Share

4. Orang ketiga

Kebetulan sekarang Erika tidak sedang berada di rumah. Dia mengikuti kajian rutin mulai dari selepas ashar sampai selesai maghrib.

Begitu mertua dan iparnya tahu bahwa dia rupanya menderita Lupus dan kemungkinan besar tidak akan bisa hamil, mereka benar-benar kaget dengan ekspresi beragam.

Mertuanya menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungnya. “Astaga! Kenapa baru sekarang kita menyadarinya?”

Adik iparnya menggelengkan kepala dengan raut wajah terkejut. “Iparku penyakitan? Perasaan, dia seperti biasa saja dan tidak tampak seperti penderita Lupus. Aneh.”

Sementara ibu mertuanya sangat syok. Dia membelalakan mata dan mulutnya menganga. Dan dia adalah orang yang paling cerewet di antara kami. “Erika tidak bisa hamil? Apa? Selama ini aku punya menantu mandul?”

Ibu mertuanya adalah orang yang paling bersemangat ingin segera punya cucu. Selama tiga tahun dia sangat sering berbicara dengan orang di rumah tentang keinginannya menggendong cucu pertama. Namun hingga saat ini keinginan tersebut belum juga tercapai. Apalagi akhirnya dia tahu bahwa menantu yang selama ini tinggal bersamanya ternyata sepertinya tidak akan pernah bisa memberikan cucu untuknya.

Ibu mertuanya mengerutkan kedua ujung bibirnya lalu kembali berkomentar sinis. “Seharusnya dari dulu kita tahu kalau ternyata Erika penyakitan dan tidak bisa punya anak.” Wanita itu menampakkan kekecewaan dan kemarahannya. “Tiga tahun? Tiga tahun kita menunggunya?” Dia mengawasi Raden dengan pandangan tak terima. “Raden, jadi apa kau tahu apa yang harus kau lakukan setelah ini?”

Raden memang tidak mungkin mempertahankan rumah tangga bersama Erika. Keluarganya pasti menuntut. Mereka sudah lama mengidamkan cucu. Maka sudah sewajarnya kalau mereka ujung-ujungnya mendesak agar dia menceraikan Erika.

Tapi, bagaimana pun kesal dan kecewanya Raden pada Erika, dia masih menyimpan sedikit rasa di hatinya yang terkecil, bagaimana pun Erika adalah wanita yang pernah mengubah dirinya

Lagi pula selama tiga tahun belakangan Erika selalu baik tidak hanya padanya, tapi juga turut kepada ayah, ibu, dan adiknya, bahkan kerabat dan tetangga di sekitar.

Selain terkenal sangat agamis, Erika juga sopan dan dermawan, jadi tidak mudah untuk menceraikannya begitu saja.

Raden pun berkata, “Aku tidak kuat untuk berpisah dengan Erika sekarang.” Dia menatap ibunya dengan penuh perasaan. “Bu, Erika bekerja terlalu keras untuk kita di rumah ini. Dia pergi ke pasar, memasak, mencuci piring, beres-beres rumah, dan dia menyempatkan diri mencari uang juga untuk menambah keperluan rumah tangga kami.”

Molek bungkam beberapa saat, mengingat-ingat semua kebaikan Erika.

Nyayu pun merasakan hal yang sama. “Iparku sering memberikan nasehat bijak padaku. Kalau saja dia tidak perhatian padaku, aku tidak akan pakai jilbab dan aku bebas berpacaran. Dia bahkan memberikan perhatiannya padaku lebih dari apa yang kalian berikan.”

Sementara itu, ayah mertua Erika duduk menegakkan bahunya. Sebagai kepala rumah tangga, dia memang selalu bijak. “Ayah juga tidak setuju jika kau harus menceraikan Erika sekarang. Kau terlalu naif dan jahat kalau menceraikannya setelah baru tahu bahwa dia ternyata menderita suatu penyakit yang bakal menghambat proses kehamilan. Jadi Ayah sarankan untuk tenang terlebih dahulu. Dan Raden, kau jangan membuat Erika terlalu bersedih lantaran masalah ini. Sementara waktu jalani semuanya seperti biasa-biasa saja.”

Raden menganggukkan kepala menerima nasehat tepat dari ayahnya. Sedangkan ibunya tidak banyak suara, tapi dia seakan-akan merasakan apa yang ada di hatinya. Dari wajahnya, ibunya terlihat begitu terpukul dan tidak bisa menerima kenyataan.

