Ivory bergegas membereskan barang-barangnya, karena ia tak lagi berniat untuk berjualan di tempat yang sama. Ia masih sempat mendengar geraman dan teriakan bosnya sebelum ia pergi dari kantor dan ia pastikan tak akan kembali ke tempat itu lagi.
Ia takut kalau pria itu nantinya akan mencari dan memintanya kembali bekerja.Ya ... itu hanya pikiran Ivory yang mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Pria sombong seperti Max tak akan pernah membutuhkan orang sepertinya, bukan?Kalau pun Max mencari dan meminta sesuatu dari Ivory, maka Ivory akan pastikan tak akan pernah memberikan kesempatan seujung kuku pun untuk pria itu. Ia tak ingin terluka untuk ke sekian kalinya.Baru saja Ivory hendak pergi, ponselnya berdering begitu nyaring hingga ia bergegas untuk menjawab panggilan itu sebelum suara telepon genggamnya itu terdengar hingga ke luar rumah. Jangan sampai siapa pun mengetahui keberadaannya.“Ivy, di mana kau?” tanya si penelepon di seberang.Ivory tahu siapa yang menghubunginya, tentu saja Jane. Gadis itu tidak akan bisa jika Ivory sebentar saja tidak ada di hadapannya.“A-aku ... Jane, jangan cari aku untuk beberapa waktu ke depan. Aku harus sedikit menjernihkan pikiran,” ucap Ivory.“Apa? Kau mau ke mana? Tidak! Kau tidak boleh ke mana pun. Kau tahu? Aku punya kabar baik, kau harus kembali ke kantor!”Ivory tak berani menebak-nebak apa sebenarnya yang tengah terjadi, tetapi sekali lagi, bahkan berkali-kali Jane memaksanya untuk kembali ke kantor.“Ayolah, Ivy, please ... ini mengenai si bos apakah kau tidak ingin tahu apa yang terjadi? Oh, salah! Bukan itu yang seharusnya kukatakan. Jadi begini, aku ingin tahu apa yang telah kau lakukan pada pria itu, Ivy. Karena ia seperti orang yang terkena mantra cinta.”“Apa? Apa maksudmu?” tanya Ivory, tak mengerti.Sejak kapan si sombong dan angkuh itu jatuh cinta, bahkan Jane mengatakannya dengan jelas kalau Max seperti sedang terkena mantra cinta. Atas dasar apa gadis itu berkata demikian? Apakah telah terjadi sesuatu pada pria itu?“Jane, kumohon, kita lanjutkan lagi nanti, oke? Aku harus pergi!”Tanpa permisi, Ivory mengakhiri perbincangan mereka melalui telepon dan kemudian ia bergegas melanjutkan apa tang telah ia rencanakan.Perasaannya tak enak, seolah akan terjadi sesuatu terhadapnya. Ia tak boleh lengah dan berhenti di tempat yang sepi, dan tentu saja itu artinya ia harus berhati-hati.Ivory mempercepat langkahnya. Ia merasa seseorang tengah mengikutinya kini. Ia tak yakin apakah itu hanya perasaannya, atau memang benar bahwa seseorang kini tengah menguntitnya.Gadis itu berusaha semampunya untuk menghindar, bahkan ia kini mulai berlari agar bisa menjauh dari pandangan penguntit dan ia bisa bebas.Sayangnya, realita sering kali tak seindah khayalan dan harapan. Itulah yang terjadi pada Ivory yang tak menyadari bahwa sosok yang mengikutinya itu tengah menerjang dan membuat gadis itu tergolek di bawah kungkungannya.“Mau lari ke mana kau, Ivy? Kau telah berani menipuku, Nona berambut perak. Jadi kau harus terima akibatnya,” ucap makhluk setengah manusia dan setengah serigala itu, menyeringai.“Tidak, tunggu! Bagaimana bisa kau menyebutku penipu, huh?! Aku sudah lakukan apa yang kau minta, bukan? Lalu, apa lagi ini?”