Beberapa tahun kemudian ...
“Apakah kau percaya itu, Max? Kau lihatlah putra-putri kita. Mereka kini berusia delapan belas tahun dan—oh! Apakah kau dulu juga mengalami ini? Usia berapa kau berubah menjadi dewasa?” tanya Ivory saat sadar bahwa si kembar, Isaac dan Mackenzie telah berubah menjadi berusia delapan belas tahun di usia mereka yang kelima.Max tertawa mendengar komentar polos Ivory. Ia lantas meraih wanita itu dalam dekapannya dan mengecup bibirnya sekilas. “Di usia tiga tahun aku berubah menjadi delapan belas tahun dan menjalani pelatihan dari kakek Jeremiah untuk menerima jabatan darinya sebagai seorang alpha Alsenic pack. Apakah kau tidak mengalami itu?”“Apakah aku kelihatan seperti manusia ajaib seperti kalian?” tanya Ivory yang dijawab gelak tawa oleh Max.“Baiklah, artinya usia kita terpaut sangat jauh. Kau seharusnya lebih tua dibanding diriku. Benar begitu, kan?” Ivory mengangguk, kemudian menoleh lagi pada Isaac dan Mackenzie yang telah menghabiskan sarapan mereka.Hari ini keduanya akan memasuki dunia perkuliahan. Hari pertama, pasti akan jadi hari yang melelahkan. Karenanya, Ivory menyiapkan makanan bergizi dan bekal untuk mereka.“Kami berangkat, Bu,” Isaac meraih kunci dan menuju ke arah Ivory dan Max di kamar mereka. “Apakah Ayah tidak bekerja?”Max menggeleng. “Hari ini aku akan mengantar kalian. Aku ingin tahu seperti apa putra-putriku ini menjalani hari pertama perkuliahan.”“Oh, please, Ayah. Kami akan baik-baik saja. Aku janji akan menjaga Macky dengan baik.”“Jangan pangil aku Macky! Itu menjijikkan!” Mackenzie menoleh pada sang ayah dan ibu, memasang wajah muram lantas menunggu kecupan dari keduanya. Ivory dan Max secara bergantian memberikan kecupan di kening Mackenzie. Ivory menangkupkan kedua tangan di wajah Mackenzie dan memandangi putrinya cantiknya yang sesekali membenarkan kaca mata yang menggantung di pangkal hidungnya.“Putriku yang cantik. Kau mengingatkanku pada Bibi Elle yang cantik dan menyukai science hingga bisa menciptakan berbagai ramuan hebat. Sama sepertimu,” puji Ivory pada anak gadisnya yang sangat menyukai ilmu-ilmu science.“Bibi Elle lebih hebat karena ia adalah seorang elder, Bu. Apakah kita akan ke tempat kakek dan nenek? Apakah akan mengunjungi Bibi Elle?”“Nanti, setelah kalian pulang kuliah, oke? Sekarang pergilah.”“Ayo, Macky! Ayah sudah tak sabar melihat anak gadisnya memakai jas ilmuwan! Cepatlah!”Mackenzie memutar bola mata menanggapi panggilan Isaac yang sering kali iseng terhadapnya. Hal itu membuat Ivory tersenyum bangga dan bahagia menyaksikan putra-putrinya tumbuh menjadi remaja yang luar biasa. Ia mengusap lengan Mackenzie sebelum putrinya itu akhirnya pergi dari hadapannya.Ivory mendesah lemah, kemudian membuka laci nakasnya dan menemukan foto seorang balita cantik dengan rambut berwarna perak dan bola mata sewarna tembaga, tengah tertawa riang memeluk sebuah boneka duyung. Ia membalik foto tersebut dan kembali membaca tulisan yang ada di sana.‘Aku sengaja mengirimkan ini, untuk mengobati kerinduanmu pada Lyra. Ia berusia lima tahun ini. Ia baik-baik saja dan sangat bahagia. Jika nasib masih berpihak padamu, maka kalian bisa saja bertemu. Jangan membenciku karena membawanya kabur, aku hanya ingin menyelamatkannya. Hanya ia bagian dirimu yang bisa kumiliki, begitu pun sebaliknya. Berbahagialah, Ivy.’Bulir bening meluncur di pipi Ivory kala membaca kembali tulisan itu. Ia sudah membacanya berulang kali, tetapi rasanya ingin melakukannya berulang kali.“Lyra ... aku merindukanmu, sayang.”