Laki-laki itu, Bima, berperawakan tinggi besar dengan kulit legam dan tangan agak berbulu. Ketimbang seperti Bimasena, dia lebih mirip raksasa. Mungkin masih keturunan Rahwana.
Saat berdiri saja, Pak Tardi, ayah Tiara hanya sampai siku Bima dan tepukannya di pundak ringkih Pak Tardi membuat pria lima puluh tahun itu diam-diam meringis.
Cara Bima tertawa pun bikin segala bulu meremang. Membahana dengan gigi putih mengilat, seolah siap mencabik mangsa di depannya. Tiara tertawa puas dalam hati menikmati ekspresi ngeri di wajah adiknya, Dara. Gadis itu mengkeret di sisi Bu Tardi, seolah takut dilahap habis calon suaminya.
Pemuda yang mesti menunduk saat memasuki pintu rumah itu adalah juragan jengkol yang melamar Dara untuk dijadikan istri.
“Dara. Nduk. Mana minumannya?” Suara Pak Tardi dari ruang tamu bak genderang perang yang membuat Dara memucat. Dia merajuk dan dorong-dorongan dengan sang ibu sambil memasang mimik memelas, seolah takut hendak dikorbankan ke tukang jagal.
Tiara menahan tawa sambil memegangi perut ketika ibunya melotot lalu mendorong Dara sekuat tenaga, menyebabkan lengan daster Bu Tardi yang sedari tadi digenggam erat Dara sobek.
Sungguh pemandangan yang tak biasa dan langka. Ibu yang biasanya lembut dan penuh kasih kepada Dara, kini tega mengumpankan anak kesayangannya demi harta. Ironis. Saat itu, Tiara bersyukur dia tak secantik Dara yang membuat raksasa kesengsem.
Dara masih sedikit oleng setelah merobek tanpa sengaja daster ibunya, tetapi satu deheman Bima membuat gadis itu langsung berdiri tegak, berjalan tegap dan kaku kayak robot baru habis diganti baterai. Nampan di tangannya bergetar, membuat gelas dan tatakan piring beradu riuh saat dia berusaha meletakkan minuman di depan Bima.
“Jadi, Nak Bima, ini Dara putri bapak yang kamu mau lamar,” terang Pak Tardi dengan nada bangga yang disambut senyum Bima. Pemuda yang datang sendiri karena kedua orang tuanya masih di luar kota mengurus impor jengkol ke Madagaskar itu menatap Dara lurus, membuat gadis di depannya gelisah macam cacing kepanasan, menguyel-uyel tak hanya ujung blusnya, tetapi juga kemeja bapaknya.
“Benar, Pak. Saya mau melamar putri Pak Tardi. Kapan acaranya bisa digelar? Langsung akad aja, Pak. Enggak usah siraman dan lain-lain. Kelamaan,” saran Bima yang ngebet, sementara Tiara di balik gorden hampir meledakkan tawa.
“Sabar, Nak Bima. Tetapi bapak mau tanya nih, apa benar Nak Bima mau melamar Dara? Soalnya, bapak ini punya dua putri yang sama cantiknya. Siapa tahu Nak Bima mau lihat yang satunya, kakaknya Dara.”
Kata-kata Pak Tardi membuat Tiara menyemburkan kolak yang sedang dikunyahnya, potongan pisang raja dengan bentuk tak beraturan itu menggelinding hingga mengenai kaki Bima.
“Lho, ada dua? Saya kira Dara putri bapak satu-satunya.”
“Oh, enggak. Ada dua, sama cantiknya, tetapi beda empat tahun. Nak Bima mau lihat?” tawar Pak Tardi membuat darah Tiara mendidih. Gadis itu sudah berdiri hendak pergi ketika tangannya dicengkeram Bu Tardi. Di ruang tamu, dengan nada sok dimanis-maniskan, Pak Tardi memanggil Tiara untuk keluar. Padahal biasanya, menyebut namanya saja lelaki tua itu enggan.
