Seorang pria dengan postur tegap berjalan memasuki kelab malam yang penuh hingar-bingar. Langkahnya yakin akan menemukan sesuatu yang ia cari. Seperti apa yang dikatakan oleh seseorang yang ia kenal, bahwa di tempat itu, ia harus menemukan seorang gadis dengan ciri seperti yang disebutkan olehnya.
Pandangannya tajam mengedar ke seluruh penjuru ruangan dengan lampu temaram, mencari sosok yang sesuai dengan ciri yang telah ia kantongi.Pertama kali, tatapannya terarah ke ruang VIP, di mana gadis dengan warna rambut serupa pasti ada di sana. Tidak mungkin rasanya kalau gadis dengan tampilan mewah dan penggambaran luar biasa itu ada di barisan tamu yang biasa-biasa saja.Apalagi kalau dia hanyalah seorang pegawai kelab. Atau mereka-mereka yang masuk dengan menggunakan kartu pass gratis.“Hey, tampan. Apakah kau mencari seseorang?” sapa salah seorang gadis yang melewati tubuh pria yang masih tegap di tempatnya itu. Ia tak ingin duduk kecuali dengan gadis yang ia cari.Pria itu mengangguk.“Apakah rambutmu berwarna perak?” tanya pria itu.“Apa? Rambutku tidak berwarna perak, sayang, tetapi blonde. Apa bedanya? Kau akan tetap mengerang keras menikmati permainanku. Bagaimana?”Cukup menggoda bagi pria itu, rasanya. Namun, tidak. Tidak untuk saat ini. Karena inilah tujuannya mengapa ia harus mencari si gadis berambut perak itu, karena ia tidak bisa melakukannya dengan siapa pun, selain gadis itu.SIAPA PUN!Beberapa gadis lain lantas mendekatinya, sama seperti yang pertama.Wajar saja, pria seperti Maximillian Reynz, pengusaha muda dengan karisma tak tertandingi, meski terkenal sebagai salah satu Kasanova paling diburu oleh para gadis dari berbagai kalangan usia, dan menjadi bahan fantasi wanita yang mendambakan belaiannya, ia seorang tipe pemilih.Langkahnya terhenti saat dirinya tiba di sebuah meja bar. Apa salahnya kalau dia mampir dan minum sebentar saja? Lagi pula, malam ini terlalu indah untuk ia habiskan dengan wanita misterius. Bagaimana kalau ia mencoba sekali lagi, memilih seorang perempuan untuk ia ajak bermalam?“Hey, kata temanku kau tadi menolaknya. Namun, aku yakin kau tidak akan menolak jika itu denganku.” Seorang perempuan mendekatinya dengan penuh percaya diri.Dari pakaiannya, Max bisa menyimpulkan kalau wanita itu adalah seorang pole dancer, atau bisa jadi penari telanjang.Max mendengkus.“Mengapa kau percaya diri kalau kau lebih baik dibanding temanmu? Apa warna rambutmu?” tanya Max, sama seperti yang ditanyakannya pada wanita sebelumnya.“Hitam. Tapi aku bisa mewarnainya jadi apa pun yang kau mau. Aku berani jamin.”“Persetan dengan rambut perak!”Max menarik wanita itu ke sudut ruangan, mulai melancarkan aksinya dengan mengecupi tiap inci permukaan kulit wanita yang telah siap dengan apa oun yang akan Max lakukan padanya.Wanita itu mendesah, sesekali mengerang. Max belum melakukan apa-apa terhadapnya, tetapi di beberapa permukaan tubuhnya sudah mulai terasa sensasi yang biasa ia rasakan ketika birahinya meninggi.‘Tidak, tidak ... tidak boleh seperti ini! Fuck!’ rutuknya dalam hati. Seperti kejadian sebelumnya, wanita itu mendelik sejenak menemukan kenyataan bahwa ia tengah bercumbu dengan makhluk mengerikan. Wanita itu menjerit histeris, lalu pingsan.