Kebetulan sekarang Erika tidak sedang berada di rumah. Dia mengikuti kajian rutin mulai dari selepas ashar sampai selesai maghrib.
Begitu mertua dan iparnya tahu bahwa dia rupanya menderita Lupus dan kemungkinan besar tidak akan bisa hamil, mereka benar-benar kaget dengan ekspresi beragam. Mertuanya menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungnya. “Astaga! Kenapa baru sekarang kita menyadarinya?” Adik iparnya menggelengkan kepala dengan raut wajah terkejut. “Iparku penyakitan? Perasaan, dia seperti biasa saja dan tidak tampak seperti penderita Lupus. Aneh.” Sementara ibu mertuanya sangat syok. Dia membelalakan mata dan mulutnya menganga. Dan dia adalah orang yang paling cerewet di antara kami. “Erika tidak bisa hamil? Apa? Selama ini aku punya menantu mandul?” Ibu mertuanya adalah orang yang paling bersemangat ingin segera punya cucu. Selama tiga tahun dia sangat sering berbicara dengan orang di rumah tentang keinginannya menggendong cucu pertama. Namun hingga saat ini keinginan tersebut belum juga tercapai. Apalagi akhirnya dia tahu bahwa menantu yang selama ini tinggal bersamanya ternyata sepertinya tidak akan pernah bisa memberikan cucu untuknya. Ibu mertuanya mengerutkan kedua ujung bibirnya lalu kembali berkomentar sinis. “Seharusnya dari dulu kita tahu kalau ternyata Erika penyakitan dan tidak bisa punya anak.” Wanita itu menampakkan kekecewaan dan kemarahannya. “Tiga tahun? Tiga tahun kita menunggunya?” Dia mengawasi Raden dengan pandangan tak terima. “Raden, jadi apa kau tahu apa yang harus kau lakukan setelah ini?” Raden memang tidak mungkin mempertahankan rumah tangga bersama Erika. Keluarganya pasti menuntut. Mereka sudah lama mengidamkan cucu. Maka sudah sewajarnya kalau mereka ujung-ujungnya mendesak agar dia menceraikan Erika. Tapi, bagaimana pun kesal dan kecewanya Raden pada Erika, dia masih menyimpan sedikit rasa di hatinya yang terkecil, bagaimana pun Erika adalah wanita yang pernah mengubah dirinya Lagi pula selama tiga tahun belakangan Erika selalu baik tidak hanya padanya, tapi juga turut kepada ayah, ibu, dan adiknya, bahkan kerabat dan tetangga di sekitar. Selain terkenal sangat agamis, Erika juga sopan dan dermawan, jadi tidak mudah untuk menceraikannya begitu saja. Raden pun berkata, “Aku tidak kuat untuk berpisah dengan Erika sekarang.” Dia menatap ibunya dengan penuh perasaan. “Bu, Erika bekerja terlalu keras untuk kita di rumah ini. Dia pergi ke pasar, memasak, mencuci piring, beres-beres rumah, dan dia menyempatkan diri mencari uang juga untuk menambah keperluan rumah tangga kami.” Molek bungkam beberapa saat, mengingat-ingat semua kebaikan Erika. Nyayu pun merasakan hal yang sama. “Iparku sering memberikan nasehat bijak padaku. Kalau saja dia tidak perhatian padaku, aku tidak akan pakai jilbab dan aku bebas berpacaran. Dia bahkan memberikan perhatiannya padaku lebih dari apa yang kalian berikan.” Sementara itu, ayah mertua Erika duduk menegakkan bahunya. Sebagai kepala rumah tangga, dia memang selalu bijak. “Ayah juga tidak setuju jika kau harus menceraikan Erika sekarang. Kau terlalu naif dan jahat kalau menceraikannya setelah baru tahu bahwa dia ternyata menderita suatu penyakit yang bakal menghambat proses kehamilan. Jadi Ayah sarankan untuk tenang terlebih dahulu. Dan Raden, kau jangan membuat Erika terlalu bersedih lantaran masalah ini. Sementara waktu jalani semuanya seperti biasa-biasa saja.” Raden menganggukkan kepala menerima nasehat tepat dari ayahnya. Sedangkan ibunya tidak banyak suara, tapi dia seakan-akan merasakan apa yang ada di hatinya. Dari wajahnya, ibunya terlihat begitu terpukul dan tidak