Sandra kembali ke kota bersama Adriel dan kedua kakek, neneknya. Sementara, Damar dan Maria masih tinggal di rumah sakit untuk menunggui ibu Ani. Sebenarnya, banyak pertanyaan di benak Sandra untuk calon suaminya itu. Salah satunya, bagaimana mereka bisa mengenal ibu Ani. Namun, semua itu diurungkannya, takut terlalu dalam masuk ke kehidupan pribadi mereka. Mengingat posisinya hanya sebagai istri pura-pura.
Perjalanan yang ditempuhnya terasa sangat panjang karena keheningan yang mengisi ruang mobil. Hanya Melati yang sekali-sekali bertanya, itu pun dijawabnya dengan singkat. Setiap kali hendak menjawab pertanyaan Melati, Adriel selalu mengontrolnya dari kaca spion. Sandra paham itu adalah sebuah pengendalian agar dia tetap pada rencana kepura-puraan mereka.
Tidak ada kata mesra dari Adriel saat mereka berpisah di kos Sandra, layaknya seorang kekasih. Dia sengaja mengantar Sandra ke depan pagar agar terlihat romantis oleh kakek dan neneknya. Padahal, hanya ada diam di antara mereka.
***
Sandra kembali ke rutinitasnya. Seperti kata Adriel, dia hanya menunggu instruksi kapan pesta pernikahan itu akan diselenggarakan. Sebenarnya, dia tidak ingin teman-teman di kantornya mengetahui tentang pernikahan itu. Tapi, tak bisa dielakkan, Maya sepupunya itu, satu kantor dengannya. Sudah menjadi tujuannya untuk mengumbar pernikahan itu pada keluarga besarnya, apalagi Maya. Sandra memijit pelipisnya untuk memikirkan ide lain.
"Hoi, melamun aja. Kerjaan udah selesai, belum?" Mimi menepuk meja kerja Sandra, membuat lamunannya buyar.
"Ngagetin aja! Udah, dong." Sandra langsung cemberut menatap sahabatnya itu.
Sejak pertama bekerja di perusahaan itu, Mimilah yang menjadi tempatnya bertanya dan berkeluh kesah. Padahal, ada Maya yang lebih dulu masuk daripada Sandra. Jangankan membantu, Maya akan selalu tersenyum puas saat Sandra terkena masalah atau dimarahi atasan.
Seperti pagi tadi, saat Sandra baru sampai di kantor. Dia langsung disuruh menghadap bos besar. Pak Arman memarahinya akibat pekerjaan yang terbengkalai saat dia libur beberapa hari yang lalu. Ada surat kontrak dengan relasi belum diselesaikannya, hingga mereka kehilangan kerja sama yang dinanti-nantikan.
"Ini semua gara-gara kamu!" bentak Pak Arman sambil memukul meja. Sandra yang berdiri di hadapannya, sedikit terlonjak terkena sentakan semacam itu.
"Saya minta maaf, Pak. Tapi, saya sudah menyampaikan pesan pada Maya agar menyerahkan surat itu. Saya sudah menyelesaikannya sehari sebelum cuti." Sandra berusaha membela diri.
"Mana? Buktinya surat itu tidak ada dan kita kehilangan rekan kerja sama." Pak Arman mengibas-ngibaskan map yang ada di tangannya.
Sandra ingat betul, sehari sebelum pulang ke tempat orang tuanya, dia sudah menyerahkan surat itu pada Maya lengkap dengan pesan dan keterangannya. Maya dan dia memiliki posisi yang sama sebagai tenaga administrasi yang mengurus surat-surat seperti kontrak dengan klien dan perusahaan lain. Sandra benar-benar kesal atas apa yang sudah dilakukan Maya padanya, tapi apa daya dia tidak dapat membela diri. Maya paling bisa menjilat hingga dia terlihat benar.
***
Sejak keluar dari ruangan Pak Arman, Sandra hanya duduk termenung di hadapan komputernya. Dia teringat ucapan Pak Arman, bahwa perusahaan itu, terpaksa dijual agar tetap berdiri dan mempekerjakan karyawannya. Di balik rasa kesal, ada haru yang timbul karena perjuangan perusahaan untuk mereka.
"Ya, melamun lagi." Mimi kembali menyadarkan Sandra yang balik ke lamunannya.
"Eh, kamu tahu sesuatu tentang perusahaan ini, gak?" Biasanya, Mimi cukup update soal berita seputar perusahaan ataupun orang-orang di dalamnya.