***“Minggir kau, nerd!” ejek beberapa perempuan yang mendorong Mackenzie hingga ia terhuyung dan nyaris jatuh. Sepasang lengan menyangga tubuhnya dan membuatnya kembali berdiri tegak. Semula Mackenzie mengira bahwa seorang lelakilah yang telah menolongnya. Namun, ketika ia menoleh, seorang gadis seusianya dengan rambut perak tersenyum padanya.“Apakah kau baik-baik saja? Kemarilah, duduk denganku. Jangan menoleh pada mereka. Mereka hanya berusaha mencari perhatian dari seorang gadis cantik sepertimu,” ujar gadis di sampingnya. Rambutnya yang keperakan terurai panjang bergelombang, mengingatkan Mackenzie pada seseorang yang tampak tak asing yang ada di alam bawah sadarnya.Mackenzie duduk di samping gadis itu dan mengeluarkan peralatan menulis. Mereka belum menerima pelajaran sesuai jurusan perkuliahan yang mereka pilih. Karena hari ini adalah hari pertama mereka, maka semua mahasiswa baru harus menjalani masa orientasi selama beberapa hari.Mackenzie kembali menoleh pada gadis yang ada di sampingnya, membenarkan kaca mata agar bisa menilik wajah dan ciri fisik gadis itu dengan baik. Gadis itu menyadari Mackenzie memerhatikannya, ia hanya menoleh kemudian membalas senyum Mackenzie.Setelah menerima beberapa hal penting mengenai universitas tempat mereka menerima pendidikan, Mackenzie berlari menuju ke kantin di mana Isaac telah menunggunya untuk menikmati makan siang bersama.“Ini, makanlah yang banyak agar kau kuat ketika mereka membully-mu lagi,” ujar Isaac yang membuka kotak makan berisi salad ayam dan kotak lain berisi macam-macam kudapan. “Ibu memasak seluruh isi dunia dan membawakannya untuk bekal kita. Habiskanlah.”Mackenzie memberengut, tetapi ia sendokkan juga makanan itu. Ia kemudian mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas dan mulai membacanya. Ia mendekat pada Isaac dan membisikkan sesuatu. “Isaac, apakah kau percaya adanya vampir?”Isaac mendengkus. “Konyol sekali pertanyaanmu. Sekarang aku juga akan bertanya padamu. Apakah kau percaya pada manusia serigala?”Mackenzie meninju lengan saudara kembarnya dan melanjutkan ritual makan sembari membaca buku. Namun, konsentrasinya buyar saat ia merasakan kehadiran seseorang dari kejauhan, mendekat ke arah di mana mereka berada.“Hey, kita bertemu lagi. Boleh aku bergabung dengan kalian?” tanya gadis yang menyelamatkan Mackenzie saat di dalam aula. Mackenzie mengangguk, sementara Isaac memerhatikan gadis itu dengan saksama. Tatapannya tak beralih dari gadis yang terlalu memesona itu.Gadis itu terbelalak memerhatikan Isaac dan Mackenzie secara bergantian. “Kalian sangat mirip. Apakah kalian saudara kembar?” Ia lalu mengulurkan tangan sembari tersenyum. “Perkenalkan, aku Lyra Agony. Siapa nama kalian?”Seorang pria dengan postur tegap berjalan memasuki kelab malam yang penuh hingar-bingar. Langkahnya yakin akan menemukan sesuatu yang ia cari. Seperti apa yang dikatakan oleh seseorang yang ia kenal, bahwa di tempat itu, ia harus menemukan seorang gadis dengan ciri seperti yang disebutkan olehnya.Pandangannya tajam mengedar ke seluruh penjuru ruangan dengan lampu temaram, mencari sosok yang sesuai dengan ciri yang telah ia kantongi.Pertama kali, tatapannya terarah ke ruang VIP, di mana gadis dengan warna rambut serupa pasti ada di sana. Tidak mungkin rasanya kalau gadis dengan tampilan mewah dan penggambaran luar biasa itu ada di barisan tamu yang biasa-biasa saja.Apalagi kalau dia hanyalah seorang pegawai kelab. Atau mereka-mereka yang masuk dengan menggunakan kartu pass gratis.“Hey, tampan. Apakah kau mencari seseorang?” sapa salah seorang gadis yang melewati tubuh pria yang masih tegap di tempatnya itu. Ia tak ingin duduk kecuali dengan gadis yang ia cari.Pria itu mengangguk.
