hai, sepertinya aku akan mendengar kabar baik, nih," sapa seorang wanita dengn akrabnya pada Adriel."Aku mau cari pakaian pengantin," balas Adriel, tetap saja dingin, meski wanita di hadapannya sudah tersenyum selebar mungkin."Nah, benar dugaanku, kan? Tapi, kok sendiri aja?" Wanita itu melihat di sekitar Adriel, seolah tidak melihat Sandra yang berdiri canggung d
"Aku akan tetap menikah dengannya." Adriel menjawab dengan pandangan lurus pada Sandra. Ada sesuatu yang membesar di ruang dada gadis itu akibat pernyataan Adriel. Sesuatu yang memang diharapkannya."Kamu sedang bercanda, kan Sayang." Pandangan Sandra beralih pada Alena ketika wanita itu menyebut Adriel demikian."Aku serius." Adriel sama sekali tidak menoleh pada wanita itu."Sayang, aku tahu kamu kecewa sekali padaku malam itu. Sekarang aku menyesal, aku berubah pikiran. Aku mohon, kamu harus mengubah keputusan konyol ini." Alena memelas pada Adriel. Dibiarkannya air matanya membanjiri pipi agar terlihat oleh Adriel."Ganti pakaianmu! Kita pergi dari sini." Adriel sama sekali tidak menggubris Alena.Sandra bergegas kembali ke kamar ganti, kali ini tidak ditemani oleh siapapun. Lolita lebih memilih untuk menenangkan sahabatnya yang terus memohon pada Adriel. Alena terlihat seperti pengemis cinta.Selesai mengenakan kembali pakaiannya, Sandra sege
Adriel mengutus orang untuk menjemput Darma dan Maria. Dia berencana akan memperkenalkan diri ke keluarga besar Maria di kediaman Sartika. Pernikahannya dengan Sandra akan berlangsung tiga hari lagi.Nanti malam kita ke rumah nenekmu.Begitu pesan yang ditulis Adriel untuk Sandra. Sandra juga sudah mengetahui perihal kedua orang tua dan adik perempuannya datang ke kota. Sore sepulang kantor, dia bergegas untuk sampai lebih awal agar bisa membereskan kamar kos yang sudah berantakan. Sudah bisa dibayangkan bagaimana omelan mamanya jika melihat penampakan seperti itu.Baru saja Sandra menarik napas lega setelah selesai membersihkan kamarnya, sebuah mobil hitam berhenti di depan kosannya. Seorang laki-laki yang diketahuinya orangnya Adriel keluar dari mobil untuk membukakan pintu di sebelah kemudi, lanjut pintu di belakang. Papa dan mama beserta adiknya keluar dari mobil.Ada rasa senang bisa melihat mereka kembali. Sandra memang jarang pulang ke rumah oran
Penata rias sudah selesai dengan tugasnya. Gaun pengantin yang lebih mewah telah melekat di tubuh Sandra. Dia tengah melihat dirinya di depan cemin besar. Apa yang pernah diimpikannya tercapai. Mengenakan gaun mahal dan tampil cantik di pelaminan di hadapan saudara-saudara ibunya.Sejak putus dengan kekasihnya di kampung, Sandra tidak perrnah lagi punya kekasih. Entah mengapa sulit sekali baginya menemukan laki-laki yang cocok, meski dia sendiri ingin memilikinya. Keadaan itu, ditambah lagi cacian para sepupunya yang mengantarkannya pada pernikahan ini. Meski dia menyadari, tidak akan ditemukannya kebahagiaan dalam kepura-puraan."Nyonya Sandra diminta untuk keluar." Suara seseorang membuyarkan lamunannya. Sandra berbalik badan dan tersenyum tipis pada pelayan itu.Sandra keluar dari kamar rias menemui Adriel dan yang lainnya. Dengan sedikit berpayah, dia menarik gaun yang cukup berat itu. Permata dan berlian yang bertaburan di atasnya menambah kemewahan dan keangg
Pesta telah usai, Sandra dan orang tuanya menginap di hotel tempat acara digelar. Mereka sudah berada di kamar masing-masing. Sementara Adriel masih berada dalam pesta, mengurus tamu-tamu yang tersisa. Terakhir sebelum meninggalkan aula, Sandra masih melihat Alena di sana.Sandra terduduk di pinggir ranjang, matanya menerawang ke langit-langit kamar, memikirkan apa yang baru saja dialaminya. Keputusan besar yang mempengaruhi hidupnya ke depan. Sandra memicingkan mata, meyakinkan diri bahwa semua ini benar untuj saat ini. Semua akan baik-baik saja.Tak ingin berlama-lama dengan gaun pengantin, yang sebenarnya sangat disukainya itu, Sandra langsung membukanya. Dia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Wajahnya sudah terasa sangat berat, menampung bedak yang berlapis-lapis. Sandra sengaja mengguyur tubuhnya agar mendapatkan kesegaran kembali."Aw!" Seseorang masuk ke dalam kamar mandi saat Sandra sedang asik membilas diri dari sabun.Sebelum membela
