“Apa maumu?” selidiknya. Tangannya mengacungkan sebilah pisau dan menodongkan ke arah Max.
“Tunggu! Jangan marah dulu, aku tak akan menyakitimu. Aku akan membayarmu mahal. Berapa pun yang kau minta!” ucap Max sembari melangkah maju, mengikis jarak antara dirinya dan gadis itu.Gadis itu tak langsung menjawab perkataan Max. Namun, perlahan ia menurunkan benda yang ada di tangannya.Gadis itu kini menilik penampilan pria berjas dengan rambut coklat ditata sedikit berantakan, tatapan mata tajam dengan iris hazel memukau dan menghipnotis gadis itu untuk sesaat. Ia hampir saja langsung mengatakan setuju saat itu juga.“Apa yang harus kulakukan sampai kau berani memberi penawaran tinggi? Aku tidak mau menjadi kurir narkotika atau human traficking,” jawabnya.“Bukan semuanya. Aku mau kau melepaskan kutukan yang ada padaku.”Gadis itu terkekeh. Sulit dipercaya!Pria dengan penampilan modern seperti Max masih percaya takhayul yang mengatakan kalau dirinya menderita sebuah kutukan. Gadis itu bahkan tak tahu apa kutukan yang dialami oleh Max.“Yang benar saja, Tuan.”“Aku tahu ini di luar nalar, tapi ini nyata. Siapa namamu?”“Ivory. Kau bisa memanggilku Ivy.”“Ya, Ivy, kau tak akan percaya. Sudah puluhan wanita menjauhiku, bahkan ada yang meninggal karena terkena serangan jantung. Dan—dan mereka, maksudku anggota keluargaku mengatakan kalau aku harus mencari gadis berambut perak untuk melepaskan kutukanku.”“Persetan dengan kutukan atau apa pun itu! Katakan saja apa yang harus kulakukan.” Ivory mulai bersikap serius kali ini.“Tidurlah denganku. Hanya itu caranya.”Mendengar permintaan Max, Ivory tergelak. Ini adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah ia tahu. Untuk apa ia harus percaya pada Max? Bisa saja lelaki itu hanya mencari kesenangan, dengan menjual cerita mistis dan takhayul semacam itu.“Kau sedang bercanda, kan?” Ivory berkacak pinggang. Jelas ia tak percaya pada ucapan Max. Lelaki bertampang rupawan seperti dirinya tak akan kesulitan untuk mencari teman kencan semalam.Mengapa harus Ivory?“Terserah kalau kau tidak percaya. Jika ingin tahu, buktikan. Kau boleh pergi saat itu juga kalau kau mau, dan aku akan tetap membayar hakmu.” Max masih berusaha keras dengan penawaran yang ia berikan.Sudah sedemikian rupa, mungkinkah Ivory tetap menolak?Gadis berambut perak itu mengetuk-ketukkan sepatunya. Ia tengah mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan. Apakah ikut dengan Max yang artinya ia menerima tawaran itu dengan berbagai risiko, atau menolaknya mentah-mentah?“Ivy, ayolah jangan terlalu lama. Kau membutuhkan uang untuk membayar hutang-hutang ayahmu agar kau bisa bebas dari Benjamin atau siapa itu, bukan? Aku bisa memberikan berapa pun, dan upaya untuk membebaskanmu dari mucikari itu."Masih belum berhasil. Ivory masih bergeming dan tak memberi jawaban sama sekali. Ia masih juga menilik pria di hadapannya yang datang tiba-tiba menyelamatkannya, tetapi kemudian menceritakan dongeng tentang kutukan.Haruskah ia percaya?"Ivy ... cepatlah! Apa kau tidak merasa kalau di sini sangat dingin?” Mulut Max sudah mengeluarkan asap sebagai tanda bahwa suhu udara malam itu memang cukup rendah.Baru saja memasuki musim gugur. Entah mengapa Max tak akan tahan setiap kali musim dengan hawa dingin menusuk itu tiba.Ia ingin sekali bergelung di kasurnya dan bersembunyi dalam selimut.