Tak perlu adegan drama dan tarik-menarik daster, Tiara sudah duduk di depan Bima, tepat di samping Dara dan memasang wajah garang. Jika di sampingnya Dara masih gelisah dan menarik ujung kemeja Pak Tardi, Tiara fokus menatap wajah berewokan Bima sambil merapal mantra dalam hati.
Kamu pilih Dara atau perjaka seumur hidup!
Kamu pilih Dara atau menua mengenaskan di bawah penindasan istri durjana!
Kamu pilih Dara atau kubumihanguskan perkebunan jengkolmu hingga tak bersisa!
Kamu pilih Dara atau tak lagi menikmati lelapnya tidur di ranjang seumur hidup!
Rapalan mantra Tiara membuat bibirnya mengerucut dan alis lebatnya menyatu, menyajikan pemandangan yang membuat Bima merasa geli. Pemuda itu menatap Dara yang manis dan memucat ketakutan seolah akan dibawa ke tukang jagal hari raya kurban, sejujurnya itu membuat harga diri Bima sedikit terluka. Rasanya dia tak semenakutkan genderuwo hingga harus dilihat penuh kecemasan begitu. Saat menatap Tiara untuk kedua kalinya, serta merta senyuman Bima mengembang.
“Kakak aku ini, Mas, udah cukup usia buat nikah. Dia rajin masak, pinter beres-beres, dan hemat! Makannya juga enggak banyak, jadi irit bahan makanan. Gampang ngurusnya, Mas!” Celetukan Dara membuat Tiara menatapnya murka.
“Tetapi istri juragan harusnya cantik, pandai urus diri, dan lemah lembut. Jelas Dara lebih memenuhi syarat, Mas. Lagi pula sejak kecil dia bermimpi tinggal di rumah gedongan dan bermandikan uang, pasti lebih cocok,” sindir Tiara sambil menyikut lengan Dara.
“Udah, kawini dua-duanya aja, Gan!” Celetukan dari luar membuat Pak Tardi tertawa dan Bima berdehem keras.
“Yang jelas, jika Nak Bima ingin punya istri mandiri, telaten, dan penurut yang cukup umur, Tiara lebih pantas!” ujar Bu Tardi saat keluar sambil membawa nampan kue kering dan memasang wajah semanis madu, membuat Tiara muak melihatnya. “Dara kami masih manja dan kekanak-kanakan.”
“Tetapi Dara yang lebih pantas, Bu. Bukannya sejak awal Dara yang dilamar!”
“Ya, kan, kakak lebih tua! Memangnya mau melajang sampai kapan? Nanti kalau enggak ada yang mau lagi, bagaimana?”
“Hey, kalian kok berisik, sih? Enggak enak sama Nak Bima,” sergah Pak Tardi tak enak hati melihat kedua anak gadisnya berseteru.
“Enggak apa-apa, Pak. Saya sudah memutuskan,” tandas Bima. Tiara merasakan hawa dingin menyapa tengkuk saat matanya bertatapan dengan manik tajam Bima.
Semua terdiam menantikan kalimat lanjutan yang akan disampaikan oleh Bima. Dara semakin gugup, ia hanya menunduk tak mampu mengangkat dagu.
Brottt ....
Suara angin durjana memecah keheningan. Dara terkejut bukan main. Sedangkan Tiara, kini wajahnya merah, dengan senyum tanpa merasa hina ia membuka suara.
“Maaf, Mas. Tadi saya habis makan sama sambel jengkol pake nasi anget. Enggak terasa sampai habis dua piring.”
Tiara merasa puas, selain karena gas yang terperangkap di perutnya sudah lolos, ia juga menjadi yakin tidak akan dipilih oleh Bima si raksasa.
Pak Tardi tampak salah tingkah dengan kelakuan anak sulungnya.
“Maafkan kelakua ....”
“Hahaha, sudah enggak usah minta maaf. Enggak apa-apa,” potong Bima.
Bima tampak tak bisa berhenti tertawa. Kemudian disambung oleh Tiara yang juga menimpali tawanya. Sementara Dara semakin menggigil mendengar gelegar tawa Bima.
