Share

5. Ujian berat seorang istri

Pagi hari ini Erika sebetulnya hendak keluar rumah beraktivitas seperti biasa, yakni mengajar tahsin di mushala dekat sini. Dia jadi guru mengaji bagi anak-anak kecil dari usia empat sampai dua belas tahun. Tidak terlalu mengharapkan upah yang tak seberapa, dia cuma ingin dapat menyalurkan ilmu yang telah dia kuasai kepada orang lain agar lebih bermanfaat.

Namun, saat dia baru saja melewati ruang tamu di depan, dia disahuti oleh ibu mertuanya.

“Erika, kenalkan, dia Masayu. Oh, kau mau berangkat kerja ya. Tunggu dulu. Kita butuh ngobrol sebentar. Tidak lama kok. Palingan lima menit.”

Erika tidak mungkin menolak walaupun dia tahu kalau apa yang terjadi nanti bakalan mengusik hatinya. “Baiklah, Bu,” ucapnya dengan kepolosan seperti biasanya.

Selama satu bulan ini ibu mertuanya selalu menahan hati ketika mesti terus-terusan satu rumah dengan dirinya.

Akan tetapi, Molek tidak mungkin juga untuk langsung secara terang-terangan mengusirnya dari sini sebab ayah mertuanya sudah memberikan larangan dan peringatan.

Kendati Molek tidak memperlakukannya secara terang-terangan, tapi dia berusaha menyingkirkan Erika secara perlahan-lahan, yaitu caranya adalah dengan mendatangkan satu wanita pilihannya yang bakal dia tawarkan Raden.

Erika duduk pas di samping suaminya.

Molek berkata saat dia menatap Erika dengan senyuman tipis. “Masayu, sesuai namanya, dia orang Palembang asli. Dua tahun lalu baru selesai kuliah dan sekarang sudah bekerja. Kalau kita lihat dari fisiknya, Masayu pasti sehat dan subur. Bukankah begitu, Raden?”

Raden memperhatikan wajah dan fisik Masayu. Tidak cuma cantik, dia punya perawakan seperti Polwan atau Teller bank. Dengan kata lain tinggi badannya tak kurang dari 170 cm. Berat badannya pun cukup sehingga dia tidak bisa dikatakan kurus atau pun gendut.

Pria mana pun yang bertemu dengan Masayu pasti akan langsung tertarik.

Raden tidak terlalu takjub dengan wanita seperti Masayu karena sewaktu masih bujang dia kerap bertemu dengan wanita layaknya Masayu. Cantik, menawan, tidak memakai hijab, dan tidak akan memalukan kalau diajak berjalan ke mana-mana.

Entahlah, apa maksud Molek mendatangkan Masayu ke rumah.

“Raden, kau belum menjawab pertanyaan ibumu?” ucap Molek sambil menyenggol lengan Masayu.

“Ya, seperti apa kata Ibu sendiri,” jawab Raden apa adanya.

Setelah membangga-banggakan Masayu, lalu Molek membahas jeleknya menantunya sendiri. Dia bicara seperti sudah tak peduli lagi atas kehadiran Erika di sini. “Erika, kau memang baik, shalihah, dan pintar agama, tapi ingat, kau berasal dari dusun, tamatan SMA, dan bukan berasal dari keluarga terhormat.”

Kedua mertua Erika masih konservatif dan menjaga nilai budaya Palembang. Mereka berdua adalah sama-sama Wong Palembang asli. Begitu pula orang tua dan kakek-buyut mereka yang juga merupakan orang asli Palembang : Melayu-Jawa.

Kebiasaan orang dulu adalah mewarisi nilai-nilai luhur kepada anak keturunan mereka, salah satunya adalah mereka memastikan bahwa putra dan putri mereka menikah dengan orang yang juga berasal dari Palembang. Jika pasangan mereka merupakan keluarga terpandang dan terhormat, tentu saja itu jadi nilai tambah.

Friksi antara Orang kota (Iliran) dan Orang desa (Uluan)  sudah terjadi sejak dulu. Orang iliran bangga karena mereka orang kota dan bisa sekolah tinggi. Mereka kerap sombong terhadap orang uluan, namun pada akhirnya Orang uluan bisa menjadi pedagang sukses di kota yang pada akhirnya memicu perseteruan di antara mereka.