“Kau masih berani bertanya ‘apa lagi’? Kau lihat aku! Sejak tadi aku tidak bisa kembali menjadi wujud asliku, ini pasti karena ulahmu! Karena aku tidur denganmu, kutukan ini jadi semakin menjadi! Kau pembawa sial, Ivy!” geram makhluk itu dengan suara bass yang menyeramkan.Ivory bergidik kala mendengar tudingan bahwa dirinya pembawa sial. Sejak tadi, bulu kuduknya tak juga berhenti meremang.Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Max, bahwa Ivory adalah pembawa sial. Buktinya, keluarganya kini tak lagi mau mengakuinya. Ia dibuang dan terlunta seorang diri. Tak ada seorang pun yang bersedia menolong saat dirinya terpuruk.Bahkan beberapa orang menghinanya sama seperti yang ditudingkan oleh Max—kalimat kejam yang diucapkan penuh kebencian.Dan saat ini, Max masih berusaha untuk mencengkeram batang tenggorok Ivory dengan kedua tangannya yang tiap-tiap jemarinya ditumbuhi kuku yang panjang dan tajam—mengimpit tubuh gadis itu pada bagian titian jembatan yang terbuat dari besi, terasa dingin di permukaan kulit Ivory.Di bawah sana, terdapat lautan yang kedalamannya tak bisa terhitung kedalamannya. Dan lagi, berapa derajat suhunya saat ini? Ivory mungkin akan membeku jika tercebur dan tenggelam di dasarnya.Apakah ini akan menjadi hari terakhirnya? Apakah Max akan benar-benar membunuhnya? Bagaimana jika iya? Meski sejak lama Ivory hidup seorang diri, tetap saja, ia tak ingin mati konyol di tangan makhluk buas itu.Ivory jadi menyesali keputusannya untuk melewati jalan sepi ini. Seharusnya ia masuk ke kawasan kumuh dengan rumah rapat, agar bisa mengetuk salah satu pintu dan bersembunyi di sana.Kini, dirinya sudah berada di sini, dengan Max yang terus menatapnya nyalang dengan hasrat untuk melenyapkannya, berbeda dengan Max yang dilihat Ivory kemarin malam—tidak dengan tujuan untuk menghabisi nyawa Ivory melainkan untuk bertukar peluh dengannya.Gadis itu bahkan nyaris jatuh cinta pada Max karena mengira pria ini memiliki karakter yang luar biasa.“Tuan, kumohon lepaskan aku! Ekh!” Ivory berusaha menghitung mundur, seolah ia pasrah degan malaikat maut yang tampaknya sudah berdiri di ambang pintu rumahnya.Baru kali ini ia melihat tatapan bengis dari seseorang, setelah sekian lama tidak terlalu banyak bergaul dengan siapa pun yang tidak ia inginkan. Dan mulanya ia merasa nyaman berada di dekat Max. Namun, tentu saja, itu ketika Max bukan sosok angkuh yang ternyata adalah bosnya.Kini, berada dalam persimpangan antara hidup dan mati, ia tak bisa berbuat apa pun. Ivory pasrah, tak peduli apa pun yang hendak dilakukan oleh Max, meski ia harus meregang nyawa saat ini juga, Ivory tak akan lagi melawan.Selama ini ia tak memiliki siapa pun, maka biarlah ... biar saja jika ia harus mati.Tubuh Ivory melemah, seluruh sarafnya juga mengendur. Cengkeraman yang semual begitu kuat juga kini terasa nyaris terlepas, hingga Ivory menangkap tatapan penyesalan, terlebih Max yang semula berwujud makhluk buas itu kini kembali dengan bentuknya sebagai pria rupawan yang sempat menawan hati Ivory untuk semalam.“Ivy ... apakah aku—“Ivory tak memberi kesempatan Max untuk bicara. Ia tak ingin mendengar apa pun. Ia melepaskan diri dari Max dan menjatuhkan serta menceburkan diri ke lautan di bawah jembatan tempat Max mengeksekusinya.