Share

2. Lupus

“Ibu Erika mengidap gangguan autoimun : Lupus.” Dokter itu bicara pada Raden. “Hal yang sangat kami sayangkan adalah kenapa baru sekarang beliau dibawa ke rumah sakit guna dilakukan pemeriksaan. Jika beliau sudah sejak dulu diperiksa dan diobati, mungkin dampaknya tidak akan begitu besar.”

Mendengar penjelasan tersebut, dada Raden bergoncang.

Lupus?

Penyakit mematikan seperti kanker?

Yang jadi pertanyaan adalah kenapa baru sekarang Raden mengetahuinya?

Andai saja dari dulu Raden tahu kalau Erika mengidap Lupus, dia tidak akan pernah mau menjadikan Erika sebagai istri.

Setahu dia, lupus akan mengakibatkan seorang wanita akan sulit hamil, meskipun peluang untuk hamil tetap ada tapi sangat kecil.

Beberapa tanda yang ada pada Erika dianggap biasa saja dan tidak pernah pula Raden mengkhawatirkannya. Seperti Erika lebih sering lesu. Raden pikir itu memang bawaan fisiknya dan juga pribadinya yang kalem. Atau seperti rambutnya yang gampang rontok. Hal tersebut bukanlah hal aneh bagi wanita. Atau seperti suka nyeri pada bagian tertentu. Penyakit biasa tersebut sudah umum terjadi pada seseorang.

Dari segenap tanda-tanda Lupus yang ada pada Erika, ada satu tanda yang begitu mencolok tapi selama ini Raden tidak menyadarinya, yakni ada ruam atau bercak merah di wajah. Dikira selama ini itu hal biasa seperti halnya bekas jerawat atau tanda lahir. Lagi pula dengan sedikit kemerahan di wajah Erika tampak lebih manis.

Raden sungguh menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa dia begitu bodoh dan tidak menyadari bahwa selama ini dia menikahi wanita penderita Lupus.

Karena tidak bisa berlama-lama di rumah sakit dan lagian dia sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan, maka dia bergegas mengajak istrinya untuk segera pulang ke rumah.

Di atas sepeda motor selama dalam perjalanan pulang mereka tidak ada saling bicara satu sama lain. Suasana begitu canggung. Dadanya panas. Dia tidak sabar rasanya ingin segera sampai di rumah.

Raden sudah tidak peduli terhadap apa yang dia lihat di jalanan. Semua tampak tidak penting di matanya. Hal yang ada di dalam kepalanya hanyalah tentang apa yang mesti dilakukan terhadap Erika setelah ini.

Sementara Erika, wanita malang itu, tidak mengeluarkan keluhan apa pun. Hatinya memang cukup bersedih, tapi kesedihan itu berusaha ditutupi dengan wajah yang datar.

Ketika mereka telah sampai di rumah panggung khas Palembang peninggalan buyut Raden di Kampung Sekanak, Raden mematikan mesin motor dan segera turun. Saat ini di dalam rumah tidak ada siapa-siapa.

Mertua pria Erika sedang menjaga toko plat dan stempel milik keluarga di dekat Masjid Agung, dan ibu mertuanya sedang bekerja ikut orang di toko pempek di 26 Ilir, sementara ipar satu-satunya sedang kuliah di Unsri Inderalaya.

Erika menaiki tangga kayu. Terdengar hentakan keras pada pintu karena Rade sengaja membukanya cukup keras.

“Masuk!” bentak Raden marah.

Dia menyuruh Erika agar duduk di kursi di ruang tengah.

Tidak peduli dengan kondisi fisik dan hati istrinya, Raden melampiaskan apa yang begitu membuncah di dadanya. “Kau tidak jujur padaku selama ini, Erika! Kau pembohong!” umpatnya sambil menyeringai geram.

Erika menangis lagi. Dia berkata dengan sangat lirih dan penuh rasa bersalah. “Aku sendiri tidak tahu kalau aku menderita Lupus. Kak Raden, aku dan keluargaku di dusun sangat miskin. Kami tidak punya uang untuk pergi ke rumah sakit. Lagi pula aku tidak pernah menyangka kalau aku menderita penyakit itu.”

