Pagi hari ini Erika sebetulnya hendak keluar rumah beraktivitas seperti biasa, yakni mengajar tahsin di mushala dekat sini. Dia jadi guru mengaji bagi anak-anak kecil dari usia empat sampai dua belas tahun. Tidak terlalu mengharapkan upah yang tak seberapa, dia cuma ingin dapat menyalurkan ilmu yang telah dia kuasai kepada orang lain agar lebih bermanfaat.
Namun, saat dia baru saja melewati ruang tamu di depan, dia disahuti oleh ibu mertuanya. “Erika, kenalkan, dia Masayu. Oh, kau mau berangkat kerja ya. Tunggu dulu. Kita butuh ngobrol sebentar. Tidak lama kok. Palingan lima menit.” Erika tidak mungkin menolak walaupun dia tahu kalau apa yang terjadi nanti bakalan mengusik hatinya. “Baiklah, Bu,” ucapnya dengan kepolosan seperti biasanya. Selama satu bulan ini ibu mertuanya selalu menahan hati ketika mesti terus-terusan satu rumah dengan dirinya. Akan tetapi, Molek tidak mungkin juga untuk langsung secara terang-terangan mengusirnya dari sini sebab ayah mertuanya sudah memberikan larangan dan peringatan. Kendati Molek tidak memperlakukannya secara terang-terangan, tapi dia berusaha menyingkirkan Erika secara perlahan-lahan, yaitu caranya adalah dengan mendatangkan satu wanita pilihannya yang bakal dia tawarkan Raden. Erika duduk pas di samping suaminya. Molek berkata saat dia menatap Erika dengan senyuman tipis. “Masayu, sesuai namanya, dia orang Palembang asli. Dua tahun lalu baru selesai kuliah dan sekarang sudah bekerja. Kalau kita lihat dari fisiknya, Masayu pasti sehat dan subur. Bukankah begitu, Raden?” Raden memperhatikan wajah dan fisik Masayu. Tidak cuma cantik, dia punya perawakan seperti Polwan atau Teller bank. Dengan kata lain tinggi badannya tak kurang dari 170 cm. Berat badannya pun cukup sehingga dia tidak bisa dikatakan kurus atau pun gendut. Pria mana pun yang bertemu dengan Masayu pasti akan langsung tertarik. Raden tidak terlalu takjub dengan wanita seperti Masayu karena sewaktu masih bujang dia kerap bertemu dengan wanita layaknya Masayu. Cantik, menawan, tidak memakai hijab, dan tidak akan memalukan kalau diajak berjalan ke mana-mana. Entahlah, apa maksud Molek mendatangkan Masayu ke rumah. “Raden, kau belum menjawab pertanyaan ibumu?” ucap Molek sambil menyenggol lengan Masayu. “Ya, seperti apa kata Ibu sendiri,” jawab Raden apa adanya. Setelah membangga-banggakan Masayu, lalu Molek membahas jeleknya menantunya sendiri. Dia bicara seperti sudah tak peduli lagi atas kehadiran Erika di sini. “Erika, kau memang baik, shalihah, dan pintar agama, tapi ingat, kau berasal dari dusun, tamatan SMA, dan bukan berasal dari keluarga terhormat.” Kedua mertua Erika masih konservatif dan menjaga nilai budaya Palembang. Mereka berdua adalah sama-sama Wong Palembang asli. Begitu pula orang tua dan kakek-buyut mereka yang juga merupakan orang asli Palembang : Melayu-Jawa. Kebiasaan orang dulu adalah mewarisi nilai-nilai luhur kepada anak keturunan mereka, salah satunya adalah mereka memastikan bahwa putra dan putri mereka menikah dengan orang yang juga berasal dari Palembang. Jika pasangan mereka merupakan keluarga terpandang dan terhormat, tentu saja itu jadi nilai tambah. Friksi antara Orang kota (Iliran) dan Orang desa (Uluan) sudah terjadi sejak dulu. Orang iliran bangga karena mereka orang kota dan bisa sekolah tinggi. Mereka kerap sombong terhadap orang uluan, namun pada akhirnya Orang uluan bisa menjadi pedagang sukses di kota yang pada akhirnya memicu perseteruan di antara mereka. Erika adalah orang Uluan. Sebetulnya kedua mertuanya kurang setuju jika dia mesti menjadi istri dari Raden. Namun karena kepribadian Erika begitu mulia, hati mereka