Mereka sampai di sebuah butik khusus pakaian pengantin. Dapat dilihat dari gaun dan setelan jas yang dipajang di balik kaca. Kalau bukan menjaga harga diri di hadapan Adriel, Sandra sudah berdecak kagum melihat gaun-gaun super mewah dan cantik itu. Itu adalah mimpinya setiap kali dia dihina atas kesendiriannya, setiap kali Maya pamer tentang rencana pernikahannya. Sandra ingin sekali bisa berdiri di hadapan mereka dengan menggunakan gaun itu.
"Masuk," suruh Adriel karena Sandra yang terpana melihat gaun yang di pajang di etalase paling depan. Sandra segera sadar dan mengikuti Adriel ke dalam.
"Hai, sepertinya aku akan mendengar kabar baik, nih," sapa seorang wanita dengn akrabnya pada Adriel.
"Aku mau cari pakaian pengantin," balas Adriel, tetap saja dingin, meski wanita di hadapannya sudah tersenyum selebar mungkin.
"Nah, benar dugaanku, kan? Tapi, kok sendiri aja?" Wanita itu melihat di sekitar Adriel, seolah tidak melihat Sandra yang berdiri canggung di sebelah Adriel.
"Ini." Adriel menunjuk Sandra.
Wanita itu mengerutkan dahinya, namun kemudian kembali tersenyum ramah. "Halo, ini siapa?" Tatapan wanita itu pada Adriel mengandung tanda tanya besar.
"Lolita." Dia mengukurkan tangan pada Sandra.
"Sandra." Gadis itu berusaha untuk tenang dan bersikap biasa.
"Alena?" Wanita itu mendesak Adriel yang hanya diam dengan matanya.
"Ini calon istriku." Setelah diam sejenak, Adriek akhirnya bersuara. Namun, pengakuannya membuat Lolita sedikit shock.
"Kamu gak sedang bercanda, kan?" Matanya kembali meminta Adriel untuk meyakinkannya.
"Ngapain aku harus bercanda soal beginian. Kamu tahu, aku tidak punya selera humor yang baik." Adriel pergi melangkah melihat-lihat apa yang ada di butik itu. Dia sengaja melakukannya untuk menghindari pertanyaan berikutnya dari Lolita.
"Tapi ...." Sebenarnya Lolita masih ingin mempertanyakannya pada Adriel, namun setelah melihat Sandra dia mengurungkan niatnya. Dia sadar bahwa di hadapannya itu juga adalah pelanggannya.
"Sudah punya pilihan? Atau mau aku pilihkan yang cantik untukmu?" Lolita harus bersikap profesional, meski dia yang adalah sahabat Alena belum siap menerima keputusan Adriel.
"Coba lihat yang di sana." Adriel menunjuk salah satu gaun yang terpajang.
"OK, baik." Lolita menyuruh salah seorang karyawannya untuk menyiapkan gaun yang dimaksud.
"Mari kita coba." Lolita mengajak Sandra ke dalam ruang ganti. Gaun itu sudah disiapkan di dalam kamarnya.
"Kalian sudah lama kenal?" tanya Lolita pada Sandra saat mereka sudah berada di dalam ruang ganti.
"Baru," jawab Sandra pelan.
"Langsung menikah?" Lolita tidak bisa menahan suaranya, membuat Sandra merasa kurang nyaman.
"Maaf, maksud saya apa gak pacaran dulu?" Dia memperbaiki nada bicaranya, berharap Sandra kembali nyaman seperti sebelumnya.
"Itulah jodoh, tidak ada yang tahu siapa dan kapan," jawab Sandra mantap, membuat Lolita segan untuk melanjutkan keingintahuannya.
Sandra telah selesai mengganti pakaiannya. Lolita tidak bisa menampik, gadis di hadapannya itu memang cantik dengan gaun itu, meski tanpa make over. Sandra juga sangat terpukau dengan tampilannya sendiri di kaca.
"Alena, kamu sudah datang?" Sandra dan Lolita keluar hendak menjumpai Adriel. Ternyata Alena sudah datang dan sedang bercakap-cakap dengan Adriel.
"Lagi ada kostumer, ya?" Alena berbasa-basi, padahal dia tahu. Hanya saja dia menyembunyikan rasa kagetnya ketika melihat Sandra sudah mengenakan gaun pengantin. Dia mengumpat dalam hati karena Sandra mengenakan gaun impiannya.