“Apa maumu?” selidiknya. Tangannya mengacungkan sebilah pisau dan menodongkan ke arah Max. “Tunggu! Jangan marah dulu, aku tak akan menyakitimu. Aku akan membayarmu mahal. Berapa pun yang kau minta!” ucap Max sembari melangkah maju, mengikis jarak antara dirinya dan gadis itu. Gadis itu tak langsung menjawab perkataan Max. Namun, perlahan ia menurunkan benda yang ada di tangannya. Gadis itu kini menilik penampilan pria berjas dengan rambut coklat ditata sedikit berantakan, tatapan mata tajam dengan iris hazel memukau dan menghipnotis gadis itu untuk sesaat. Ia hampir saja langsung mengatakan setuju saat itu juga. “Apa yang harus kulakukan sampai kau berani memberi penawaran tinggi? Aku tidak mau menjadi kurir narkotika atau human traficking,” jawabnya. “Bukan semuanya. Aku mau kau melepaskan kutukan yang ada padaku.” Gadis itu terkekeh. Sulit dipercaya! Pria dengan penampilan modern seperti Max masih percaya takhayul yang mengatakan kalau dirinya menderita sebuah kutukan. Gadis
Sinar matahari menyeruak dari balik tirai. Jendela kaca berukuran besar memudahkan ruangan tersebut tersirami hangat sinar mentari pagi.Ivory menggeliat perlahan, berusaha melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.Ia memekik lirih kala merasakan tulang belulangnya yang terasa bagai diremukkan hingga lumat. Ia menoleh ke sampingnya, Max tak ada di sana. Di mana lelaki itu?“Selamat pagi,” sapa seorang lelaki dengan suara baritonnya yang berat. Jika orang tak tahu, mungkin akan mengira ia sudah berusia tiga puluhan, padahal ia belum mencapai angka itu.“Hey ... maaf, aku tidur seperti orang mati. Apakah kau akan bekerja?” tanya Ivory yang dijawab anggukan oleh Max.Lelaki itu kemudian duduk di dekat Ivory yang sudah bangkit setelah melilitkan selimut di dadanya. Pasti Max yang memakaikan benda itu di tubuhnya saat ia terlelap semalam.Setelah mencapai puncak, ia merasa sangat letih dan mengantuk, lalu tak sadar memejamkan mata.“Aku akan menepati janjiku.” Lelaki itu menyodorkan
“Apa kau menguntitku?” tuding Max, yang membuat Ivory mencebik.“Apa? Aku? Menguntitmu? Apa untungnya, Tuan? Kau sudah memberikan apa yang kau janjikan, bagiku sudah lebih dari cukup!”“Ya, siapa tahu kau ingin menuntut tanggung jawabku karena telah merenggut keperawananmu. Wanita jaman sekarang sering kali tidak masuk akal.” Max menggerutu, kemudian kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.“Kalau kau sudah selesai, kau bisa kembali ke tempatmu!” titahnya, dingin.Ivory memandangi Max sejenak. Lelaki itu begitu angkuh dan tak berperasaan, padahal beberapa jam lalu, ia bersikap lembut padanya dan tidak menunjukkan sikap arogansinya.Ivory tak ingin banyak bicara. Ia segera menyelesaikan pekerjaannya lalu angkat kaki dari ruangan bosnya itu.Gadis itu mengembalikan perlengkapan kembali ke tempat semula sembari menggerutu. Ia sangat menyesali kebodohannya telah membantu lelaki angkuh itu untuk lepas dari kutukan dan merelakan keperawanannya.“Andai saja aku bisa berpikir jernih tadi