pun luluh dan secara suka rela membiarkan Erika dan Raden menikah dan hidup berumah tangga. Ada rasa kecewa dari mereka pada Raden karena tidak bisa menjaga amanah dengan cara mendapatkan istri orang Palembang. Jadi selama Erika tinggal bersama mereka, sebenarnya mereka tidak sepenuh hati. Pasalnya masih ada keinginan dari mereka agar kiranya Raden mendapatkan pasangan hidup yang merupakan orang asli Palembang atau wanita iliran. Keinginan tersebut masih terus melekat, terutama pada Molek. Dia berkata dengan bangga. “Rumahnya Masayu sama seperti rumah kita. Rumah Limas yang masih asli. Tapi saat ini mereka pindah ke perumahan elit. Itu artinya mereka orang kaya. Benar kan, Masayu?” Wanita gaul itu menjawab, “Tentu saja kami kaya.” Molek bisa mengenal Masayu di sebuah grup media sosial yang di sana berkumpul orang-orang Palembang asli. Singkat cerita, keluarga Masayu mengidam-idamkan pria asli orang Palembang yang akan dijodohkan buat Masayu nantinya. Keluarga Masayu sama seperti Keluarga Raden, yakni ingin menjaga nilai-nilai luhur nenek moyang mereka. Molek berhubungan cukup dekat dengan ibunya Masayu selama beberapa minggu belakangan. Dan sampai pada akhirnya Masayu pun bersedia untuk datang ke rumah. Lantas, apa tanggapan Masayu ketika bertemu Erika? Jijik. Masayu tampak jijik saat melihat Erika. Molek tidak bisa menjaga mulutnya. “Erika, kau sangat berbeda kalau dibandingkan dengan Masayu. Dia dari kota dan kaya. Sementara kau dari dusun dan miskin. Belum lagi kalau kita membahas tentang kesuburan.” Perkataan Molek begitu menohok. Erika menghela napas pendek saat hatinya semakin terusik. Wanita mana yang tahan kalau dibanding-bandingkan? Wanita mana yang bisa tidak sakit hatinya saat dia tahu kalau mertuanya sudah menyiapkan wanita terbaik buat suaminya? Erika tidak kuat. Dia tetap mengucapkan permisi pada mereka walaupun sakit hati. “Aku sudah telat. Aku harus segera pergi. Assalamualaikum.” Dia berjalan menguatkan diri. Seperti biasa, Erika selalu tabah. *** Molek berkata, “Raden, seharusnya kau menikah dengan wanita Iliran, bukan wanita dusun dan penyakitan seperti Erika. Coba saja kau dulu bertemu dengan Masayu waktu itu.” Di mata Molek, Masayu merupakan wanita idaman. Dia pasti lebih memilih Masayu ketimbang Erika. Persoalan Masayu tak berhijab dan tidak bisa masak, itu urusan belakangan. Sebab kepribadian bisa diubah dan memasak bisa dipelajari. Terpenting baginya adalah wanita itu orang Palembang dan bisa punya anak. Seperti itulah pola pikir wanita. Terdengar cetek. “Raden, kenapa pula kau bisa bertemu dengan Erika dan jatuh hati padanya lalu menjadikannya istri? Akhirnya kau menyesal kan?” sentak Molek dengan raut wajah memberengut. Raden dan Masayu saling bertukar pandang. Tiba-tiba saja dia teringat dengan seseorang. Dia terbayang kejadian sekitar empat atau lima tahun lalu di sebuah diskotik malam hari itu. Entahlah, wajahnya sangat mirip. Tapi tidak mungkin juga dia membahasnya di hadapan ibunya. Dia mendelik wajah Masayu. Ah, dia tidak bisa memastikan kalau wanita yang minum bersamanya wanita itu memang adalah Masayu. Molek membuyarkan lamunan itu. “Kenapa kau diam? Ayo bicaralah tentang istri mu yang tidak akan bisa hamil pada Masayu supaya Masayu yakin suatu saat kalian bisa hidup bersama dan punya anak keturunan.” 