"Memang kamu belum tahu?" Mimi mendekatkan kursinya agar berbicara lebih dekat dengan Sandra.
Sandra menggeleng. "Apa?" Bola matanya yang sipit membesar.
"Kita akan ganti bos." Mimi memelankan suaranya. Mata mereka memeriksa rekan lain yang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Apa benar perusahaan kita dijual pada orang lain?" Sandra ikut memelankan suaranya agar tidak ketahuan mereka sedang bergosip.
Mimi mengangguk pelan. "Kamu tahu dari siapa?"
"Pak Arman, waktu aku dimarahi tadi di ruangannya." Sandra melengkungkan mulutnya ke bawah.
"Seperti apa bos kita yang baru itu, ya?" Mimi menopang dagunya dengan siku bertumpu di meja kerja Sandra. Sandra mengangkat kedua bahunya.
Mereka sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan itu, rasa nyaman sudah mengakar di hati mereka. Sandra ingat betul saat Maya membangga-banggakan dirinya dan perusahaan tempat mereka bekerja saat itu. Sandra yang masih keluar masuk perusahaan selalu diremehkan setiap kali berkunjung ke tempat neneknya. Itulah alasannya masuk ke perusahaan yang bergerak di bidang distrubutor barang-barang retail itu. Rasa bangga menghunjani saat berhasil menyamai posisi Maya. Sejak saat itu, Maya sudah tidak penah lagi bercerita tentang pekerjaannya di hadapan semua keluarga besar.
"Hei, jangan gosip aja. Kerja, kerja!" Salah seorang rekan kerja menegur mereka yang asik berbisik-bisik di meja Sandra.
"Udah selesai, kok," timpal Mimi sambil memancungkan bibirnya.
"Duduk yang rapi, bos baru mau datang." Dia langsung berlalu menuju ke mejanya.
Sandra dan Mimi saling berpandangan, padahal mereka baru saja membicarakannya. Pak Arman baru saja memberitahu, Sandra berpikir tidak mungkin akan secepat itu. Mereka masih sibuk saling pandang dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba pak Arman keluar dari ruangannya. Bersamaan dengan itu, beberapa orang datang dan salah satu di antaranya adalah Adriel.
Hampir saja Sandra lupa untuk mengontrol dirinya. Dia segera menutup mulutnya yang menganga, melihat kedatangan Adriel. Mimi segera menggeser kursinya ke tempat semula. Suara kursi itu menarik perhatian tamu yang datang karena ruangan yang mendadak hening. Sandra melirik Mimi dengan sudut matanya. Namun, Adriel sama sekali tidak melihat ke arahnya.
"Perhatian semuanya!" Arman mulai bersuara, semua mata fokus pada laki-laki paruh baya itu."Mungkin sebagian dari kalian sudah mendengar kabar ini, tentang perusahaan kita yang berpindah kepemilikan. Seperti yang dapat dilihat di hadapan kita saat ini, telah hadir pemilik baru dari perusahaan, Bapak Adriel Jhonatan." Arman mengarahkan tangannya ke arah Adriel.Semua mata serentak bergerak ke arahnya. Hampir wanita yang hadir berbinar memandangnya, tidak terkecuali Maya. Sepupu yang selalu menganggap remeh Sandra itu tanpa sadar menggigit bibirnya."Ganteng banget," bisik Mimi pada Sandra sambil menyenggol lengan sahabatnya itu."Kami seluruh karyawan PT. Domestik Distribution mengucapkan selamat datang kepada Bapak. Kami berharap, kiranya Bapak berkenan pada kami untuk mengabdi di perusahaan ini," sambut Arman pada Adriel. Adriel hanya mengangguk pelan dengan tatapan dinginnya, menyisir semua orang yang berdiri di hadapannya. Sudah dapat dipastikan, Sandra t
Maya menyenggol lengan Sandra sebelum mempercepat langkahnya. Arman yang biasanya garang tidak dapat berkata apa-apa, bahkan untuk membela karyawan kesayangannya, Maya. Tak bisa dipungkiri, Sandra sedikit merasa di atas angin, meski ada kecemasan di hatinya. Bagaimana nasib pekerjaannya setelah ini.Sandra bergegas mengerjakan tugas dari Adriel. Sesuai dengan perintah tambahan dari Arman tadi setelah mereka keluar, Sandra harus segera menyerahkannya ke ruangan Adriel. Dengan sedikit keraguan, gadis itu mengetuk pintu ruangan Adriel kembali dengan surat yang sudah di tangannya."Masuk!" Suara baritonnya terdengar dari dalam.Sandra langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruangannya. Suasana di dalam lebih tegang dibandingkan tadi saat ada Arman. Menghadapi Adriel seorang diri yang menjadi bosnya, membuat jantung Sandra berdegub kencang."Saya mau menyerahkan surat itu," ujar Sandra sambil berjalan mendekati meja Adriel.Adriel mengambil kertas yang dil