Ivory bergegas membereskan barang-barangnya, karena ia tak lagi berniat untuk berjualan di tempat yang sama. Ia masih sempat mendengar geraman dan teriakan bosnya sebelum ia pergi dari kantor dan ia pastikan tak akan kembali ke tempat itu lagi.Ia takut kalau pria itu nantinya akan mencari dan memintanya kembali bekerja.Ya ... itu hanya pikiran Ivory yang mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Pria sombong seperti Max tak akan pernah membutuhkan orang sepertinya, bukan?Kalau pun Max mencari dan meminta sesuatu dari Ivory, maka Ivory akan pastikan tak akan pernah memberikan kesempatan seujung kuku pun untuk pria itu. Ia tak ingin terluka untuk ke sekian kalinya.Baru saja Ivory hendak pergi, ponselnya berdering begitu nyaring hingga ia bergegas untuk menjawab panggilan itu sebelum suara telepon genggamnya itu terdengar hingga ke luar rumah. Jangan sampai siapa pun mengetahui keberadaannya.“Ivy, di mana kau?” tanya si penelepon di seberang.Ivory tahu siapa yang menghubunginya, tent
Max berjalan tanpa tujuan. Tidak! Tujuannya tentu saja ke rumah. Ia harus menemui orang yang mungkin bisa menyelamatkannya dari dosa yang telah ia lakukan. Ia telah melenyapkan gadis itu. Ivory pasti sudah mati karena terjatuh ke laut yang dingin dan dalam. Ditambah, dengan ketinggian antara jembatan dan permukaan laut, tak mungkin jika tubuhnya tidak terempas.Kalau pun gadis itu selamat, mungkin ia akan mengalami gegar otak lalu hilang ingatan. Namun, sepertinya itu lebih baik ketimbang kehilangan nyawa.Max masuk ke dalam rumah, bajunya compang-camping tak keruan karena perubahannya yang sembarangan dan mulai tidak terkontrol. Ia tak mengerti mengapa itu bisa terjadi, tetapi begitulah kenyataannya.Ia adalah seorang monster sekarang. Ditambah lagi dirinya sudah melenyapkan seorang gadis yang tak punya andil atas kondisinya.“Mirielle! Kau di mana, Elle!” panggil Max, tergesa dan tampak gurat cemas di wajahnya. Saudara kembarnya yang sejak tadi mengurung diri di kamar, terjingkat ka
Ivory merasa jantungnya berdegup tak karuan, napasnya memburu—berusaha memusnahkan benda aneh yang seperti melekat pada bagian tubuhnya ini. Ia adalah seorang manusia, bukan ikan! Namun, mengapa kini dirinya tak jauh berbeda dengan apa yang barusan menyelinap di kepalanya?Benarkah apa yang dilihatnya saat ini bahwa ia adalah seekor makhluk air yang juga termasuk makhluk mitologi dan tak akan pernah dipercaya keberadaannya?Putri duyung hanyalah dongeng pengantar tidur. Sangat sulit baginya mempercayai kalau dirinya adalah bagian dari makhluk mitologi, sama seperti Max yang seorang manusia serigala!Ivory tak akan pernah percaya itu!Gadis itu bangkit, sudah bukan lagi waktunya untuk meratapi nasib, karena bisa saja seseorang menyadari keberadaannya di sana. Dan dengan penampilannya saat ini, bisa saja orang-orang akan beramai-ramai menjadikannya bahan tontonan atau bahkan membawanya untuk dikuliti dan dijadikan santapan makan malam.Ivory bergidik membayangkan hal-hal mengerikan itu
