Home / Urban / Mutiara Hati Yang Terabaikan / 3. Sulit menerima takdir

Share

3. Sulit menerima takdir

Erika membaca lagi laporan hasil pemeriksaan yang ada di tangannya sambil menangis. Fisik dan raut wajahnya tampak melemah. Tapi dia punya jiwa yang kuat meskipun ujian yang amat berat semakin membuatnya tertekan. Dia tetap seperti biasanya menjadi seorang istri yang lemah lembut dan bersabar.

Erika menguatkan diri walaupun perkataannya begitu lirih, “Aku ikhlas menerima apa pun yang Tuhan berikan kepadaku. Aku ridho menerima penyakit ini. Aku yakin aku bisa menjalaninya karena Tuhan tidak mungkin memberikan cobaan yang tidak disanggupi hamba-Nya.”

Biasanya suaminya selalu tersentuh hati ketika dia bicara seperti demikian. Namun sekarang suasana hati suaminya begitu kacau sehingga apa pun yang dia katakan terasa tak berguna. Omongan Erika seperti angin lalu.

Sebaliknya, Raden malah membentaknya. “Ini bukan cobaan, tapi siksaan!”

Erika terhenyak dan putih matanya sedikit melebar. “Kak Raden, kau tidak boleh bicara seperti itu. Astaghfirullah.”

Raden ampai meracau, “Tuhan sedang menurunkan siksaan pada kita. Itulah kenapa aku katakan pada mu semua doa yang kau panjatkan tidak ada gunanya. Toh sampai sekarang kita masih belum juga punya anak. Jadi apalah arti ibadah yang selama ini kita lakukan kalau Tuhan tidak memberikan anugerah pada kita berupa anak keturunan? Apa manfaat dari kebaikan yang kita lakukan selama ini kalau pada akhirnya kita malah mendapat siksaan semata?”

Mendengar kalimat yang bisa saja mengarah pada kekufuran, Erika marah. Dia memang tidak bisa tenang kalau sudah membicarakan perkara agama.

“Kak Raden, berhenti bicara seperti itu! Istighfar! Saat ini kita hanya sedang diuji. Bukan disiksa. Kita telah belajar banyak tentang ilmu rumah tangga di kajian. Kau tahu sendiri setiap orang punya masalah masing-masing, setiap orang punya ujiannya masing-masing, dan ujian yang kita terima adalah ditunda untuk sementara waktu punya keturunan. Kau mesti husnuzhon dan berpikir positif. Dan percayalah bahwa kita akan bisa melalui ujian dari Allah dengan baik sehingga kita mencapai apa yang kita inginkan selama ini, yakni menjadi dua hamba Allah yang bertakwa, menjadi suami dan istri yang sama-sama menjadikan rumah tangga sebagai jalan menuju surga. Apa kau lupa dengan alasan dan tujuan kenapa kita menikah? Kak Raden, kita menikah karena Allah. Ingat itu.”

PLAK!

Refleks, Raden menampar Erika secara mengejutkan.

Erika Langsung terjerembab di lantai sambil memegangi pipi kirinya yang merah. Untuk kali pertama dia ditampar oleh suaminya. Baru kali ini dia diperlakukan sangat tidak pantas.

Panik dan pusing, Raden tidak tahu lagi mesti berbuat apa. Kata cerai sudah berada di ujung lidah. Tapi begitu melihat Erika tampak menderita, muncul rasa tak tega.

Mungkin belum saatnya.

Erika menutupi wajahnya, bangkit, lalu bergegas menuju kamar tidur.

Sementara Raden tidak peduli seberapa terpukulnya wanita malang itu. Dulu dia bahkan sangat khawatir walaupun Erika cuma kena sariawan. Sekarang Raden acuh tak acuh. Penyakit yang Erika derita membuat rasa kasihan di hati kian pupus.

Tidak tenang berada di rumah, lantas Raden pergi ke luar guna menenangkan diri. Siang hari itu dia duduk berjam-jam di pinggiran pelataran Plaza Benteng Kuto Besak. Mengingat-ingat apa yang pernah dia lakukan bersama Erika dan merenungi kebaikan apa yang dia perbuat supaya Tuhan mengasihi dia.

Sambil memandangi derasnya aliran Sungai Musi yang mengalir ke hilir, dia menekuri buruknya takdir.