***Fuck!Max tak henti merutuki kesialannya. Ia tak ingat kapan hal semacam ini pertama kali terjadi. Tak ada yang mengatakan apa pun padanya. Ia merasa ini adalah sebuah kutukan. Namun, mengapa saat dalam keadaan biasa dia masih berupa dirinya yang biasanya.Namun, menjelang usianya yang ke dua puluh lima tahun, ia mulai menunjukkan gejala aneh.Ia tak lagi bisa bebas meniduri wanita sesuka hati karena mereka rata-rata akan kabur atau pingsan bahkan di awal permainan.Sialan!Lagi, Max mengumpat tak karuan. Seharusnya di usianya ini ia mulai memikirkan untuk memiliki kekasih atau bisa jadi selamanya menjadi don juan, tak masalah baginya.Namun, dengan kondisinya yang seperti ini, memangnya bisa?Baru beberapa langkah keluar dari bangunan yang sebelumnya ia datangi, langkahnya terhenti. Dari kejauhan ia melihat sebuah keributan yang terjadi antara seorang wanita dengan beberapa pria berpakaian serba hitam. Max bisa melihat, pria-pria itu tampaknya menginginkan sesuatu dari sang wanita, meski ia tak tahu apa yang mereka mau.Terjadi tarik-menarik antara salah seorang dari mereka dengan wanita bertudung itu. Mulanya Max tak ingin pedulikan apa yang mereka lakukan. Hidupnya sudah cukup rumit beberapa waktu terakhir. Ia tak ingin berurusan dengan hal lain yang akan membawa masalah baru baginya.Ia kemudian hendak masuk ke mobil yang dikemudikan seorang sopir, malam ini ia sengaja pergi ke mana pun tidak dengan berkendara sendiri. Apa pun bisa terjadi dalam pencariannya terhadap gadis berambut perak itu.Bisa saja ia berakhir di ranjangnya, atau bahkan membuat beberapa wanita pingsan karena ketakutan—seperti yang terjadi beberapa menit lalu.“Lepaskan aku, bajingan! Kau tidak bisa mengambil milikku sembarangan!” pekik gadis itu, yang terdengar lamat-lamat di telinga Max. Pria itu memelankan gerakan tangannya yang hendak menutup pintu mobil, tetapi urung ia lakukan.“Kita jalan sekarang, Tuan?” tanya sopirnya. Max tak menjawab, hanya memberi isyarat dengan tangannya.Sopirnya mengangguk pelan, kemudian bergeming, menanti perintah dari Max yang sedang merasa terusik akan kejadian yang tengah terjadi tak jauh dari tempatnya. Ia ingin mengabaikan apa pun itu, tetapi sisi lain dirinya memaksa untuk turun tangan.Setidaknya ia ingin tahu apa yang sedang terjadi di sana.“Kau harus membayar hutangmu, atau kau akan pulang tanpa membawa apa pun, bahkan kehormatanmu sekali pun!” sentak pria dengan tubuh paling besar di antara lainnya.Gadis itu masih tetap memegangi tasnya dan bersikeras tak akan memberikan apa pun yang ia punya.“Aku sudah katakan padamu, beri aku waktu! Dan jangan dengarkan pria pemabuk itu! Aku tak akan pernah mau mengikuti keinginannya untuk menjadi wanita penghibur! Kau dengar itu?!”“Gadis ini sungguh keras kepala! Dalton, pegangi tangannya!”Gadis itu berusaha untuk melepaskan diri, ia menjerit meminta tolong, tetapi jalanan itu terlalu sepi untuk dilewati orang-orang. Hanya beberapa pengunjung kelab yang akan hilir-mudik. Namun, tidak mungkin juga akan menolong gadis itu jika melihat bagaimana tampilan beberapa pria yang berseteru dengannya.Max menggeleng, tak sabar melihat kejadian yang tidak juga menemukan titik terang. Ia bahkan masih juga tidak tahu apa yang terjadi sampai gadis itu begitu bersikeras tidak ingin ikut dengan pria-pria itu.Apakah mungkin ia adalah putri dari seorang konglomerat yang kini dicari karena melarikan diri?“Hey, bung, apa yang terjadi?” tanya Max, mendekat dan memandang secara bergantian ke arah gadis itu kemudian pria yang masih ngotot hendak membawanya pergi.“Ini bukan urusanmu. Enyahlah!” hardik pria itu, merasa kalau Max telah mengganggu pekerjaannya.“Tuan, tolong aku! Mereka akan membawaku untuk dijual ke tempat pelacuran, tolong, bebaskan aku!” rintih gadis itu dengan suara merdunya. Max tertegun sesaat, nyaris tenggelam dalam buaian intonasi suara gadis itu. Namun, di detik berikutnya, ia tersadar dan menoleh pada sang gadis.