"Iya, nih." Lolita memainkan matanya pada Alena.
Dia sendiri yang memberitahu Alena lewat pesan chat tentang kehadiran Adriel. Awalnya Alena tidak percaya saat Lolita memberitahu soal wanita yang datang bersama Adriel. Ternyata sahabatnya itu tidak sedang bercanda, laki-laki yang seharusnya menikah dengannya, kini sedang bersama perempuan lain.
"Aku gak yakin kamu sungguh-sungguh akan menikah." Alena menatap Adriel dengan genit, dia bahkan mendekatkan wajahnya untuk melihat ekspresi Adriel.
"Undangan akan segera sampai padamu," jawab Adriel datar.
"Pilihan gaunnya boleh juga." Alena menatap Sandra dari atas hingga ke kaki, perlahan dia berjalan mendekati gadis itu.
Gaun itu pernah diminta Alena pada Adriel jika mereka akan menikah nanti. Itu pula alasan Adriel untuk memilihkannya untuk Sandra. Bukan untuk mengingat Alena, melainkan untuk menunjukkan pada Alena bahwa ada wanita lain yang dengan mudah menggantikannya.
"Dia sangat cantik dengan gaun itu, bukan." Ucapan Adriel terkesan disengaja untuk pamer pada Alena. Sandra pun merasakan ucapan itu tidak tulus dari Adriel.
"Ya ya." Alena pun menjawab dengan tidak tulus. Bagaimana mungkin dia mengakui wanita yang menggantikan posisinya lebih cantik dari dirinya.
"Tapi, aku yakin dia akan lebih cantik dengan gaun itu." Adriel menunjuj gaun di etalase depan yang dilihat Sandra saat pertama kali masuk.
"Kamu suka yang ini, kan Sayang?" Tatapan lembut Adriel membuat Sandra hampir tidak percaya, sebelum akhirnya dia sadar bahwa itu hanya sebuah sandiwara.
Sandra hanya mengangguk sambil tersenyum. Ada tanda tanya di benaknya, tentang siapa wanita yang tengah bercakap dengan mereka. Yang jelas wanita itu bukan kenalan biasa, Sandra dapat merasakannya dari cara wanita itu menatap Adriel.
Sandra membalas keromantisan yang dibuat-buat oleh Adriel. Dia mencium ada unsur kesengajaan yang dilakukan di hadapan perempuan itu. Sandra mulai menebak-nebak dalam pikirannya.
Setelah disetujui oleh Sandra, Lolita kembali membawanya ke ruang ganti. Gaun yang diminta oleh Adriel dibawa serta. Demikian juga dengan Alena yang mengikuti mereka.
Tiba-tiba Sandra merasa tidak nyaman berada di antara kedua wanita itu. Tatapan mereka mencurigakan, membuat Sandra mendadak harus waspada. Terlebih lagi saat dia memergoki keduanya saling bertatapan.
"Kamu kerja di mana?" Alena mencoba mengakrbakan diri dengan Sandra meski jauh dari kata akrab.
"Di sebuah perusahaan swasta." Sandra tersenyum ramah padanya untuk menutupi ketidaknyamanannya.
"Sebagai apa? Owner? Manager?" Alena terkesan sedang mewawancarai Sandra.
"Aku hanya karyawan biasa."
"Oo." Alena membulatkan mulutnya dengan mata bergulir ke kiri dan ke kanan.
"Silakan ganti gaunnya." Lolita telah mempersiapkan gaun baru itu di kamar ganti. Sandra bernapas lega, akhirnya punya alasan untuk menghindari Alena dan pertanyaan-pertanyaannya.
Selesai mengenakan gaun yang baru, Sandra keluar mendapati kedua sahabat itu. Sejenak mereka terpaku, melihat penampilan Sandra yang di luar dugaan. Deru di dada Alena semakin kencang, napasnya tercekat.
"Ayo keluar!" ajak Lolita kemudian.
Alena mempersilakan Sandra berjalan lebih dulu. Dia menarik tangan Lolita yang sempat ingin keluar. Dengan pelan, Sandra menyeret gaun yang cukup berat dan panjang itu. Kegeraman Alena semakin menjadi ketika melihat mata Adriel tertuju pada wanita di depannya, bukan dia.
"Aw!" Sandra hampir tersungkur, kain yang terurai di belakang tertahan, lebih tepatnya ada yang menahan. Suara sobekan kain membuatnya menoleh ke belakang.
