Mereka sampai di sebuah rumah berpagar putih dengan warna cat dinding bagian luar yang senada. Mobil Adriel berhenti tepat di depannya, tapi mereka tidak langsung keluar. Adriel memperhatikan ke dalam pekarangan yang mudah dilihat untuk beberapa saat. Sementara Sandra ikut menoleh dengan ekspresi kebingungannya.
"Ini rumah siapa?" tanya Sandra memecah keheningan.
"Kita akan bertemu Bu Ani di sini." Mata Adriel masih terarah ke rumah itu.
"Maksudmu, Bu Ani tinggal di sini?" tanya Sandra dengan ekspresi kurang yakin.
"Ya."
"Kamu tahu dari mana, bahkan kamu tidak mengenalinya."
"Kamu tidak perlu tahu bagaimana caraku mengetahuinya. Ayo keluar!" Adriel langsung membuka pintu mobil dan keluar, diikuti oleh Sandra.
"Kamu yakin ini rumahnya?" Sandra sudah berdiri di sampingnya. Mereka sibuk memeriksa rumah yang seperti tidak ada penghuni itu.
"Kamu pikir, anak buahku berani memberikan informasi salah padaku?" Adriel menatap Sandra dengan kesa
Sejak membeli perusahaan tempat Sandra bekerja, Adriel menjadi lebih sibuk. Sebenarnya, Dewanda sudah melarangnya, namun bukan Adriel namanya jika langsung saja menurut. Dia selalu menyiapkan alasan yang kuat di hadapan kakeknya. Dan uniknya, hubungan kakek dan cucu itu, kerap seperti dua orang sahabat yang saling mempertahankan pendapat masing-masing, namun pada akhirnya akan saling mendukung."Aku melakukannya demi Sandra, Kek. Dia seorang wanita pekerja keras." Dengan terpaksa dia memuji Sandra di depan kakeknya."Baiklah, jika menurutmu itu baik. Asal perusahaan yang telah lama kita bangun tidak keteteran." Dewanda memperingati cucunya.***Adriel tidak masuk ke kantor tempat Sandra bekerja. Memang biasanya dia hanya singgah sebentar dan memantau Sandra sambil mengangkat martabatnya di depan Arman dan Maya. Adriel masih mempercayakan jalannya perusahaan pada Arman, tapi tetap dalam kontrolnya.Adriel datang ke kantor yang masih dipimpin oleh Dewanda
"Halo, Sandra, kamu apa kabar?"Terdengar suara Dewi, kakak tertua mamanya. Sandra mengerutkan dahi, tiba-tiba menerima panggilan dari wanita. Ini adalah kali pertama."Baik, Tan," jawab Sandra sedikit gugup karena tidak yakin bahwa yang sedang meneleponnya adalah Dewi."Kamu sehat?" Suara Dewi terdengar lembut, tidak seperti biasanya yang selalu ketus setiap kali berbicara dengan Sandra."Sehat, Tan. Tante gimana?" tanya Sandra berbasa-basi."Sehat sih, Sayang, tapi ada sedikit masalah." Suaranya memberat seperti sedang merengek."Masalah apa, Tan?" Jiwa kepedulian Sandra memang tak bisa dibendung saat ada orang yang sedang bersedih."Susah Tante ceritakan di telepon. Tante main ke rumah, ya?" Suara itu kembali bersemangat."Apa, Tan? Ng-""Boleh, ya?" desak Dewi cepat tanpa menunggu Sandra menyelesaikan kalimatnya."Aku tanya suamiku dulu, ya Tan." Sandra menggigit bibirnya, bingung harus menolak bagaimana. Dia
Semenjak kedatangan keluarga Sandra ke rumahnya, Adriel semakin tertantang untuk mengulik tentang kedua karyawan kakeknya itu. Sebelum dia memutuskan untuk membangun perusahaan sendiri, tentunya dimodali oleh sang kakek, Adriel sempat mengenal mereka. Namun, Adriel tidak terlalu mengetahui watak dan kinerja mereka. Barulah kali ini, dia benar-benar mengetahuinya.Tujuan awalnya yang hanya untuk membantu Sandra sebagaimana dalam perjanjian mereka, kini berubah menjadi demi perusahaannya. Semakin jauh dia menggali tentang mereka, Adriel menemukan banyak kejanggalan. Harusnya, misinya untuk Sandra sudah selesai, tapi tidak dengan misi barunya. Ini baru permulaan.Usaha Duta dan Raka ternyata jauh dari yang mereka harapkan. Bukannya terbebas dari penyelidikan, mereka justru semakin dipantau. Saban hari, yang mereka hadapi adalah laporan pertanggung jawaban. Tidak tanggung-tanggung, Adriel memintanya sejak awal mereka menjabat."Kamu gak bisa membujuk Sandra agar suaminya mengam