“Baiklah, Tuan Pemaksa! Ayo kita berangkat.” Ivory berbalik dan mengambil mantelnya. “Tunggu, aku akan menutup kedaiku dulu!”Gadis itu kemudian ikut ke kediaman Max dengan mengendarai mobil Max. Jelas, Ivory hanya berjalan kaki atau naik kereta setiap hendak pergi ke mana pun.Dan bisa merasakan duduk di dalam mobil sport milik Max, terasa seperti sebuah kehormatan baginya.Tak berapa lama, kendaraan yang mereka tumpangi mulai melewati hutan pinus di kanan dan kiri. Ivory tak menaruh kecurigaan apa pun, karena ia yakin bahwa Max tidak akan berniat jahat.Kalau pun ia berani berbuat macam-macam, Ivory bisa saja menghajarnya.Max mempersilakan Ivory untuk masuk dan bersantai sementara dirinya mengambilkan minuman untuk gadis itu. Max menyodorkan segelas wine pada Ivory.“Apakah kita sedang ada pesta?” tanya gadis itu.“Ya, kaulah pestaku. Aku ingin memperjelas semuanya di sini, Ivy.”Gadis itu mencebik.“Kurasa aku cukup jelas dengan apa yang kau inginkan. Kau ingin menguji apakah aku bisa membuatmu terlepas dari kutukan itu lalu apa? Apakah kemudian—hmph!”Max membungkam Ivory dengan mendaratkan kecupan yang intens di bibir ranum gadis itu. Ivory tidak menolak, karena ia tahu kesepakatannya. Seperti yang dikatakan lelaki itu sebelumnya.Ivory kini membalas kecupan Max, menggigitnya sedikit hingga lelaki itu merasakan gairahnya mulai timbul kembali.Max sadar hasratnya memuncak, beberapa bagian tubuhnya mulai menegang dan ia mulai memperdalam pagutannya pada gadis itu.Bulu-bulu halus, seperti biasa, telah muncul di beberapa bagian tubuhnya. Begitu juga dengan kuku panjang yang menyeruak dari sela-sela ujung jarinya. Pakaian yang ia kenakan mulai terasa mengetat. Sebentar lagi ia akan menjadi sosok hasil kutukan, seperti yang selalu ia pikirkan.“Argh!” Max mengerang, merasakan tubuh yang berubah aneh dan membesar, menimbulkan sakit luar biasa.Namun, apa yang telah ia mulai harus ia tuntaskan saat ini juga.Sementara itu, Ivory yang sejak tadi masih terpejam, kini telah membuka kedua matanya. Bola mata biru jernih itu memandang iris hazel Max yang berubah menjadi keemasan.Ia jauhkan wajahnya dari lelaki itu, memandangi tampilan Max yang berbeda dari sebelumnya.Sesosok makhluk setengah serigala—lycan, tengah berada di atasnya, entah dengan tujuan untuk melahapnya, atau justru melanjutkan pergumulan dengannya.Max mengerang lagi, napasnya terengah, antara menahan nyeri di sekujur tubuhnya juga hasrat yang menjerit meminta disalurkan segera.“Kau boleh lari jika kau mau,” ucapnya terbata dan masih terengah.Ivory menyunggingkan senyum simpul, kemudian membelai rahang lelaki di atasnya.“Lari? Memangnya kenapa aku harus lari? Bukankah ini tugas yang kau haruskan untukku? Sudah begini, lalu apa? Apa lagi yang kau ingin aku lakukan?” tanya gadis itu.“Argh! Kau yakin?” tanya Max, memastikan. Tangannya terus mengepal, meremas permukaan sofa tempatnya dan Ivory berada.Tak hanya nyeri, sekujur tubuh Max seolah akan meledak saat itu juga. Tak sabar ia menanti jawaban dari gadis yang masih berada di bawahnya, dalam kungkungannya.Ivory tak ingin mengulur waktu, ia mengangguk.