'Untuk apa aku bicara pada Masayu?' pikir Raden. Sudahlah, dia tahu betul seperti apa lebarnya mulut ibunya. Pasti Masayu sudah tahu dari A sampai Z tentang Erika. “Aku tidak mau bicara tentang istriku, Bu."Molek lantas menggerenyotkan bibir lalu mengoceh. “Erika kena penyakit Lupus bertahun-tahun.” Dia menceritakan apa yang sudah diketahui oleh Masayu. “Erika tidak akan pernah bisa punya anak keturunan. Sementara aku sangat ingin punya cucu. Masayu, wanita mana pun tidak mungkin bisa ikhlas kalau punya menantu yang mandul. Bukankah begitu?” Masayu satu frekuensi dengan Molek dan sangat bertolak belakang dengan kepribadian Erika. Masayu mengerutkan bibir lalu mengomel, “Aku tidak akan pernah sudi punya menantu mandul, Bu. Kalau aku jadi Ibu, sudah aku usir dia dari rumah ini.” Tampak dua pangkal alis Masayu bertemu dan matanya menyiratkan rasa sinis yang mendalam. Jika Erika lebih kalem, pendiam, dan introvert, maka sebaliknya, Masayu lebih bergairah, cerewet, dan ekstrovert. Masayu mencerocos sesuka hati mengiyakan semua ocehan ibuku. “Kak Raden, kau orang Palembang kenapa mau jadi suami wanita dusun? Kau sarjana dan dia c
Alkisah, tepat tiga setengah tahun yang lalu. Malam hari itu Raden sedang duduk termenung di sebuah taman dekat Sungai Sekanak. Tepatnya pukul 20.30. Kala itu dia masih berkecimpung di dalam dunia malam yang gelap, seperti berjudi, minum alkohol, memakai narkoba, dugem, hobi keluyuran dan jarang pulang ke rumah. Di usia 28 hidupnya sangat berantakan dan jauh dari nilai-nilai agama. Beberapa saat yang lalu Raden habis pinjam uang sebanyak satu juta rupiah dari temannya untuk beli narkoba dan berjudi. Semua habis tak lebih dari satu jam saja. Sepertinya ini adalah klimaks dari segala macam problem yang pernah dia alami selama sekitar sepuluh tahun belakangan. Sekarang adalah puncaknya dan dia rasa hidupnya akan segera berakhir. Total hutangnya sekarang lebih dari dua puluh juta dan dia sudah tidak tahu barang apa saja yang sudah dijual. Entah sudah berapa kali dia terpaksa membohongi orang tuanya. Entah sudah berapa banyak
Dari pagi sampai siang hari Raden menjaga toko. Tadi ada tiga orang yang masuk ingin membuat stempel atau cap. Lumayan. Begitu dia hendak menutup toko dan pulang istirahat makan, tiba-tiba teman akrabnya datang. Dan ini adalah awal mula musibah yang menimpa Erika! “Raden, apa kabar?” sapa Jery dengan senyum yang amat lebar di wajahnya. Dia memang selalu ceria kapan pun dan di mana pun. Apalagi dia saat ini membawa kabar baik dan uang yang banyak. Jadi wajar dia jauh lebih sumringah dari pada biasanya. Raden tidak menjawab pertanyaan itu karena suasana hatinya sedang buruk. “Tumben kau main ke sini. Entah terakhir kapan kita ketemu. Ada apa?” Jery menyeret kursi plastik lalu duduk sambil mengangkat salah satu kakinya. Dia menyalakan rokok, menyedot asapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara. “Aku dapat jackpot banyak pagi tadi. Bingung mau menghabiskan uangnya ke mana. Teman-teman pada sibuk semua. Aku cuma teringa
“Aku bawa pempek buat kalian semua. Ada sepatu buat Nyayu. Ada kemeja buat Raden. Ayah kan sedang sakit, jadi aku bawakan roti mahal dan juga madu.” Masayu mengawasi Molek dengan menerbitkan senyuman manis tak terkira. “Tas. Ibu pasti suka dengan warna dan motifnya.” Menyaksikan hadiah yang bagus dan cukup mahal itu, Molek nyaris terlonjak dari kursi dengan ekspresi kaget. “Wah! Kau baik sekali Masayu. Baru kali ini Ibu dibelikan tas, bermerk pula. Terima kasih ya.” Masayu menahan senyum di wajahnya dan membalas, “Spesial untuk kalian semua. Dan tak tertinggal pula, aku juga ada sesuatu buat Erika lho.” Masayu membuka kantong kresek dan menaruh sesuatu di atas meja. “Aku beli susu, vitamin, dan obat gemuk. Erika sangat butuh semua ini.” Mereka semua tidak berekspresi dan merespons kecuali Molek. Dia malah terkikik geli. “Hehe. Erika sangat butuh semuanya. Tapi percuma juga, Masayu. Seberapa banyak susu, vitam