Larangan yang lolos dari bibir Sandra tak berarti apa-apa bagi Adriel. Dia justru semakin tertantang untuk menyelesaikannya. Bahkan Sandra tak mampu memberontak saat dirinya dibawa ke sofa. Dengan mudah Sandra terbaring di atas sofa empuk itu.Tak mau kehilangan kesempatan, Adriel kembali mengunci Sandra, bahkan untuk bangun pun sudah tak bisa. Degub jantungnya semakin kuat, melemahkan dirinya. Matanya lurus menatap laki-laki yang berada di atasnya itu. Sungguh, hatinya ingin memberontak, tapi tidak dengan tubuhnya.Adriel kembali melakukan serangan pada wanita yang sudah dinikahinya itu. Impuls yang diterima Sandra semakin kuat akibat usaha Adriel yang semakin gencar. Tak ada yang bisa menahan, mereka lupa pada perjanjian untuk tidak saling merasa memiliki. Tapi, Adriel benar-benar ingin memiliki gadisnya itu."Adriel, jangan!" Akal sehat Sandra masih tersisa.Adriel menatap gadis di bawahnya itu dengan mata sayu. Entah mengapa, wajah polos dan memelas Sandra megingatka
Denis tersenyum puas ketika membuka pintu apartemennya dan melihat siapa yang datang. Tepat seperti yang diinginkannya, hanya butuh waktu satu jam bagi Alena untuk sampai. Sejak pernikahan Adriel, Alena sangat kalut. Berhari-hari mengurung diri di kamar. Namun, panggilan Denis tak mampu ditolaknya."Ada apa?" tanyanya dengan nada ketus melewati Denis dan menjatuhkan diri di sofa."Kangen," tukas Denis, menghampiri wanita yang lebih dulu dipacarinya itu daripada Adriel.Alena menatap tajam pada laki-laki di sampingnya itu. Dia tidak menyangka, hubungannya dengan Adriel akhirnya diketahui oleh Denis. Padahal susah payah dia menyembunyikannya.Sebenarnya Denis sudah curiga semenjak setahun belakangan, sikap Alena berubah dari biasanya. Tidak manja apalagi romantis. Bahkan, hampir tidak pernah lagi meminta Denis untuk membelanjakannya. Beberapa kali juga Alena ingin memutuskan hubungan mereka tanpa alasan yang jelas. Barulah di malam pernikahan sepupunya itu, dia men
Denis memang jarang berbicara empat mata dengan kakeknya. Sejak dia diantar oleh ayahnya, Ray untuk tinggal bersama Dewanda, hanya beberapa kali mereka bercakap berdua. Selebihnya, dia hanya menjalani aktivitas ditemani oleh para pengasuh dan pelayan.Dengan Melati pun tidak. Awalnya, dia mau bermanja-manja dengan istri kakeknya itu. Namun, setelah mengetahui kebenarannya, dia sendiri yang menjauhkan diri.Ray adalah anak tiri Melati. Kenyataan itu baru diketahuinya ketika seorang wanita muda dan seksi datang menemuinya bersama seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Wanita itu mengaku sebagai kekasih gelapnya Dewanda.Betapa terpukulnya Melati saat itu. Laki-laki yang begitu dicintai dan dipercayainya, tega mengkhianati. Sulit baginya untuk menerima kenyataan. Begitu juga dengan Dewanda, tidak mudah baginya untuk mendapatkan maaf dan kepercayaan dari sang istri lagi. Saat itu adalah masa-masa terberat dalam rumah tangga dan cinta mereka.Keadaan mulai membaik setelah