“Aku tahu ini akan menyakitkan bagiku, tapi mari kita tuntaskan semuanya. Jadi, kau akan tahu apakah benar yang dikatakan anggota keluargamu, bahwa aku mungkin bisa melepaskanmu dari kutukan itu.”Max menatap lagi bola mata Ivory dalam-dalam. Tak ada rasa gentar di sana, seolah ia telah terbiasa menyaksikan perubahan bentuk manusia menjadi monster seperti yang terjadi pada Max.Dan kalimat gadis itu barusan ... menyakitkan, katanya? Apakah dia ....Ivory menarik Max agar melanjutkan permainan yang sempat terhenti.Max sungguh-sungguh kali ini.Ivory satu-satunya perempuan yang tidak takut saat melihat Max dalam wujud mengerikan. Gadis itu bahkan berniat melanjutkan permainan mereka hingga selesai.Max tak ingin menyiakan waktu. Ia tak sabar mengetahui efek dari apa yang dilakukannya. Apakah benar bahwa kutukannya akan hilang jika ia bercinta dengan si gadis berambut perak ini.Max bisa melihat, rambut panjang terurai itu seolah bersinar diterpa cahaya rembulan. Tak hanya itu, kulitnya pun tampak begitu bercahaya.Max menggeleng cepat, berusaha menyadarkan dirinya dari pesona Ivory, si gadis berambut perak itu. Ia kemudian mulai menyatukan dirinya dan Ivory, mengisi gadis itu dengan segala yang belum pernah dirasakannya.Ivory memekik perlahan, menahan nyeri di pangkal pahanya—layaknya ditusuk belati. Ia yang meminta Max untuk melanjutkan, maka ia harus bertahan.Seperti inikah rasanya bercinta—seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabatnya?Jika iya, artinya mereka berbohong.Atau mungkin tidak ... mereka benar. Sakit pertama kali, tetapi ketika Max mulai bergerak teratur, Ivory merasakan nikmat luar biasa.Ia tak bisa menahan mulutnya untuk tidak melenguh, mengerang, memekik, tiap kali gerakan Max mulai berirama.Tak berapa lama, keduanya mencapai puncak kenikmatan bersama. Dan selama ia bergerak teratur di atas tubuh Ivory, tanpa sadar Max meninggalkan goresan dan gigitan pada beberapa bagian tubuh Ivory.Gadis itu mengerang, tak hanya karena kenikmatan yang seperti sebuah ledakan di bagian bawahnya, tetapi juga lantaran kebrutalan yang dilakukan oleh Max.Bekas itu, bisa saja menjadi sebuah tanda yang telah menyatukan mereka, yang tidak disadari oleh keduanya.Sinar matahari menyeruak dari balik tirai. Jendela kaca berukuran besar memudahkan ruangan tersebut tersirami hangat sinar mentari pagi.Ivory menggeliat perlahan, berusaha melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.Ia memekik lirih kala merasakan tulang belulangnya yang terasa bagai diremukkan hingga lumat. Ia menoleh ke sampingnya, Max tak ada di sana. Di mana lelaki itu?“Selamat pagi,” sapa seorang lelaki dengan suara baritonnya yang berat. Jika orang tak tahu, mungkin akan mengira ia sudah berusia tiga puluhan, padahal ia belum mencapai angka itu.“Hey ... maaf, aku tidur seperti orang mati. Apakah kau akan bekerja?” tanya Ivory yang dijawab anggukan oleh Max.Lelaki itu kemudian duduk di dekat Ivory yang sudah bangkit setelah melilitkan selimut di dadanya. Pasti Max yang memakaikan benda itu di tubuhnya saat ia terlelap semalam.Setelah mencapai puncak, ia merasa sangat letih dan mengantuk, lalu tak sadar memejamkan mata.“Aku akan menepati janjiku.” Lelaki itu menyodorkan