Max berusaha menelusuri keberadaan Ivory keesokan harinya. Tepat di bawah jembatan di mana ia nyaris menghabisi nyawa gadis itu. Dan memang, ia sudah melakukannya. Ivory kini tak lagi ada di dunia ini. Namun, setidaknya Max bisa menemukan jasad gadis itu.Bisa jadi ada di dalam lautan, atau di mana pun di sekitar tempatnya berdiri saat ini.Max bisa saja meminta bantuan Mirielle, adiknya, untuk memastikan di mana keberadaan Ivory dan apakah gadis itu masih hidup atau sudah mati. Namun, sejak semalam Mirielle enggan mengatakan apa pun mengenai Ivory meski Max telah mendesaknya.Mirielle tahu segalanya, tetapi ia selalu menyimpan untuk dirinya sendiri. Dan gadis itu tak suka kalau disebut sebagai cenayang.“Di mana kau, Ivory?” gumamnya sendiri. Ia tetap berjalan menelusuri pesisir pantai hingga melihat sesuatu yang membuatnya yakin bahwa Ivory memang pernah berada di sana.Pakaian yang dikenakan Ivory malam tadi, koyak tak berbentuk, tetapi Max ingat betul warnanya yang sangat serasi d
Beberapa tahun kemudian ... “Apakah kau percaya itu, Max? Kau lihatlah putra-putri kita. Mereka kini berusia delapan belas tahun dan—oh! Apakah kau dulu juga mengalami ini? Usia berapa kau berubah menjadi dewasa?” tanya Ivory saat sadar bahwa si kembar, Isaac dan Mackenzie telah berubah menjadi berusia delapan belas tahun di usia mereka yang kelima. Max tertawa mendengar komentar polos Ivory. Ia lantas meraih wanita itu dalam dekapannya dan mengecup bibirnya sekilas. “Di usia tiga tahun aku berubah menjadi delapan belas tahun dan menjalani pelatihan dari kakek Jeremiah untuk menerima jabatan darinya sebagai seorang alpha Alsenic pack. Apakah kau tidak mengalami itu?” “Apakah aku kelihatan seperti manusia ajaib seperti kalian?” tanya Ivory yang dijawab gelak tawa oleh Max. “Baiklah, artinya usia kita terpaut sangat jauh. Kau seharusnya lebih tua dibanding diriku. Benar begitu, kan?” Ivory mengangguk, kemudian menoleh lagi pada Isaac dan Mackenzie yang telah menghabiskan sarapan mere
Seth tersungkur tanpa daya di atas tanah, pandangan mata sayunya pandangi langit malam di mana bulan purnama tengah benderang menyinari dunia. Seth bisa mendengar lolongan serigala yang memuja Amethyst. Sebagai tanda syukur kemenangan mereka. Hawa panas menggelegak. Keheningan mencekam ini, Seth mati rasa, tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. ‘Dad. Katakan padaku. Kalau aku adalah seorang putra dan keturunanmu yang baik.’ Wajah sang ayah yang tersenyum manis berkelebatan di benak Seth saat mendiang menyerunya penuh kasih sayang. Seth masih ingat kenangan itu dengan jelas. Linea berlarian menerjang kubangan-kubangan api yang meratakan tanah, sembari menahan rasa sakit di perutnya yang terasa sangat mengejang, demi apa pun. Melihat Seth menghadapi kematian, membuatnya Linea terseok-seok. Dia menyambar tubuh Seth yang tidak berdaya; merenggang nyawa. “Seth, astaga. Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Bagaimana dengan anak-anakku. Dia membutuhkanmu. Jangan pergi, Seth. Kau harus melihat