Melihat kejadian itu, Adriel yang masih berjarak dengan mereka, datang mendekati. Matanya langsung tertuju pada gaun yang sobek dan kaki Alena yang berada di atas ujung kain tersebut.
"Maaf, aku gak sengaja." Permintaan maaf Alena justru terbaca seperti sebuah ejekan oleh Adriel. Dia sudah mengenal watak wanita itu.
"Aku cuma punya waktu satu minggu untuk menunggu gaun baru yang seperti ini. Jika tidak, aku terpaksa pindah ke butik lain. Dua minggu lagi, kami akan menikah." Adriel menatap Lolita, tapi sudut matanya terarah pada Alena.
"Kamu sengaja melakukan ini untuk membalasku, kan?" Alena menarik tangan Adriel untuk menghadap padanya. Dia sudah tidak bisa lagi menahan diri.
"Aku akan menikah dengan wanita yang siap tanpa ada satu pun alasan." Adriel menatapnya dengan tajam, seolah mata mereka sedang berbicara.
"Katakan kamu akan membatalkannya. Aku akan menikah denganmu. Aku tahu, kamu masih mencintaiku." Alena merengek sambil menggoncang tubuh Adriel.
Dari jarak yang cukup dekat, Sandra memperhatikan drama itu. Dia sudah mulai mengenal cerita dan konfliknya.
"Kamu akan menikah denganku?" Adriel menunduk mendekatkan wajahnya pada Alena. Pemandangan itu justru membuat jantung Sandra berdetak tak beraturan.
"Ya, batalkan pernikahanmu dengan dia. Aku akan menikah denganmu," jawab Alena mantap.
Adriel terdiam sejenak, lalu kepalanya menoleh pada Sandra. Tatapan mereka bertemu.
"Aku akan tetap menikah dengannya." Adriel menjawab dengan pandangan lurus pada Sandra. Ada sesuatu yang membesar di ruang dada gadis itu akibat pernyataan Adriel. Sesuatu yang memang diharapkannya."Kamu sedang bercanda, kan Sayang." Pandangan Sandra beralih pada Alena ketika wanita itu menyebut Adriel demikian."Aku serius." Adriel sama sekali tidak menoleh pada wanita itu."Sayang, aku tahu kamu kecewa sekali padaku malam itu. Sekarang aku menyesal, aku berubah pikiran. Aku mohon, kamu harus mengubah keputusan konyol ini." Alena memelas pada Adriel. Dibiarkannya air matanya membanjiri pipi agar terlihat oleh Adriel."Ganti pakaianmu! Kita pergi dari sini." Adriel sama sekali tidak menggubris Alena.Sandra bergegas kembali ke kamar ganti, kali ini tidak ditemani oleh siapapun. Lolita lebih memilih untuk menenangkan sahabatnya yang terus memohon pada Adriel. Alena terlihat seperti pengemis cinta.Selesai mengenakan kembali pakaiannya, Sandra sege
Adriel mengutus orang untuk menjemput Darma dan Maria. Dia berencana akan memperkenalkan diri ke keluarga besar Maria di kediaman Sartika. Pernikahannya dengan Sandra akan berlangsung tiga hari lagi.Nanti malam kita ke rumah nenekmu.Begitu pesan yang ditulis Adriel untuk Sandra. Sandra juga sudah mengetahui perihal kedua orang tua dan adik perempuannya datang ke kota. Sore sepulang kantor, dia bergegas untuk sampai lebih awal agar bisa membereskan kamar kos yang sudah berantakan. Sudah bisa dibayangkan bagaimana omelan mamanya jika melihat penampakan seperti itu.Baru saja Sandra menarik napas lega setelah selesai membersihkan kamarnya, sebuah mobil hitam berhenti di depan kosannya. Seorang laki-laki yang diketahuinya orangnya Adriel keluar dari mobil untuk membukakan pintu di sebelah kemudi, lanjut pintu di belakang. Papa dan mama beserta adiknya keluar dari mobil.Ada rasa senang bisa melihat mereka kembali. Sandra memang jarang pulang ke rumah oran