Mereka sampai di sebuah butik khusus pakaian pengantin. Dapat dilihat dari gaun dan setelan jas yang dipajang di balik kaca. Kalau bukan menjaga harga diri di hadapan Adriel, Sandra sudah berdecak kagum melihat gaun-gaun super mewah dan cantik itu. Itu adalah mimpinya setiap kali dia dihina atas kesendiriannya, setiap kali Maya pamer tentang rencana pernikahannya. Sandra ingin sekali bisa berdiri di hadapan mereka dengan menggunakan gaun itu."Masuk," suruh Adriel karena Sandra yang terpana melihat gaun yang di pajang di etalase paling depan. Sandra segera sadar dan mengikuti Adriel ke dalam."Hai, sepertinya aku akan mendengar kabar baik, nih," sapa seorang wanita dengn akrabnya pada Adriel."Aku mau cari pakaian pengantin," balas Adriel, tetap saja dingin, meski wanita di hadapannya sudah tersenyum selebar mungkin."Nah, benar dugaanku, kan? Tapi, kok sendiri aja?" Wanita itu melihat di sekitar Adriel, seolah tidak melihat Sandra yang berdiri canggung d
"Aku akan tetap menikah dengannya." Adriel menjawab dengan pandangan lurus pada Sandra. Ada sesuatu yang membesar di ruang dada gadis itu akibat pernyataan Adriel. Sesuatu yang memang diharapkannya."Kamu sedang bercanda, kan Sayang." Pandangan Sandra beralih pada Alena ketika wanita itu menyebut Adriel demikian."Aku serius." Adriel sama sekali tidak menoleh pada wanita itu."Sayang, aku tahu kamu kecewa sekali padaku malam itu. Sekarang aku menyesal, aku berubah pikiran. Aku mohon, kamu harus mengubah keputusan konyol ini." Alena memelas pada Adriel. Dibiarkannya air matanya membanjiri pipi agar terlihat oleh Adriel."Ganti pakaianmu! Kita pergi dari sini." Adriel sama sekali tidak menggubris Alena.Sandra bergegas kembali ke kamar ganti, kali ini tidak ditemani oleh siapapun. Lolita lebih memilih untuk menenangkan sahabatnya yang terus memohon pada Adriel. Alena terlihat seperti pengemis cinta.Selesai mengenakan kembali pakaiannya, Sandra sege
Adriel mengutus orang untuk menjemput Darma dan Maria. Dia berencana akan memperkenalkan diri ke keluarga besar Maria di kediaman Sartika. Pernikahannya dengan Sandra akan berlangsung tiga hari lagi.Nanti malam kita ke rumah nenekmu.Begitu pesan yang ditulis Adriel untuk Sandra. Sandra juga sudah mengetahui perihal kedua orang tua dan adik perempuannya datang ke kota. Sore sepulang kantor, dia bergegas untuk sampai lebih awal agar bisa membereskan kamar kos yang sudah berantakan. Sudah bisa dibayangkan bagaimana omelan mamanya jika melihat penampakan seperti itu.Baru saja Sandra menarik napas lega setelah selesai membersihkan kamarnya, sebuah mobil hitam berhenti di depan kosannya. Seorang laki-laki yang diketahuinya orangnya Adriel keluar dari mobil untuk membukakan pintu di sebelah kemudi, lanjut pintu di belakang. Papa dan mama beserta adiknya keluar dari mobil.Ada rasa senang bisa melihat mereka kembali. Sandra memang jarang pulang ke rumah oran