Erika adalah orang Uluan. Sebetulnya kedua mertuanya kurang setuju jika dia mesti menjadi istri dari Raden. Namun karena kepribadian Erika begitu mulia, hati mereka pun luluh dan secara suka rela membiarkan Erika dan Raden menikah dan hidup berumah tangga.

Ada rasa kecewa dari mereka pada Raden karena tidak bisa menjaga amanah dengan cara mendapatkan istri orang Palembang. Jadi selama Erika tinggal bersama mereka, sebenarnya mereka tidak sepenuh hati. Pasalnya masih ada keinginan dari mereka agar kiranya Raden mendapatkan pasangan hidup yang merupakan orang asli Palembang atau wanita iliran.

Keinginan tersebut masih terus melekat, terutama pada Molek. Dia berkata dengan bangga. “Rumahnya Masayu sama seperti rumah kita. Rumah Limas yang masih asli. Tapi saat ini mereka pindah ke perumahan elit. Itu artinya mereka orang kaya. Benar kan, Masayu?”

Wanita gaul itu menjawab, “Tentu saja kami kaya.”

Molek bisa mengenal Masayu di sebuah grup media sosial yang di sana berkumpul orang-orang Palembang asli. Singkat cerita, keluarga Masayu mengidam-idamkan pria asli orang Palembang yang akan dijodohkan buat Masayu nantinya. Keluarga Masayu sama seperti Keluarga Raden, yakni ingin menjaga nilai-nilai luhur nenek moyang mereka.

Molek berhubungan cukup dekat dengan ibunya Masayu selama beberapa minggu belakangan. Dan sampai pada akhirnya Masayu pun bersedia untuk datang ke rumah.

Lantas, apa tanggapan Masayu ketika bertemu Erika?

Jijik. Masayu tampak jijik saat melihat Erika.

Molek tidak bisa menjaga mulutnya. “Erika, kau sangat berbeda kalau dibandingkan dengan Masayu. Dia dari kota dan kaya. Sementara kau dari dusun dan miskin. Belum lagi kalau kita membahas tentang kesuburan.”

Perkataan Molek begitu menohok.

Erika menghela napas pendek saat hatinya semakin terusik. Wanita mana yang tahan kalau dibanding-bandingkan? Wanita mana yang bisa tidak sakit hatinya saat dia tahu kalau mertuanya sudah menyiapkan wanita terbaik buat suaminya?

Erika tidak kuat. Dia tetap mengucapkan permisi pada mereka walaupun sakit hati. “Aku sudah telat. Aku harus segera pergi. Assalamualaikum.”

Dia berjalan menguatkan diri. Seperti biasa, Erika selalu tabah.

***

Molek berkata, “Raden, seharusnya kau menikah dengan wanita Iliran, bukan wanita dusun dan penyakitan seperti Erika. Coba saja kau dulu bertemu dengan Masayu waktu itu.”

Di mata Molek, Masayu merupakan wanita idaman. Dia pasti lebih memilih Masayu ketimbang Erika. Persoalan Masayu tak berhijab dan tidak bisa masak, itu urusan belakangan. Sebab kepribadian bisa diubah dan memasak bisa dipelajari. Terpenting baginya adalah wanita itu orang Palembang dan bisa punya anak.

Seperti itulah pola pikir wanita. Terdengar cetek.

“Raden, kenapa pula kau bisa bertemu dengan Erika dan jatuh hati padanya lalu menjadikannya istri? Akhirnya kau menyesal kan?” sentak Molek dengan raut wajah memberengut.

Raden dan Masayu saling bertukar pandang. Tiba-tiba saja dia teringat dengan seseorang. Dia terbayang kejadian sekitar empat atau lima tahun lalu di sebuah diskotik malam hari itu.

Entahlah, wajahnya sangat mirip. Tapi tidak mungkin juga dia membahasnya di hadapan ibunya. Dia mendelik wajah Masayu. Ah, dia tidak bisa memastikan kalau wanita yang minum bersamanya wanita itu memang adalah Masayu.

Molek membuyarkan lamunan itu. “Kenapa kau diam? Ayo bicaralah tentang istri mu yang tidak akan bisa hamil pada Masayu supaya Masayu yakin suatu saat kalian bisa hidup bersama dan punya anak keturunan.”

'Untuk apa aku bicara pada Masayu?' pikir Raden.

Sudahlah, dia tahu betul seperti apa lebarnya mulut ibunya. Pasti Masayu sudah tahu dari A sampai Z tentang Erika.

“Aku tidak mau bicara tentang istriku, Bu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status