bisa menerima kenyataan. Tidak kuat melanjutkan pembicaraan, Molek melenggang dari ruang keluarga menuju kamarnya, lalu juga disusul oleh Cik Mat. Sementara Nyayu, karena dia masih terlalu muda dan belum pernah melewati masa-masa berkeluarga, tak banyak bunyi apalagi bermaksud memberikan masukan. *** Malam harinya. Biasanya setelah menyiapkan malam malam sehabis shalat isya, Erika pasti makan bersama, tapi malam hari ini ceritanya berbeda. Erika langsung pamit undur diri dan cuma bisa berkata, “Silakan kalian makan. Aku ada pekerjaan sebentar. Permisi.” Erika pergi menuju kamar tidur. Suasana yang canggung begitu sangat terasa. Sejak tadi nyaris tidak ada kalimat apa pun yang terucap di antara mereka berlima. Jika pada biasanya mereka saling menanyakan apa yang dilakukan pada hari ini, seperti apakah toko ramai atau sepi, atau apa isi kajian barusan, tentang kuliah Nyayu, tapi semua pembicaraan tersebut kini tidak ada. Sunyi. Tapi, Cik Mat menyahuti Erika. “Makan dulu saja, menantuku. Nantilah soal pekerjaannya.” Erika sempat membalik badan tapi tak berani mengawasi mereka berempat. “Maaf, Ayah. Silakan kalian makan duluan.” Dia tetap kembali menuju arah kamar. Cik Mat adalah orang yang paling bisa mengontrol sikap meskipun dalam keadaan yang paling tidak nyaman sekali pun. Sebaliknya, Cek Molek tidak bisa mengendalikan suasana hatinya yang buruk. Dia sempat menampakkan ekspresi ketidaksenangannya pada Erika tadi dan Erika pun turut menyadarinya. Di antara mereka berdua, tentu saja sikap yang baik bisa diambil dari Cik Mat. Benar, Raden tidak boleh membuat Erika semakin tak nyaman. Benar apa kata ayahnya. Dia harus bersikap biasa-biasa saja dan jangan terlebih dahulu membahas soal perceraian. Hari semakin gelap dan suasana rumah di hari-hari ke depan sepertinya akan juga ikut gelap. Usai dari makan malam, Raden lantas masuk ke dalam kamar tidur, dan sudah mendapati Erika tertidur cukup pulas. Dia tidak bisa merasakan betul apa yang sebenarnya Erika rasakan. ‘Kita tidak akan bisa memahami satu sama lain jika kita tidak merasakan penderitaan yang sama.’ Namun, karena dia tahu Erika orangnya seperti apa, seolah-olah dia tahu kalau hati Erika saat ini jauh lebih remuk dari apa yang dia rasakan. Raden berdiri sambil mengawasi tubuh Erika yang kurus. Dia pikir, tubuh yang kurus itu memang bawaan, tapi akhirnya dia sadar bahwa tubuh yang ringkih itu merupakan salah satu tanda penderita Lupus. Tidak pernah sebelumnya Raden melihat Erika tidur meringkuk seperti udang. Apa yang tampak terlihat menunjukkan apa yang tersimpan di dada. Ya, Erika sangat terpukul. Tapi herannya, dia tidak pernah mengeluh, dan malah tetap tabah. *** Selama beberapa hari kemudian Erika tetap beraktivitas seperti biasa. Apa yang Raden risaukan rupanya tidaklah benar. Justru Erika bisa membawa diri di hadapan keluarga ini. Ketika ayah mertuanya bersikap normal dan tidak membahas apa pun soal penyakit tersebut, Erika meresponsnya dengan sikap sopan seperti biasanya. Dia berhubungan baik seperti biasanya pada adik iparnya. Dan dia tetap menjadi istri yang taat, tidak ada perubahan sedikit pun. Namun, tidak halnya bagi ibu mertuanya.. Satu bulan setelah tahu kabar tentang penyakit Erika, tiba-tiba saja dan sangat mengejutkan, Molek membawa satu orang gadis muda yang sangat cantik ke rumah. Dia bahkan memperkenalkan gadis itu pada Raden dan Erika. “Namanya Masayu. Gadis Palembang asli, sehat, dan … subur.”Pagi hari ini Erika sebetulnya hendak keluar rumah beraktivitas seperti biasa, yakni mengajar tahsin di mushala dekat sini. Dia jadi guru mengaji bagi anak-anak kecil dari usia empat sampai