Penata rias sudah selesai dengan tugasnya. Gaun pengantin yang lebih mewah telah melekat di tubuh Sandra. Dia tengah melihat dirinya di depan cemin besar. Apa yang pernah diimpikannya tercapai. Mengenakan gaun mahal dan tampil cantik di pelaminan di hadapan saudara-saudara ibunya.Sejak putus dengan kekasihnya di kampung, Sandra tidak perrnah lagi punya kekasih. Entah mengapa sulit sekali baginya menemukan laki-laki yang cocok, meski dia sendiri ingin memilikinya. Keadaan itu, ditambah lagi cacian para sepupunya yang mengantarkannya pada pernikahan ini. Meski dia menyadari, tidak akan ditemukannya kebahagiaan dalam kepura-puraan."Nyonya Sandra diminta untuk keluar." Suara seseorang membuyarkan lamunannya. Sandra berbalik badan dan tersenyum tipis pada pelayan itu.Sandra keluar dari kamar rias menemui Adriel dan yang lainnya. Dengan sedikit berpayah, dia menarik gaun yang cukup berat itu. Permata dan berlian yang bertaburan di atasnya menambah kemewahan dan keangg
Pesta telah usai, Sandra dan orang tuanya menginap di hotel tempat acara digelar. Mereka sudah berada di kamar masing-masing. Sementara Adriel masih berada dalam pesta, mengurus tamu-tamu yang tersisa. Terakhir sebelum meninggalkan aula, Sandra masih melihat Alena di sana.Sandra terduduk di pinggir ranjang, matanya menerawang ke langit-langit kamar, memikirkan apa yang baru saja dialaminya. Keputusan besar yang mempengaruhi hidupnya ke depan. Sandra memicingkan mata, meyakinkan diri bahwa semua ini benar untuj saat ini. Semua akan baik-baik saja.Tak ingin berlama-lama dengan gaun pengantin, yang sebenarnya sangat disukainya itu, Sandra langsung membukanya. Dia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Wajahnya sudah terasa sangat berat, menampung bedak yang berlapis-lapis. Sandra sengaja mengguyur tubuhnya agar mendapatkan kesegaran kembali."Aw!" Seseorang masuk ke dalam kamar mandi saat Sandra sedang asik membilas diri dari sabun.Sebelum membela
Tidak ada malam pengantin, tidak ada sapaan mesra di pagi pertama. Sandra terbangun karena suara alarm dari ponselnya. Setelah kejadian semalam, Adriel kembali ke kamar untuk membuat kesepakatan baru dengan Sandra. Mereka sepakat untuk menyembunyikan status pernikahan di kantor tempat Sandra bekerja. Malam itu juga, mereka menghubungi Maya untuk tidak membocorkan pernikahan itu dengan alasan agar Sandra dapat bekerja dengan nyaman.Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Maya, selain berusaha menyenangkan hati bos. Dan hal yang paling mengesalkan buatnya adalah Sandra yang menjadi pendamping sang bos besar. Mau tidak mau, Sandra harus menurut.Sandra setuju dengan keputusan itu agar reputasinya sebagai seorang gadis tetap terjaga. Dia begitu yakin, pernikahan mereka akan segera berakhir dalam waktu yang tidak lama, setelah tujuan keduanya tercapai.Sandra bergegas mandi dan berpakaian agar tidak terlambat ke kantor. Dia tidak akan berangkat bersama Adriel. Seperti
Mereka sampai di sebuah rumah berpagar putih dengan warna cat dinding bagian luar yang senada. Mobil Adriel berhenti tepat di depannya, tapi mereka tidak langsung keluar. Adriel memperhatikan ke dalam pekarangan yang mudah dilihat untuk beberapa saat. Sementara Sandra ikut menoleh dengan ekspresi kebingungannya."Ini rumah siapa?" tanya Sandra memecah keheningan."Kita akan bertemu Bu Ani di sini." Mata Adriel masih terarah ke rumah itu."Maksudmu, Bu Ani tinggal di sini?" tanya Sandra dengan ekspresi kurang yakin."Ya.""Kamu tahu dari mana, bahkan kamu tidak mengenalinya.""Kamu tidak perlu tahu bagaimana caraku mengetahuinya. Ayo keluar!" Adriel langsung membuka pintu mobil dan keluar, diikuti oleh Sandra."Kamu yakin ini rumahnya?" Sandra sudah berdiri di sampingnya. Mereka sibuk memeriksa rumah yang seperti tidak ada penghuni itu."Kamu pikir, anak buahku berani memberikan informasi salah padaku?" Adriel menatap Sandra dengan kesa