Pak Tardi saja merasa ngeri mendengar Bima terbahak, tidak yakin itu tawa terhibur atau murka terhina.
“Hahaha ... ah, juragan bisa aja!” Tiara meninju lengan Bima tanpa sungkan, seperti sedang bergurau dengan kawan lama.
Di sela tawanya Tiara tersedak air liurnya sendiri, ia terbatuk-batuk. Tanpa sungkan gelas dari tangan Bima diambil, kemudian menenggak isinya hingga habis.
Batuknya sembuh.
Serdawa tanpa kontrol berhasil Tiara lepas tanpa tahu sopan santun. Kemudian ia kembali tertawa setelahnya. Tiara memang sengaja bertindak konyol dan tidak sopan untuk menghindari terpilih menjadi istri Bima.
Bu Tardi yang dari tadi geregetan dengan tingkah Tiara, akhirnya angkat suara. Dengan mata melotot ia menegur.
“Apa-apaan kamu, Tiara?”
Seketika tawa Tiara terhenti. Suasana kembali kaku, tetapi segera kembali mencair setelah terdengar sisa tawa Bima.
“Sudah, Bu. Enggak usah merasa bersalah. Beneran enggak apa-apa, kok,” ujar Bima.
Sampai sini Tiara merasa menang.
“Sama calon suami memang harus menjadi diri sendiri. Aku suka,” lanjutnya.
Deg, sepertinya ada yang salah. Tiara mencoba memperjelas maksud pernyataan Bima.
“Tunggu, maksudnya?” Tiara sepertinya belum mampu mencerna kalimat Bima barusan.
“Aku pilih kamu,” tegas Bima.
Hilang bekas tawa Tiara, ia merasa tak ada yang lucu sama sekali. Bagaimana bisa seorang juragan memilih calon istri dengan kelakuan seperti yang ia tunjukkan tadi?
Tiara berdiri kasar, tanpa tedeng aling-aling ia menolak.
“Enggak sudi!”
“Jika Dara bukan pilihan, maka lupakan rencana Mas Bima menjadi menantu bapak,” lanjut Tiara benar-benar penuh penekanan.
“Tiara, duduk!” perintah Pak Tardi.
Dengan terpaksa ia mengempaskan tubuhnya kembali ke kursi.
Hening.
Pak Tardi berulang kali ingin bicara, tetapi urung. Mungkin ia bingung harus bersikap atau bicara apa. Ia tak mungkin menolak permintaan Bima, tetapi untuk membujuk Tiara rasanya canggung. Selama ini hanya bisa memberikan perintah, tanpa mau mendengarkan keluh ataupun keberatan anaknya.
“Pak Tardi, saya ingin meminang Tiara untuk menjadi istri saya. Mohon berikan restu.” Tanpa peduli penolakan Tiara, Bima kembali membuka percakapan dengan lamaran untuk gadis yang sudah menjadi pilihannya.
“Oh tentu, tentu saya merestui dengan sangat senang hati.”
Seperti biasa, tak ada yang peduli dengan perasaan Tiara. Meskipun ia menolak, nyatanya ayahnya menerima.
“Permainan macam apa ini? Dari awal, Juragan Bima ini datang untuk siapa? Untuk Dara, kan? Lalu karena anak kesayangan bapak ini ketakutan, maka bapak menawarkan saya?” ucap Tiara dingin.
“Tiara, jangan kurang ajar! Bapak memperkenalkan kamu karena kamu memang sudah cukup umur untuk menikah.”
“Tiara, sama saya, ya,” ucap Bima mencoba merayu.
“Beri aku alasan untuk mempertimbangkan!”
“Jangan kebanyakan gaya, Tiara. Kamu itu dilamar juragan. Pilih saja, terima atau kamu saya coret dari daftar kartu keluarga?” ancam Pak Tardi membuat Tiara terdiam.
“Jadi, apa bisa pernikahan dilaksanakan dalam minggu ini, Pak Tardi?”