“Tutup matamu, Nona. Jangan buka sebelum aku menyuruhmu!”Ivory mengangguk, kemudian mulai memejamkan mata. Tak sedikit pun ia mengintip, karena ia tak ingin mengkhianati pria yang akan menjadi dewa penolongnya hari ini.Gadis itu sempat mendengar Max berbincang dengan beberapa pria yang hendak membawanya—seperti tengah bernegosiasi. Max mengatakan dengan tegas kalau dirinya akan membayar hutang yang dipunyai gadis itu, berapa pun jumlahnya.Sayangnya, pria-pria itu juga membeberkan kenyataan bahwa ayah gadis bernama Ivory itu sudah menjualnya pada seseorang dikarenakan hutang yang tak akan pernah bisa dibayar, karena jumlahnya yang terlampau banyak.Bahkan saat Max mengatakan kalau dirinya akan melunasi semuanya, pria-pria itu tetap bersikeras.Max tidak bisa bersabar lagi.Dari apa yang Ivory dengar, hanya geraman dan suara baku hantam serta tumbukan antara benda tumpul yang jatuh menghantam aspal. Juga beberapa kali suara tembakan yang membuat Ivory menunduk dan bersembunyi.Ia tidak mau mati konyol karena keributan itu.Dan tanpa ia sadari, Max sudah berada di sampingnya, mengulurkan tangan demi membantu gadis itu berdiri.“Semua sudah baik-baik saja. Bangunlah, Nona.”Ivory yang semula merunduk dan menutupi kedua telinga dengan tangannya, akhirnya mendongak dan menemukan Max berdiri di dekatnya dengan tanpa menggunakan kemejanya. Napasnya terengah, dikarenakan ia telah berhasil menghajar beberapa pria besar yang sejak tadi mengganggu Ivory.Gadis itu melongo melihat pemandangan di hadapannya.Pria-pria bertubuh besar itu tergeletak tak berdaya. Max berhasil mengalahkannya dengan terlalu mudah. Siapa sebenarnya pria itu?“K-kau mengalahkan mereka sendiri? Tanpa senjata?” tanya Ivory dengan tatapan takjub. “Luar biasa!”“Mengapa mereka memaksamu untuk ikut dengan mereka? Apakah benar seperti yang kau dan mereka katakan?”Ivory mengangguk. Ia kemudian bergegas merapikan dirinya dan hendak pergi saat kemudian Max mencekal lengannya.“Kau mau ke mana?”“Maafkan aku, Tuan. Terima kasih atas bantuanmu, tapi aku harus pergi sebelum Benjamin Agony mendengar kalau orang suruhannya tak berhasil membawaku. Ia akan datang dan—“Max mencekal lengan gadis itu lebih erat. Matanya tak lepas memerhatikan apa yang terselip di balik telinga gadis itu yang sejak tadi mengusik perhatiannya. Ia tak mungkin salah lihat, sejak tadi tak satu pun wanita yang memiliki apa yang ia cari, tetapi gadis ini, jelas dialah orangnya.“Rambutmu berwarna perak?”“Apa maumu?” selidiknya. Tangannya mengacungkan sebilah pisau dan menodongkan ke arah Max. “Tunggu! Jangan marah dulu, aku tak akan menyakitimu. Aku akan membayarmu mahal. Berapa pun yang kau minta!” ucap Max sembari melangkah maju, mengikis jarak antara dirinya dan gadis itu. Gadis itu tak langsung menjawab perkataan Max. Namun, perlahan ia menurunkan benda yang ada di tangannya. Gadis itu kini menilik penampilan pria berjas dengan rambut coklat ditata sedikit berantakan, tatapan mata tajam dengan iris hazel memukau dan menghipnotis gadis itu untuk sesaat. Ia hampir saja langsung mengatakan setuju saat itu juga. “Apa yang harus kulakukan sampai kau berani memberi penawaran tinggi? Aku tidak mau menjadi kurir narkotika atau human traficking,” jawabnya. “Bukan semuanya. Aku mau kau melepaskan kutukan yang ada padaku.” Gadis itu terkekeh. Sulit dipercaya! Pria dengan penampilan modern seperti Max masih percaya takhayul yang mengatakan kalau dirinya menderita sebuah kutukan. Gadis
