Erika membaca lagi laporan hasil pemeriksaan yang ada di tangannya sambil menangis. Fisik dan raut wajahnya tampak melemah. Tapi dia punya jiwa yang kuat meskipun ujian yang amat berat semakin membuatnya tertekan. Dia tetap seperti biasanya menjadi seorang istri yang lemah lembut dan bersabar.
Erika menguatkan diri walaupun perkataannya begitu lirih, “Aku ikhlas menerima apa pun yang Tuhan berikan kepadaku. Aku ridho menerima penyakit ini. Aku yakin aku bisa menjalaninya karena Tuhan tidak mungkin memberikan cobaan yang tidak disanggupi hamba-Nya.” Biasanya suaminya selalu tersentuh hati ketika dia bicara seperti demikian. Namun sekarang suasana hati suaminya begitu kacau sehingga apa pun yang dia katakan terasa tak berguna. Omongan Erika seperti angin lalu. Sebaliknya, Raden malah membentaknya. “Ini bukan cobaan, tapi siksaan!” Erika terhenyak dan putih matanya sedikit melebar. “Kak Raden, kau tidak boleh bicara seperti itu. Astaghfirullah.” Raden ampai meracau, “Tuhan sedang menurunkan siksaan pada kita. Itulah kenapa aku katakan pada mu semua doa yang kau panjatkan tidak ada gunanya. Toh sampai sekarang kita masih belum juga punya anak. Jadi apalah arti ibadah yang selama ini kita lakukan kalau Tuhan tidak memberikan anugerah pada kita berupa anak keturunan? Apa manfaat dari kebaikan yang kita lakukan selama ini kalau pada akhirnya kita malah mendapat siksaan semata?” Mendengar kalimat yang bisa saja mengarah pada kekufuran, Erika marah. Dia memang tidak bisa tenang kalau sudah membicarakan perkara agama. “Kak Raden, berhenti bicara seperti itu! Istighfar! Saat ini kita hanya sedang diuji. Bukan disiksa. Kita telah belajar banyak tentang ilmu rumah tangga di kajian. Kau tahu sendiri setiap orang punya masalah masing-masing, setiap orang punya ujiannya masing-masing, dan ujian yang kita terima adalah ditunda untuk sementara waktu punya keturunan. Kau mesti husnuzhon dan berpikir positif. Dan percayalah bahwa kita akan bisa melalui ujian dari Allah dengan baik sehingga kita mencapai apa yang kita inginkan selama ini, yakni menjadi dua hamba Allah yang bertakwa, menjadi suami dan istri yang sama-sama menjadikan rumah tangga sebagai jalan menuju surga. Apa kau lupa dengan alasan dan tujuan kenapa kita menikah? Kak Raden, kita menikah karena Allah. Ingat itu.” PLAK! Refleks, Raden menampar Erika secara mengejutkan. Erika Langsung terjerembab di lantai sambil memegangi pipi kirinya yang merah. Untuk kali pertama dia ditampar oleh suaminya. Baru kali ini dia diperlakukan sangat tidak pantas. Panik dan pusing, Raden tidak tahu lagi mesti berbuat apa. Kata cerai sudah berada di ujung lidah. Tapi begitu melihat Erika tampak menderita, muncul rasa tak tega. Mungkin belum saatnya. Erika menutupi wajahnya, bangkit, lalu bergegas menuju kamar tidur. Sementara Raden tidak peduli seberapa terpukulnya wanita malang itu. Dulu dia bahkan sangat khawatir walaupun Erika cuma kena sariawan. Sekarang Raden acuh tak acuh. Penyakit yang Erika derita membuat rasa kasihan di hati kian pupus. Tidak tenang berada di rumah, lantas Raden pergi ke luar guna menenangkan diri. Siang hari itu dia duduk berjam-jam di pinggiran pelataran Plaza Benteng Kuto Besak. Mengingat-ingat apa yang pernah dia lakukan bersama Erika dan merenungi kebaikan apa yang dia perbuat supaya Tuhan mengasihi dia. Sambil memandangi derasnya aliran Sungai Musi yang mengalir ke hilir, dia menekuri buruknya takdir. Takdir? Oh, saking kecewanya Raden sama Tuhan, dia bahkan nyaris tidak lagi percaya pada takdir. ‘Apa yang harus aku lakukan?’ batinnya sambil menghembuskan asap rokok. ‘Apa segala hal yang aku lakukan lantas sia-sia?’ ‘Apa Tuhan memang tidak sayang terhadapku?’ 'Ah, aku benar-benar kecewa terhadap keadaan.' Selama lebih dari tiga tahun lamanya dia telah berupaya untuk menjadi manusia baik dan menjalankan segenap perintah walaupun tidak terlampau maksimal. Tapi di saat dia memang benar-benar menggantungkan nasibnya pada Tuhan supaya dikarunia anak, Tuhan malah menelantarkan. Sungguh mengecewakan. Lebih dari empat jam dia duduk sendirian tanpa melakukan apa pun. Dia tidak peduli dengan suasana ramai di sekitarnya. Badannya memang berada di sini, tapi pikirannya sudah ke mana-mana. Cerai? Kembali seperti dulu? Mulai kehidupan yang baru? Entahlah. Sejak pertama kali bertemu Erika malam hari itu dekat taman di Sekanak, jujur dia sudah jatuh hati pada Erika. Dia begitu kagum melihat keanggunan wanita yang mengenakan pakaian syar’i yang sangat tertutup. Dan lebih dari itu. Rupanya Erika punya kepribadian yang mulia. Taat pada suami. Baik pada orang tua. Pintar memasak. Yang pasti benar-benar menjadi istri yang berdasarkan ajaran agama. Seharusnya Raden bersyukur telah dikaruniakan istri seperti Erika. Namun, semua cinta dan kebahagiaan tersebut lantas sirna lantaran satu hal : Erika tidak bisa punya anak. Raden bisa menerima apa pun kekurangan Erika karena dia pun sadar tentang betapa banyaknya kekurangan pada dirinya. Dia sadar diri betapa buruknya masa lalunya sehingga dia tidak pernah memandang dirinya siapa. Hanya saja, untuk perkara tidak bisa punya anak jelas perkara berbeda. Raden sangat menginginkan punya putra dan putri yang bisa menjadi penerusnya kelak. Sayang, Erika tidak bisa memenuhi apa yang dia harapkan. Di waktu bersamaan, lebih tepatnya di dalam kamar, Erika masih duduk di atas sajadah. Air matanya tak henti mengalir dari tadi. Ketika suaminya mengeluh soal takdir buruk dan ujian yang dianggap sebagai siksaan, Erika malah bersujud dan berserah diri pada Tuhannya. Dia memang sedih saat tahu bahwa dia rupanya mengidap suatu penyakit yang mematikan. Dia memang sedih, tapi dia bisa menerima semua apa yang Tuhan berikan padanya. Jika suaminya nyaris mengingkari takdir, Erika malah tetap percaya pada takdir, dan yakin bahwa sakit dan penderitaan yang dia alami memang ujian kehidupan dan keimanan dari Tuhan. Ketika suaminya marah, kecewa, mengeluh, dan bahkan sampai menyesali sesuatu yang telah terjadi, sebaliknya, Erika tetap menjadi hamba sabar dan tetap percaya pada Tuhan. Erika tidak mengeluh apalagi sampai mengutuk dan menyalahkan Tuhan. Dalam doanya wanita itu berkata, "Ya Allah, aku menerima takdir baik dan buruk dari Mu. Dan aku minta pada Mu, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang sabar dan berserah diri pada Mu. Dan berikanlah aku kekuatan dan pertolongan dari setiap ujian yang Engkau berikan. Dan untuk suamiku, berikanlah dia hidayah. Terakhir, tak hentinya hamba yang lemah ini selalu meminta agar kelak diberikan keturunan. Allahumma. aamiin." *** Sore hari menjelang maghrib, Raden balik ke rumah. Saat ini semua anggota keluarga telah pulang. Tidak bisa berlama-lama. Akhirnya dia mengumpulkan semua keluarganya dan menjelaskannya. Di ruang keluarga, dia mengaparkan lembaran laporan tentang penyakit Erika. Kemudian dia mengawasi ayah, ibu, dan adiknya lalu berkata, “Kalian harus tahu.”Kebetulan sekarang Erika tidak sedang berada di rumah. Dia mengikuti kajian rutin mulai dari selepas ashar sampai selesai maghrib. Begitu mertua dan iparnya tahu bahwa dia rupanya menderita Lupus dan kemungkinan besar tidak akan bisa hamil, mereka benar-benar kaget dengan ekspresi beragam. Mertuanya menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungnya. “Astaga! Kenapa baru sekarang kita menyadarinya?” Adik iparnya menggelengkan kepala dengan raut wajah terkejut. “Iparku penyakitan? Perasaan, dia seperti biasa saja dan tidak tampak seperti penderita Lupus. Aneh.” Sementara ibu mertuanya sangat syok. Dia membelalakan mata dan mulutnya menganga. Dan dia adalah orang yang paling cerewet di antara kami. “Erika tidak bisa hamil? Apa? Selama ini aku punya menantu mandul?” Ibu mertuanya adalah orang yang paling bersemangat ingin segera punya cucu. Selama tiga tahun dia sangat sering berbicara dengan orang di rumah tentang keinginannya menggendong cucu pertama. Namun hingga saat ini
Pagi hari ini Erika sebetulnya hendak keluar rumah beraktivitas seperti biasa, yakni mengajar tahsin di mushala dekat sini. Dia jadi guru mengaji bagi anak-anak kecil dari usia empat sampai dua belas tahun. Tidak terlalu mengharapkan upah yang tak seberapa, dia cuma ingin dapat menyalurkan ilmu yang telah dia kuasai kepada orang lain agar lebih bermanfaat.Namun, saat dia baru saja melewati ruang tamu di depan, dia disahuti oleh ibu mertuanya. “Erika, kenalkan, dia Masayu. Oh, kau mau berangkat kerja ya. Tunggu dulu. Kita butuh ngobrol sebentar. Tidak lama kok. Palingan lima menit.”Erika tidak mungkin menolak walaupun dia tahu kalau apa yang terjadi nanti bakalan mengusik hatinya. “Baiklah, Bu,” ucapnya dengan kepolosan seperti biasanya.Selama satu bulan ini ibu mertuanya selalu menahan hati ketika mesti terus-terusan satu rumah dengan dirinya. Akan tetapi, Molek tidak mungkin juga untuk langsung secara terang-terangan mengusirnya dari sini sebab ayah mertuanya sudah memberikan l
Molek lantas menggerenyotkan bibir lalu mengoceh. “Erika kena penyakit Lupus bertahun-tahun.” Dia menceritakan apa yang sudah diketahui oleh Masayu. “Erika tidak akan pernah bisa punya anak keturunan. Sementara aku sangat ingin punya cucu. Masayu, wanita mana pun tidak mungkin bisa ikhlas kalau punya menantu yang mandul. Bukankah begitu?” Masayu satu frekuensi dengan Molek dan sangat bertolak belakang dengan kepribadian Erika. Masayu mengerutkan bibir lalu mengomel, “Aku tidak akan pernah sudi punya menantu mandul, Bu. Kalau aku jadi Ibu, sudah aku usir dia dari rumah ini.” Tampak dua pangkal alis Masayu bertemu dan matanya menyiratkan rasa sinis yang mendalam. Jika Erika lebih kalem, pendiam, dan introvert, maka sebaliknya, Masayu lebih bergairah, cerewet, dan ekstrovert. Masayu mencerocos sesuka hati mengiyakan semua ocehan ibuku. “Kak Raden, kau orang Palembang kenapa mau jadi suami wanita dusun? Kau sarjana dan dia c
Alkisah, tepat tiga setengah tahun yang lalu. Malam hari itu Raden sedang duduk termenung di sebuah taman dekat Sungai Sekanak. Tepatnya pukul 20.30. Kala itu dia masih berkecimpung di dalam dunia malam yang gelap, seperti berjudi, minum alkohol, memakai narkoba, dugem, hobi keluyuran dan jarang pulang ke rumah. Di usia 28 hidupnya sangat berantakan dan jauh dari nilai-nilai agama. Beberapa saat yang lalu Raden habis pinjam uang sebanyak satu juta rupiah dari temannya untuk beli narkoba dan berjudi. Semua habis tak lebih dari satu jam saja. Sepertinya ini adalah klimaks dari segala macam problem yang pernah dia alami selama sekitar sepuluh tahun belakangan. Sekarang adalah puncaknya dan dia rasa hidupnya akan segera berakhir. Total hutangnya sekarang lebih dari dua puluh juta dan dia sudah tidak tahu barang apa saja yang sudah dijual. Entah sudah berapa kali dia terpaksa membohongi orang tuanya. Entah sudah berapa banyak