Tidak ada malam pengantin, tidak ada sapaan mesra di pagi pertama. Sandra terbangun karena suara alarm dari ponselnya. Setelah kejadian semalam, Adriel kembali ke kamar untuk membuat kesepakatan baru dengan Sandra. Mereka sepakat untuk menyembunyikan status pernikahan di kantor tempat Sandra bekerja. Malam itu juga, mereka menghubungi Maya untuk tidak membocorkan pernikahan itu dengan alasan agar Sandra dapat bekerja dengan nyaman.Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Maya, selain berusaha menyenangkan hati bos. Dan hal yang paling mengesalkan buatnya adalah Sandra yang menjadi pendamping sang bos besar. Mau tidak mau, Sandra harus menurut.Sandra setuju dengan keputusan itu agar reputasinya sebagai seorang gadis tetap terjaga. Dia begitu yakin, pernikahan mereka akan segera berakhir dalam waktu yang tidak lama, setelah tujuan keduanya tercapai.Sandra bergegas mandi dan berpakaian agar tidak terlambat ke kantor. Dia tidak akan berangkat bersama Adriel. Seperti
Mereka sampai di sebuah rumah berpagar putih dengan warna cat dinding bagian luar yang senada. Mobil Adriel berhenti tepat di depannya, tapi mereka tidak langsung keluar. Adriel memperhatikan ke dalam pekarangan yang mudah dilihat untuk beberapa saat. Sementara Sandra ikut menoleh dengan ekspresi kebingungannya."Ini rumah siapa?" tanya Sandra memecah keheningan."Kita akan bertemu Bu Ani di sini." Mata Adriel masih terarah ke rumah itu."Maksudmu, Bu Ani tinggal di sini?" tanya Sandra dengan ekspresi kurang yakin."Ya.""Kamu tahu dari mana, bahkan kamu tidak mengenalinya.""Kamu tidak perlu tahu bagaimana caraku mengetahuinya. Ayo keluar!" Adriel langsung membuka pintu mobil dan keluar, diikuti oleh Sandra."Kamu yakin ini rumahnya?" Sandra sudah berdiri di sampingnya. Mereka sibuk memeriksa rumah yang seperti tidak ada penghuni itu."Kamu pikir, anak buahku berani memberikan informasi salah padaku?" Adriel menatap Sandra dengan kesa
Sejak membeli perusahaan tempat Sandra bekerja, Adriel menjadi lebih sibuk. Sebenarnya, Dewanda sudah melarangnya, namun bukan Adriel namanya jika langsung saja menurut. Dia selalu menyiapkan alasan yang kuat di hadapan kakeknya. Dan uniknya, hubungan kakek dan cucu itu, kerap seperti dua orang sahabat yang saling mempertahankan pendapat masing-masing, namun pada akhirnya akan saling mendukung."Aku melakukannya demi Sandra, Kek. Dia seorang wanita pekerja keras." Dengan terpaksa dia memuji Sandra di depan kakeknya."Baiklah, jika menurutmu itu baik. Asal perusahaan yang telah lama kita bangun tidak keteteran." Dewanda memperingati cucunya.***Adriel tidak masuk ke kantor tempat Sandra bekerja. Memang biasanya dia hanya singgah sebentar dan memantau Sandra sambil mengangkat martabatnya di depan Arman dan Maya. Adriel masih mempercayakan jalannya perusahaan pada Arman, tapi tetap dalam kontrolnya.Adriel datang ke kantor yang masih dipimpin oleh Dewanda
Adriel menatap mereka berdua secara bergantian. Mereka seperti enggan untuk menceritakannya. Dia menyorot linangan air di lensa mata Maria. Napas Sandra pun terlihat tidak normal, seperti tertahan-tahan."Adriana telah meninggal setelah sepuluh tahun menjadi bagian keluarga kami." Ada getaran dalam kalimat Maria. Linangan air itu memenuhi rongga matanya dan hendak meluap."Kami mengadopsinya dari panti asuhan Belaian Kasih. Dia adalah korban kecelakaan dan kedua orang tuanya meninggal. Beruntung dia selamat." Sebuah senyuman pahit terbit di wajahnya yang penuh guratan menua."Namun, tak seperti yang diharapkan. Kecelakaan itu menyisakan penderitaan baginya. Beberapa kali dia mengalami kejang dan kesakitan. Kondisi panti saat itu tidak memungkinkan untuk merawatnya. Entah mengapa juga, hati kami tergerak untuk mengadopsinya." Maria kembali tersenyum pilu mengenang Adriana."Lalu?"Sekuat hati Adriel berusaha bersikap biasa saja, seolah yang mengalami itu bukan adik kan