Sinar matahari menyeruak dari balik tirai. Jendela kaca berukuran besar memudahkan ruangan tersebut tersirami hangat sinar mentari pagi.Ivory menggeliat perlahan, berusaha melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.Ia memekik lirih kala merasakan tulang belulangnya yang terasa bagai diremukkan hingga lumat. Ia menoleh ke sampingnya, Max tak ada di sana. Di mana lelaki itu?“Selamat pagi,” sapa seorang lelaki dengan suara baritonnya yang berat. Jika orang tak tahu, mungkin akan mengira ia sudah berusia tiga puluhan, padahal ia belum mencapai angka itu.“Hey ... maaf, aku tidur seperti orang mati. Apakah kau akan bekerja?” tanya Ivory yang dijawab anggukan oleh Max.Lelaki itu kemudian duduk di dekat Ivory yang sudah bangkit setelah melilitkan selimut di dadanya. Pasti Max yang memakaikan benda itu di tubuhnya saat ia terlelap semalam.Setelah mencapai puncak, ia merasa sangat letih dan mengantuk, lalu tak sadar memejamkan mata.“Aku akan menepati janjiku.” Lelaki itu menyodorkan
“Apa kau menguntitku?” tuding Max, yang membuat Ivory mencebik.“Apa? Aku? Menguntitmu? Apa untungnya, Tuan? Kau sudah memberikan apa yang kau janjikan, bagiku sudah lebih dari cukup!”“Ya, siapa tahu kau ingin menuntut tanggung jawabku karena telah merenggut keperawananmu. Wanita jaman sekarang sering kali tidak masuk akal.” Max menggerutu, kemudian kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.“Kalau kau sudah selesai, kau bisa kembali ke tempatmu!” titahnya, dingin.Ivory memandangi Max sejenak. Lelaki itu begitu angkuh dan tak berperasaan, padahal beberapa jam lalu, ia bersikap lembut padanya dan tidak menunjukkan sikap arogansinya.Ivory tak ingin banyak bicara. Ia segera menyelesaikan pekerjaannya lalu angkat kaki dari ruangan bosnya itu.Gadis itu mengembalikan perlengkapan kembali ke tempat semula sembari menggerutu. Ia sangat menyesali kebodohannya telah membantu lelaki angkuh itu untuk lepas dari kutukan dan merelakan keperawanannya.“Andai saja aku bisa berpikir jernih tadi
Ivory bergegas membereskan barang-barangnya, karena ia tak lagi berniat untuk berjualan di tempat yang sama. Ia masih sempat mendengar geraman dan teriakan bosnya sebelum ia pergi dari kantor dan ia pastikan tak akan kembali ke tempat itu lagi.Ia takut kalau pria itu nantinya akan mencari dan memintanya kembali bekerja.Ya ... itu hanya pikiran Ivory yang mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Pria sombong seperti Max tak akan pernah membutuhkan orang sepertinya, bukan?Kalau pun Max mencari dan meminta sesuatu dari Ivory, maka Ivory akan pastikan tak akan pernah memberikan kesempatan seujung kuku pun untuk pria itu. Ia tak ingin terluka untuk ke sekian kalinya.Baru saja Ivory hendak pergi, ponselnya berdering begitu nyaring hingga ia bergegas untuk menjawab panggilan itu sebelum suara telepon genggamnya itu terdengar hingga ke luar rumah. Jangan sampai siapa pun mengetahui keberadaannya.“Ivy, di mana kau?” tanya si penelepon di seberang.Ivory tahu siapa yang menghubunginya, tent
Max berjalan tanpa tujuan. Tidak! Tujuannya tentu saja ke rumah. Ia harus menemui orang yang mungkin bisa menyelamatkannya dari dosa yang telah ia lakukan. Ia telah melenyapkan gadis itu. Ivory pasti sudah mati karena terjatuh ke laut yang dingin dan dalam. Ditambah, dengan ketinggian antara jembatan dan permukaan laut, tak mungkin jika tubuhnya tidak terempas.Kalau pun gadis itu selamat, mungkin ia akan mengalami gegar otak lalu hilang ingatan. Namun, sepertinya itu lebih baik ketimbang kehilangan nyawa.Max masuk ke dalam rumah, bajunya compang-camping tak keruan karena perubahannya yang sembarangan dan mulai tidak terkontrol. Ia tak mengerti mengapa itu bisa terjadi, tetapi begitulah kenyataannya.Ia adalah seorang monster sekarang. Ditambah lagi dirinya sudah melenyapkan seorang gadis yang tak punya andil atas kondisinya.“Mirielle! Kau di mana, Elle!” panggil Max, tergesa dan tampak gurat cemas di wajahnya. Saudara kembarnya yang sejak tadi mengurung diri di kamar, terjingkat ka