Erika tidak mampu menahan derai air matanya. “Kak Raden, wanita itu sudah dua kali datang ke rumah dan aku tahu apa maksudnya.” Dia meminta agar suaminya segera bicara dan menanggapi apa omongannya. “Apa kau setuju atas kehadiran dia? Apa kau mulai mau menelantarkan aku?” Karena beban masalah Raden sudah terlanjur berat, dia keceplosan dan secara tak sengaja bicara padanya. “Kau tak tidak bisa hamil anak untukku, Erika.” Apa yang barusan dia utarakan murni dari hati yang terdalam. “Kalau saja kau bisa seperti wanita normal pada umumnya, orang tuaku tidak mungkin mendatangkan Masayu ke sini.” Terdengar helaan napas Erika yang sendu. Dia tidak mampu lagi menahan kesedihan yang terus saja merundung dirinya. “Jadi kau setuju atas kehadiran orang ketiga di rumah tangga kita?” Raden menarik napas dalam-dalam. “Apa pun yang terbaik bagi aku dan keluargaku, dan apa pun yang bisa membahag
Cepat Jery merespons. “Bohong! Tidak mungkin kau tidak ada masalah sekarang! Ya sudah kalau kau tidak mau cerita. Biar aku saja yang cerita.” “Ceritalah,” kata Raden sambil menarik asap rokok dan menyandarkan punggung. Jery memang orangnya hobi cerita. Apalagi kalau sudah bawaan minum seperti sekarang. Jadi selama lebih dari tiga puluh menit dia menceritakan masalah yang sebenarnya dulu selalu kami hindari, yaitu : Pernikahan. Mereka berdua malas kalau sudah bicara soal pernikahan. Dulu, pas mereka masih bujang dan yang ada ada di pikiran cuma bersenang-senang. Mereka tidak mau menikah karena takut jika masa muda mereka hilang begitu saja. Selama mereka belum menikah, kami bebas melakukan apa saja. Namun, itu pola pikir dulu. Seiring berjalannya waktu, mereka terus mendewasakan diri, dan Jery sekarang sudah kepikiran mau menikah. “Aku mulai ada niatan menikah setelah kau menikah, Jon,” katanya
Jam 10 pagi di kos Jery. Raden baru saja terbangun dan melihat Jery sedang sibuk memainkan game judol di ponselnya. Melihat dia begitu asyik bermain, Raden jadi ikut pula mau bermain. Singkat cerita, Raden kembali lagi sebagai penjudi setelah cukup lama berhenti. “Aku rindu masa-masa seperti ini, Jon!” seru Jery sambil menghisap asap rokoknya dalam-dalam. “Aku senang sekali rasanya kau bisa kembali lagi. Tiga tahun lebih aku lebih sering sendiri. Kadang juga aku suka ngumpul sama teman yang lain, tapi tidak akur. Gak seru. Gak asyik. Lebih enak kalau sama kau, Jon.” Mereka main sampai malam hari. Seperti inilah kegiatan mereka di waktu dulu selama bertahun-tahun lamanya. Pada awal permainan, seperti biasanya, Raden diberikan kemenangan oleh bandar, sehingga dia semakin bersemangat main. Sebenarnya dia main saat ini entah tidak ada tujuan apa pun selain dari karena ingin menghibu
Molek menggeram. “Raden! Dari mana kau bisa membayar hutang mu dan membangun toko itu lagi. Semua isinya ludes. Uang habis semua. Kau tahu uangnya tidak sedikit? Kau sadar kau tidak mungkin bisa mengembalikan semuanya?” Raden menunduk dan mengakui semuanya. “Aku akan bertanggung jawab, Bu. Aku yang akan melunasi semua hutang. Aku yang akan mengurus toko lagi.” “Kapan? Bagaimana caranya? Sementara selama ini saja kau masih menumpang sama orang tua dan kerja ikut Ayah?” koar ibuku berapi-api. “Secepatnya, akan aku usahakan secepatnya, Bu.” “Mustahil!” bantah Molek cepat-cepat. “Kau tidak akan bisa dapat uang puluhan sampai ratusan juta dalam waktu cepat. Selama ini saja kau masih bergantung pada orang tua. Raden, kau tahu sendiri kita keluarga miskin, tapi kenapa kau masih belum jera juga? Apa kau tidak kasihan sama orang tua mu ha?” Mata Raden berkaca-kaca saat berkata, “Maafkan aku, Bu. Maafkan aku. Aku menye