Diamnya Tiara dianggap jawaban iya oleh Bima. Tanpa basa-basi ia ingin segera menikahi gadis mungil yang sepertinya menyenangkan itu.
“Bisa,” jawab Pak Tardi penuh semangat.
Ini sudah 1x24 jam Tiara ngambek dan mendekam di kamar. Semua diabaikan termasuk ajakan bapak dan ibu untuk ikut ke rumah Pak Miro, kenalannya bapak. Dara sedang kuliah. Jadilah rumah sore itu terasa sepi. Suara deruman mobil sport si raksasa yang berhenti di halaman rumah, terdengar sampai ke kamar Tiara. Gadis mungil sedang sewot itu bergegas menyepak guling yang tadi masih dipeluknya dan dengan langkah berdebum keluar kamar. Tiara sudah membulatkan tekad. Hari ini harus bicara empat mata dengan Bima. “Aku enggak punya rasa sama kamu.” Tiara menyemburkan kata-kata itu begitu ia membuka pintu. Tidak ada panggilan mas, tidak juga mengucap salam. “Pulang sana! Cari cewek lain. Lepaskan aku. Atau nikahi saja Dara. Adikku itu cantik, pintar, lebih muda lagi.” “Aku memilih kamu, Tiara,” tegas Bima dengan senyum mengembang syahdu, menatap Tiara tepat di manik matanya. “Seperti aku memilih jengkol. Semakin tua semakin empuk tekstur dagingnya.” “Aku
Jika menikah bagi sebagian orang menjadi momen bahagia, berbeda dengan Tiara. Baginya, pernikahan ini adalah awal mula petaka di kehidupannya.Dia mematut pantulan diri di depan kaca, ketakutan yang selama ini selalu berusaha dihindarinya menjelma nyata karena kedatangan si raksasa.Tak peduli seberapa keras dia mencoba mengusir dan membuat illfeel Bima, juragan jengkol itu tetap bersikeras memilihnya.Bima tersenyum simpul saat melihat mempelainya dibawa mendekat. Tiara terlihat memesona meski wajahnya terus ditekuk sembilan belas bagian begitu. Ah, jatuh cinta memang bikin orang kehilangan logika.Lelaki itu sendiri telah gagah dengan jas hitam panjang berkerah tegak kebanggaan keluarga, ditambah peci juga ikatan kain batik di pinggang, menyulap sosok Bima menjelma jadi Rahwana pemikat hati wanita. Dara saja seolah tak berkedip menatap takjub pada sosok raksasa yang sebelumnya membuatnya ngeri setengah mati.Sayangnya,
Akhirnya, acara resepsi pernikahan Bima dan Tiara selesai digelar ketika matahari sudah meredup. Wajah-wajah lelah terbingkai nyata dari paras kedua keluarga.“Pak, saya berencana langsung memboyong Tiara, untuk tinggal di rumah saya malam ini juga.”Bima memulai percakapan saat mereka tengah berkumpul di ruang keluarga melepas lelah setelah acara resepsi dengan berbagai insiden yang sengaja diciptakan Tiara.“Eh, enggak bisa begitu dong. Aku kan belum kemas-kemas.” Tiara protes sambil memonyong-monyongkan mulutnya yang justru membuat Bima semakin gemas dengan istrinya yang kecil mungil itu.“Semua pakaianmu sudah ibu bereskan, juga boneka beruang kesayanganmu,” ucap Bu Tardi yang tiba-tiba muncul sambil menyeret koper berisi pakaian Tiara.Tiara menatap sedih ibunya. Mengapa dia merasa seolah-olah ibunya ingin dia cepat-cepat pergi dari rumah, terasa sekali bahwa kehadirannya benar-benar tak diharapkan.T
