“Ibu Erika mengidap gangguan autoimun : Lupus.” Dokter itu bicara pada Raden. “Hal yang sangat kami sayangkan adalah kenapa baru sekarang beliau dibawa ke rumah sakit guna dilakukan pemeriksaan. Jika beliau sudah sejak dulu diperiksa dan diobati, mungkin dampaknya tidak akan begitu besar.”
Mendengar penjelasan tersebut, dada Raden bergoncang. Lupus? Penyakit mematikan seperti kanker? Yang jadi pertanyaan adalah kenapa baru sekarang Raden mengetahuinya? Andai saja dari dulu Raden tahu kalau Erika mengidap Lupus, dia tidak akan pernah mau menjadikan Erika sebagai istri. Setahu dia, lupus akan mengakibatkan seorang wanita akan sulit hamil, meskipun peluang untuk hamil tetap ada tapi sangat kecil. Beberapa tanda yang ada pada Erika dianggap biasa saja dan tidak pernah pula Raden mengkhawatirkannya. Seperti Erika lebih sering lesu. Raden pikir itu memang bawaan fisiknya dan juga pribadinya yang kalem. Atau seperti rambutnya yang gampang rontok. Hal tersebut bukanlah hal aneh bagi wanita. Atau seperti suka nyeri pada bagian tertentu. Penyakit biasa tersebut sudah umum terjadi pada seseorang. Dari segenap tanda-tanda Lupus yang ada pada Erika, ada satu tanda yang begitu mencolok tapi selama ini Raden tidak menyadarinya, yakni ada ruam atau bercak merah di wajah. Dikira selama ini itu hal biasa seperti halnya bekas jerawat atau tanda lahir. Lagi pula dengan sedikit kemerahan di wajah Erika tampak lebih manis. Raden sungguh menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa dia begitu bodoh dan tidak menyadari bahwa selama ini dia menikahi wanita penderita Lupus. Karena tidak bisa berlama-lama di rumah sakit dan lagian dia sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan, maka dia bergegas mengajak istrinya untuk segera pulang ke rumah. Di atas sepeda motor selama dalam perjalanan pulang mereka tidak ada saling bicara satu sama lain. Suasana begitu canggung. Dadanya panas. Dia tidak sabar rasanya ingin segera sampai di rumah. Raden sudah tidak peduli terhadap apa yang dia lihat di jalanan. Semua tampak tidak penting di matanya. Hal yang ada di dalam kepalanya hanyalah tentang apa yang mesti dilakukan terhadap Erika setelah ini. Sementara Erika, wanita malang itu, tidak mengeluarkan keluhan apa pun. Hatinya memang cukup bersedih, tapi kesedihan itu berusaha ditutupi dengan wajah yang datar. Ketika mereka telah sampai di rumah panggung khas Palembang peninggalan buyut Raden di Kampung Sekanak, Raden mematikan mesin motor dan segera turun. Saat ini di dalam rumah tidak ada siapa-siapa. Mertua pria Erika sedang menjaga toko plat dan stempel milik keluarga di dekat Masjid Agung, dan ibu mertuanya sedang bekerja ikut orang di toko pempek di 26 Ilir, sementara ipar satu-satunya sedang kuliah di Unsri Inderalaya. Erika menaiki tangga kayu. Terdengar hentakan keras pada pintu karena Rade sengaja membukanya cukup keras. “Masuk!” bentak Raden marah. Dia menyuruh Erika agar duduk di kursi di ruang tengah. Tidak peduli dengan kondisi fisik dan hati istrinya, Raden melampiaskan apa yang begitu membuncah di dadanya. “Kau tidak jujur padaku selama ini, Erika! Kau pembohong!” umpatnya sambil menyeringai geram. Erika menangis lagi. Dia berkata dengan sangat lirih dan penuh rasa bersalah. “Aku sendiri tidak tahu kalau aku menderita Lupus. Kak Raden, aku dan keluargaku di dusun sangat miskin. Kami tidak punya uang untuk pergi ke rumah sakit. Lagi pula aku tidak pernah menyangka kalau aku menderita penyakit itu.” Memang secara sekilas Erika seperti tidak menderita Lupus. Dia lembut, kalem, dan agak lambat. Orang-orang pikir itu memang bawaan darinya, bukan karena penyakit. Ucapannya yang