“Apa kau menguntitku?” tuding Max, yang membuat Ivory mencebik.“Apa? Aku? Menguntitmu? Apa untungnya, Tuan? Kau sudah memberikan apa yang kau janjikan, bagiku sudah lebih dari cukup!”“Ya, siapa tahu kau ingin menuntut tanggung jawabku karena telah merenggut keperawananmu. Wanita jaman sekarang sering kali tidak masuk akal.” Max menggerutu, kemudian kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.“Kalau kau sudah selesai, kau bisa kembali ke tempatmu!” titahnya, dingin.Ivory memandangi Max sejenak. Lelaki itu begitu angkuh dan tak berperasaan, padahal beberapa jam lalu, ia bersikap lembut padanya dan tidak menunjukkan sikap arogansinya.Ivory tak ingin banyak bicara. Ia segera menyelesaikan pekerjaannya lalu angkat kaki dari ruangan bosnya itu.Gadis itu mengembalikan perlengkapan kembali ke tempat semula sembari menggerutu. Ia sangat menyesali kebodohannya telah membantu lelaki angkuh itu untuk lepas dari kutukan dan merelakan keperawanannya.“Andai saja aku bisa berpikir jernih tadi
Ivory bergegas membereskan barang-barangnya, karena ia tak lagi berniat untuk berjualan di tempat yang sama. Ia masih sempat mendengar geraman dan teriakan bosnya sebelum ia pergi dari kantor dan ia pastikan tak akan kembali ke tempat itu lagi.Ia takut kalau pria itu nantinya akan mencari dan memintanya kembali bekerja.Ya ... itu hanya pikiran Ivory yang mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Pria sombong seperti Max tak akan pernah membutuhkan orang sepertinya, bukan?Kalau pun Max mencari dan meminta sesuatu dari Ivory, maka Ivory akan pastikan tak akan pernah memberikan kesempatan seujung kuku pun untuk pria itu. Ia tak ingin terluka untuk ke sekian kalinya.Baru saja Ivory hendak pergi, ponselnya berdering begitu nyaring hingga ia bergegas untuk menjawab panggilan itu sebelum suara telepon genggamnya itu terdengar hingga ke luar rumah. Jangan sampai siapa pun mengetahui keberadaannya.“Ivy, di mana kau?” tanya si penelepon di seberang.Ivory tahu siapa yang menghubunginya, tent
Max berjalan tanpa tujuan. Tidak! Tujuannya tentu saja ke rumah. Ia harus menemui orang yang mungkin bisa menyelamatkannya dari dosa yang telah ia lakukan. Ia telah melenyapkan gadis itu. Ivory pasti sudah mati karena terjatuh ke laut yang dingin dan dalam. Ditambah, dengan ketinggian antara jembatan dan permukaan laut, tak mungkin jika tubuhnya tidak terempas.Kalau pun gadis itu selamat, mungkin ia akan mengalami gegar otak lalu hilang ingatan. Namun, sepertinya itu lebih baik ketimbang kehilangan nyawa.Max masuk ke dalam rumah, bajunya compang-camping tak keruan karena perubahannya yang sembarangan dan mulai tidak terkontrol. Ia tak mengerti mengapa itu bisa terjadi, tetapi begitulah kenyataannya.Ia adalah seorang monster sekarang. Ditambah lagi dirinya sudah melenyapkan seorang gadis yang tak punya andil atas kondisinya.“Mirielle! Kau di mana, Elle!” panggil Max, tergesa dan tampak gurat cemas di wajahnya. Saudara kembarnya yang sejak tadi mengurung diri di kamar, terjingkat ka
