Share

Mutiara Hati Yang Terabaikan
Mutiara Hati Yang Terabaikan
Penulis: mic.assekop

1. Istriku mandul

“Erika, kita sudah tiga tahun menikah. Tapi sampai saat ini kita masih belum juga mempunyai anak. Aku sudah habis duit banyak untuk promil dan semacamnya supaya kau bisa mengandung. Ah, semua tidak ada hasilnya. Kita tidak akan pernah punya keturunan.”

Erika terpekur saat mendengar kata-kata yang menghujam keras sampai ke lubuk hatinya. Sebagai istri, dia merasa sangat terpukul setelah mendengar ucapan kasar seperti itu.

Setelah sekian lama menahan hati dan bersabar, akhirnya Raden tidak bisa lagi untuk tidak bicara pada Erika tentang keadaan yang begitu pelik.

Erika menarik napas dalam-dalam. Dalam keadaan menunduk, dia bicara. “Kak Raden, ini adalah cobaan dari Tuhan untuk kita berdua. Banyak orang di luar sana yang juga diberikan cobaan seperti kita.”

Namun, Raden tidak bisa lagi terus-terusan mendengar ucapan lembut semacam itu lagi. Lantas dia menyentak, “Kemarin aku sudah pergi ke rumah sakit dan memeriksa sperma-ku. Berdasarkan pemeriksaan dari dokter ternyata tidak ada masalah dariku. Dan untuk memastikan bahwa sumber permasalahannya ada pada mu, sebaiknya kau juga memeriksakan diri mu, Erika.”

Raden meminta Erika supaya juga melakukan pengecekan dan pemeriksaan di rumah sakit. Bisa jadi Erika mengidap suatu penyakit atau kelainan yang membuat dia jadi sulit hamil atau bahkan mungkin tidak akan bisa hamil.

Selama ini mereka sudah berupaya semaksimal mungkin agar mereka bisa mempunyai keturunan. Ada banyak saran dari dokter dan juga orang tua yang telah mereka lakukan. Tapi, hasilnya tetap saja nihil.

Sejujurnya, Raden sebagai seorang suami sudah malas dan bahkan muak ketika mendengarkan pertanyaan dan ocehan orang-orang sekitar tentang kapan mereka punya anak. Dia terlalu malu begitu saat berkumpul dengan keluarga dan teman-teman, mereka menanyakan kapan dia punya momongan.

Pada saat ada acara seperti nikahan dan sebagainya, dia malas hadir, alasannya tentu saja karena dia minder pada mereka yang telah bisa menggendong bayi. Lantas sampai kapan dia mesti bertahan dalam kondisi yang begitu menyakitkan seperti ini?

Meski begitu, wanita baik dan shalihah itu tetap saja sabar dan bicara dengan lemah lembut. “Kak Raden, suamiku, yakinlah ini adalah ujian dari Allah untuk kita berdua. Kita masih diberi kesempatan untuk terus berdoa dan berserah diri padanya. Selama doa kita belum dikabulkan, ada banyak pahala di sana. Yakinlah, suatu saat Allah akan mengijabah doa kita berdua.”

Kemarin-kemarin Raden bisa terenyuh dan menerima setiap nasehat baik dari Erika. Dulu dia masih bisa sabar dan melakukan hal-hal baik. Tapi dulu. Sekarang kesabarannya sudah habis.

Menurutnya, anak keturunan wajib untuk dimiliki. Apakah hal semacam itu tidak akan pernah terwujud?Oh, Raden memang harus melakukan sesuatu.

Suasana kamar tidur yang hening dan tenang sontak jadi panas dan tegang. Raden tidak bisa terus-terusan sabar dalam menghadapi penderitaan yang berat.

Raden mengerutkan kening dan berkata, “Mau sabar dengan pakai cara apa lagi, Erika? Segala jenis makanan dan minuman telah kau konsumsi. Semua praktik kesehatan telah kau lakukan. Banyak doa telah kau panjatkan. Tapi bagaimana hasilnya? Mana?”

Erika langsung termenung setelah Raden mencecarnya habis-habisan. Matanya berkaca-kaca. Sambil mencengkeram gamisnya, dia berusaha bicara dengan tersedu-sedu. “Kak Raden, kenapa kau tiba-tiba mengeluh? Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ngucap, Kak. Ngucap.”