Aroma harum mentega menguar, menyapa hidung Tiara ketika wanita itu menuruni tangga. Padahal saat ini baru pukul enam pagi, tetapi Bima sudah sibuk menata piring di meja makan. Sesekali lelaki besar itu berbalik ke dapur mini di belakangnya untuk mengaduk entah apa di atas kompor.Rambut Bima itu seperti rambut perempuan, meski bergelombang tetapi terawat dan berkilau. Begitu suami Tiara itu berbalik dengan kunciran tingginya dan celemek plastik bergambar Teddy Bear di badannya, tak ayal membuat Tiara tersenyum geli. Bima terlihat menggemaskan.“Assalamualaikum. Guten morgen. Sarapan?” tawar Bima sambil menunjuk sepiring roti bakar dengan selai stroberi yang mengepul panas plus segelas jus jeruk di depan Tiara.“Waalaikum salam. Kelihatannya enak.”“Tentu dong!” Bima tersenyum saat Tiara dengan lahap mengunyah roti dan menyeruput jus jeruk. Tiara tertawa sambil mengacungkan jempol, membuat Bim
Ternyata menjadi lakon untuk drama yang diciptakan sendiri tak semudah bayangan. Bahkan untuk belanja saja Tiara pusing, ia sibuk memperhatikan bandrol harga. Bukannya tak sanggup membayar, tetapi sayang jika harus membeli baju yang mahal.Bosan setiap hari pulang hanya membawa lelah, hari ini bertekad untuk membeli sesuatu. Konter jaket menjadi pilihan. Matanya tertuju pada jaket parasut berwarna hijau tosca yang memang terlihat sangat manis. Ia bersemangat menuju jaket itu, kali ini tanpa peduli banderol harga, ia membelinya.Dalam perjalanan pulang, beberapa kali Mang Ujang, sopir yang mengantar, mencuri pandang pada Tiara melalui kaca spion. Dari pantulan gambarnya, Tiara tampak melamun. Ingin sekadar basa-basi, tetapi bingung harus bagaimana membuka percakapan.Jalanan siang ini cukup ramai, Mang Ujang memutuskan membiarkan saja Tiara melamun, ia takut dianggap ikut campur. Saat sedang konsentrasi di tengah kemacetan, tiba-tiba ia dikagetk
Tiara mengamati sekelilingnya. Ini sudah di kamar. Berarti Bima menggendong dan membaringkannya di tempat tidur tanpa sedikit pun Tiara terbangun.Pukul 04.55 wib. Bima pasti sudah ke musala. Tiara bangkit dari tidurnya dan bergegas turun ke lantai bawah. Pagi ini dia ingin sekali menyiapkan sarapan yang enak. Khusus untuk Bima. Ehem!Sarapan spageti istimewa dengan segelas jus jeruk segar sudah terhidang di atas meja. Lengkap dengan potongan garlic bread yang menebarkan aroma gurih nan lezat. Tiara tersenyum puas. Ia melepaskan celemek dan segera membereskan meja yang dipakai kerja Bima tadi malam. Mengelompokkan kertas dengan kertas tanpa mengubah susunannya, buku dengan buku, lalu menutup laptop.Hampir pukul enam saat Tiara mendengar pintu pagar di dorong dari luar. Bima pulang. Tiara bergegas naik ke lantai atas, buru-buru masuk ke balik selimutnya.Pura-pura tidur.Tiara senyum-senyum sendiri. Menanti dengan berdebar, apakah dia berh
"Aku dan Tiara sibuk, Pa. Kapan-kapan saja," sergah Bima yang membuat Tiara menghela napas lega. Setidaknya dia dan Bima satu suara kali ini. "Emang kalian berdua sibuk apa sih?" tanya papa Bima santai. Lelaki senja berperawakan mirip Bima minus rambut gondrong plus uban di beberapa bagian rambut itu menyalakan cerutu. Sementara Mama mertua Tiara sedang sibuk di dapur membuatkan minuman. Wanita berwajah hangat itu menolak bantuan Tiara dan menyuruh menantunya tetap duduk di samping Bima. "Papa kan tahu, kita mulai masuk masa panen. Ditambah investor dari Jepang mau datang buat lihat-lihat lahan dan hasil panen jengkol super beberapa bulan lalu. Belum lagi rapat .... " Kata-kata Bima terputus saat papanya mengangkat tangan. "Semua sudah papa limpahkan ke Pak Sastro. Serahkan aja sama kami, Anak Muda." Bima masih ingin mendebat ketika Pak Dwijaya menatap menantunya. "Lalu kamu, Tiara, sibuk apa?" Tiara tergagap, sesaat bingung. "Aku ada kelas me
