“Erika, kita sudah tiga tahun menikah. Tapi sampai saat ini kita masih belum juga mempunyai anak. Aku sudah habis duit banyak untuk promil dan semacamnya supaya kau bisa mengandung. Ah, semua tidak ada hasilnya. Kita tidak akan pernah punya keturunan.”
Erika terpekur saat mendengar kata-kata yang menghujam keras sampai ke lubuk hatinya. Sebagai istri, dia merasa sangat terpukul setelah mendengar ucapan kasar seperti itu. Setelah sekian lama menahan hati dan bersabar, akhirnya Raden tidak bisa lagi untuk tidak bicara pada Erika tentang keadaan yang begitu pelik. Erika menarik napas dalam-dalam. Dalam keadaan menunduk, dia bicara. “Kak Raden, ini adalah cobaan dari Tuhan untuk kita berdua. Banyak orang di luar sana yang juga diberikan cobaan seperti kita.” Namun, Raden tidak bisa lagi terus-terusan mendengar ucapan lembut semacam itu lagi. Lantas dia menyentak, “Kemarin aku sudah pergi ke rumah sakit dan memeriksa sperma-ku. Berdasarkan pemeriksaan dari dokter ternyata tidak ada masalah dariku. Dan untuk memastikan bahwa sumber permasalahannya ada pada mu, sebaiknya kau juga memeriksakan diri mu, Erika.” Raden meminta Erika supaya juga melakukan pengecekan dan pemeriksaan di rumah sakit. Bisa jadi Erika mengidap suatu penyakit atau kelainan yang membuat dia jadi sulit hamil atau bahkan mungkin tidak akan bisa hamil. Selama ini mereka sudah berupaya semaksimal mungkin agar mereka bisa mempunyai keturunan. Ada banyak saran dari dokter dan juga orang tua yang telah mereka lakukan. Tapi, hasilnya tetap saja nihil. Sejujurnya, Raden sebagai seorang suami sudah malas dan bahkan muak ketika mendengarkan pertanyaan dan ocehan orang-orang sekitar tentang kapan mereka punya anak. Dia terlalu malu begitu saat berkumpul dengan keluarga dan teman-teman, mereka menanyakan kapan dia punya momongan. Pada saat ada acara seperti nikahan dan sebagainya, dia malas hadir, alasannya tentu saja karena dia minder pada mereka yang telah bisa menggendong bayi. Lantas sampai kapan dia mesti bertahan dalam kondisi yang begitu menyakitkan seperti ini? Meski begitu, wanita baik dan shalihah itu tetap saja sabar dan bicara dengan lemah lembut. “Kak Raden, suamiku, yakinlah ini adalah ujian dari Allah untuk kita berdua. Kita masih diberi kesempatan untuk terus berdoa dan berserah diri padanya. Selama doa kita belum dikabulkan, ada banyak pahala di sana. Yakinlah, suatu saat Allah akan mengijabah doa kita berdua.” Kemarin-kemarin Raden bisa terenyuh dan menerima setiap nasehat baik dari Erika. Dulu dia masih bisa sabar dan melakukan hal-hal baik. Tapi dulu. Sekarang kesabarannya sudah habis. Menurutnya, anak keturunan wajib untuk dimiliki. Apakah hal semacam itu tidak akan pernah terwujud?Oh, Raden memang harus melakukan sesuatu. Suasana kamar tidur yang hening dan tenang sontak jadi panas dan tegang. Raden tidak bisa terus-terusan sabar dalam menghadapi penderitaan yang berat. Raden mengerutkan kening dan berkata, “Mau sabar dengan pakai cara apa lagi, Erika? Segala jenis makanan dan minuman telah kau konsumsi. Semua praktik kesehatan telah kau lakukan. Banyak doa telah kau panjatkan. Tapi bagaimana hasilnya? Mana?” Erika langsung termenung setelah Raden mencecarnya habis-habisan. Matanya berkaca-kaca. Sambil mencengkeram gamisnya, dia berusaha bicara dengan tersedu-sedu. “Kak Raden, kenapa kau tiba-tiba mengeluh? Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ngucap, Kak. Ngucap.” Raden sudah tidak bisa lagi mengontrol emosi. Kesabarannya sudah terkikis habis. Dan akhirnya kalimat yang selama ini terpendam di kepalanya pun keluar. “Jangan-jangan kau mandul, Erika!” Seperti tersengat listrik, Erika tersentak kaget. “Astaghfirullah, Kak Raden. Kenapa kau bicara seperti itu pada istri mu? Astaga!” Mata Erika semakin berkaca-kaca. Lalu genangan air di bola matanya pun mulai berjatuhan membasahi pipinya. Dia memang wanita yang lembut dan mudah sekali terkena perasaan. Jadi wajar ketika mendengar ucapan barusan dia lantas menangis. Biasanya Raden tidak tega ketika melihat istrinya menangis. Tapi sekarang ceritanya sudah beda. “Aku tidak akan pernah peduli dengan tangisan mu, Erika!” Ayah, Ibu, saudara, dan kerabat Raden yang lain akhir-akhir ini terlalu sering menanyakan tentang kondisi Erika. Apa mungkin Erika benar-benar mandul? Semua pertanyaan tersebut semakin membuat pusing dan gelisah. Terakhir, mereka mendesak agar Raden membicarakan hal ini pada Erika sebelum nantinya mereka sendiri yang membicarakannya. Karena beban di pundak Raden terlalu berat, sudah tidak ada lagi rasa tega dan kasihan terhadap Erika. Semarah-marahnya dia, tidak pernah membentak apalagi sampai ngomong kasar. Tapi kali ini berbeda. Erika rasanya seperti orang lain saja. “Berhenti kau menangis. Tidak ada gunanya. Sampai habis air mata mu, kau tetap tidak akan pernah bisa mengandung!” sentak Raden dengan wajah gusar. Seperti ada tombak yang menancap di dada Erika. Terdengar helaan napasnya yang berat dan sesak. Lalu dia berusaha untuk bicara walaupun begitu merasakan sakit. “Beberapa hari ini kau sudah meninggalkan sholat wajib. Biasanya kau selalu sholat berjamaah di masjid, tapi akhir-akhir ini kau terlihat malas. Kau juga sering marah-marah. Kak Raden, kau sudah tidak seperti dulu.” “Sialan!” Raden menyergah. “Diam kau! Kau tidak perlu membahas hal itu. Kalau saja kau bisa jadi wanita normal seperti wanita-wanita di luar sana yang bisa punya anak, aku tidak akan jadi seperti ini.” “Jadi karena aku belum bisa mengandung, lantas kau berubah?” tanya Erika dengan begitu lirih dan penuh perasaan. “Ya! Karena kau mandul!” jawab Raden terang-terangan. Entah apa yang Erika rasakan, tapi ketika Raden melihat ekspresi di wajahnya, sepertinya dia begitu merasakan kepedihan dan kepahitan yang sangat mendalam. Jika memang demikian, baguslah, karena seperti itulah yang Raden rasakan selama ini. Erika bicara saat dia mengusap air matanya. “Kak Raden, kau tidak bisa mengatakan aku mandul. Aku cuma telat hamil saja. Ada wanita yang bahkan sepuluh tahun telat, tapi Allah tetap kasih mereka keturunan.” “Siapa? Orang lain?” tanya Raden sambil berkacak pinggang. “Begini saja. Aku sudah memeriksakan diriku di rumah sakit dan hasilnya ternyata aku baik-baik saja. Kau harus memeriksakan diri mu juga, Erika, karena besar kemungkinan kau adalah penyebab utamanya. Besok kita akan pergi ke rumah sakit supaya kita tahu apa hasilnya.” Erika cuma bisa menganggukkan kepala tanpa bicara. Dari wajahnya tampak kesedihan dan kecemasan. Mulai detik ini sampai besok sungguh terasa berat baginya. *** Keesokan harinya di Rumah Sakit Umum Moh. Hoesin Palembang. Setelah pemeriksaan yang cukup lama, akhirnya Erika pun keluar dengan hati yang begitu gelisah. Mereka menunggu hasilnya sebentar lagi. Tak lama berselang, dokter pun menghampiri mereka dengan membawa beberapa lembar hasil pemeriksaan. Ketika mendengarkan penjelasan dari dokter, Erika cuma bisa terdiam dan tercengang.