dua belas tahun. Tidak terlalu mengharapkan upah yang tak seberapa, dia cuma ingin dapat menyalurkan ilmu yang telah dia kuasai kepada orang lain agar lebih bermanfaat.Namun, saat dia baru saja melewati ruang tamu di depan, dia disahuti oleh ibu mertuanya. “Erika, kenalkan, dia Masayu. Oh, kau mau berangkat kerja ya. Tunggu dulu. Kita butuh ngobrol sebentar. Tidak lama kok. Palingan lima menit.”Erika tidak mungkin menolak walaupun dia tahu kalau apa yang terjadi nanti bakalan mengusik hatinya. “Baiklah, Bu,” ucapnya dengan kepolosan seperti biasanya.Selama satu bulan ini ibu mertuanya selalu menahan hati ketika mesti terus-terusan satu rumah dengan dirinya. Akan tetapi, Molek tidak mungkin juga untuk langsung secara terang-terangan mengusirnya dari sini sebab ayah mertuanya sudah memberikan l
Molek lantas menggerenyotkan bibir lalu mengoceh. “Erika kena penyakit Lupus bertahun-tahun.” Dia menceritakan apa yang sudah diketahui oleh Masayu. “Erika tidak akan pernah bisa punya anak keturunan. Sementara aku sangat ingin punya cucu. Masayu, wanita mana pun tidak mungkin bisa ikhlas kalau punya menantu yang mandul. Bukankah begitu?” Masayu satu frekuensi dengan Molek dan sangat bertolak belakang dengan kepribadian Erika. Masayu mengerutkan bibir lalu mengomel, “Aku tidak akan pernah sudi punya menantu mandul, Bu. Kalau aku jadi Ibu, sudah aku usir dia dari rumah ini.” Tampak dua pangkal alis Masayu bertemu dan matanya menyiratkan rasa sinis yang mendalam. Jika Erika lebih kalem, pendiam, dan introvert, maka sebaliknya, Masayu lebih bergairah, cerewet, dan ekstrovert. Masayu mencerocos sesuka hati mengiyakan semua ocehan ibuku. “Kak Raden, kau orang Palembang kenapa mau jadi suami wanita dusun? Kau sarjana dan dia c
Alkisah, tepat tiga setengah tahun yang lalu. Malam hari itu Raden sedang duduk termenung di sebuah taman dekat Sungai Sekanak. Tepatnya pukul 20.30. Kala itu dia masih berkecimpung di dalam dunia malam yang gelap, seperti berjudi, minum alkohol, memakai narkoba, dugem, hobi keluyuran dan jarang pulang ke rumah. Di usia 28 hidupnya sangat berantakan dan jauh dari nilai-nilai agama. Beberapa saat yang lalu Raden habis pinjam uang sebanyak satu juta rupiah dari temannya untuk beli narkoba dan berjudi. Semua habis tak lebih dari satu jam saja. Sepertinya ini adalah klimaks dari segala macam problem yang pernah dia alami selama sekitar sepuluh tahun belakangan. Sekarang adalah puncaknya dan dia rasa hidupnya akan segera berakhir. Total hutangnya sekarang lebih dari dua puluh juta dan dia sudah tidak tahu barang apa saja yang sudah dijual. Entah sudah berapa kali dia terpaksa membohongi orang tuanya. Entah sudah berapa banyak
Dari pagi sampai siang hari Raden menjaga toko. Tadi ada tiga orang yang masuk ingin membuat stempel atau cap. Lumayan. Begitu dia hendak menutup toko dan pulang istirahat makan, tiba-tiba teman akrabnya datang. Dan ini adalah awal mula musibah yang menimpa Erika! “Raden, apa kabar?” sapa Jery dengan senyum yang amat lebar di wajahnya. Dia memang selalu ceria kapan pun dan di mana pun. Apalagi dia saat ini membawa kabar baik dan uang yang banyak. Jadi wajar dia jauh lebih sumringah dari pada biasanya. Raden tidak menjawab pertanyaan itu karena suasana hatinya sedang buruk. “Tumben kau main ke sini. Entah terakhir kapan kita ketemu. Ada apa?” Jery menyeret kursi plastik lalu duduk sambil mengangkat salah satu kakinya. Dia menyalakan rokok, menyedot asapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara. “Aku dapat jackpot banyak pagi tadi. Bingung mau menghabiskan uangnya ke mana. Teman-teman pada sibuk semua. Aku cuma teringa