Sejak membeli perusahaan tempat Sandra bekerja, Adriel menjadi lebih sibuk. Sebenarnya, Dewanda sudah melarangnya, namun bukan Adriel namanya jika langsung saja menurut. Dia selalu menyiapkan alasan yang kuat di hadapan kakeknya. Dan uniknya, hubungan kakek dan cucu itu, kerap seperti dua orang sahabat yang saling mempertahankan pendapat masing-masing, namun pada akhirnya akan saling mendukung."Aku melakukannya demi Sandra, Kek. Dia seorang wanita pekerja keras." Dengan terpaksa dia memuji Sandra di depan kakeknya."Baiklah, jika menurutmu itu baik. Asal perusahaan yang telah lama kita bangun tidak keteteran." Dewanda memperingati cucunya.***Adriel tidak masuk ke kantor tempat Sandra bekerja. Memang biasanya dia hanya singgah sebentar dan memantau Sandra sambil mengangkat martabatnya di depan Arman dan Maya. Adriel masih mempercayakan jalannya perusahaan pada Arman, tapi tetap dalam kontrolnya.Adriel datang ke kantor yang masih dipimpin oleh Dewanda
"Halo, Sandra, kamu apa kabar?"Terdengar suara Dewi, kakak tertua mamanya. Sandra mengerutkan dahi, tiba-tiba menerima panggilan dari wanita. Ini adalah kali pertama."Baik, Tan," jawab Sandra sedikit gugup karena tidak yakin bahwa yang sedang meneleponnya adalah Dewi."Kamu sehat?" Suara Dewi terdengar lembut, tidak seperti biasanya yang selalu ketus setiap kali berbicara dengan Sandra."Sehat, Tan. Tante gimana?" tanya Sandra berbasa-basi."Sehat sih, Sayang, tapi ada sedikit masalah." Suaranya memberat seperti sedang merengek."Masalah apa, Tan?" Jiwa kepedulian Sandra memang tak bisa dibendung saat ada orang yang sedang bersedih."Susah Tante ceritakan di telepon. Tante main ke rumah, ya?" Suara itu kembali bersemangat."Apa, Tan? Ng-""Boleh, ya?" desak Dewi cepat tanpa menunggu Sandra menyelesaikan kalimatnya."Aku tanya suamiku dulu, ya Tan." Sandra menggigit bibirnya, bingung harus menolak bagaimana. Dia
Adriel menatap mereka berdua secara bergantian. Mereka seperti enggan untuk menceritakannya. Dia menyorot linangan air di lensa mata Maria. Napas Sandra pun terlihat tidak normal, seperti tertahan-tahan."Adriana telah meninggal setelah sepuluh tahun menjadi bagian keluarga kami." Ada getaran dalam kalimat Maria. Linangan air itu memenuhi rongga matanya dan hendak meluap."Kami mengadopsinya dari panti asuhan Belaian Kasih. Dia adalah korban kecelakaan dan kedua orang tuanya meninggal. Beruntung dia selamat." Sebuah senyuman pahit terbit di wajahnya yang penuh guratan menua."Namun, tak seperti yang diharapkan. Kecelakaan itu menyisakan penderitaan baginya. Beberapa kali dia mengalami kejang dan kesakitan. Kondisi panti saat itu tidak memungkinkan untuk merawatnya. Entah mengapa juga, hati kami tergerak untuk mengadopsinya." Maria kembali tersenyum pilu mengenang Adriana."Lalu?"Sekuat hati Adriel berusaha bersikap biasa saja, seolah yang mengalami itu bukan adik kan
"Pak Anto," sahut Damar dari dalam. Ia berjalan menghampiri pria itu yang masih berdiri di ambang pintu."Aku ingin menyampaikan sesuatu," ujarnya dengan suara dipelankan, namun dapat terdengar jelas oleh Adriel dan Sandra."Nanti saja kita bicarakan, Pak. Anak dan menantu saya baru saja datang." Damar melirik sebentar ke dalam rumah, sambil tersenyum sungkan pada Adriel. Dia tampak sekali salah tingkah.Anto berusaha menganalisa arti kedipan mata Damar, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan. Sekejap menoleh Adriel yang tengah memandangnya penuh selidik.Adriel ingat betul wajah laki-laki yang menemukannya bersama Adriana di tengah hutan dekat tepi jurang saat itu. Dia tak sanggup lagi menangis karena harus menenangkan adiknya yang terisak meraung-raung. Hanya saja air matanya turun bagai aliran air dari mata air."Anto," sebutnya dalam hati.Baru kali ini dia mengetahui nama pria itu. Setelah menemukan mereka, Anto membawanya ke panti asuhan, bertemu deng