“IVY! Apa yang kau lakukan? IVY! Di mana kau?!”Max terus memanggil gadis itu seperti orang kerasukan. Ia bahkan sudah berniat untuk ikut melompat ke bawah sana, tetapi beberapa orang mengira dirinya hendak mengakhiri hidup dan lalu menghalanginya.Lantas, bagaimana dengan Ivory di bawah sana? Ia mungkin sudah tak bernyawa, tenggelam di dasar lautan itu, dan tak akan pernah ada yang menemukannya.Max berjalan tanpa tujuan. Tidak! Tujuannya tentu saja ke rumah. Ia harus menemui orang yang mungkin bisa menyelamatkannya dari dosa yang telah ia lakukan. Ia telah melenyapkan gadis itu. Ivory pasti sudah mati karena terjatuh ke laut yang dingin dan dalam. Ditambah, dengan ketinggian antara jembatan dan permukaan laut, tak mungkin jika tubuhnya tidak terempas.Kalau pun gadis itu selamat, mungkin ia akan mengalami gegar otak lalu hilang ingatan. Namun, sepertinya itu lebih baik ketimbang kehilangan nyawa.Max masuk ke dalam rumah, bajunya compang-camping tak keruan karena perubahannya yang sembarangan dan mulai tidak terkontrol. Ia tak mengerti mengapa itu bisa terjadi, tetapi begitulah kenyataannya.Ia adalah seorang monster sekarang. Ditambah lagi dirinya sudah melenyapkan seorang gadis yang tak punya andil atas kondisinya.“Mirielle! Kau di mana, Elle!” panggil Max, tergesa dan tampak gurat cemas di wajahnya. Saudara kembarnya yang sejak tadi mengurung diri di kamar, terjingkat ka
Ivory merasa jantungnya berdegup tak karuan, napasnya memburu—berusaha memusnahkan benda aneh yang seperti melekat pada bagian tubuhnya ini. Ia adalah seorang manusia, bukan ikan! Namun, mengapa kini dirinya tak jauh berbeda dengan apa yang barusan menyelinap di kepalanya?Benarkah apa yang dilihatnya saat ini bahwa ia adalah seekor makhluk air yang juga termasuk makhluk mitologi dan tak akan pernah dipercaya keberadaannya?Putri duyung hanyalah dongeng pengantar tidur. Sangat sulit baginya mempercayai kalau dirinya adalah bagian dari makhluk mitologi, sama seperti Max yang seorang manusia serigala!Ivory tak akan pernah percaya itu!Gadis itu bangkit, sudah bukan lagi waktunya untuk meratapi nasib, karena bisa saja seseorang menyadari keberadaannya di sana. Dan dengan penampilannya saat ini, bisa saja orang-orang akan beramai-ramai menjadikannya bahan tontonan atau bahkan membawanya untuk dikuliti dan dijadikan santapan makan malam.Ivory bergidik membayangkan hal-hal mengerikan itu
Max berusaha menelusuri keberadaan Ivory keesokan harinya. Tepat di bawah jembatan di mana ia nyaris menghabisi nyawa gadis itu. Dan memang, ia sudah melakukannya. Ivory kini tak lagi ada di dunia ini. Namun, setidaknya Max bisa menemukan jasad gadis itu.Bisa jadi ada di dalam lautan, atau di mana pun di sekitar tempatnya berdiri saat ini.Max bisa saja meminta bantuan Mirielle, adiknya, untuk memastikan di mana keberadaan Ivory dan apakah gadis itu masih hidup atau sudah mati. Namun, sejak semalam Mirielle enggan mengatakan apa pun mengenai Ivory meski Max telah mendesaknya.Mirielle tahu segalanya, tetapi ia selalu menyimpan untuk dirinya sendiri. Dan gadis itu tak suka kalau disebut sebagai cenayang.“Di mana kau, Ivory?” gumamnya sendiri. Ia tetap berjalan menelusuri pesisir pantai hingga melihat sesuatu yang membuatnya yakin bahwa Ivory memang pernah berada di sana.Pakaian yang dikenakan Ivory malam tadi, koyak tak berbentuk, tetapi Max ingat betul warnanya yang sangat serasi d