Ivory merasa jantungnya berdegup tak karuan, napasnya memburu—berusaha memusnahkan benda aneh yang seperti melekat pada bagian tubuhnya ini. Ia adalah seorang manusia, bukan ikan! Namun, mengapa kini dirinya tak jauh berbeda dengan apa yang barusan menyelinap di kepalanya?Benarkah apa yang dilihatnya saat ini bahwa ia adalah seekor makhluk air yang juga termasuk makhluk mitologi dan tak akan pernah dipercaya keberadaannya?Putri duyung hanyalah dongeng pengantar tidur. Sangat sulit baginya mempercayai kalau dirinya adalah bagian dari makhluk mitologi, sama seperti Max yang seorang manusia serigala!Ivory tak akan pernah percaya itu!Gadis itu bangkit, sudah bukan lagi waktunya untuk meratapi nasib, karena bisa saja seseorang menyadari keberadaannya di sana. Dan dengan penampilannya saat ini, bisa saja orang-orang akan beramai-ramai menjadikannya bahan tontonan atau bahkan membawanya untuk dikuliti dan dijadikan santapan makan malam.Ivory bergidik membayangkan hal-hal mengerikan itu
Max berusaha menelusuri keberadaan Ivory keesokan harinya. Tepat di bawah jembatan di mana ia nyaris menghabisi nyawa gadis itu. Dan memang, ia sudah melakukannya. Ivory kini tak lagi ada di dunia ini. Namun, setidaknya Max bisa menemukan jasad gadis itu.Bisa jadi ada di dalam lautan, atau di mana pun di sekitar tempatnya berdiri saat ini.Max bisa saja meminta bantuan Mirielle, adiknya, untuk memastikan di mana keberadaan Ivory dan apakah gadis itu masih hidup atau sudah mati. Namun, sejak semalam Mirielle enggan mengatakan apa pun mengenai Ivory meski Max telah mendesaknya.Mirielle tahu segalanya, tetapi ia selalu menyimpan untuk dirinya sendiri. Dan gadis itu tak suka kalau disebut sebagai cenayang.“Di mana kau, Ivory?” gumamnya sendiri. Ia tetap berjalan menelusuri pesisir pantai hingga melihat sesuatu yang membuatnya yakin bahwa Ivory memang pernah berada di sana.Pakaian yang dikenakan Ivory malam tadi, koyak tak berbentuk, tetapi Max ingat betul warnanya yang sangat serasi d
“Benda ini akan kusimpan. Kau tak perlu lagi bertanya mengenai gadis itu, Max. Kau sudah menyusahkan banyak orang, kau tahu itu?!” omel Mirielle, saat tahu sang kakak kembali menemuinya demi memastikan beberapa kepingan menyerupai logam yang warnanya sedikit tak lazim.Mirielle bisa saja mencari tahu mengenai benda itu, atau pun mengenai Ivory. Namun, ia tak lakukan. Tidak semudah itu.Ia sudah tahu apa yang terjadi pada Max yang membuat dirinya terus mencari gadis itu. Dan Mirielle yakin, jika ia membantu Max, pada akhirnya pria itu akan membuat masalah lagi.“Mengapa kau begitu tega pada kakakmu, Elle?! Aku tahu kau pasti sudah tahu di mana keberadaan Ivory.”Mirielle memutar tubuh dan menancapkan tatapannya pada manik sewarna kiwi milik pria di hadapannya, kemudian terus memandanginya tanpa teralihkan. Memang begitu niat Mirielle, untuk mengintimidasi Max agar ia berterus terang atas apa yang telah ia lakukan terhadap gadis itu.“A-aku hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh nenek