Matahari belum terlalu tinggi saat mereka sampai di desa kediaman orang tua Sandra. Adriel memilih berjalan pagi sekali agar bisa santai, mengingat kondisi Sandra. Beruntung, Sandra sudah melewati masa-masa mualnya sehingga perjalanan dapat ditempuh dengan mulus."Stop, stop." Tiba-tiba Sandra meminta sopir memberhentikan mobil ketika melewati Panti Asuhan Belaian Kasih.Hampir tidak dapat dipercayainya, melihat bangunan tua dan reok itu sudah berubah menjadi bangunan baru dan kokoh. Adriel tahu apa yang membuat istrinya ingin berhenti, tapi dia tak ingin memberi tahunya sekarang. Sandra akan mengetahui saat semuanya sudah jelas.Bukan tanpa alasan Adriel mau menemani Sandra menemui orang tuanya. Sejak mengetahui bahwa Damar dan Maria yang mengadopsi Adriana, dia berusaha mencari waktu untuk membicarakannya."Aku sudah terlalu lama tidak ke sini. Tapi, siapa yang melakukannya?" oceh Sandra sendiri entah pada siapa dia bicara. Tapi, dia yakin kedua orang di dekatnya, mend
Bi Tuti mengingat-ingat, matanya berotasi seperti anak sekolah yang sedang berkutat dengan hafalannya. Kemudian dia menggeleng perlahan."Pernah, sih." Wajahnya mendadak masam.Seperti yang ditakutinya, seketika itu juga hati Sandra mencelos. Baru saja ia merasakan manis perhatian Adriel ditambah bumbu godaan dari Bi Tuti, kini dia kembali dibawa ke alam sadar. Sandra harus sadar diri bahwa pernikahannya dengan Adriel hanya sebatas sebuah perjanjian sementara. Semua yang dilakukan suaminya adalah untuk mencapai tujuannya."Tapi, Nyonya ...." Bi Tuti buru-buru memperbaiki informasi yang diberikannya setelah melihat ekspresi Sandra."Bukan Tuan yang membawanya, dia yang datang sendiri," lanjutnya lagi."Siapa? Alena?" tebak Sandra yakin dengan mata tajam menyorot kepolosan seorang Tuti."Nyonya kenal? Pasti sedih sekali jika mengetahui mantan suami." Bi Tuti berlagak sedih seolah pernah merasakannya juga.Sandra hanya menarik kedua sudut bibirnya untuk memaksakan
Sandra terlena, pertahanannya kacau oleh sihir Adriel. Dia tak mampu menahan ketika bibir Adriel bekerja nakal. Pagutan laki-laki itu tak terbantahkan.Mereka masih berada di depan pintu kamar. Adriel tidak perlu takut ketahuan oleh siapapun di dalam rumah, ini adalah rumahnya. Dia juga tak perlu takut dimarahi karena Sandra adalah istrinya.Sandra merasakan dirinya semakin lemah. Bukan, hatinya yang lemah. Lidah Adriel telah menerobos masuk, mencari pasangannya. Organ tak bertulang itu begitu liar, memberi sensasi lain yang belum pernah dirasakan oleh Sandra.Ya, ini adalah kali pertamanya meski sebelumnya mereka pernah menyatu. Tidak seperti waktu lalu, Adriel tanpa permisi langsung pada intinya. Menerobos masuk tanpa pembukan, sangat menyakiti. Kali ini, Adriel meminta dengan penuh kelembutan.Dengan mudah, tanpa melepas pelukan dan pagutan, Adriel berhasil membawa Sandra masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup dengan pelan, sepelan langkah mereka menuju ranjang lu