Bulan madu bagi pasangan suami istri memang manis rasanya. Bagi Bima, berdekatan sepanjang hari, menikmati ekspresi lepas Tiara membuat hatinya hangat. Tiara sendiri sepertinya menikmati kebersamaan mereka, dia banyak tertawa dan malu-malu kalau digandeng dan difoto mesra berdua Bima. "Besok kita jalan-jalan ke pantai, ya. Pengen diving trus snorkeling nih, siapa tahu ketemu ikan duyung yang bisa kuajak pulang dan kujadikan istri kedua," seloroh Bima saat Tiara mencebikkan bibirnya. "Konon ikan duyung cantik dan seksi." "Dugong? Seksi?" Tiara memutar bola mata. "Asal jangan kamu bawa pulang trus kamu sembelih." "Apa aku sekejam itu?" "Kamu kan raksasa yang sadis. Jengkol aja bisa kamu gepret dijadikan kerupuk. Apalagi ikan duyung seksi dan lemah lembut begitu." "Apa kamu bilang? Raksasa? Coba bilang lagi ... coba kalau berani ... hey, Liliput!" Senja yang jatuh jadi saksi saat Tiara cekikikan dan lari meninggalkan Bima. Laki-laki itu m
Bagi Bima, hal tersulit memahami Tiara karena wanita itu begitu tertutup. Tiara hampir tak pernah menceritakan dirinya sendiri dengan sukarela. Bahkan pertanyaan-pertanyaan Bima pun seringnya hanya dijawab sambil lalu. Sejujurnya, Bima hampir tak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Tiara setiap kali mereka bertengkar, pun saat insiden malam itu.Tiara seperti bawang yang harus dikupas Bima selapis demi selapis untuk mengenal wanita itu. Tak masalah bagi Bima. Hanya saja dia ikut merasa lemah dan tak berdaya saat Tiara menenggelamkan diri dalam lautan luka dan sama sekali enggan menerima uluran tangannya.Sudah seminggu sejak insiden malang itu, seminggu pula tawa dan keceriaan Arjuna tak terdengar di rumah sejak Bima membawa bocah polos itu menginap ke rumah kakek neneknya, papa mama Bima. Lelaki itu sengaja melakukannya agar Tiara bisa menenangkan diri dan fokus kepada Anisa.Tiara juga semakin pendiam. Tidurnya menjauh dan enggan disentuh Bima. Namun be
“Astagfirullah… Den Juna!” "Non Tiara! Nyonya!" Sambil berteriak memanggil Tiara dan Bu Tardi, Bik Yam bergegas mengangkat bantal yang menutup wajah Anissa. Di sampingnya, Arjuna terlihat kesal melihat adiknya ternyata masih bisa menangis. Bocah empat tahun itu beringsut ke pojokan, melihat Bunda dan neneknya yang masuk. Dia memang belum memahami apa yang terjadi, tetapi instingnya sepertinya memberi isyarat bahwa dia harus waspada. "Ada apa, Bik?" Tiara bertanya sambil mengambil Annisa dari dekapan Bik Yam. Melihat napas Annisa tersengal, Tiara mendadak panik. “Ya Allah, Nissa… kamu kenapa, Nak?” "Bik, Nissa kenapa?" Suara Tiara mulai meninggi. "Anu, Neng. Tadi wajah Anissa ketutup bantal!" Dengan sedikit takut dia memberanikan diri menceritakan kondisi Anissa saat tadi ia temukan. Mata Tiara langsung nyalang. Sepertinya dia dapat menduga bahwa itu perbuatan Arjuna. "Juna! Kamu apakan adikmu, hah!" Samb