Ivory merasa jantungnya berdegup tak karuan, napasnya memburu—berusaha memusnahkan benda aneh yang seperti melekat pada bagian tubuhnya ini. Ia adalah seorang manusia, bukan ikan! Namun, mengapa kini dirinya tak jauh berbeda dengan apa yang barusan menyelinap di kepalanya?Benarkah apa yang dilihatnya saat ini bahwa ia adalah seekor makhluk air yang juga termasuk makhluk mitologi dan tak akan pernah dipercaya keberadaannya?Putri duyung hanyalah dongeng pengantar tidur. Sangat sulit baginya mempercayai kalau dirinya adalah bagian dari makhluk mitologi, sama seperti Max yang seorang manusia serigala!Ivory tak akan pernah percaya itu!Gadis itu bangkit, sudah bukan lagi waktunya untuk meratapi nasib, karena bisa saja seseorang menyadari keberadaannya di sana. Dan dengan penampilannya saat ini, bisa saja orang-orang akan beramai-ramai menjadikannya bahan tontonan atau bahkan membawanya untuk dikuliti dan dijadikan santapan makan malam.Ivory bergidik membayangkan hal-hal mengerikan itu
Max berusaha menelusuri keberadaan Ivory keesokan harinya. Tepat di bawah jembatan di mana ia nyaris menghabisi nyawa gadis itu. Dan memang, ia sudah melakukannya. Ivory kini tak lagi ada di dunia ini. Namun, setidaknya Max bisa menemukan jasad gadis itu.Bisa jadi ada di dalam lautan, atau di mana pun di sekitar tempatnya berdiri saat ini.Max bisa saja meminta bantuan Mirielle, adiknya, untuk memastikan di mana keberadaan Ivory dan apakah gadis itu masih hidup atau sudah mati. Namun, sejak semalam Mirielle enggan mengatakan apa pun mengenai Ivory meski Max telah mendesaknya.Mirielle tahu segalanya, tetapi ia selalu menyimpan untuk dirinya sendiri. Dan gadis itu tak suka kalau disebut sebagai cenayang.“Di mana kau, Ivory?” gumamnya sendiri. Ia tetap berjalan menelusuri pesisir pantai hingga melihat sesuatu yang membuatnya yakin bahwa Ivory memang pernah berada di sana.Pakaian yang dikenakan Ivory malam tadi, koyak tak berbentuk, tetapi Max ingat betul warnanya yang sangat serasi d
“Benda ini akan kusimpan. Kau tak perlu lagi bertanya mengenai gadis itu, Max. Kau sudah menyusahkan banyak orang, kau tahu itu?!” omel Mirielle, saat tahu sang kakak kembali menemuinya demi memastikan beberapa kepingan menyerupai logam yang warnanya sedikit tak lazim.Mirielle bisa saja mencari tahu mengenai benda itu, atau pun mengenai Ivory. Namun, ia tak lakukan. Tidak semudah itu.Ia sudah tahu apa yang terjadi pada Max yang membuat dirinya terus mencari gadis itu. Dan Mirielle yakin, jika ia membantu Max, pada akhirnya pria itu akan membuat masalah lagi.“Mengapa kau begitu tega pada kakakmu, Elle?! Aku tahu kau pasti sudah tahu di mana keberadaan Ivory.”Mirielle memutar tubuh dan menancapkan tatapannya pada manik sewarna kiwi milik pria di hadapannya, kemudian terus memandanginya tanpa teralihkan. Memang begitu niat Mirielle, untuk mengintimidasi Max agar ia berterus terang atas apa yang telah ia lakukan terhadap gadis itu.“A-aku hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh nenek