“Aku bawa pempek buat kalian semua. Ada sepatu buat Nyayu. Ada kemeja buat Raden. Ayah kan sedang sakit, jadi aku bawakan roti mahal dan juga madu.” Masayu mengawasi Molek dengan menerbitkan senyuman manis tak terkira. “Tas. Ibu pasti suka dengan warna dan motifnya.” Menyaksikan hadiah yang bagus dan cukup mahal itu, Molek nyaris terlonjak dari kursi dengan ekspresi kaget. “Wah! Kau baik sekali Masayu. Baru kali ini Ibu dibelikan tas, bermerk pula. Terima kasih ya.” Masayu menahan senyum di wajahnya dan membalas, “Spesial untuk kalian semua. Dan tak tertinggal pula, aku juga ada sesuatu buat Erika lho.” Masayu membuka kantong kresek dan menaruh sesuatu di atas meja. “Aku beli susu, vitamin, dan obat gemuk. Erika sangat butuh semua ini.” Mereka semua tidak berekspresi dan merespons kecuali Molek. Dia malah terkikik geli. “Hehe. Erika sangat butuh semuanya. Tapi percuma juga, Masayu. Seberapa banyak susu, vitam
Erika tidak mampu menahan derai air matanya. “Kak Raden, wanita itu sudah dua kali datang ke rumah dan aku tahu apa maksudnya.” Dia meminta agar suaminya segera bicara dan menanggapi apa omongannya. “Apa kau setuju atas kehadiran dia? Apa kau mulai mau menelantarkan aku?” Karena beban masalah Raden sudah terlanjur berat, dia keceplosan dan secara tak sengaja bicara padanya. “Kau tak tidak bisa hamil anak untukku, Erika.” Apa yang barusan dia utarakan murni dari hati yang terdalam. “Kalau saja kau bisa seperti wanita normal pada umumnya, orang tuaku tidak mungkin mendatangkan Masayu ke sini.” Terdengar helaan napas Erika yang sendu. Dia tidak mampu lagi menahan kesedihan yang terus saja merundung dirinya. “Jadi kau setuju atas kehadiran orang ketiga di rumah tangga kita?” Raden menarik napas dalam-dalam. “Apa pun yang terbaik bagi aku dan keluargaku, dan apa pun yang bisa membahag
Cepat Jery merespons. “Bohong! Tidak mungkin kau tidak ada masalah sekarang! Ya sudah kalau kau tidak mau cerita. Biar aku saja yang cerita.” “Ceritalah,” kata Raden sambil menarik asap rokok dan menyandarkan punggung. Jery memang orangnya hobi cerita. Apalagi kalau sudah bawaan minum seperti sekarang. Jadi selama lebih dari tiga puluh menit dia menceritakan masalah yang sebenarnya dulu selalu kami hindari, yaitu : Pernikahan. Mereka berdua malas kalau sudah bicara soal pernikahan. Dulu, pas mereka masih bujang dan yang ada ada di pikiran cuma bersenang-senang. Mereka tidak mau menikah karena takut jika masa muda mereka hilang begitu saja. Selama mereka belum menikah, kami bebas melakukan apa saja. Namun, itu pola pikir dulu. Seiring berjalannya waktu, mereka terus mendewasakan diri, dan Jery sekarang sudah kepikiran mau menikah. “Aku mulai ada niatan menikah setelah kau menikah, Jon,” katanya
Jam 10 pagi di kos Jery. Raden baru saja terbangun dan melihat Jery sedang sibuk memainkan game judol di ponselnya. Melihat dia begitu asyik bermain, Raden jadi ikut pula mau bermain. Singkat cerita, Raden kembali lagi sebagai penjudi setelah cukup lama berhenti. “Aku rindu masa-masa seperti ini, Jon!” seru Jery sambil menghisap asap rokoknya dalam-dalam. “Aku senang sekali rasanya kau bisa kembali lagi. Tiga tahun lebih aku lebih sering sendiri. Kadang juga aku suka ngumpul sama teman yang lain, tapi tidak akur. Gak seru. Gak asyik. Lebih enak kalau sama kau, Jon.” Mereka main sampai malam hari. Seperti inilah kegiatan mereka di waktu dulu selama bertahun-tahun lamanya. Pada awal permainan, seperti biasanya, Raden diberikan kemenangan oleh bandar, sehingga dia semakin bersemangat main. Sebenarnya dia main saat ini entah tidak ada tujuan apa pun selain dari karena ingin menghibu