Adriel mendongak sebentar, lalu kembali menatap meja. Wajahnya datar, tak ada ekspresi kaget kedatangan mantan kekasih.Ya, mantan. Sejak dia melihat langsung, kekasihnya itu berada dalam kamar bersama Denis, dia sudah tak menganggapnya kekasih lagi. Rasa yang selalu bergejolak setiap kali bertemu Alena, mendadak sirna, bagaikan goresan pasir terhapus ombak."Aku gak masalah, kamu kembali padanya untuk sementara waktu. Semua demi masa depan kita, kan? Tapi, gak gini juga, Sayang. Masa kamu mau makan di tempat seperti ini." Suara Alena terlalu nyaring, tak menyadari sepasang telinga milik penjual nasi goreng itu ikut mendengarnya. Wajahnya mengguratkan ketidaksenangan atas ucapan Alena."Kalau sudah selesai makan, kita langsung balik, ya," pinta Adriel pada Sandra. Wajahnya yang tenang berubah kusam.Alih-alih menjawab dan menanggapi Alena, dia malah menarik tangan Sandra yang tidak jadi menghabiskan nasi gorengnya. Seleranya menguap akibat kedatangan Alena.Sandra men
Sandra memaksa matanya untuk terbuka meski terasa sangat berat. Hampir pagi baru dia berhasil terlelap setelah lelah dengan segala pikirannya.Dia merasa ada aktivitas di dalam kamar. Terbiasa sendiri di dalam kamar, membuat dia merasa risih jika ada orang lain.Adriel sudah berpakaian lengkap, bersiap ke kantor. Tidak dapat dipungkirinya, laki-laki itu sangat tampan dan mampu mendominasi hati setiap wanita yang berada di dekatnya. Seperti Sandra saat ini yang berada sekamar dengannya.Aroma parumnya menyeruak di hidung Sandra. Wangi, tapi entah mengapa Sandra merasa mual. Dia langsung menutup mulutnya."Mual lagi?" Adriel menghampirinya.Sandra menahan dengan telapak tangannya, memberi isyarat agar Adriel menjauh. Kedua alis laki-laki itu terangkat, membentuk beberapa lipatan vertikal di dahinya."Aroma parfummu," ucap Sandra dengan mulut tertutup.Adriel mencium kedua pundaknya sendiri bergantian, memastikan aromanya yang sebenarnya sangat wangi."Ada beber
Sandra sudah berada di dalam mobil bersama Adriel. Membahas mengenai hubungan mereka akan semakin membuatnya lelah hati. Akhirnya, dia memilih untuk diam dan menunggu apapun keputusan laki-laki yang sedang sibuk dengan kemudi di sampingnya.Mereka sampai di rumah Adriel. Ibu Tuti sudah menunggu, berlari mendapati Sandra untuk membantunya turun dari mobil."Dokternya sudah dihubungi?" tanya Adriel pada wanita paruh baya itu."Sudah, Tuan. Sebentar lagi dia akan sampai," jawab Tuti punuh hormat.Tidak lama kemudian, dokter yang dimaksud juga datang. Sandra sudah dibawa ke kamar Adriel."Kenapa di sini?" tanya Sandra pada Bi Tuti."Tuan yang menyuruh, Nyonya."Sandra mengernyitkan dahinya, tidak mengerti pada perubahan sikap Adriel. Bukankah dia berencana akan menceraikannya, lalu mengapa harus berlaku seperti ini."Apa jangan-jangan dia mengubah keputusannya kembali? Dasar plin plan. Dia mau aku melahirkan anak ini untuknya. Cuih, dasar laki-laki egois." Sandra
Bu Ani sedang tidak dalam keadaan sehat. Sejak pertemuannya dengan Dewanda dan Melati, kondisinya menurun. Beruntung tidak sampai dirawat kembali, cukup istirahat di rumah.Saat Adriel ke rumahnya, menantunya yang selalu ada mendampingi, memperingatkan. Adriel berjanji hanya membicarakan soal panti asuhan agar mendapatkan izin.Benar saja, saat Ani keluar dari kamarnya, Adriel dapat melihat kelelahan di wajahnya. Tapi, dia tampak sedikit bersemangat ketika mendengar siapa yang datang."Apa Ibu kuat?" tanya Adriel tulus karena melihat kondisinya."Tidak apa-apa, saya hanya kecapean. Namanya juga sudah tua." Ani memaksa senyum di wajah keriputnya."Saya hanya memberitahu bahwa saya sudah selesai dengan data-data itu. Ternyata tidak semudah itu menemukan mereka kembali." Adriel tampak murung dengan kalimat terakhirnya."Maaf telah merepotkan," sesal Ani."Tidak apa." Adriel meresponnya dengan senyuman."O ya, ada yang ingin saya tanyakan perihal Sandra." Adriel