Tak penting siapa pria bernama Benjamin yang kini tengah mengungkung Ivory menjadi tawanannya. Karena yang paling penting saat ini adalah pria itu memperlakukan Ivory dengan sangat baik.Bahkan terlalu baik jika dibandingkan dengan perlakuan Max terhadapnya.Terlebih setelah pria itu berhasil mengembalikan kaki Ivory, gadis itu merasa sangat berterima kasih.“Mengapa kau berbuat baik terhadapku? Apa yang kau inginkan?” tanya Ivory, masih dengan nada skeptis yang tak mungkin akan sirna meski dengan perlakuan baik dari Benjamin sekali pun.Ia tetap saja akan bertanya mengenai asal-usul pria dengan tampilan menawan itu.“Aku adalah mimpi indahmu, Ivy. Kau tak perlu cemas, karena aku tidak akan menyakitimu.”Ivory masih tak percaya. Ia menajamkan tatapan ke arah pria itu demi menemukan kebenaran di dalam bola matanya yang berkilau.“Kau pasti memiliki tujuan buruk. Katakan padaku!”Benjamin terkekeh.“Apa menurutmu seperti itu? Boleh saja jika kau berpikir begitu. Namun, kau bisa buktikan
Beberapa tahun kemudian ... “Apakah kau percaya itu, Max? Kau lihatlah putra-putri kita. Mereka kini berusia delapan belas tahun dan—oh! Apakah kau dulu juga mengalami ini? Usia berapa kau berubah menjadi dewasa?” tanya Ivory saat sadar bahwa si kembar, Isaac dan Mackenzie telah berubah menjadi berusia delapan belas tahun di usia mereka yang kelima. Max tertawa mendengar komentar polos Ivory. Ia lantas meraih wanita itu dalam dekapannya dan mengecup bibirnya sekilas. “Di usia tiga tahun aku berubah menjadi delapan belas tahun dan menjalani pelatihan dari kakek Jeremiah untuk menerima jabatan darinya sebagai seorang alpha Alsenic pack. Apakah kau tidak mengalami itu?” “Apakah aku kelihatan seperti manusia ajaib seperti kalian?” tanya Ivory yang dijawab gelak tawa oleh Max. “Baiklah, artinya usia kita terpaut sangat jauh. Kau seharusnya lebih tua dibanding diriku. Benar begitu, kan?” Ivory mengangguk, kemudian menoleh lagi pada Isaac dan Mackenzie yang telah menghabiskan sarapan mere
Seth tersungkur tanpa daya di atas tanah, pandangan mata sayunya pandangi langit malam di mana bulan purnama tengah benderang menyinari dunia. Seth bisa mendengar lolongan serigala yang memuja Amethyst. Sebagai tanda syukur kemenangan mereka. Hawa panas menggelegak. Keheningan mencekam ini, Seth mati rasa, tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. ‘Dad. Katakan padaku. Kalau aku adalah seorang putra dan keturunanmu yang baik.’ Wajah sang ayah yang tersenyum manis berkelebatan di benak Seth saat mendiang menyerunya penuh kasih sayang. Seth masih ingat kenangan itu dengan jelas. Linea berlarian menerjang kubangan-kubangan api yang meratakan tanah, sembari menahan rasa sakit di perutnya yang terasa sangat mengejang, demi apa pun. Melihat Seth menghadapi kematian, membuatnya Linea terseok-seok. Dia menyambar tubuh Seth yang tidak berdaya; merenggang nyawa. “Seth, astaga. Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Bagaimana dengan anak-anakku. Dia membutuhkanmu. Jangan pergi, Seth. Kau harus melihat