"Pak Anto," sahut Damar dari dalam. Ia berjalan menghampiri pria itu yang masih berdiri di ambang pintu."Aku ingin menyampaikan sesuatu," ujarnya dengan suara dipelankan, namun dapat terdengar jelas oleh Adriel dan Sandra."Nanti saja kita bicarakan, Pak. Anak dan menantu saya baru saja datang." Damar melirik sebentar ke dalam rumah, sambil tersenyum sungkan pada Adriel. Dia tampak sekali salah tingkah.Anto berusaha menganalisa arti kedipan mata Damar, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan. Sekejap menoleh Adriel yang tengah memandangnya penuh selidik.Adriel ingat betul wajah laki-laki yang menemukannya bersama Adriana di tengah hutan dekat tepi jurang saat itu. Dia tak sanggup lagi menangis karena harus menenangkan adiknya yang terisak meraung-raung. Hanya saja air matanya turun bagai aliran air dari mata air."Anto," sebutnya dalam hati.Baru kali ini dia mengetahui nama pria itu. Setelah menemukan mereka, Anto membawanya ke panti asuhan, bertemu deng
Matahari belum terlalu tinggi saat mereka sampai di desa kediaman orang tua Sandra. Adriel memilih berjalan pagi sekali agar bisa santai, mengingat kondisi Sandra. Beruntung, Sandra sudah melewati masa-masa mualnya sehingga perjalanan dapat ditempuh dengan mulus."Stop, stop." Tiba-tiba Sandra meminta sopir memberhentikan mobil ketika melewati Panti Asuhan Belaian Kasih.Hampir tidak dapat dipercayainya, melihat bangunan tua dan reok itu sudah berubah menjadi bangunan baru dan kokoh. Adriel tahu apa yang membuat istrinya ingin berhenti, tapi dia tak ingin memberi tahunya sekarang. Sandra akan mengetahui saat semuanya sudah jelas.Bukan tanpa alasan Adriel mau menemani Sandra menemui orang tuanya. Sejak mengetahui bahwa Damar dan Maria yang mengadopsi Adriana, dia berusaha mencari waktu untuk membicarakannya."Aku sudah terlalu lama tidak ke sini. Tapi, siapa yang melakukannya?" oceh Sandra sendiri entah pada siapa dia bicara. Tapi, dia yakin kedua orang di dekatnya, mend
Bi Tuti mengingat-ingat, matanya berotasi seperti anak sekolah yang sedang berkutat dengan hafalannya. Kemudian dia menggeleng perlahan."Pernah, sih." Wajahnya mendadak masam.Seperti yang ditakutinya, seketika itu juga hati Sandra mencelos. Baru saja ia merasakan manis perhatian Adriel ditambah bumbu godaan dari Bi Tuti, kini dia kembali dibawa ke alam sadar. Sandra harus sadar diri bahwa pernikahannya dengan Adriel hanya sebatas sebuah perjanjian sementara. Semua yang dilakukan suaminya adalah untuk mencapai tujuannya."Tapi, Nyonya ...." Bi Tuti buru-buru memperbaiki informasi yang diberikannya setelah melihat ekspresi Sandra."Bukan Tuan yang membawanya, dia yang datang sendiri," lanjutnya lagi."Siapa? Alena?" tebak Sandra yakin dengan mata tajam menyorot kepolosan seorang Tuti."Nyonya kenal? Pasti sedih sekali jika mengetahui mantan suami." Bi Tuti berlagak sedih seolah pernah merasakannya juga.Sandra hanya menarik kedua sudut bibirnya untuk memaksakan
Sandra terlena, pertahanannya kacau oleh sihir Adriel. Dia tak mampu menahan ketika bibir Adriel bekerja nakal. Pagutan laki-laki itu tak terbantahkan.Mereka masih berada di depan pintu kamar. Adriel tidak perlu takut ketahuan oleh siapapun di dalam rumah, ini adalah rumahnya. Dia juga tak perlu takut dimarahi karena Sandra adalah istrinya.Sandra merasakan dirinya semakin lemah. Bukan, hatinya yang lemah. Lidah Adriel telah menerobos masuk, mencari pasangannya. Organ tak bertulang itu begitu liar, memberi sensasi lain yang belum pernah dirasakan oleh Sandra.Ya, ini adalah kali pertamanya meski sebelumnya mereka pernah menyatu. Tidak seperti waktu lalu, Adriel tanpa permisi langsung pada intinya. Menerobos masuk tanpa pembukan, sangat menyakiti. Kali ini, Adriel meminta dengan penuh kelembutan.Dengan mudah, tanpa melepas pelukan dan pagutan, Adriel berhasil membawa Sandra masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup dengan pelan, sepelan langkah mereka menuju ranjang lu