Adriel datang ke kantor tempat Sandra bekerja. Kesibukan di perusahaan kakeknya, membuat dia sedikit melupakan perusahaan yang baru dibeli karena Sandra itu. Pagi itu, keadaan kantor sedikit lebih tegang dari hari-hari saat dia tidak masuk.Arman dan Sandra segera menghadap ke ruangannya untuk memberikan laporan masing-masing. Sekalipun Arman bukan lagi pimpinan, dia masih dipercaya untuk mengatur jalannya perusahaan. Apalagi, Alfaro harus memegang tiga perusahaan sekaligus saat. Perusahaan yang telah dirintisnya sendiri juga tidak boleh diabaikannya begitu saja, meski Dewanda akan menyerahkan perusahaan ke tangannya."Pencapaian masih jauh dari target, padahal ini sudah hampir akhir bulan," ujar Adriel sambil memeriksa laporan dari Arman."Benar, Pak. Saya janji akan meningkatkan kinerja team marketing setelah ini." Arman tidak dapat menyembunyikan kegentarannya di hadapan bos yang jauh lebih muda darinnya."Saya rasa perusahaan ini butuh seseorang yang khusus mengurus
"Please, maafkan aku! Aku janji akan menikah dengan kamu." Alena menegakkan tubuhnya kembali, dia tampak putus asa."Aku sudah menikah," tukas Adriel. Dia bangkit berdiri, menjauh dari Alena."Aku gak percaya kamu mencintainya." Alena menyusul dari belakang, mendekatinya."Aku gak butuh kepercayaan darimu." Adriel membalikkan badan agar pernyataannya terdengar jelas, tapi Alena sudah berada di belakangnya."Aku bisa rasakan hatimu untuk siapa." Kedua tangan Alena telah melingkar dengan bebas di leher Adriel. Tatapan mereka beradu.Melihat tidak ada penolakan, Alena memainkan jemarinya di pipi Adriel. Berkali-kali dia memanggil dengan sebutan sayang, Adriel hanya memalingkan wajah, tapi tidak beranjak. Dibiarkannya wanita itu bergelayut manja.Seketika itu juga Sandra masuk tiba-tiba. Adriel mendorong tubuh Alena hingga tangannya terlepas dari leher sang mantan kekasih. Padahal, dia tahu tidak perlu melakukan hal itu.***Alena keluar dari ruan
Adriel menatap mereka berdua secara bergantian. Mereka seperti enggan untuk menceritakannya. Dia menyorot linangan air di lensa mata Maria. Napas Sandra pun terlihat tidak normal, seperti tertahan-tahan."Adriana telah meninggal setelah sepuluh tahun menjadi bagian keluarga kami." Ada getaran dalam kalimat Maria. Linangan air itu memenuhi rongga matanya dan hendak meluap."Kami mengadopsinya dari panti asuhan Belaian Kasih. Dia adalah korban kecelakaan dan kedua orang tuanya meninggal. Beruntung dia selamat." Sebuah senyuman pahit terbit di wajahnya yang penuh guratan menua."Namun, tak seperti yang diharapkan. Kecelakaan itu menyisakan penderitaan baginya. Beberapa kali dia mengalami kejang dan kesakitan. Kondisi panti saat itu tidak memungkinkan untuk merawatnya. Entah mengapa juga, hati kami tergerak untuk mengadopsinya." Maria kembali tersenyum pilu mengenang Adriana."Lalu?"Sekuat hati Adriel berusaha bersikap biasa saja, seolah yang mengalami itu bukan adik kan
"Pak Anto," sahut Damar dari dalam. Ia berjalan menghampiri pria itu yang masih berdiri di ambang pintu."Aku ingin menyampaikan sesuatu," ujarnya dengan suara dipelankan, namun dapat terdengar jelas oleh Adriel dan Sandra."Nanti saja kita bicarakan, Pak. Anak dan menantu saya baru saja datang." Damar melirik sebentar ke dalam rumah, sambil tersenyum sungkan pada Adriel. Dia tampak sekali salah tingkah.Anto berusaha menganalisa arti kedipan mata Damar, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan. Sekejap menoleh Adriel yang tengah memandangnya penuh selidik.Adriel ingat betul wajah laki-laki yang menemukannya bersama Adriana di tengah hutan dekat tepi jurang saat itu. Dia tak sanggup lagi menangis karena harus menenangkan adiknya yang terisak meraung-raung. Hanya saja air matanya turun bagai aliran air dari mata air."Anto," sebutnya dalam hati.Baru kali ini dia mengetahui nama pria itu. Setelah menemukan mereka, Anto membawanya ke panti asuhan, bertemu deng