“Benda ini akan kusimpan. Kau tak perlu lagi bertanya mengenai gadis itu, Max. Kau sudah menyusahkan banyak orang, kau tahu itu?!” omel Mirielle, saat tahu sang kakak kembali menemuinya demi memastikan beberapa kepingan menyerupai logam yang warnanya sedikit tak lazim.Mirielle bisa saja mencari tahu mengenai benda itu, atau pun mengenai Ivory. Namun, ia tak lakukan. Tidak semudah itu.Ia sudah tahu apa yang terjadi pada Max yang membuat dirinya terus mencari gadis itu. Dan Mirielle yakin, jika ia membantu Max, pada akhirnya pria itu akan membuat masalah lagi.“Mengapa kau begitu tega pada kakakmu, Elle?! Aku tahu kau pasti sudah tahu di mana keberadaan Ivory.”Mirielle memutar tubuh dan menancapkan tatapannya pada manik sewarna kiwi milik pria di hadapannya, kemudian terus memandanginya tanpa teralihkan. Memang begitu niat Mirielle, untuk mengintimidasi Max agar ia berterus terang atas apa yang telah ia lakukan terhadap gadis itu.“A-aku hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh nenek
Tak penting siapa pria bernama Benjamin yang kini tengah mengungkung Ivory menjadi tawanannya. Karena yang paling penting saat ini adalah pria itu memperlakukan Ivory dengan sangat baik.Bahkan terlalu baik jika dibandingkan dengan perlakuan Max terhadapnya.Terlebih setelah pria itu berhasil mengembalikan kaki Ivory, gadis itu merasa sangat berterima kasih.“Mengapa kau berbuat baik terhadapku? Apa yang kau inginkan?” tanya Ivory, masih dengan nada skeptis yang tak mungkin akan sirna meski dengan perlakuan baik dari Benjamin sekali pun.Ia tetap saja akan bertanya mengenai asal-usul pria dengan tampilan menawan itu.“Aku adalah mimpi indahmu, Ivy. Kau tak perlu cemas, karena aku tidak akan menyakitimu.”Ivory masih tak percaya. Ia menajamkan tatapan ke arah pria itu demi menemukan kebenaran di dalam bola matanya yang berkilau.“Kau pasti memiliki tujuan buruk. Katakan padaku!”Benjamin terkekeh.“Apa menurutmu seperti itu? Boleh saja jika kau berpikir begitu. Namun, kau bisa buktikan
Ivory duduk termangu memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Wajahnya memberengut, teringat kejadian di kelab yang membuat perasaannya bercampur aduk. Ia kesal sekaligus malu. Benjamin harus tahu apa yang dilakukan anak buahnya itu yang membuat Ivory tidak bisa menikmati malam pestanya beberapa jam lalu. “Jadi Black menghajar pria itu?” tanya Benjamin sembari menyodorkan segelas minuman untuk Ivory. Ivory meraih gelasnya tetapi tidak memberi respon sama sekali. Ia masih marah, tentu saja. Meski ia tak tahu, apa alasan dirinya kesal pada sikap Black barusan. Pria itu dimandat oleh Benjamin untuk menjaganya, jadi wajar saja ia bertindak saat ada pria yang menyentuh Ivory. “Dan kau marah padaku padahal Black yang memukul pria itu. Memangnya siapa pria itu sampai kau begitu kesal, hm?” “Bukan siapa-siapa, Ben. Hanya tamu yang ingin melihat tarianku. Dan anak buahmu yang berlebihan itu justru membuatku malu!” Benjamin tergelak mendengar omelan Ivory yang justru terdengar beg
Ivory kembali melakukan apa yang ia suka. Mulanya ia tak berniat untuk keluar dari kamarnya—bagaimana pun, kelab ini bukan tempat yang sesuai untuknya. Namun, ia sering kali merasa bosan, dan saat pertama kali melangkahkan kaki memasuki kelab, ketertarikannya akan tiang dansa itu membuatnya ketagihan. Benjamin adalah seorang yang cemburuan. Ia memerintahkan Black dan Blue untuk menjaga selama Ivory berada di atas meja dansa. Dan kedua pengawal itu melakukannya dengan baik. “Black, kau dengar aku! Aku tidak mau kau mengulangi apa yang kau lakukan kemarin. Apa kau mengerti?” tegas Ivory saat mereka berada di ruang ganti khusus. Black berada di luar ,sementara Ivory di dalam dan menukar pakaiannya dengan kostum yang telah disediakan untuknya. Suara Ivory terdengar sampai ke tempat Black, tetapi pria itu dilanda kegalauan. Ia menerima perintah dari Benjamin agar tak ada seorang pun yang bisa menyentuh Ivory, sementara gadis pembangkang itu menginginkan kelonggaran. Namun, jika Black