TAANG!!! Anak panahnya meleset ke arah lain ketika Seth mematahkannya dengan sambaran petir. Terlepas dari tepat sasaran atau tidaknya, Ronan tak peduli. “Lihat aku di sini, Rogue tolol!” ejek Ronan tersenyum miring, dia sengaja benar memancing emosi Seth yang mudah sekali tersulut. “Dasar bodoh! Siapa pun tidak ada yang dapat mengalahkan aku!” amuk Seth terus luncurkan semua serangannya secara brutal. “Kau, Omega tidak berguna! Jangan halangi aku!” DUARR!!! Ronan berlari menghindar ketika serangkaian ledakan api meletus hebat di belakangnya. Melompat dengan langkah kaki panjang, bergerak gesit, cekatan serta lincah. Bermanuver—tak sulit menghindari serangan Seth yang lambat-laun mulai melambat. “Ada apa denganmu? Mengapa kau lamban sekali? Kau bahkan tidak bisa menggoresku sedikit saja!” Ronan terpingkal geli. Sekali lagi, dia melesatkan dua pasang anak panah. “DIAM KAU! Percuma! Serangan panahmu ini tidak akan bisa melumpuhkan aku!” DUARR!!! Ronan melompat tinggi di atas ud
Markus tanpa pikir panjang kembali, menyelamatkan karibnya. Dia menerobos semua ledakan-ledakan petir yang meletus di kanan-kirinya, berlari cepat demi menyelamatkan Alegria yang kepayahan akibat pendarahan. Markus bergegas menyambar Alegria yang terkapar, melompat cepat—menghindari sambaran petir lainnya yang tiada hentinya berdatangan.“Mengapa kau kembali? Bagaimana dengan pasukanmu?” tanya Alegria lemah dan merasa bersalah. Dia diserang oleh gelombang batuk darah.“Masih tanya juga! Tentu saja menyelamatkanmu! Mustahil, meninggalkanmu mati di sana! Pasukanku yang tersisa mereka berhasil ke tempat aman. Rogue itu memang keparat! Bagaimana bisa dia memiliki kekuatan sihir mengerikan seperti ini!?”Markus, Alegria, Marion, William dan semua pasukan yang tersisa berhasil mencapai zona perimeter aman yang sebelumnya telah disiapkan oleh mereka. Menjauhi medan pertempuran yang mustahil mereka hadapi. Mereka mengubah diri ke wujud manusia.
“Menyerahlah saja kau, Seth! Tidak ada jalan keluar atau lari! Sebelum kami semua benar-benar membunuhmu!” kecam Mirielle bersungguh-sungguh dengan ucapannya. “Kau sudah terkepung! Kau harus membayar seluruh kejahatanmu di hadapan Dewi Amethyst!”BZZT!“Kau pikir siapa dirimu?! Karena kau Elder pilihan yang menjembatani Dewi Bulan, kau pikir bisa berbuat segalanya?”Mirielle mencibir setengah meradang. “Tidakkah kau pikirkan semua korban yang telah kau hancurkan hidupnya? Pack yang tidak bersalah atau berdosa! Tidakkah kau memikirkan anak-anak yang kehilangan keluarga mereka? Aku tak paham mengapa kau memilih jalan beracun seperti ini?!”CLASSH!BLARR!“Tidak usah sok memahamiku, Mirielle! Aku tak peduli apa pun! Selama tujuanku tercapai, dendam kematian leluhurku terbalaskan, dan semua kelompok Pack yang kalian agung-agungkan itu hancur selamanya! Justru aku senang menghancurkan kalian semua hingga tidak ada yang ter
Mirielle merintih putus asa. “Max! Jawab aku! Mom! Dad! Ronan, please! Anybody hear me?!”“Elle?! Kau di mana?! Kau baik-baik saja?! Bertahanlah, Elle! Aku bersama pasukan The Cardinal, anggota Pack dan keluarga! Sebentar lagi, sampai! Kau tidak terluka ‘kan? Kami semua cemas sebab tak mendengar kabar apa pun darimu.” Max menjawab dari mind-link. “Katakan kalau kau bersama Lyra sekarang?”Helaan napas lega terdengar dari hidung bangir Mirielle. “Aku tidak bersama Lyra, Max. Aku gagal mendapatkannya. Ini semua karena kekuatan sihirku yang belum pulih sepenuhnya! Seth dan Linea memiliki mantra dinding sihir kuat. Padahal, aku nyaris berhasil. Aku mengacau! Aku baik-baik saja! Max, ada situasi genting! Sebelum kau menyaksikannya secara langsung. Aku ingin kau dengarkan ucapanku dulu.”“Tunggu sebentar, Elle! Aku mengendus bau Ivy dekat sini?! Apa itu jeritan istriku?! SEDANG APA DIA? MENGAPA IVY BISA BERSAMA DENGAN SETH?!!”Sensasi berdenyut