Memang secara sekilas Erika seperti tidak menderita Lupus. Dia lembut, kalem, dan agak lambat. Orang-orang pikir itu memang bawaan darinya, bukan karena penyakit. Ucapannya yang pelan dan gerakannya yang lelet sama sekali tidak memberi tanda bahwa dia menderita Lupus.

Tapi, Raden tetap merasa bodoh. Ini semua salahnya kenapa dari dulu aku tidak menyadarinya.

“Erika, kau positif terkena lupus. Jadi wajar selama tiga tahun kita sulit punya anak. Sekarang kita sudah tahu akar permasalahannya ada di mana.”

Erika menunduk sangat dalam. Sebagai wanita normal yang mau hidup sehat dan tentu ingin punya keturunan, dia begitu merasakan kepedihan di hati. Wanita sebaik dan setulus dia mesti menanggung kenyataan pahit. Ujian ini terlalu menyakitkan baginya. Tapi sebesar apa pun ujian yang diberikan padanya, dia tetap masih bisa bersabar, berserah diri, dan yakin bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik padanya.

Dia berkata dengan suara yang pelan dan halus, “Maaf karena sudah menjadi beban bagi mu. Karena aku. Karena aku, kau jadi merasa terpukul. Aku yang salah. Maafkan aku.”

Tidak tenang, suaminya berjalan mondar-mandir di sana. Pria itu blingsatan ke sana dan ke mari. Pikirannya sangat kacau.

Bagaimana Raden menyampaikan hal ini pada keluarganya tentang kondisi Erika yang sebenarnya? Lalu kira-kira apa tanggapan mereka setelah tahu kalau Erika penderita Lupus dan kemungkinan besar tidak akan bisa punya anak?

Berbagai macam pikiran kotor dan dan bisikan setan berkelebat di dalam kepala Raden. Tiba-tiba ada bisikan yang menyelinap masuk tentang apa mungkin dia harus menceraikan Erika. Bisikan-bisikan itu semakin membuatnya tidak tenang.

Kemudian dia pun duduk menghadap Erika seraya berkata dengan nada penuh kegusaran. “Penyakit yang kau derita sulit disembuhkan, Erika. Dan apa kau tahu kira-kira berapa biaya yang mesti aku tanggung untuk keperluan berobat mu?”

Erika cuma bisa menggeleng tanpa suara.

BRAK!

Raden menggebrak meja dengan sangat kesal. Lantas tangannya mengepal dan berkata dengan keras. “Rumah ini bisa terjual hanya untuk biaya berobat mu!”

Habis duit puluhan juta bahkan sampai ratusan juta sudah biasa dalam menghadapi penyakit seperti itu. Hanya saja, bagi keluarga kelas menengah ke bawah seperti keluarga suaminya sungguh hal tersebut sangat berat.

Raden dan keluarganya selama ini jarang pergi ke rumah sakit karena bukan cuma jarang sakit, tapi karena takut dengan biaya berobat yang mahal. Jujur saja keluarganya tidak akan pernah sanggup untuk mengeluarkan biaya berobat Erika nantinya.

Sementara dari keluarga Erika sendiri, sudah tahu seperti apa kondisi mereka, jauh lebih memprihatinkan dari pada Raden di sini. Artinya kabar tentang Erika tentu menjadi musibah besar bagi keluarga Raden dan yang tak kalah pentingnya adalah kabar bahwa Erika memang wanita mandul.

Raden memijat keningnya yang berkerut. “Ayahku cuma punya toko kecil yang masih sewa tempat dan ibuku cuma pekerja biasa. Kami tergolong miskin, Erika. Bahkan kalau ayahku kena stroke atau penyakit parah lainnya yang butuh biaya besar, kami belum tentu sanggup.

Tadi pas pergi ke rumah sakit saja Raden telah menguras habis uangnya yang ada di tabungan. Dia belum membawa Erika untuk tetap dirawat dan juga menebus obat karena sudah tidak punya uang lagi.

Selama ini dia mendapat pemasukan yang tak seberapa dari menjaga toko bersama ayahnya. Lalu apa dia harus minta uang pada orang tuanya untuk biaya pengobatan Erika?

Tidak bakalan cukup juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status