"Arjuna! Hentikan suara mobil-mobilan kamu itu. Apa kamu nggak lihat kalau adikmu sedang istirahat?""Tidur sendiri sana di kamarmu. Bunda harus tidurin Anissa sekarang.""Handuk baru itu bukan punya kamu, Arjuna! Itu punya adikmu! Kembalikan!"Rasanya Bima sekarang tak asing lagi dengan suara Tiara dalam nada tinggi, marah-marah dan mengomel sepanjang hari. Kehadiran Anissa merampas kewarasan bundanya. Tiara sering uring-uringan. Terutama kepada Arjuna.Bima memutuskan mengambil cuti panjang agar bisa menemani Tiara di rumah dan menjaga Arjuna. Laki-laki kecil berusia empat tahun itu pasti sudah menyadari kalau perhatian bunda kini tidak lagi utuh untuk dirinya. Ada adik Anissa tempat bunda melimpahkan semua sayang. Dan Arjuna mulai merasa kehilangan.Suasana rumah mulai terasa tidak senyaman dulu. Anissa dengan kondisi fisik kecil dan lemah, membuat Tiara over protektif dalam menjaga Anissa sehingga Arjuna merasa terabaikan.Hanya saat Bim
Dua garis.Tiara menyodorkan test pack pada Bima dengan lesu."Aku nggak mau punya anak lagi, Bim.""Tapi kita nggak akan membuangnya, Tiara. Ini hadiah cinta kita. Jangan ditolak ya, Sayang."Tiara menghela napas dalam. Tak berdaya.Hari berganti minggu, pada kehamilan kali ini Bima harus benar-benar menyimpan banyak stok kesabaran untuk menghadapi Tiara.“Bimaaa! Mandi sana! Kamu bau jengkol. Aku gak su- ....” Belum kalimat itu selesai, Tiara sudah menunduk dan memuntahkan kembali segelas susu ibu hamil yang sebelumnya susah payah diteguk untuk mengisi perut.“Tapi aku hari ini enggak nginjak kebun apalagi pegang pohon sama buah jengkolnya, Sayang!” Bima menciumi tangan, pakaian hingga rambutnya sendiri.“Keluaaar!” pekik Tiara keras meski tubuhnya sebenarnya tak berdaya. “Kamu pilih aja, mau ngurus jengkol atau ngurusin aku!”Pasrah, Bima melangkah keluar kamar sebelum T
Bulan madu yang kedua, demi membiarkan Tiara beristirahat dan menghibur diri Bima sengaja menitipkan Arjuna pada kedua orang tuanya. Bima bertekad akan menyembuhkan luka yang telah diberikannya pada Tiara. Tiara tampak lebih segar sejak sampai. Meski beberapa kali sempat mengkhawatirkan Baby Juna, tapi Bima selalu berhasil meyakinkannya untuk cukup bersenang-senang selama liburan mereka. Berbeda dengan honeymoon sebelumnya, kali ini Tiara lebih antusias untuk menikmati kebersamaan dengan raksasa yang berhasil melelehkan gunung es di hatinya. Berbagai rencana telah disusun jauh-jauh hari dengan perasaan bahagia. Di hari pertama, Bima akan mengajak Tiara untuk melihat pianemo sesuai keinginan Tiara. Dengan berbekal ransel, pria itu mengikuti langkah istrinya yang bersemangat saat menaiki anak tangga. Keringat membasahi wajah wanita yang terlihat mungil jika bersanding dengan sang suami. “Biiim, cape!” keluh Tiara saat mereka sudah melewati lebi
"Aku tak boleh bermain ke luar agar kulitku tak berubah kusam. Sedang Tiara, bebas berlarian di luar bersama teman-temannya. Saat aku tak tahan gerah karena rambut yang senantiasa tergerai, ayah ibu melarangku untuk memotongnya. Mereka bilang wanita cantik itu yang rambutnya panjang." Tangan yang tadi terkepal, perlahan tergerak menarik rambutnya yang tergerai. Dililitkannya rambut itu kemudian menarik keras, membuat helai demi helainya berjatuhan ke lantai. Dara benci Tiara yang bahkan tetap terlihat cantik meski dengan rambut pendek!Tiara menatap tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, saat ayah dan ibu selalu memuji kecantikan Dara, kulitnya yang senantiasa putih bersih dan rambut yang tergerai panjang. Kenyataannya ...."Saat Tiara boleh membeli apa yang dia sukai, aku diatur sedemikian rupa. Ayah ibu bilang wanita cantik itu yang anggun penampilannya. Ibu juga bilang berpenampilanlah yang menarik, jangan sampai ketinggalan zaman. Nyatanya, seperti rok bu