“Bagaimana bisa ia melepaskan diri?” tanya Benjamin pada anak buahnya, geram. Matanya memerah, bukan lantaran karena amarah melainkan memang itulah wujud asli Benjamin dan semua tahu itu. Namun, tak berbeda dari Benjamin, mereka semua adalah berasal dari ras yang sama. Benjamin masih berusaha menahan amuknya. Ia tak percaya Ivory bisa kabur begitu saja karena ia masih dalam bentuk mermaid dan mustahil ia bisa keluar dari akuarium tanpa bantuan siapa pun. “Apakah ada dari kalian yang telah membantunya?” Lagi, pria itu mengintimidasi para pengawal yang ia tugaskan untuk berjaga. Dan salah satunya adalah Black yang secara khusus ia tunjuk untuk menjadi penjaga khusus untuk Ivory. Semua tertunduk mendengar pertanyaan Benjamin. Tak ada satu pun yang berani buka suara. Bahkan Black. “Kau ... apakah kau melakukan sesuatu terhadapnya?” serang Benjamin pada Black. Lelaki itu mengangkat wajah dan siap untuk menceritakan segala hal yang sesungguhnya tak bisa ia percayai. “Ia ... tiba-tiba
Beberapa tahun kemudian ... “Apakah kau percaya itu, Max? Kau lihatlah putra-putri kita. Mereka kini berusia delapan belas tahun dan—oh! Apakah kau dulu juga mengalami ini? Usia berapa kau berubah menjadi dewasa?” tanya Ivory saat sadar bahwa si kembar, Isaac dan Mackenzie telah berubah menjadi berusia delapan belas tahun di usia mereka yang kelima. Max tertawa mendengar komentar polos Ivory. Ia lantas meraih wanita itu dalam dekapannya dan mengecup bibirnya sekilas. “Di usia tiga tahun aku berubah menjadi delapan belas tahun dan menjalani pelatihan dari kakek Jeremiah untuk menerima jabatan darinya sebagai seorang alpha Alsenic pack. Apakah kau tidak mengalami itu?” “Apakah aku kelihatan seperti manusia ajaib seperti kalian?” tanya Ivory yang dijawab gelak tawa oleh Max. “Baiklah, artinya usia kita terpaut sangat jauh. Kau seharusnya lebih tua dibanding diriku. Benar begitu, kan?” Ivory mengangguk, kemudian menoleh lagi pada Isaac dan Mackenzie yang telah menghabiskan sarapan mere
Seth tersungkur tanpa daya di atas tanah, pandangan mata sayunya pandangi langit malam di mana bulan purnama tengah benderang menyinari dunia. Seth bisa mendengar lolongan serigala yang memuja Amethyst. Sebagai tanda syukur kemenangan mereka. Hawa panas menggelegak. Keheningan mencekam ini, Seth mati rasa, tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. ‘Dad. Katakan padaku. Kalau aku adalah seorang putra dan keturunanmu yang baik.’ Wajah sang ayah yang tersenyum manis berkelebatan di benak Seth saat mendiang menyerunya penuh kasih sayang. Seth masih ingat kenangan itu dengan jelas. Linea berlarian menerjang kubangan-kubangan api yang meratakan tanah, sembari menahan rasa sakit di perutnya yang terasa sangat mengejang, demi apa pun. Melihat Seth menghadapi kematian, membuatnya Linea terseok-seok. Dia menyambar tubuh Seth yang tidak berdaya; merenggang nyawa. “Seth, astaga. Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Bagaimana dengan anak-anakku. Dia membutuhkanmu. Jangan pergi, Seth. Kau harus melihat