Matahari belum terlalu tinggi saat mereka sampai di desa kediaman orang tua Sandra. Adriel memilih berjalan pagi sekali agar bisa santai, mengingat kondisi Sandra. Beruntung, Sandra sudah melewati masa-masa mualnya sehingga perjalanan dapat ditempuh dengan mulus."Stop, stop." Tiba-tiba Sandra meminta sopir memberhentikan mobil ketika melewati Panti Asuhan Belaian Kasih.Hampir tidak dapat dipercayainya, melihat bangunan tua dan reok itu sudah berubah menjadi bangunan baru dan kokoh. Adriel tahu apa yang membuat istrinya ingin berhenti, tapi dia tak ingin memberi tahunya sekarang. Sandra akan mengetahui saat semuanya sudah jelas.Bukan tanpa alasan Adriel mau menemani Sandra menemui orang tuanya. Sejak mengetahui bahwa Damar dan Maria yang mengadopsi Adriana, dia berusaha mencari waktu untuk membicarakannya."Aku sudah terlalu lama tidak ke sini. Tapi, siapa yang melakukannya?" oceh Sandra sendiri entah pada siapa dia bicara. Tapi, dia yakin kedua orang di dekatnya, mend
Bi Tuti mengingat-ingat, matanya berotasi seperti anak sekolah yang sedang berkutat dengan hafalannya. Kemudian dia menggeleng perlahan."Pernah, sih." Wajahnya mendadak masam.Seperti yang ditakutinya, seketika itu juga hati Sandra mencelos. Baru saja ia merasakan manis perhatian Adriel ditambah bumbu godaan dari Bi Tuti, kini dia kembali dibawa ke alam sadar. Sandra harus sadar diri bahwa pernikahannya dengan Adriel hanya sebatas sebuah perjanjian sementara. Semua yang dilakukan suaminya adalah untuk mencapai tujuannya."Tapi, Nyonya ...." Bi Tuti buru-buru memperbaiki informasi yang diberikannya setelah melihat ekspresi Sandra."Bukan Tuan yang membawanya, dia yang datang sendiri," lanjutnya lagi."Siapa? Alena?" tebak Sandra yakin dengan mata tajam menyorot kepolosan seorang Tuti."Nyonya kenal? Pasti sedih sekali jika mengetahui mantan suami." Bi Tuti berlagak sedih seolah pernah merasakannya juga.Sandra hanya menarik kedua sudut bibirnya untuk memaksakan
Sandra terlena, pertahanannya kacau oleh sihir Adriel. Dia tak mampu menahan ketika bibir Adriel bekerja nakal. Pagutan laki-laki itu tak terbantahkan.Mereka masih berada di depan pintu kamar. Adriel tidak perlu takut ketahuan oleh siapapun di dalam rumah, ini adalah rumahnya. Dia juga tak perlu takut dimarahi karena Sandra adalah istrinya.Sandra merasakan dirinya semakin lemah. Bukan, hatinya yang lemah. Lidah Adriel telah menerobos masuk, mencari pasangannya. Organ tak bertulang itu begitu liar, memberi sensasi lain yang belum pernah dirasakan oleh Sandra.Ya, ini adalah kali pertamanya meski sebelumnya mereka pernah menyatu. Tidak seperti waktu lalu, Adriel tanpa permisi langsung pada intinya. Menerobos masuk tanpa pembukan, sangat menyakiti. Kali ini, Adriel meminta dengan penuh kelembutan.Dengan mudah, tanpa melepas pelukan dan pagutan, Adriel berhasil membawa Sandra masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup dengan pelan, sepelan langkah mereka menuju ranjang lu