Takdir?

Oh, saking kecewanya Raden sama Tuhan, dia bahkan nyaris tidak lagi percaya pada takdir.

‘Apa yang harus aku lakukan?’ batinnya sambil menghembuskan asap rokok.

‘Apa segala hal yang aku lakukan lantas sia-sia?’

‘Apa Tuhan memang tidak sayang terhadapku?’

'Ah, aku benar-benar kecewa terhadap keadaan.'

Selama lebih dari tiga tahun lamanya dia telah berupaya untuk menjadi manusia baik dan menjalankan segenap perintah walaupun tidak terlampau maksimal. Tapi di saat dia memang benar-benar menggantungkan nasibnya pada Tuhan supaya dikarunia anak, Tuhan malah menelantarkan. Sungguh mengecewakan.

Lebih dari empat jam dia duduk sendirian tanpa melakukan apa pun. Dia tidak peduli dengan suasana ramai di sekitarnya. Badannya memang berada di sini, tapi pikirannya sudah ke mana-mana.

Cerai?

Kembali seperti dulu?

Mulai kehidupan yang baru?

Entahlah.

Sejak pertama kali bertemu Erika malam hari itu dekat taman di Sekanak, jujur dia sudah jatuh hati pada Erika. Dia begitu kagum melihat keanggunan wanita yang mengenakan pakaian syar’i yang sangat tertutup.

Dan lebih dari itu. Rupanya Erika punya kepribadian yang mulia. Taat pada suami. Baik pada orang tua. Pintar memasak. Yang pasti benar-benar menjadi istri yang berdasarkan ajaran agama.

Seharusnya Raden bersyukur telah dikaruniakan istri seperti Erika.

Namun, semua cinta dan kebahagiaan tersebut lantas sirna lantaran satu hal : Erika tidak bisa punya anak.

Raden bisa menerima apa pun kekurangan Erika karena dia pun sadar tentang betapa banyaknya kekurangan pada dirinya. Dia sadar diri betapa buruknya masa lalunya sehingga dia tidak pernah memandang dirinya siapa.

Hanya saja, untuk perkara tidak bisa punya anak jelas perkara berbeda. Raden sangat menginginkan punya putra dan putri yang bisa menjadi penerusnya kelak. Sayang, Erika tidak bisa memenuhi apa yang dia harapkan.

Di waktu bersamaan, lebih tepatnya di dalam kamar, Erika masih duduk di atas sajadah. Air matanya tak henti mengalir dari tadi. Ketika suaminya mengeluh soal takdir buruk dan ujian yang dianggap sebagai siksaan, Erika malah bersujud dan berserah diri pada Tuhannya.

Dia memang sedih saat tahu bahwa dia rupanya mengidap suatu penyakit yang mematikan. Dia memang sedih, tapi dia bisa menerima semua apa yang Tuhan berikan padanya. Jika suaminya nyaris mengingkari takdir, Erika malah tetap percaya pada takdir, dan yakin bahwa sakit dan penderitaan yang dia alami memang ujian kehidupan dan keimanan dari Tuhan.

Ketika suaminya marah, kecewa, mengeluh, dan bahkan sampai menyesali sesuatu yang telah terjadi, sebaliknya, Erika tetap menjadi hamba sabar dan tetap percaya pada Tuhan. Erika tidak mengeluh apalagi sampai mengutuk dan menyalahkan Tuhan.

Dalam doanya wanita itu berkata, "Ya Allah, aku menerima takdir baik dan buruk dari Mu. Dan aku minta pada Mu, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang sabar dan berserah diri pada Mu. Dan berikanlah aku kekuatan dan pertolongan dari setiap ujian yang Engkau berikan. Dan untuk suamiku, berikanlah dia hidayah. Terakhir, tak hentinya hamba yang lemah ini selalu meminta agar kelak diberikan keturunan. Allahumma. aamiin."

***

Sore hari menjelang maghrib, Raden balik ke rumah. Saat ini semua anggota keluarga telah pulang. Tidak bisa berlama-lama. Akhirnya dia mengumpulkan semua keluarganya dan menjelaskannya.

Di ruang keluarga, dia mengaparkan lembaran laporan tentang penyakit Erika. Kemudian dia mengawasi ayah, ibu, dan adiknya lalu berkata, “Kalian harus tahu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status