Beberapa tahun kemudian ... “Apakah kau percaya itu, Max? Kau lihatlah putra-putri kita. Mereka kini berusia delapan belas tahun dan—oh! Apakah kau dulu juga mengalami ini? Usia berapa kau berubah menjadi dewasa?” tanya Ivory saat sadar bahwa si kembar, Isaac dan Mackenzie telah berubah menjadi berusia delapan belas tahun di usia mereka yang kelima. Max tertawa mendengar komentar polos Ivory. Ia lantas meraih wanita itu dalam dekapannya dan mengecup bibirnya sekilas. “Di usia tiga tahun aku berubah menjadi delapan belas tahun dan menjalani pelatihan dari kakek Jeremiah untuk menerima jabatan darinya sebagai seorang alpha Alsenic pack. Apakah kau tidak mengalami itu?” “Apakah aku kelihatan seperti manusia ajaib seperti kalian?” tanya Ivory yang dijawab gelak tawa oleh Max. “Baiklah, artinya usia kita terpaut sangat jauh. Kau seharusnya lebih tua dibanding diriku. Benar begitu, kan?” Ivory mengangguk, kemudian menoleh lagi pada Isaac dan Mackenzie yang telah menghabiskan sarapan mere
Seth tersungkur tanpa daya di atas tanah, pandangan mata sayunya pandangi langit malam di mana bulan purnama tengah benderang menyinari dunia. Seth bisa mendengar lolongan serigala yang memuja Amethyst. Sebagai tanda syukur kemenangan mereka. Hawa panas menggelegak. Keheningan mencekam ini, Seth mati rasa, tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. ‘Dad. Katakan padaku. Kalau aku adalah seorang putra dan keturunanmu yang baik.’ Wajah sang ayah yang tersenyum manis berkelebatan di benak Seth saat mendiang menyerunya penuh kasih sayang. Seth masih ingat kenangan itu dengan jelas. Linea berlarian menerjang kubangan-kubangan api yang meratakan tanah, sembari menahan rasa sakit di perutnya yang terasa sangat mengejang, demi apa pun. Melihat Seth menghadapi kematian, membuatnya Linea terseok-seok. Dia menyambar tubuh Seth yang tidak berdaya; merenggang nyawa. “Seth, astaga. Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Bagaimana dengan anak-anakku. Dia membutuhkanmu. Jangan pergi, Seth. Kau harus melihat
TAANG!!! Anak panahnya meleset ke arah lain ketika Seth mematahkannya dengan sambaran petir. Terlepas dari tepat sasaran atau tidaknya, Ronan tak peduli. “Lihat aku di sini, Rogue tolol!” ejek Ronan tersenyum miring, dia sengaja benar memancing emosi Seth yang mudah sekali tersulut. “Dasar bodoh! Siapa pun tidak ada yang dapat mengalahkan aku!” amuk Seth terus luncurkan semua serangannya secara brutal. “Kau, Omega tidak berguna! Jangan halangi aku!” DUARR!!! Ronan berlari menghindar ketika serangkaian ledakan api meletus hebat di belakangnya. Melompat dengan langkah kaki panjang, bergerak gesit, cekatan serta lincah. Bermanuver—tak sulit menghindari serangan Seth yang lambat-laun mulai melambat. “Ada apa denganmu? Mengapa kau lamban sekali? Kau bahkan tidak bisa menggoresku sedikit saja!” Ronan terpingkal geli. Sekali lagi, dia melesatkan dua pasang anak panah. “DIAM KAU! Percuma! Serangan panahmu ini tidak akan bisa melumpuhkan aku!” DUARR!!! Ronan melompat tinggi di atas ud
Markus tanpa pikir panjang kembali, menyelamatkan karibnya. Dia menerobos semua ledakan-ledakan petir yang meletus di kanan-kirinya, berlari cepat demi menyelamatkan Alegria yang kepayahan akibat pendarahan. Markus bergegas menyambar Alegria yang terkapar, melompat cepat—menghindari sambaran petir lainnya yang tiada hentinya berdatangan.“Mengapa kau kembali? Bagaimana dengan pasukanmu?” tanya Alegria lemah dan merasa bersalah. Dia diserang oleh gelombang batuk darah.“Masih tanya juga! Tentu saja menyelamatkanmu! Mustahil, meninggalkanmu mati di sana! Pasukanku yang tersisa mereka berhasil ke tempat aman. Rogue itu memang keparat! Bagaimana bisa dia memiliki kekuatan sihir mengerikan seperti ini!?”Markus, Alegria, Marion, William dan semua pasukan yang tersisa berhasil mencapai zona perimeter aman yang sebelumnya telah disiapkan oleh mereka. Menjauhi medan pertempuran yang mustahil mereka hadapi. Mereka mengubah diri ke wujud manusia.