pelan dan gerakannya yang lelet sama sekali tidak memberi tanda bahwa dia menderita Lupus. Tapi, Raden tetap merasa bodoh. Ini semua salahnya kenapa dari dulu aku tidak menyadarinya. “Erika, kau positif terkena lupus. Jadi wajar selama tiga tahun kita sulit punya anak. Sekarang kita sudah tahu akar permasalahannya ada di mana.” Erika menunduk sangat dalam. Sebagai wanita normal yang mau hidup sehat dan tentu ingin punya keturunan, dia begitu merasakan kepedihan di hati. Wanita sebaik dan setulus dia mesti menanggung kenyataan pahit. Ujian ini terlalu menyakitkan baginya. Tapi sebesar apa pun ujian yang diberikan padanya, dia tetap masih bisa bersabar, berserah diri, dan yakin bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik padanya. Dia berkata dengan suara yang pelan dan halus, “Maaf karena sudah menjadi beban bagi mu. Karena aku. Karena aku, kau jadi merasa terpukul. Aku yang salah. Maafkan aku.” Tidak tenang, suaminya berjalan mondar-mandir di sana. Pria itu blingsatan ke sana dan ke mari. Pikirannya sangat kacau. Bagaimana Raden menyampaikan hal ini pada keluarganya tentang kondisi Erika yang sebenarnya? Lalu kira-kira apa tanggapan mereka setelah tahu kalau Erika penderita Lupus dan kemungkinan besar tidak akan bisa punya anak? Berbagai macam pikiran kotor dan dan bisikan setan berkelebat di dalam kepala Raden. Tiba-tiba ada bisikan yang menyelinap masuk tentang apa mungkin dia harus menceraikan Erika. Bisikan-bisikan itu semakin membuatnya tidak tenang. Kemudian dia pun duduk menghadap Erika seraya berkata dengan nada penuh kegusaran. “Penyakit yang kau derita sulit disembuhkan, Erika. Dan apa kau tahu kira-kira berapa biaya yang mesti aku tanggung untuk keperluan berobat mu?” Erika cuma bisa menggeleng tanpa suara. BRAK! Raden menggebrak meja dengan sangat kesal. Lantas tangannya mengepal dan berkata dengan keras. “Rumah ini bisa terjual hanya untuk biaya berobat mu!” Habis duit puluhan juta bahkan sampai ratusan juta sudah biasa dalam menghadapi penyakit seperti itu. Hanya saja, bagi keluarga kelas menengah ke bawah seperti keluarga suaminya sungguh hal tersebut sangat berat. Raden dan keluarganya selama ini jarang pergi ke rumah sakit karena bukan cuma jarang sakit, tapi karena takut dengan biaya berobat yang mahal. Jujur saja keluarganya tidak akan pernah sanggup untuk mengeluarkan biaya berobat Erika nantinya. Sementara dari keluarga Erika sendiri, sudah tahu seperti apa kondisi mereka, jauh lebih memprihatinkan dari pada Raden di sini. Artinya kabar tentang Erika tentu menjadi musibah besar bagi keluarga Raden dan yang tak kalah pentingnya adalah kabar bahwa Erika memang wanita mandul. Raden memijat keningnya yang berkerut. “Ayahku cuma punya toko kecil yang masih sewa tempat dan ibuku cuma pekerja biasa. Kami tergolong miskin, Erika. Bahkan kalau ayahku kena stroke atau penyakit parah lainnya yang butuh biaya besar, kami belum tentu sanggup. Tadi pas pergi ke rumah sakit saja Raden telah menguras habis uangnya yang ada di tabungan. Dia belum membawa Erika untuk tetap dirawat dan juga menebus obat karena sudah tidak punya uang lagi. Selama ini dia mendapat pemasukan yang tak seberapa dari menjaga toko bersama ayahnya. Lalu apa dia harus minta uang pada orang tuanya untuk biaya pengobatan Erika? Tidak bakalan cukup juga.Erika membaca lagi laporan hasil pemeriksaan yang ada di tangannya sambil menangis. Fisik dan raut wajahnya tampak melemah. Tapi dia punya jiwa yang kuat meskipun ujian yang amat berat semakin membuatnya tertekan. Dia tetap seperti biasanya menjadi seorang istri yang lemah lembut dan bersabar. Erika menguatkan diri walaupun perkataannya