“Ibu Erika mengidap gangguan autoimun : Lupus.” Dokter itu bicara pada Raden. “Hal yang sangat kami sayangkan adalah kenapa baru sekarang beliau dibawa ke rumah sakit guna dilakukan pemeriksaan. Jika beliau sudah sejak dulu diperiksa dan diobati, mungkin dampaknya tidak akan begitu besar.” Mendengar penjelasan tersebut, dada Raden bergoncang. Lupus? Penyakit mematikan seperti kanker? Yang jadi pertanyaan adalah kenapa baru sekarang Raden mengetahuinya? Andai saja dari dulu Raden tahu kalau Erika mengidap Lupus, dia tidak akan pernah mau menjadikan Erika sebagai istri. Setahu dia, lupus akan mengakibatkan seorang wanita akan sulit hamil, meskipun peluang untuk hamil tetap ada tapi sangat kecil. Beberapa tanda yang ada pada Erika dianggap biasa saja dan tidak pernah pula Raden mengkhawatirkannya. Seperti Erika lebih sering lesu. Raden pikir itu memang bawaan fisiknya dan juga pribadinya yang kalem. Atau seperti rambutnya yang gampang rontok. Hal tersebut bukanlah hal aneh b
Erika membaca lagi laporan hasil pemeriksaan yang ada di tangannya sambil menangis. Fisik dan raut wajahnya tampak melemah. Tapi dia punya jiwa yang kuat meskipun ujian yang amat berat semakin membuatnya tertekan. Dia tetap seperti biasanya menjadi seorang istri yang lemah lembut dan bersabar. Erika menguatkan diri walaupun perkataannya begitu lirih, “Aku ikhlas menerima apa pun yang Tuhan berikan kepadaku. Aku ridho menerima penyakit ini. Aku yakin aku bisa menjalaninya karena Tuhan tidak mungkin memberikan cobaan yang tidak disanggupi hamba-Nya.” Biasanya suaminya selalu tersentuh hati ketika dia bicara seperti demikian. Namun sekarang suasana hati suaminya begitu kacau sehingga apa pun yang dia katakan terasa tak berguna. Omongan Erika seperti angin lalu. Sebaliknya, Raden malah membentaknya. “Ini bukan cobaan, tapi siksaan!” Erika terhenyak dan putih matanya sedikit melebar. “Kak Raden, kau tidak boleh bicara seperti itu. Astaghfirullah.” Raden ampai meracau, “Tuhan sedan
Kebetulan sekarang Erika tidak sedang berada di rumah. Dia mengikuti kajian rutin mulai dari selepas ashar sampai selesai maghrib. Begitu mertua dan iparnya tahu bahwa dia rupanya menderita Lupus dan kemungkinan besar tidak akan bisa hamil, mereka benar-benar kaget dengan ekspresi beragam. Mertuanya menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungnya. “Astaga! Kenapa baru sekarang kita menyadarinya?” Adik iparnya menggelengkan kepala dengan raut wajah terkejut. “Iparku penyakitan? Perasaan, dia seperti biasa saja dan tidak tampak seperti penderita Lupus. Aneh.” Sementara ibu mertuanya sangat syok. Dia membelalakan mata dan mulutnya menganga. Dan dia adalah orang yang paling cerewet di antara kami. “Erika tidak bisa hamil? Apa? Selama ini aku punya menantu mandul?” Ibu mertuanya adalah orang yang paling bersemangat ingin segera punya cucu. Selama tiga tahun dia sangat sering berbicara dengan orang di rumah tentang keinginannya menggendong cucu pertama. Namun hingga saat ini
Pagi hari ini Erika sebetulnya hendak keluar rumah beraktivitas seperti biasa, yakni mengajar tahsin di mushala dekat sini. Dia jadi guru mengaji bagi anak-anak kecil dari usia empat sampai dua belas tahun. Tidak terlalu mengharapkan upah yang tak seberapa, dia cuma ingin dapat menyalurkan ilmu yang telah dia kuasai kepada orang lain agar lebih bermanfaat.Namun, saat dia baru saja melewati ruang tamu di depan, dia disahuti oleh ibu mertuanya. “Erika, kenalkan, dia Masayu. Oh, kau mau berangkat kerja ya. Tunggu dulu. Kita butuh ngobrol sebentar. Tidak lama kok. Palingan lima menit.”Erika tidak mungkin menolak walaupun dia tahu kalau apa yang terjadi nanti bakalan mengusik hatinya. “Baiklah, Bu,” ucapnya dengan kepolosan seperti biasanya.Selama satu bulan ini ibu mertuanya selalu menahan hati ketika mesti terus-terusan satu rumah dengan dirinya. Akan tetapi, Molek tidak mungkin juga untuk langsung secara terang-terangan mengusirnya dari sini sebab ayah mertuanya sudah memberikan l