Penata rias sudah selesai dengan tugasnya. Gaun pengantin yang lebih mewah telah melekat di tubuh Sandra. Dia tengah melihat dirinya di depan cemin besar. Apa yang pernah diimpikannya tercapai. Mengenakan gaun mahal dan tampil cantik di pelaminan di hadapan saudara-saudara ibunya.Sejak putus dengan kekasihnya di kampung, Sandra tidak perrnah lagi punya kekasih. Entah mengapa sulit sekali baginya menemukan laki-laki yang cocok, meski dia sendiri ingin memilikinya. Keadaan itu, ditambah lagi cacian para sepupunya yang mengantarkannya pada pernikahan ini. Meski dia menyadari, tidak akan ditemukannya kebahagiaan dalam kepura-puraan."Nyonya Sandra diminta untuk keluar." Suara seseorang membuyarkan lamunannya. Sandra berbalik badan dan tersenyum tipis pada pelayan itu.Sandra keluar dari kamar rias menemui Adriel dan yang lainnya. Dengan sedikit berpayah, dia menarik gaun yang cukup berat itu. Permata dan berlian yang bertaburan di atasnya menambah kemewahan dan keangg
Pesta telah usai, Sandra dan orang tuanya menginap di hotel tempat acara digelar. Mereka sudah berada di kamar masing-masing. Sementara Adriel masih berada dalam pesta, mengurus tamu-tamu yang tersisa. Terakhir sebelum meninggalkan aula, Sandra masih melihat Alena di sana.Sandra terduduk di pinggir ranjang, matanya menerawang ke langit-langit kamar, memikirkan apa yang baru saja dialaminya. Keputusan besar yang mempengaruhi hidupnya ke depan. Sandra memicingkan mata, meyakinkan diri bahwa semua ini benar untuj saat ini. Semua akan baik-baik saja.Tak ingin berlama-lama dengan gaun pengantin, yang sebenarnya sangat disukainya itu, Sandra langsung membukanya. Dia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Wajahnya sudah terasa sangat berat, menampung bedak yang berlapis-lapis. Sandra sengaja mengguyur tubuhnya agar mendapatkan kesegaran kembali."Aw!" Seseorang masuk ke dalam kamar mandi saat Sandra sedang asik membilas diri dari sabun.Sebelum membela
Tidak ada malam pengantin, tidak ada sapaan mesra di pagi pertama. Sandra terbangun karena suara alarm dari ponselnya. Setelah kejadian semalam, Adriel kembali ke kamar untuk membuat kesepakatan baru dengan Sandra. Mereka sepakat untuk menyembunyikan status pernikahan di kantor tempat Sandra bekerja. Malam itu juga, mereka menghubungi Maya untuk tidak membocorkan pernikahan itu dengan alasan agar Sandra dapat bekerja dengan nyaman.Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Maya, selain berusaha menyenangkan hati bos. Dan hal yang paling mengesalkan buatnya adalah Sandra yang menjadi pendamping sang bos besar. Mau tidak mau, Sandra harus menurut.Sandra setuju dengan keputusan itu agar reputasinya sebagai seorang gadis tetap terjaga. Dia begitu yakin, pernikahan mereka akan segera berakhir dalam waktu yang tidak lama, setelah tujuan keduanya tercapai.Sandra bergegas mandi dan berpakaian agar tidak terlambat ke kantor. Dia tidak akan berangkat bersama Adriel. Seperti
Adriel menatap mereka berdua secara bergantian. Mereka seperti enggan untuk menceritakannya. Dia menyorot linangan air di lensa mata Maria. Napas Sandra pun terlihat tidak normal, seperti tertahan-tahan."Adriana telah meninggal setelah sepuluh tahun menjadi bagian keluarga kami." Ada getaran dalam kalimat Maria. Linangan air itu memenuhi rongga matanya dan hendak meluap."Kami mengadopsinya dari panti asuhan Belaian Kasih. Dia adalah korban kecelakaan dan kedua orang tuanya meninggal. Beruntung dia selamat." Sebuah senyuman pahit terbit di wajahnya yang penuh guratan menua."Namun, tak seperti yang diharapkan. Kecelakaan itu menyisakan penderitaan baginya. Beberapa kali dia mengalami kejang dan kesakitan. Kondisi panti saat itu tidak memungkinkan untuk merawatnya. Entah mengapa juga, hati kami tergerak untuk mengadopsinya." Maria kembali tersenyum pilu mengenang Adriana."Lalu?"Sekuat hati Adriel berusaha bersikap biasa saja, seolah yang mengalami itu bukan adik kan