Raden sudah tidak bisa lagi mengontrol emosi. Kesabarannya sudah terkikis habis. Dan akhirnya kalimat yang selama ini terpendam di kepalanya pun keluar. “Jangan-jangan kau mandul, Erika!”

Seperti tersengat listrik, Erika tersentak kaget. “Astaghfirullah, Kak Raden. Kenapa kau bicara seperti itu pada istri mu? Astaga!”

Mata Erika semakin berkaca-kaca. Lalu genangan air di bola matanya pun mulai berjatuhan membasahi pipinya.

Dia memang wanita yang lembut dan mudah sekali terkena perasaan. Jadi wajar ketika mendengar ucapan barusan dia lantas menangis.

Biasanya Raden tidak tega ketika melihat istrinya menangis. Tapi sekarang ceritanya sudah beda. “Aku tidak akan pernah peduli dengan tangisan mu, Erika!”

Ayah, Ibu, saudara, dan kerabat Raden yang lain akhir-akhir ini terlalu sering menanyakan tentang kondisi Erika. Apa mungkin Erika benar-benar mandul? Semua pertanyaan tersebut semakin membuat pusing dan gelisah. Terakhir, mereka mendesak agar Raden membicarakan hal ini pada Erika sebelum nantinya mereka sendiri yang membicarakannya.

Karena beban di pundak Raden terlalu berat, sudah tidak ada lagi rasa tega dan kasihan terhadap Erika. Semarah-marahnya dia, tidak pernah membentak apalagi sampai ngomong kasar. Tapi kali ini berbeda. Erika rasanya seperti orang lain saja.

“Berhenti kau menangis. Tidak ada gunanya. Sampai habis air mata mu, kau tetap tidak akan pernah bisa mengandung!” sentak Raden dengan wajah gusar.

Seperti ada tombak yang menancap di dada Erika. Terdengar helaan napasnya yang berat dan sesak. Lalu dia berusaha untuk bicara walaupun begitu merasakan sakit. “Beberapa hari ini kau sudah meninggalkan sholat wajib. Biasanya kau selalu sholat berjamaah di masjid, tapi akhir-akhir ini kau terlihat malas. Kau juga sering marah-marah. Kak Raden, kau sudah tidak seperti dulu.”

“Sialan!” Raden menyergah. “Diam kau! Kau tidak perlu membahas hal itu. Kalau saja kau bisa jadi wanita normal seperti wanita-wanita di luar sana yang bisa punya anak, aku tidak akan jadi seperti ini.”

“Jadi karena aku belum bisa mengandung, lantas kau berubah?” tanya Erika dengan begitu lirih dan penuh perasaan.

“Ya! Karena kau mandul!” jawab Raden terang-terangan.

Entah apa yang Erika rasakan, tapi ketika Raden melihat ekspresi di wajahnya, sepertinya dia begitu merasakan kepedihan dan kepahitan yang sangat mendalam. Jika memang demikian, baguslah, karena seperti itulah yang Raden rasakan selama ini.

Erika bicara saat dia mengusap air matanya. “Kak Raden, kau tidak bisa mengatakan aku mandul. Aku cuma telat hamil saja. Ada wanita yang bahkan sepuluh tahun telat, tapi Allah tetap kasih mereka keturunan.”

“Siapa? Orang lain?” tanya Raden sambil berkacak pinggang. “Begini saja. Aku sudah memeriksakan diriku di rumah sakit dan hasilnya ternyata aku baik-baik saja. Kau harus memeriksakan diri mu juga, Erika, karena besar kemungkinan kau adalah penyebab utamanya. Besok kita akan pergi ke rumah sakit supaya kita tahu apa hasilnya.”

Erika cuma bisa menganggukkan kepala tanpa bicara. Dari wajahnya tampak kesedihan dan kecemasan. Mulai detik ini sampai besok sungguh terasa berat baginya.

***

Keesokan harinya di Rumah Sakit Umum Moh. Hoesin Palembang.

Setelah pemeriksaan yang cukup lama, akhirnya Erika pun keluar dengan hati yang begitu gelisah.

Mereka menunggu hasilnya sebentar lagi. Tak lama berselang, dokter pun menghampiri mereka dengan membawa beberapa lembar hasil pemeriksaan.

Ketika mendengarkan penjelasan dari dokter, Erika cuma bisa terdiam dan tercengang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status