Adriel mendongak sebentar, lalu kembali menatap meja. Wajahnya datar, tak ada ekspresi kaget kedatangan mantan kekasih.Ya, mantan. Sejak dia melihat langsung, kekasihnya itu berada dalam kamar bersama Denis, dia sudah tak menganggapnya kekasih lagi. Rasa yang selalu bergejolak setiap kali bertemu Alena, mendadak sirna, bagaikan goresan pasir terhapus ombak."Aku gak masalah, kamu kembali padanya untuk sementara waktu. Semua demi masa depan kita, kan? Tapi, gak gini juga, Sayang. Masa kamu mau makan di tempat seperti ini." Suara Alena terlalu nyaring, tak menyadari sepasang telinga milik penjual nasi goreng itu ikut mendengarnya. Wajahnya mengguratkan ketidaksenangan atas ucapan Alena."Kalau sudah selesai makan, kita langsung balik, ya," pinta Adriel pada Sandra. Wajahnya yang tenang berubah kusam.Alih-alih menjawab dan menanggapi Alena, dia malah menarik tangan Sandra yang tidak jadi menghabiskan nasi gorengnya. Seleranya menguap akibat kedatangan Alena.Sandra men
Sandra memaksa matanya untuk terbuka meski terasa sangat berat. Hampir pagi baru dia berhasil terlelap setelah lelah dengan segala pikirannya.Dia merasa ada aktivitas di dalam kamar. Terbiasa sendiri di dalam kamar, membuat dia merasa risih jika ada orang lain.Adriel sudah berpakaian lengkap, bersiap ke kantor. Tidak dapat dipungkirinya, laki-laki itu sangat tampan dan mampu mendominasi hati setiap wanita yang berada di dekatnya. Seperti Sandra saat ini yang berada sekamar dengannya.Aroma parumnya menyeruak di hidung Sandra. Wangi, tapi entah mengapa Sandra merasa mual. Dia langsung menutup mulutnya."Mual lagi?" Adriel menghampirinya.Sandra menahan dengan telapak tangannya, memberi isyarat agar Adriel menjauh. Kedua alis laki-laki itu terangkat, membentuk beberapa lipatan vertikal di dahinya."Aroma parfummu," ucap Sandra dengan mulut tertutup.Adriel mencium kedua pundaknya sendiri bergantian, memastikan aromanya yang sebenarnya sangat wangi."Ada beber
Sandra sudah berada di dalam mobil bersama Adriel. Membahas mengenai hubungan mereka akan semakin membuatnya lelah hati. Akhirnya, dia memilih untuk diam dan menunggu apapun keputusan laki-laki yang sedang sibuk dengan kemudi di sampingnya.Mereka sampai di rumah Adriel. Ibu Tuti sudah menunggu, berlari mendapati Sandra untuk membantunya turun dari mobil."Dokternya sudah dihubungi?" tanya Adriel pada wanita paruh baya itu."Sudah, Tuan. Sebentar lagi dia akan sampai," jawab Tuti punuh hormat.Tidak lama kemudian, dokter yang dimaksud juga datang. Sandra sudah dibawa ke kamar Adriel."Kenapa di sini?" tanya Sandra pada Bi Tuti."Tuan yang menyuruh, Nyonya."Sandra mengernyitkan dahinya, tidak mengerti pada perubahan sikap Adriel. Bukankah dia berencana akan menceraikannya, lalu mengapa harus berlaku seperti ini."Apa jangan-jangan dia mengubah keputusannya kembali? Dasar plin plan. Dia mau aku melahirkan anak ini untuknya. Cuih, dasar laki-laki egois." Sandra
Bu Ani sedang tidak dalam keadaan sehat. Sejak pertemuannya dengan Dewanda dan Melati, kondisinya menurun. Beruntung tidak sampai dirawat kembali, cukup istirahat di rumah.Saat Adriel ke rumahnya, menantunya yang selalu ada mendampingi, memperingatkan. Adriel berjanji hanya membicarakan soal panti asuhan agar mendapatkan izin.Benar saja, saat Ani keluar dari kamarnya, Adriel dapat melihat kelelahan di wajahnya. Tapi, dia tampak sedikit bersemangat ketika mendengar siapa yang datang."Apa Ibu kuat?" tanya Adriel tulus karena melihat kondisinya."Tidak apa-apa, saya hanya kecapean. Namanya juga sudah tua." Ani memaksa senyum di wajah keriputnya."Saya hanya memberitahu bahwa saya sudah selesai dengan data-data itu. Ternyata tidak semudah itu menemukan mereka kembali." Adriel tampak murung dengan kalimat terakhirnya."Maaf telah merepotkan," sesal Ani."Tidak apa." Adriel meresponnya dengan senyuman."O ya, ada yang ingin saya tanyakan perihal Sandra." Adriel