"Pak Anto," sahut Damar dari dalam. Ia berjalan menghampiri pria itu yang masih berdiri di ambang pintu."Aku ingin menyampaikan sesuatu," ujarnya dengan suara dipelankan, namun dapat terdengar jelas oleh Adriel dan Sandra."Nanti saja kita bicarakan, Pak. Anak dan menantu saya baru saja datang." Damar melirik sebentar ke dalam rumah, sambil tersenyum sungkan pada Adriel. Dia tampak sekali salah tingkah.Anto berusaha menganalisa arti kedipan mata Damar, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan. Sekejap menoleh Adriel yang tengah memandangnya penuh selidik.Adriel ingat betul wajah laki-laki yang menemukannya bersama Adriana di tengah hutan dekat tepi jurang saat itu. Dia tak sanggup lagi menangis karena harus menenangkan adiknya yang terisak meraung-raung. Hanya saja air matanya turun bagai aliran air dari mata air."Anto," sebutnya dalam hati.Baru kali ini dia mengetahui nama pria itu. Setelah menemukan mereka, Anto membawanya ke panti asuhan, bertemu deng
Matahari belum terlalu tinggi saat mereka sampai di desa kediaman orang tua Sandra. Adriel memilih berjalan pagi sekali agar bisa santai, mengingat kondisi Sandra. Beruntung, Sandra sudah melewati masa-masa mualnya sehingga perjalanan dapat ditempuh dengan mulus."Stop, stop." Tiba-tiba Sandra meminta sopir memberhentikan mobil ketika melewati Panti Asuhan Belaian Kasih.Hampir tidak dapat dipercayainya, melihat bangunan tua dan reok itu sudah berubah menjadi bangunan baru dan kokoh. Adriel tahu apa yang membuat istrinya ingin berhenti, tapi dia tak ingin memberi tahunya sekarang. Sandra akan mengetahui saat semuanya sudah jelas.Bukan tanpa alasan Adriel mau menemani Sandra menemui orang tuanya. Sejak mengetahui bahwa Damar dan Maria yang mengadopsi Adriana, dia berusaha mencari waktu untuk membicarakannya."Aku sudah terlalu lama tidak ke sini. Tapi, siapa yang melakukannya?" oceh Sandra sendiri entah pada siapa dia bicara. Tapi, dia yakin kedua orang di dekatnya, mend
Bi Tuti mengingat-ingat, matanya berotasi seperti anak sekolah yang sedang berkutat dengan hafalannya. Kemudian dia menggeleng perlahan."Pernah, sih." Wajahnya mendadak masam.Seperti yang ditakutinya, seketika itu juga hati Sandra mencelos. Baru saja ia merasakan manis perhatian Adriel ditambah bumbu godaan dari Bi Tuti, kini dia kembali dibawa ke alam sadar. Sandra harus sadar diri bahwa pernikahannya dengan Adriel hanya sebatas sebuah perjanjian sementara. Semua yang dilakukan suaminya adalah untuk mencapai tujuannya."Tapi, Nyonya ...." Bi Tuti buru-buru memperbaiki informasi yang diberikannya setelah melihat ekspresi Sandra."Bukan Tuan yang membawanya, dia yang datang sendiri," lanjutnya lagi."Siapa? Alena?" tebak Sandra yakin dengan mata tajam menyorot kepolosan seorang Tuti."Nyonya kenal? Pasti sedih sekali jika mengetahui mantan suami." Bi Tuti berlagak sedih seolah pernah merasakannya juga.Sandra hanya menarik kedua sudut bibirnya untuk memaksakan
Sandra terlena, pertahanannya kacau oleh sihir Adriel. Dia tak mampu menahan ketika bibir Adriel bekerja nakal. Pagutan laki-laki itu tak terbantahkan.Mereka masih berada di depan pintu kamar. Adriel tidak perlu takut ketahuan oleh siapapun di dalam rumah, ini adalah rumahnya. Dia juga tak perlu takut dimarahi karena Sandra adalah istrinya.Sandra merasakan dirinya semakin lemah. Bukan, hatinya yang lemah. Lidah Adriel telah menerobos masuk, mencari pasangannya. Organ tak bertulang itu begitu liar, memberi sensasi lain yang belum pernah dirasakan oleh Sandra.Ya, ini adalah kali pertamanya meski sebelumnya mereka pernah menyatu. Tidak seperti waktu lalu, Adriel tanpa permisi langsung pada intinya. Menerobos masuk tanpa pembukan, sangat menyakiti. Kali ini, Adriel meminta dengan penuh kelembutan.Dengan mudah, tanpa melepas pelukan dan pagutan, Adriel berhasil membawa Sandra masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup dengan pelan, sepelan langkah mereka menuju ranjang lu