“Sekarang apa maumu?” tanya Linea mengeraskan nada suaranya. Dia menjerit penuh amarah. “Aku telah mengikuti semua perintahmu! Kau bilang ingin dapatkan darah Ivy demi memperkuat kekuatan kita?! Mengapa sekarang kau malah menawannya?! Kau bilang membangun Mansion khusus untuk wanita ini?! Apa kau sudah gila?! Kau mengingkari janjimu, Seth!”Seth tertawa bengis. Tetap mencengkeram tubuh Ivory dalam belitan tangannya. Mereka perlahan-lahan berjalan mundur. “Kau kira siapa dirimu, Linea?! Mengatur atau mengendalikan diriku?! Sudah kubilang berkali-kali jangan konyol! Kita melakukan segalanya sesuai kesepakatan, ingat?! Inilah tujuanku! Mendapatkan Ivy kembali.”Ivory mendesis jijik ketika Seth menjilati ceruk lehernya. Rasanya dia ingin sekali menghajar Seth sekarang juga, tetapi apa dayanya. Kekuatan Seth terlalu kuat untuk dilawan. Semakin Ivory memberontak—semakin Seth mencekiknya. Linea menggeleng. Mulai banjir air mata, mengentakkan kaki menahan b
“Oh! Akhirnya, Benjamin mampu memenuhi kesepakatannya! Senang sekali, kau mengerti maksudku. Maaf, kuharap Watcher yang aku utus, tidak memperlakukanmu dengan buruk, ya? Mendengar kau datang bersama Ivory.” Suara Seth menggema di sela-sela tawa maniaknya. “Woah, ini pencapaian terbesarku, bukan? Aku meminta Benjamin menukar darah Ivory tapi dia malah membawanya kemari. Well done, Ben. Aku tahu kau memang tak akan mengecewakan aku.”Benjamin mendesis sinis. “Cukup basa-basinya, keparat! Aku telah memberikan apa yang kau mau. Lantas, di mana Lyra sekarang?! Berikan kepadaku sekarang juga!”Ivory meraung marah. “Lyra milikku! Seth, jangan berani kau melukai satu helai rambut pun putriku. Bila kau menyakitinya aku bersumpah akan membunuhmu!”Seth terbahak geli. Matanya meneliti Ivory penuh obsesi. “Oh, ayolah. Lyra aman di tangan kami. Jadi, jangan cemas. Selama kalian menuruti semua perintahku, nyawanya terjaga, sayang.”Ivory membuang pandangannya, tidak sudi mendengar kata-kata Seth se
“Ini kesempatanku,” ucap Ivory setengah berbisik. “Tidak ada waktu lagi. Aku harus menemui Benjamin segera.”Ivory menimang bayinya sampai mereka tertidur. Menggendong, membaringkan Mackenzie dan Isaac di dalam ranjang bayi mereka. Helaan napas Ivory terdengar penuh beban berat. Dia telah mempertimbangkannya, memikirkan ucapan Benjamin sebelumnya dengan keputusan panjang. Hingga membawa Ivory pada jalan akhir, menyetujui kesepakatannya bersama Benjamin. Ivory tahu keputusannya ini memang gila. Memicu kemarahan terbesar Max, namun apa dayanya. Ivory tidak punya pilihan lain demi menyelamatkan nyawa Lyra, keluarga kecilnya dan menyudahi peperangan melelahkan ini. “Maafkan aku, nak. Aku hanya lelah dengan semua pertumpahan darah, pertempuran, dan pertikaian tiada berujung ini. Mungkin melalui pengorbananku, perang ini bisa dihentikan. Yang Seth inginkan hanya aku, bukan Lyra. Jika menyerahkan diri bisa menyelamatkan semuanya. Maka keputusanku ini sepadan.” Gumam Ivory mengusap puncak k