Tidak kuat melanjutkan pembicaraan, Molek melenggang dari ruang keluarga menuju kamarnya, lalu juga disusul oleh Cik Mat.

Sementara Nyayu, karena dia masih terlalu muda dan belum pernah melewati masa-masa berkeluarga, tak banyak bunyi apalagi bermaksud memberikan masukan.

***

Malam harinya.

Biasanya setelah menyiapkan malam malam sehabis shalat isya, Erika pasti makan bersama, tapi malam hari ini ceritanya berbeda.

Erika langsung pamit undur diri dan cuma bisa berkata, “Silakan kalian makan. Aku ada pekerjaan sebentar. Permisi.”

Erika pergi menuju kamar tidur.

Suasana yang canggung begitu sangat terasa. Sejak tadi nyaris tidak ada kalimat apa pun yang terucap di antara mereka berlima. Jika pada biasanya mereka saling menanyakan apa yang dilakukan pada hari ini, seperti apakah toko ramai atau sepi, atau apa isi kajian barusan, tentang kuliah Nyayu, tapi semua pembicaraan tersebut kini tidak ada.

Sunyi.

Tapi, Cik Mat menyahuti Erika. “Makan dulu saja, menantuku. Nantilah soal pekerjaannya.”

Erika sempat membalik badan tapi tak berani mengawasi mereka berempat. “Maaf, Ayah. Silakan kalian makan duluan.” Dia tetap kembali menuju arah kamar.

Cik Mat adalah orang yang paling bisa mengontrol sikap meskipun dalam keadaan yang paling tidak nyaman sekali pun.

Sebaliknya, Cek Molek tidak bisa mengendalikan suasana hatinya yang buruk. Dia sempat menampakkan ekspresi ketidaksenangannya pada Erika tadi dan Erika pun turut menyadarinya.

Di antara mereka berdua, tentu saja sikap yang baik bisa diambil dari Cik Mat.

Benar, Raden tidak boleh membuat Erika semakin tak nyaman. Benar apa kata ayahnya. Dia harus bersikap biasa-biasa saja dan jangan terlebih dahulu membahas soal perceraian.

Hari semakin gelap dan suasana rumah di hari-hari ke depan sepertinya akan juga ikut gelap.

Usai dari makan malam, Raden lantas masuk ke dalam kamar tidur, dan sudah mendapati Erika tertidur cukup pulas.

Dia tidak bisa merasakan betul apa yang sebenarnya Erika rasakan.

‘Kita tidak akan bisa memahami satu sama lain jika kita tidak merasakan penderitaan yang sama.’

Namun, karena dia tahu Erika orangnya seperti apa, seolah-olah dia tahu kalau hati Erika saat ini jauh lebih remuk dari apa yang dia rasakan.

Raden berdiri sambil mengawasi tubuh Erika yang kurus. Dia pikir, tubuh yang kurus itu memang bawaan, tapi akhirnya dia sadar bahwa tubuh yang ringkih itu merupakan salah satu tanda penderita Lupus.

Tidak pernah sebelumnya Raden melihat Erika tidur meringkuk seperti udang. Apa yang tampak terlihat menunjukkan apa yang tersimpan di dada.

Ya, Erika sangat terpukul. Tapi herannya, dia tidak pernah mengeluh, dan malah tetap tabah.

***

Selama beberapa hari kemudian Erika tetap beraktivitas seperti biasa. Apa yang Raden risaukan rupanya tidaklah benar. Justru Erika bisa membawa diri di hadapan keluarga ini. Ketika ayah mertuanya bersikap normal dan tidak membahas apa pun soal penyakit tersebut, Erika meresponsnya dengan sikap sopan seperti biasanya.

Dia berhubungan baik seperti biasanya pada adik iparnya. Dan dia tetap menjadi istri yang taat, tidak ada perubahan sedikit pun.

Namun, tidak halnya bagi ibu mertuanya..

Satu bulan setelah tahu kabar tentang penyakit Erika, tiba-tiba saja dan sangat mengejutkan, Molek membawa satu orang gadis muda yang sangat cantik ke rumah.

Dia bahkan memperkenalkan gadis itu pada Raden dan Erika. “Namanya Masayu. Gadis Palembang asli, sehat, dan … subur.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status