TAANG!!! Anak panahnya meleset ke arah lain ketika Seth mematahkannya dengan sambaran petir. Terlepas dari tepat sasaran atau tidaknya, Ronan tak peduli. “Lihat aku di sini, Rogue tolol!” ejek Ronan tersenyum miring, dia sengaja benar memancing emosi Seth yang mudah sekali tersulut. “Dasar bodoh! Siapa pun tidak ada yang dapat mengalahkan aku!” amuk Seth terus luncurkan semua serangannya secara brutal. “Kau, Omega tidak berguna! Jangan halangi aku!” DUARR!!! Ronan berlari menghindar ketika serangkaian ledakan api meletus hebat di belakangnya. Melompat dengan langkah kaki panjang, bergerak gesit, cekatan serta lincah. Bermanuver—tak sulit menghindari serangan Seth yang lambat-laun mulai melambat. “Ada apa denganmu? Mengapa kau lamban sekali? Kau bahkan tidak bisa menggoresku sedikit saja!” Ronan terpingkal geli. Sekali lagi, dia melesatkan dua pasang anak panah. “DIAM KAU! Percuma! Serangan panahmu ini tidak akan bisa melumpuhkan aku!” DUARR!!! Ronan melompat tinggi di atas ud
Markus tanpa pikir panjang kembali, menyelamatkan karibnya. Dia menerobos semua ledakan-ledakan petir yang meletus di kanan-kirinya, berlari cepat demi menyelamatkan Alegria yang kepayahan akibat pendarahan. Markus bergegas menyambar Alegria yang terkapar, melompat cepat—menghindari sambaran petir lainnya yang tiada hentinya berdatangan.“Mengapa kau kembali? Bagaimana dengan pasukanmu?” tanya Alegria lemah dan merasa bersalah. Dia diserang oleh gelombang batuk darah.“Masih tanya juga! Tentu saja menyelamatkanmu! Mustahil, meninggalkanmu mati di sana! Pasukanku yang tersisa mereka berhasil ke tempat aman. Rogue itu memang keparat! Bagaimana bisa dia memiliki kekuatan sihir mengerikan seperti ini!?”Markus, Alegria, Marion, William dan semua pasukan yang tersisa berhasil mencapai zona perimeter aman yang sebelumnya telah disiapkan oleh mereka. Menjauhi medan pertempuran yang mustahil mereka hadapi. Mereka mengubah diri ke wujud manusia.
“Menyerahlah saja kau, Seth! Tidak ada jalan keluar atau lari! Sebelum kami semua benar-benar membunuhmu!” kecam Mirielle bersungguh-sungguh dengan ucapannya. “Kau sudah terkepung! Kau harus membayar seluruh kejahatanmu di hadapan Dewi Amethyst!”BZZT!“Kau pikir siapa dirimu?! Karena kau Elder pilihan yang menjembatani Dewi Bulan, kau pikir bisa berbuat segalanya?”Mirielle mencibir setengah meradang. “Tidakkah kau pikirkan semua korban yang telah kau hancurkan hidupnya? Pack yang tidak bersalah atau berdosa! Tidakkah kau memikirkan anak-anak yang kehilangan keluarga mereka? Aku tak paham mengapa kau memilih jalan beracun seperti ini?!”CLASSH!BLARR!“Tidak usah sok memahamiku, Mirielle! Aku tak peduli apa pun! Selama tujuanku tercapai, dendam kematian leluhurku terbalaskan, dan semua kelompok Pack yang kalian agung-agungkan itu hancur selamanya! Justru aku senang menghancurkan kalian semua hingga tidak ada yang ter
Mirielle merintih putus asa. “Max! Jawab aku! Mom! Dad! Ronan, please! Anybody hear me?!”“Elle?! Kau di mana?! Kau baik-baik saja?! Bertahanlah, Elle! Aku bersama pasukan The Cardinal, anggota Pack dan keluarga! Sebentar lagi, sampai! Kau tidak terluka ‘kan? Kami semua cemas sebab tak mendengar kabar apa pun darimu.” Max menjawab dari mind-link. “Katakan kalau kau bersama Lyra sekarang?”Helaan napas lega terdengar dari hidung bangir Mirielle. “Aku tidak bersama Lyra, Max. Aku gagal mendapatkannya. Ini semua karena kekuatan sihirku yang belum pulih sepenuhnya! Seth dan Linea memiliki mantra dinding sihir kuat. Padahal, aku nyaris berhasil. Aku mengacau! Aku baik-baik saja! Max, ada situasi genting! Sebelum kau menyaksikannya secara langsung. Aku ingin kau dengarkan ucapanku dulu.”“Tunggu sebentar, Elle! Aku mengendus bau Ivy dekat sini?! Apa itu jeritan istriku?! SEDANG APA DIA? MENGAPA IVY BISA BERSAMA DENGAN SETH?!!”Sensasi berdenyut