TAANG!!! Anak panahnya meleset ke arah lain ketika Seth mematahkannya dengan sambaran petir. Terlepas dari tepat sasaran atau tidaknya, Ronan tak peduli. “Lihat aku di sini, Rogue tolol!” ejek Ronan tersenyum miring, dia sengaja benar memancing emosi Seth yang mudah sekali tersulut. “Dasar bodoh! Siapa pun tidak ada yang dapat mengalahkan aku!” amuk Seth terus luncurkan semua serangannya secara brutal. “Kau, Omega tidak berguna! Jangan halangi aku!” DUARR!!! Ronan berlari menghindar ketika serangkaian ledakan api meletus hebat di belakangnya. Melompat dengan langkah kaki panjang, bergerak gesit, cekatan serta lincah. Bermanuver—tak sulit menghindari serangan Seth yang lambat-laun mulai melambat. “Ada apa denganmu? Mengapa kau lamban sekali? Kau bahkan tidak bisa menggoresku sedikit saja!” Ronan terpingkal geli. Sekali lagi, dia melesatkan dua pasang anak panah. “DIAM KAU! Percuma! Serangan panahmu ini tidak akan bisa melumpuhkan aku!” DUARR!!! Ronan melompat tinggi di atas ud
Markus tanpa pikir panjang kembali, menyelamatkan karibnya. Dia menerobos semua ledakan-ledakan petir yang meletus di kanan-kirinya, berlari cepat demi menyelamatkan Alegria yang kepayahan akibat pendarahan. Markus bergegas menyambar Alegria yang terkapar, melompat cepat—menghindari sambaran petir lainnya yang tiada hentinya berdatangan.“Mengapa kau kembali? Bagaimana dengan pasukanmu?” tanya Alegria lemah dan merasa bersalah. Dia diserang oleh gelombang batuk darah.“Masih tanya juga! Tentu saja menyelamatkanmu! Mustahil, meninggalkanmu mati di sana! Pasukanku yang tersisa mereka berhasil ke tempat aman. Rogue itu memang keparat! Bagaimana bisa dia memiliki kekuatan sihir mengerikan seperti ini!?”Markus, Alegria, Marion, William dan semua pasukan yang tersisa berhasil mencapai zona perimeter aman yang sebelumnya telah disiapkan oleh mereka. Menjauhi medan pertempuran yang mustahil mereka hadapi. Mereka mengubah diri ke wujud manusia.
“Menyerahlah saja kau, Seth! Tidak ada jalan keluar atau lari! Sebelum kami semua benar-benar membunuhmu!” kecam Mirielle bersungguh-sungguh dengan ucapannya. “Kau sudah terkepung! Kau harus membayar seluruh kejahatanmu di hadapan Dewi Amethyst!”BZZT!“Kau pikir siapa dirimu?! Karena kau Elder pilihan yang menjembatani Dewi Bulan, kau pikir bisa berbuat segalanya?”Mirielle mencibir setengah meradang. “Tidakkah kau pikirkan semua korban yang telah kau hancurkan hidupnya? Pack yang tidak bersalah atau berdosa! Tidakkah kau memikirkan anak-anak yang kehilangan keluarga mereka? Aku tak paham mengapa kau memilih jalan beracun seperti ini?!”CLASSH!BLARR!“Tidak usah sok memahamiku, Mirielle! Aku tak peduli apa pun! Selama tujuanku tercapai, dendam kematian leluhurku terbalaskan, dan semua kelompok Pack yang kalian agung-agungkan itu hancur selamanya! Justru aku senang menghancurkan kalian semua hingga tidak ada yang ter
Mirielle merintih putus asa. “Max! Jawab aku! Mom! Dad! Ronan, please! Anybody hear me?!”“Elle?! Kau di mana?! Kau baik-baik saja?! Bertahanlah, Elle! Aku bersama pasukan The Cardinal, anggota Pack dan keluarga! Sebentar lagi, sampai! Kau tidak terluka ‘kan? Kami semua cemas sebab tak mendengar kabar apa pun darimu.” Max menjawab dari mind-link. “Katakan kalau kau bersama Lyra sekarang?”Helaan napas lega terdengar dari hidung bangir Mirielle. “Aku tidak bersama Lyra, Max. Aku gagal mendapatkannya. Ini semua karena kekuatan sihirku yang belum pulih sepenuhnya! Seth dan Linea memiliki mantra dinding sihir kuat. Padahal, aku nyaris berhasil. Aku mengacau! Aku baik-baik saja! Max, ada situasi genting! Sebelum kau menyaksikannya secara langsung. Aku ingin kau dengarkan ucapanku dulu.”“Tunggu sebentar, Elle! Aku mengendus bau Ivy dekat sini?! Apa itu jeritan istriku?! SEDANG APA DIA? MENGAPA IVY BISA BERSAMA DENGAN SETH?!!”Sensasi berdenyut