Dari pagi sampai siang hari Raden menjaga toko. Tadi ada tiga orang yang masuk ingin membuat stempel atau cap. Lumayan. Begitu dia hendak menutup toko dan pulang istirahat makan, tiba-tiba teman akrabnya datang. Dan ini adalah awal mula musibah yang menimpa Erika! “Raden, apa kabar?” sapa Jery dengan senyum yang amat lebar di wajahnya. Dia memang selalu ceria kapan pun dan di mana pun. Apalagi dia saat ini membawa kabar baik dan uang yang banyak. Jadi wajar dia jauh lebih sumringah dari pada biasanya. Raden tidak menjawab pertanyaan itu karena suasana hatinya sedang buruk. “Tumben kau main ke sini. Entah terakhir kapan kita ketemu. Ada apa?” Jery menyeret kursi plastik lalu duduk sambil mengangkat salah satu kakinya. Dia menyalakan rokok, menyedot asapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara. “Aku dapat jackpot banyak pagi tadi. Bingung mau menghabiskan uangnya ke mana. Teman-teman pada sibuk semua. Aku cuma teringa
“Aku bawa pempek buat kalian semua. Ada sepatu buat Nyayu. Ada kemeja buat Raden. Ayah kan sedang sakit, jadi aku bawakan roti mahal dan juga madu.” Masayu mengawasi Molek dengan menerbitkan senyuman manis tak terkira. “Tas. Ibu pasti suka dengan warna dan motifnya.” Menyaksikan hadiah yang bagus dan cukup mahal itu, Molek nyaris terlonjak dari kursi dengan ekspresi kaget. “Wah! Kau baik sekali Masayu. Baru kali ini Ibu dibelikan tas, bermerk pula. Terima kasih ya.” Masayu menahan senyum di wajahnya dan membalas, “Spesial untuk kalian semua. Dan tak tertinggal pula, aku juga ada sesuatu buat Erika lho.” Masayu membuka kantong kresek dan menaruh sesuatu di atas meja. “Aku beli susu, vitamin, dan obat gemuk. Erika sangat butuh semua ini.” Mereka semua tidak berekspresi dan merespons kecuali Molek. Dia malah terkikik geli. “Hehe. Erika sangat butuh semuanya. Tapi percuma juga, Masayu. Seberapa banyak susu, vitam
Erika tidak mampu menahan derai air matanya. “Kak Raden, wanita itu sudah dua kali datang ke rumah dan aku tahu apa maksudnya.” Dia meminta agar suaminya segera bicara dan menanggapi apa omongannya. “Apa kau setuju atas kehadiran dia? Apa kau mulai mau menelantarkan aku?” Karena beban masalah Raden sudah terlanjur berat, dia keceplosan dan secara tak sengaja bicara padanya. “Kau tak tidak bisa hamil anak untukku, Erika.” Apa yang barusan dia utarakan murni dari hati yang terdalam. “Kalau saja kau bisa seperti wanita normal pada umumnya, orang tuaku tidak mungkin mendatangkan Masayu ke sini.” Terdengar helaan napas Erika yang sendu. Dia tidak mampu lagi menahan kesedihan yang terus saja merundung dirinya. “Jadi kau setuju atas kehadiran orang ketiga di rumah tangga kita?” Raden menarik napas dalam-dalam. “Apa pun yang terbaik bagi aku dan keluargaku, dan apa pun yang bisa membahag
Cepat Jery merespons. “Bohong! Tidak mungkin kau tidak ada masalah sekarang! Ya sudah kalau kau tidak mau cerita. Biar aku saja yang cerita.” “Ceritalah,” kata Raden sambil menarik asap rokok dan menyandarkan punggung. Jery memang orangnya hobi cerita. Apalagi kalau sudah bawaan minum seperti sekarang. Jadi selama lebih dari tiga puluh menit dia menceritakan masalah yang sebenarnya dulu selalu kami hindari, yaitu : Pernikahan. Mereka berdua malas kalau sudah bicara soal pernikahan. Dulu, pas mereka masih bujang dan yang ada ada di pikiran cuma bersenang-senang. Mereka tidak mau menikah karena takut jika masa muda mereka hilang begitu saja. Selama mereka belum menikah, kami bebas melakukan apa saja. Namun, itu pola pikir dulu. Seiring berjalannya waktu, mereka terus mendewasakan diri, dan Jery sekarang sudah kepikiran mau menikah. “Aku mulai ada niatan menikah setelah kau menikah, Jon,” katanya