“Sekarang apa maumu?” tanya Linea mengeraskan nada suaranya. Dia menjerit penuh amarah. “Aku telah mengikuti semua perintahmu! Kau bilang ingin dapatkan darah Ivy demi memperkuat kekuatan kita?! Mengapa sekarang kau malah menawannya?! Kau bilang membangun Mansion khusus untuk wanita ini?! Apa kau sudah gila?! Kau mengingkari janjimu, Seth!”Seth tertawa bengis. Tetap mencengkeram tubuh Ivory dalam belitan tangannya. Mereka perlahan-lahan berjalan mundur. “Kau kira siapa dirimu, Linea?! Mengatur atau mengendalikan diriku?! Sudah kubilang berkali-kali jangan konyol! Kita melakukan segalanya sesuai kesepakatan, ingat?! Inilah tujuanku! Mendapatkan Ivy kembali.”Ivory mendesis jijik ketika Seth menjilati ceruk lehernya. Rasanya dia ingin sekali menghajar Seth sekarang juga, tetapi apa dayanya. Kekuatan Seth terlalu kuat untuk dilawan. Semakin Ivory memberontak—semakin Seth mencekiknya. Linea menggeleng. Mulai banjir air mata, mengentakkan kaki menahan b
“Oh! Akhirnya, Benjamin mampu memenuhi kesepakatannya! Senang sekali, kau mengerti maksudku. Maaf, kuharap Watcher yang aku utus, tidak memperlakukanmu dengan buruk, ya? Mendengar kau datang bersama Ivory.” Suara Seth menggema di sela-sela tawa maniaknya. “Woah, ini pencapaian terbesarku, bukan? Aku meminta Benjamin menukar darah Ivory tapi dia malah membawanya kemari. Well done, Ben. Aku tahu kau memang tak akan mengecewakan aku.”Benjamin mendesis sinis. “Cukup basa-basinya, keparat! Aku telah memberikan apa yang kau mau. Lantas, di mana Lyra sekarang?! Berikan kepadaku sekarang juga!”Ivory meraung marah. “Lyra milikku! Seth, jangan berani kau melukai satu helai rambut pun putriku. Bila kau menyakitinya aku bersumpah akan membunuhmu!”Seth terbahak geli. Matanya meneliti Ivory penuh obsesi. “Oh, ayolah. Lyra aman di tangan kami. Jadi, jangan cemas. Selama kalian menuruti semua perintahku, nyawanya terjaga, sayang.”Ivory membuang pandangannya, tidak sudi mendengar kata-kata Seth se
“Ini kesempatanku,” ucap Ivory setengah berbisik. “Tidak ada waktu lagi. Aku harus menemui Benjamin segera.”Ivory menimang bayinya sampai mereka tertidur. Menggendong, membaringkan Mackenzie dan Isaac di dalam ranjang bayi mereka. Helaan napas Ivory terdengar penuh beban berat. Dia telah mempertimbangkannya, memikirkan ucapan Benjamin sebelumnya dengan keputusan panjang. Hingga membawa Ivory pada jalan akhir, menyetujui kesepakatannya bersama Benjamin. Ivory tahu keputusannya ini memang gila. Memicu kemarahan terbesar Max, namun apa dayanya. Ivory tidak punya pilihan lain demi menyelamatkan nyawa Lyra, keluarga kecilnya dan menyudahi peperangan melelahkan ini. “Maafkan aku, nak. Aku hanya lelah dengan semua pertumpahan darah, pertempuran, dan pertikaian tiada berujung ini. Mungkin melalui pengorbananku, perang ini bisa dihentikan. Yang Seth inginkan hanya aku, bukan Lyra. Jika menyerahkan diri bisa menyelamatkan semuanya. Maka keputusanku ini sepadan.” Gumam Ivory mengusap puncak k