Adriel mendongak sebentar, lalu kembali menatap meja. Wajahnya datar, tak ada ekspresi kaget kedatangan mantan kekasih.Ya, mantan. Sejak dia melihat langsung, kekasihnya itu berada dalam kamar bersama Denis, dia sudah tak menganggapnya kekasih lagi. Rasa yang selalu bergejolak setiap kali bertemu Alena, mendadak sirna, bagaikan goresan pasir terhapus ombak."Aku gak masalah, kamu kembali padanya untuk sementara waktu. Semua demi masa depan kita, kan? Tapi, gak gini juga, Sayang. Masa kamu mau makan di tempat seperti ini." Suara Alena terlalu nyaring, tak menyadari sepasang telinga milik penjual nasi goreng itu ikut mendengarnya. Wajahnya mengguratkan ketidaksenangan atas ucapan Alena."Kalau sudah selesai makan, kita langsung balik, ya," pinta Adriel pada Sandra. Wajahnya yang tenang berubah kusam.Alih-alih menjawab dan menanggapi Alena, dia malah menarik tangan Sandra yang tidak jadi menghabiskan nasi gorengnya. Seleranya menguap akibat kedatangan Alena.Sandra men
Sandra memaksa matanya untuk terbuka meski terasa sangat berat. Hampir pagi baru dia berhasil terlelap setelah lelah dengan segala pikirannya.Dia merasa ada aktivitas di dalam kamar. Terbiasa sendiri di dalam kamar, membuat dia merasa risih jika ada orang lain.Adriel sudah berpakaian lengkap, bersiap ke kantor. Tidak dapat dipungkirinya, laki-laki itu sangat tampan dan mampu mendominasi hati setiap wanita yang berada di dekatnya. Seperti Sandra saat ini yang berada sekamar dengannya.Aroma parumnya menyeruak di hidung Sandra. Wangi, tapi entah mengapa Sandra merasa mual. Dia langsung menutup mulutnya."Mual lagi?" Adriel menghampirinya.Sandra menahan dengan telapak tangannya, memberi isyarat agar Adriel menjauh. Kedua alis laki-laki itu terangkat, membentuk beberapa lipatan vertikal di dahinya."Aroma parfummu," ucap Sandra dengan mulut tertutup.Adriel mencium kedua pundaknya sendiri bergantian, memastikan aromanya yang sebenarnya sangat wangi."Ada beber
Sandra sudah berada di dalam mobil bersama Adriel. Membahas mengenai hubungan mereka akan semakin membuatnya lelah hati. Akhirnya, dia memilih untuk diam dan menunggu apapun keputusan laki-laki yang sedang sibuk dengan kemudi di sampingnya.Mereka sampai di rumah Adriel. Ibu Tuti sudah menunggu, berlari mendapati Sandra untuk membantunya turun dari mobil."Dokternya sudah dihubungi?" tanya Adriel pada wanita paruh baya itu."Sudah, Tuan. Sebentar lagi dia akan sampai," jawab Tuti punuh hormat.Tidak lama kemudian, dokter yang dimaksud juga datang. Sandra sudah dibawa ke kamar Adriel."Kenapa di sini?" tanya Sandra pada Bi Tuti."Tuan yang menyuruh, Nyonya."Sandra mengernyitkan dahinya, tidak mengerti pada perubahan sikap Adriel. Bukankah dia berencana akan menceraikannya, lalu mengapa harus berlaku seperti ini."Apa jangan-jangan dia mengubah keputusannya kembali? Dasar plin plan. Dia mau aku melahirkan anak ini untuknya. Cuih, dasar laki-laki egois." Sandra
Bu Ani sedang tidak dalam keadaan sehat. Sejak pertemuannya dengan Dewanda dan Melati, kondisinya menurun. Beruntung tidak sampai dirawat kembali, cukup istirahat di rumah.Saat Adriel ke rumahnya, menantunya yang selalu ada mendampingi, memperingatkan. Adriel berjanji hanya membicarakan soal panti asuhan agar mendapatkan izin.Benar saja, saat Ani keluar dari kamarnya, Adriel dapat melihat kelelahan di wajahnya. Tapi, dia tampak sedikit bersemangat ketika mendengar siapa yang datang."Apa Ibu kuat?" tanya Adriel tulus karena melihat kondisinya."Tidak apa-apa, saya hanya kecapean. Namanya juga sudah tua." Ani memaksa senyum di wajah keriputnya."Saya hanya memberitahu bahwa saya sudah selesai dengan data-data itu. Ternyata tidak semudah itu menemukan mereka kembali." Adriel tampak murung dengan kalimat terakhirnya."Maaf telah merepotkan," sesal Ani."Tidak apa." Adriel meresponnya dengan senyuman."O ya, ada yang ingin saya tanyakan perihal Sandra." Adriel