begitu lirih, “Aku ikhlas menerima apa pun yang Tuhan berikan kepadaku. Aku ridho menerima penyakit ini. Aku yakin aku bisa menjalaninya karena Tuhan tidak mungkin memberikan cobaan yang tidak disanggupi hamba-Nya.” Biasanya suaminya selalu tersentuh hati ketika dia bicara seperti demikian. Namun sekarang suasana hati suaminya begitu kacau sehingga apa pun yang dia katakan terasa tak berguna. Omongan Erika seperti angin lalu. Sebaliknya, Raden malah membentaknya. “Ini bukan cobaan, tapi siksaan!” Erika terhenyak dan putih matanya sedikit melebar. “Kak Raden, kau tidak boleh bicara seperti itu. Astaghfirullah.” Raden ampai meracau, “Tuhan sedan
Kebetulan sekarang Erika tidak sedang berada di rumah. Dia mengikuti kajian rutin mulai dari selepas ashar sampai selesai maghrib. Begitu mertua dan iparnya tahu bahwa dia rupanya menderita Lupus dan kemungkinan besar tidak akan bisa hamil, mereka benar-benar kaget dengan ekspresi beragam. Mertuanya menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungnya. “Astaga! Kenapa baru sekarang kita menyadarinya?” Adik iparnya menggelengkan kepala dengan raut wajah terkejut. “Iparku penyakitan? Perasaan, dia seperti biasa saja dan tidak tampak seperti penderita Lupus. Aneh.” Sementara ibu mertuanya sangat syok. Dia membelalakan mata dan mulutnya menganga. Dan dia adalah orang yang paling cerewet di antara kami. “Erika tidak bisa hamil? Apa? Selama ini aku punya menantu mandul?” Ibu mertuanya adalah orang yang paling bersemangat ingin segera punya cucu. Selama tiga tahun dia sangat sering berbicara dengan orang di rumah tentang keinginannya menggendong cucu pertama. Namun hingga saat ini
Pagi hari ini Erika sebetulnya hendak keluar rumah beraktivitas seperti biasa, yakni mengajar tahsin di mushala dekat sini. Dia jadi guru mengaji bagi anak-anak kecil dari usia empat sampai dua belas tahun. Tidak terlalu mengharapkan upah yang tak seberapa, dia cuma ingin dapat menyalurkan ilmu yang telah dia kuasai kepada orang lain agar lebih bermanfaat.Namun, saat dia baru saja melewati ruang tamu di depan, dia disahuti oleh ibu mertuanya. “Erika, kenalkan, dia Masayu. Oh, kau mau berangkat kerja ya. Tunggu dulu. Kita butuh ngobrol sebentar. Tidak lama kok. Palingan lima menit.”Erika tidak mungkin menolak walaupun dia tahu kalau apa yang terjadi nanti bakalan mengusik hatinya. “Baiklah, Bu,” ucapnya dengan kepolosan seperti biasanya.Selama satu bulan ini ibu mertuanya selalu menahan hati ketika mesti terus-terusan satu rumah dengan dirinya. Akan tetapi, Molek tidak mungkin juga untuk langsung secara terang-terangan mengusirnya dari sini sebab ayah mertuanya sudah memberikan l
Molek lantas menggerenyotkan bibir lalu mengoceh. “Erika kena penyakit Lupus bertahun-tahun.” Dia menceritakan apa yang sudah diketahui oleh Masayu. “Erika tidak akan pernah bisa punya anak keturunan. Sementara aku sangat ingin punya cucu. Masayu, wanita mana pun tidak mungkin bisa ikhlas kalau punya menantu yang mandul. Bukankah begitu?” Masayu satu frekuensi dengan Molek dan sangat bertolak belakang dengan kepribadian Erika. Masayu mengerutkan bibir lalu mengomel, “Aku tidak akan pernah sudi punya menantu mandul, Bu. Kalau aku jadi Ibu, sudah aku usir dia dari rumah ini.” Tampak dua pangkal alis Masayu bertemu dan matanya menyiratkan rasa sinis yang mendalam. Jika Erika lebih kalem, pendiam, dan introvert, maka sebaliknya, Masayu lebih bergairah, cerewet, dan ekstrovert. Masayu mencerocos sesuka hati mengiyakan semua ocehan ibuku. “Kak Raden, kau orang Palembang kenapa mau jadi suami wanita dusun? Kau sarjana dan dia c