Keesokannya, Dara langsung menemui atasannya itu untuk menagih tanggung jawab."Mana cincinnya, Mas?" tagih Dara."Cincin apa, Dara?" Bima sengaja memasang raut datar."Katanya aku disuruh menagih tanggung jawab di sini, sekarang."Kali ini Bima terkekeh, bahunya hingga terguncang mendengar adik iparnya seperti anak kecil menagih permen."Dara, Dara. Mau kamu apa? Kamu mau aku tanggung jawab seperti apa? Menikahi kamu? Bagaimana mungkin aku menikahi gadis yang ditiduri orang lain?""Maksud, Mas? Jangan mencoba lari dari tanggung jawab!""Dengar ini," Bima memutar rekaman suara yang sudah ia sambungkan ke speaker aktif. Terdengar jelas pengakuan Doni, mantan pacar Dara tentang hubungan mereka.Dara mematung mendengar suara Doni dari pengeras suara. Bima menyadari perubahan wajah Dara yang menegang. Entah malu atau mungkin ekspresi lainnya?"Dara, kamu tidak seharusnya merendahkan dirimu seperti ini. Tentang malam itu, aku
Malam merangkak kian larut. Suara jangkrik sebagai satu-satunya pemecah hening. Bik Yam mempersilahkan mereka istirahat, sedang Baby Juna tetap tidur bersamanya.Rasa lelah membuat Bima tak menolak saat Bik Yam, menawarkannya menginap."Aku tidur bareng Bik Yam dan Juna, aja," ucap Tiara."Tapi, Non … kasihan Den Bim….""Gak apa-apa, Bik. Mungkin Tiara masih butuh waktu sendiri," ucap Bima memotong kalimat Bik Yam yang belum tuntas.Tiara sedikit lega. Setidaknya Bima tak memaksakan kehendak yang membuatnya justru semakin terluka.Tak menunggu lama, Tiara segera beranjak. Meninggalkan Bima dan Bik Yam yang masih saling tatap."Ya sudah, Den Bima istirahat dulu. Semoga besok Non Tiara sudah sedikit lebih tenang jadi bisa berpikir jernih," ucap Bik Yam yang hanya di balas anggukan oleh Bima.Bima memijat kepalanya yang mendadak pening.Dia merasa hampir frustrasi menghadapi ketidakpercayaan Tiara padanya.
"Bunda, mau maafin Ayah?" Bima bertanya penuh harap.Tiara bergeming, tapi sikapnya sudah tak sekeras tadi. Ada rasa ingin memaafkan, tapi rasa sakitnya membuatnya sulit melupakan.Lelaki itu merapatkan jaket. Suhu dingin di luar rumah membuatnya cemas. Apa yang akan terjadi pada anak istrinya jika berkeliaran dalam cuaca seekstrim ini?Saat ini sudah malam ketiga Bima menyusuri jalan-jalan kota hingga ke pelosok gang, tetapi tak juga menemukan tanda-tanda Tiara ataupun Juna.Bayangan Tiara dan Juna hidup menggelandang atau bertemu orang jahat membuat Bima bergidik ngeri lalu menggeleng kuat-kuat. Dia harus menemukan anak istrinya malam ini juga.Bima hendak memutar langkah ketika melihat seorang lelaki yang sibuk pamer dan menggoda wanita-wanita di pinggir jalan, tetapi tiba-tiba dia berhenti lalu berbalik.Lelaki itu, lelaki dengan jaket kulit dan tindik di kuping itu sangat tak asing bagi mata Bima.Menahan gusar, Bima menarik paks