“Sekarang apa maumu?” tanya Linea mengeraskan nada suaranya. Dia menjerit penuh amarah. “Aku telah mengikuti semua perintahmu! Kau bilang ingin dapatkan darah Ivy demi memperkuat kekuatan kita?! Mengapa sekarang kau malah menawannya?! Kau bilang membangun Mansion khusus untuk wanita ini?! Apa kau sudah gila?! Kau mengingkari janjimu, Seth!”Seth tertawa bengis. Tetap mencengkeram tubuh Ivory dalam belitan tangannya. Mereka perlahan-lahan berjalan mundur. “Kau kira siapa dirimu, Linea?! Mengatur atau mengendalikan diriku?! Sudah kubilang berkali-kali jangan konyol! Kita melakukan segalanya sesuai kesepakatan, ingat?! Inilah tujuanku! Mendapatkan Ivy kembali.”Ivory mendesis jijik ketika Seth menjilati ceruk lehernya. Rasanya dia ingin sekali menghajar Seth sekarang juga, tetapi apa dayanya. Kekuatan Seth terlalu kuat untuk dilawan. Semakin Ivory memberontak—semakin Seth mencekiknya. Linea menggeleng. Mulai banjir air mata, mengentakkan kaki menahan b
“Oh! Akhirnya, Benjamin mampu memenuhi kesepakatannya! Senang sekali, kau mengerti maksudku. Maaf, kuharap Watcher yang aku utus, tidak memperlakukanmu dengan buruk, ya? Mendengar kau datang bersama Ivory.” Suara Seth menggema di sela-sela tawa maniaknya. “Woah, ini pencapaian terbesarku, bukan? Aku meminta Benjamin menukar darah Ivory tapi dia malah membawanya kemari. Well done, Ben. Aku tahu kau memang tak akan mengecewakan aku.”Benjamin mendesis sinis. “Cukup basa-basinya, keparat! Aku telah memberikan apa yang kau mau. Lantas, di mana Lyra sekarang?! Berikan kepadaku sekarang juga!”Ivory meraung marah. “Lyra milikku! Seth, jangan berani kau melukai satu helai rambut pun putriku. Bila kau menyakitinya aku bersumpah akan membunuhmu!”Seth terbahak geli. Matanya meneliti Ivory penuh obsesi. “Oh, ayolah. Lyra aman di tangan kami. Jadi, jangan cemas. Selama kalian menuruti semua perintahku, nyawanya terjaga, sayang.”Ivory membuang pandangannya, tidak sudi mendengar kata-kata Seth se
“Ini kesempatanku,” ucap Ivory setengah berbisik. “Tidak ada waktu lagi. Aku harus menemui Benjamin segera.”Ivory menimang bayinya sampai mereka tertidur. Menggendong, membaringkan Mackenzie dan Isaac di dalam ranjang bayi mereka. Helaan napas Ivory terdengar penuh beban berat. Dia telah mempertimbangkannya, memikirkan ucapan Benjamin sebelumnya dengan keputusan panjang. Hingga membawa Ivory pada jalan akhir, menyetujui kesepakatannya bersama Benjamin. Ivory tahu keputusannya ini memang gila. Memicu kemarahan terbesar Max, namun apa dayanya. Ivory tidak punya pilihan lain demi menyelamatkan nyawa Lyra, keluarga kecilnya dan menyudahi peperangan melelahkan ini. “Maafkan aku, nak. Aku hanya lelah dengan semua pertumpahan darah, pertempuran, dan pertikaian tiada berujung ini. Mungkin melalui pengorbananku, perang ini bisa dihentikan. Yang Seth inginkan hanya aku, bukan Lyra. Jika menyerahkan diri bisa menyelamatkan semuanya. Maka keputusanku ini sepadan.” Gumam Ivory mengusap puncak k