Alkisah, tepat tiga setengah tahun yang lalu. Malam hari itu Raden sedang duduk termenung di sebuah taman dekat Sungai Sekanak. Tepatnya pukul 20.30. Kala itu dia masih berkecimpung di dalam dunia malam yang gelap, seperti berjudi, minum alkohol, memakai narkoba, dugem, hobi keluyuran dan jarang pulang ke rumah. Di usia 28 hidupnya sangat berantakan dan jauh dari nilai-nilai agama. Beberapa saat yang lalu Raden habis pinjam uang sebanyak satu juta rupiah dari temannya untuk beli narkoba dan berjudi. Semua habis tak lebih dari satu jam saja. Sepertinya ini adalah klimaks dari segala macam problem yang pernah dia alami selama sekitar sepuluh tahun belakangan. Sekarang adalah puncaknya dan dia rasa hidupnya akan segera berakhir. Total hutangnya sekarang lebih dari dua puluh juta dan dia sudah tidak tahu barang apa saja yang sudah dijual. Entah sudah berapa kali dia terpaksa membohongi orang tuanya. Entah sudah berapa banyak
Dari pagi sampai siang hari Raden menjaga toko. Tadi ada tiga orang yang masuk ingin membuat stempel atau cap. Lumayan. Begitu dia hendak menutup toko dan pulang istirahat makan, tiba-tiba teman akrabnya datang. Dan ini adalah awal mula musibah yang menimpa Erika! “Raden, apa kabar?” sapa Jery dengan senyum yang amat lebar di wajahnya. Dia memang selalu ceria kapan pun dan di mana pun. Apalagi dia saat ini membawa kabar baik dan uang yang banyak. Jadi wajar dia jauh lebih sumringah dari pada biasanya. Raden tidak menjawab pertanyaan itu karena suasana hatinya sedang buruk. “Tumben kau main ke sini. Entah terakhir kapan kita ketemu. Ada apa?” Jery menyeret kursi plastik lalu duduk sambil mengangkat salah satu kakinya. Dia menyalakan rokok, menyedot asapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara. “Aku dapat jackpot banyak pagi tadi. Bingung mau menghabiskan uangnya ke mana. Teman-teman pada sibuk semua. Aku cuma teringa
“Aku bawa pempek buat kalian semua. Ada sepatu buat Nyayu. Ada kemeja buat Raden. Ayah kan sedang sakit, jadi aku bawakan roti mahal dan juga madu.” Masayu mengawasi Molek dengan menerbitkan senyuman manis tak terkira. “Tas. Ibu pasti suka dengan warna dan motifnya.” Menyaksikan hadiah yang bagus dan cukup mahal itu, Molek nyaris terlonjak dari kursi dengan ekspresi kaget. “Wah! Kau baik sekali Masayu. Baru kali ini Ibu dibelikan tas, bermerk pula. Terima kasih ya.” Masayu menahan senyum di wajahnya dan membalas, “Spesial untuk kalian semua. Dan tak tertinggal pula, aku juga ada sesuatu buat Erika lho.” Masayu membuka kantong kresek dan menaruh sesuatu di atas meja. “Aku beli susu, vitamin, dan obat gemuk. Erika sangat butuh semua ini.” Mereka semua tidak berekspresi dan merespons kecuali Molek. Dia malah terkikik geli. “Hehe. Erika sangat butuh semuanya. Tapi percuma juga, Masayu. Seberapa banyak susu, vitam
Erika tidak mampu menahan derai air matanya. “Kak Raden, wanita itu sudah dua kali datang ke rumah dan aku tahu apa maksudnya.” Dia meminta agar suaminya segera bicara dan menanggapi apa omongannya. “Apa kau setuju atas kehadiran dia? Apa kau mulai mau menelantarkan aku?” Karena beban masalah Raden sudah terlanjur berat, dia keceplosan dan secara tak sengaja bicara padanya. “Kau tak tidak bisa hamil anak untukku, Erika.” Apa yang barusan dia utarakan murni dari hati yang terdalam. “Kalau saja kau bisa seperti wanita normal pada umumnya, orang tuaku tidak mungkin mendatangkan Masayu ke sini.” Terdengar helaan napas Erika yang sendu. Dia tidak mampu lagi menahan kesedihan yang terus saja merundung dirinya. “Jadi kau setuju atas kehadiran orang ketiga di rumah tangga kita?” Raden menarik napas dalam-dalam. “Apa pun yang terbaik bagi aku dan keluargaku, dan apa pun yang bisa membahag