Adriel mendongak sebentar, lalu kembali menatap meja. Wajahnya datar, tak ada ekspresi kaget kedatangan mantan kekasih.Ya, mantan. Sejak dia melihat langsung, kekasihnya itu berada dalam kamar bersama Denis, dia sudah tak menganggapnya kekasih lagi. Rasa yang selalu bergejolak setiap kali bertemu Alena, mendadak sirna, bagaikan goresan pasir terhapus ombak."Aku gak masalah, kamu kembali padanya untuk sementara waktu. Semua demi masa depan kita, kan? Tapi, gak gini juga, Sayang. Masa kamu mau makan di tempat seperti ini." Suara Alena terlalu nyaring, tak menyadari sepasang telinga milik penjual nasi goreng itu ikut mendengarnya. Wajahnya mengguratkan ketidaksenangan atas ucapan Alena."Kalau sudah selesai makan, kita langsung balik, ya," pinta Adriel pada Sandra. Wajahnya yang tenang berubah kusam.Alih-alih menjawab dan menanggapi Alena, dia malah menarik tangan Sandra yang tidak jadi menghabiskan nasi gorengnya. Seleranya menguap akibat kedatangan Alena.Sandra men
Sandra memaksa matanya untuk terbuka meski terasa sangat berat. Hampir pagi baru dia berhasil terlelap setelah lelah dengan segala pikirannya.Dia merasa ada aktivitas di dalam kamar. Terbiasa sendiri di dalam kamar, membuat dia merasa risih jika ada orang lain.Adriel sudah berpakaian lengkap, bersiap ke kantor. Tidak dapat dipungkirinya, laki-laki itu sangat tampan dan mampu mendominasi hati setiap wanita yang berada di dekatnya. Seperti Sandra saat ini yang berada sekamar dengannya.Aroma parumnya menyeruak di hidung Sandra. Wangi, tapi entah mengapa Sandra merasa mual. Dia langsung menutup mulutnya."Mual lagi?" Adriel menghampirinya.Sandra menahan dengan telapak tangannya, memberi isyarat agar Adriel menjauh. Kedua alis laki-laki itu terangkat, membentuk beberapa lipatan vertikal di dahinya."Aroma parfummu," ucap Sandra dengan mulut tertutup.Adriel mencium kedua pundaknya sendiri bergantian, memastikan aromanya yang sebenarnya sangat wangi."Ada beber
Sandra sudah berada di dalam mobil bersama Adriel. Membahas mengenai hubungan mereka akan semakin membuatnya lelah hati. Akhirnya, dia memilih untuk diam dan menunggu apapun keputusan laki-laki yang sedang sibuk dengan kemudi di sampingnya.Mereka sampai di rumah Adriel. Ibu Tuti sudah menunggu, berlari mendapati Sandra untuk membantunya turun dari mobil."Dokternya sudah dihubungi?" tanya Adriel pada wanita paruh baya itu."Sudah, Tuan. Sebentar lagi dia akan sampai," jawab Tuti punuh hormat.Tidak lama kemudian, dokter yang dimaksud juga datang. Sandra sudah dibawa ke kamar Adriel."Kenapa di sini?" tanya Sandra pada Bi Tuti."Tuan yang menyuruh, Nyonya."Sandra mengernyitkan dahinya, tidak mengerti pada perubahan sikap Adriel. Bukankah dia berencana akan menceraikannya, lalu mengapa harus berlaku seperti ini."Apa jangan-jangan dia mengubah keputusannya kembali? Dasar plin plan. Dia mau aku melahirkan anak ini untuknya. Cuih, dasar laki-laki egois." Sandra
Bu Ani sedang tidak dalam keadaan sehat. Sejak pertemuannya dengan Dewanda dan Melati, kondisinya menurun. Beruntung tidak sampai dirawat kembali, cukup istirahat di rumah.Saat Adriel ke rumahnya, menantunya yang selalu ada mendampingi, memperingatkan. Adriel berjanji hanya membicarakan soal panti asuhan agar mendapatkan izin.Benar saja, saat Ani keluar dari kamarnya, Adriel dapat melihat kelelahan di wajahnya. Tapi, dia tampak sedikit bersemangat ketika mendengar siapa yang datang."Apa Ibu kuat?" tanya Adriel tulus karena melihat kondisinya."Tidak apa-apa, saya hanya kecapean. Namanya juga sudah tua." Ani memaksa senyum di wajah keriputnya."Saya hanya memberitahu bahwa saya sudah selesai dengan data-data itu. Ternyata tidak semudah itu menemukan mereka kembali." Adriel tampak murung dengan kalimat terakhirnya."Maaf telah merepotkan," sesal Ani."Tidak apa." Adriel meresponnya dengan senyuman."O ya, ada yang ingin saya tanyakan perihal Sandra." Adriel