Molek lantas menggerenyotkan bibir lalu mengoceh. “Erika kena penyakit Lupus bertahun-tahun.” Dia menceritakan apa yang sudah diketahui oleh Masayu. “Erika tidak akan pernah bisa punya anak keturunan. Sementara aku sangat ingin punya cucu. Masayu, wanita mana pun tidak mungkin bisa ikhlas kalau punya menantu yang mandul. Bukankah begitu?” Masayu satu frekuensi dengan Molek dan sangat bertolak belakang dengan kepribadian Erika. Masayu mengerutkan bibir lalu mengomel, “Aku tidak akan pernah sudi punya menantu mandul, Bu. Kalau aku jadi Ibu, sudah aku usir dia dari rumah ini.” Tampak dua pangkal alis Masayu bertemu dan matanya menyiratkan rasa sinis yang mendalam. Jika Erika lebih kalem, pendiam, dan introvert, maka sebaliknya, Masayu lebih bergairah, cerewet, dan ekstrovert. Masayu mencerocos sesuka hati mengiyakan semua ocehan ibuku. “Kak Raden, kau orang Palembang kenapa mau jadi suami wanita dusun? Kau sarjana dan dia c
Alkisah, tepat tiga setengah tahun yang lalu. Malam hari itu Raden sedang duduk termenung di sebuah taman dekat Sungai Sekanak. Tepatnya pukul 20.30. Kala itu dia masih berkecimpung di dalam dunia malam yang gelap, seperti berjudi, minum alkohol, memakai narkoba, dugem, hobi keluyuran dan jarang pulang ke rumah. Di usia 28 hidupnya sangat berantakan dan jauh dari nilai-nilai agama. Beberapa saat yang lalu Raden habis pinjam uang sebanyak satu juta rupiah dari temannya untuk beli narkoba dan berjudi. Semua habis tak lebih dari satu jam saja. Sepertinya ini adalah klimaks dari segala macam problem yang pernah dia alami selama sekitar sepuluh tahun belakangan. Sekarang adalah puncaknya dan dia rasa hidupnya akan segera berakhir. Total hutangnya sekarang lebih dari dua puluh juta dan dia sudah tidak tahu barang apa saja yang sudah dijual. Entah sudah berapa kali dia terpaksa membohongi orang tuanya. Entah sudah berapa banyak
Dari pagi sampai siang hari Raden menjaga toko. Tadi ada tiga orang yang masuk ingin membuat stempel atau cap. Lumayan. Begitu dia hendak menutup toko dan pulang istirahat makan, tiba-tiba teman akrabnya datang. Dan ini adalah awal mula musibah yang menimpa Erika! “Raden, apa kabar?” sapa Jery dengan senyum yang amat lebar di wajahnya. Dia memang selalu ceria kapan pun dan di mana pun. Apalagi dia saat ini membawa kabar baik dan uang yang banyak. Jadi wajar dia jauh lebih sumringah dari pada biasanya. Raden tidak menjawab pertanyaan itu karena suasana hatinya sedang buruk. “Tumben kau main ke sini. Entah terakhir kapan kita ketemu. Ada apa?” Jery menyeret kursi plastik lalu duduk sambil mengangkat salah satu kakinya. Dia menyalakan rokok, menyedot asapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara. “Aku dapat jackpot banyak pagi tadi. Bingung mau menghabiskan uangnya ke mana. Teman-teman pada sibuk semua. Aku cuma teringa
“Aku bawa pempek buat kalian semua. Ada sepatu buat Nyayu. Ada kemeja buat Raden. Ayah kan sedang sakit, jadi aku bawakan roti mahal dan juga madu.” Masayu mengawasi Molek dengan menerbitkan senyuman manis tak terkira. “Tas. Ibu pasti suka dengan warna dan motifnya.” Menyaksikan hadiah yang bagus dan cukup mahal itu, Molek nyaris terlonjak dari kursi dengan ekspresi kaget. “Wah! Kau baik sekali Masayu. Baru kali ini Ibu dibelikan tas, bermerk pula. Terima kasih ya.” Masayu menahan senyum di wajahnya dan membalas, “Spesial untuk kalian semua. Dan tak tertinggal pula, aku juga ada sesuatu buat Erika lho.” Masayu membuka kantong kresek dan menaruh sesuatu di atas meja. “Aku beli susu, vitamin, dan obat gemuk. Erika sangat butuh semua ini.” Mereka semua tidak berekspresi dan merespons kecuali Molek. Dia malah terkikik geli. “Hehe. Erika sangat butuh semuanya. Tapi percuma juga, Masayu. Seberapa banyak susu, vitam