“Menyerahlah saja kau, Seth! Tidak ada jalan keluar atau lari! Sebelum kami semua benar-benar membunuhmu!” kecam Mirielle bersungguh-sungguh dengan ucapannya. “Kau sudah terkepung! Kau harus membayar seluruh kejahatanmu di hadapan Dewi Amethyst!”BZZT!“Kau pikir siapa dirimu?! Karena kau Elder pilihan yang menjembatani Dewi Bulan, kau pikir bisa berbuat segalanya?”Mirielle mencibir setengah meradang. “Tidakkah kau pikirkan semua korban yang telah kau hancurkan hidupnya? Pack yang tidak bersalah atau berdosa! Tidakkah kau memikirkan anak-anak yang kehilangan keluarga mereka? Aku tak paham mengapa kau memilih jalan beracun seperti ini?!”CLASSH!BLARR!“Tidak usah sok memahamiku, Mirielle! Aku tak peduli apa pun! Selama tujuanku tercapai, dendam kematian leluhurku terbalaskan, dan semua kelompok Pack yang kalian agung-agungkan itu hancur selamanya! Justru aku senang menghancurkan kalian semua hingga tidak ada yang ter
Mirielle merintih putus asa. “Max! Jawab aku! Mom! Dad! Ronan, please! Anybody hear me?!”“Elle?! Kau di mana?! Kau baik-baik saja?! Bertahanlah, Elle! Aku bersama pasukan The Cardinal, anggota Pack dan keluarga! Sebentar lagi, sampai! Kau tidak terluka ‘kan? Kami semua cemas sebab tak mendengar kabar apa pun darimu.” Max menjawab dari mind-link. “Katakan kalau kau bersama Lyra sekarang?”Helaan napas lega terdengar dari hidung bangir Mirielle. “Aku tidak bersama Lyra, Max. Aku gagal mendapatkannya. Ini semua karena kekuatan sihirku yang belum pulih sepenuhnya! Seth dan Linea memiliki mantra dinding sihir kuat. Padahal, aku nyaris berhasil. Aku mengacau! Aku baik-baik saja! Max, ada situasi genting! Sebelum kau menyaksikannya secara langsung. Aku ingin kau dengarkan ucapanku dulu.”“Tunggu sebentar, Elle! Aku mengendus bau Ivy dekat sini?! Apa itu jeritan istriku?! SEDANG APA DIA? MENGAPA IVY BISA BERSAMA DENGAN SETH?!!”Sensasi berdenyut
“Sekarang apa maumu?” tanya Linea mengeraskan nada suaranya. Dia menjerit penuh amarah. “Aku telah mengikuti semua perintahmu! Kau bilang ingin dapatkan darah Ivy demi memperkuat kekuatan kita?! Mengapa sekarang kau malah menawannya?! Kau bilang membangun Mansion khusus untuk wanita ini?! Apa kau sudah gila?! Kau mengingkari janjimu, Seth!”Seth tertawa bengis. Tetap mencengkeram tubuh Ivory dalam belitan tangannya. Mereka perlahan-lahan berjalan mundur. “Kau kira siapa dirimu, Linea?! Mengatur atau mengendalikan diriku?! Sudah kubilang berkali-kali jangan konyol! Kita melakukan segalanya sesuai kesepakatan, ingat?! Inilah tujuanku! Mendapatkan Ivy kembali.”Ivory mendesis jijik ketika Seth menjilati ceruk lehernya. Rasanya dia ingin sekali menghajar Seth sekarang juga, tetapi apa dayanya. Kekuatan Seth terlalu kuat untuk dilawan. Semakin Ivory memberontak—semakin Seth mencekiknya. Linea menggeleng. Mulai banjir air mata, mengentakkan kaki menahan b
“Oh! Akhirnya, Benjamin mampu memenuhi kesepakatannya! Senang sekali, kau mengerti maksudku. Maaf, kuharap Watcher yang aku utus, tidak memperlakukanmu dengan buruk, ya? Mendengar kau datang bersama Ivory.” Suara Seth menggema di sela-sela tawa maniaknya. “Woah, ini pencapaian terbesarku, bukan? Aku meminta Benjamin menukar darah Ivory tapi dia malah membawanya kemari. Well done, Ben. Aku tahu kau memang tak akan mengecewakan aku.”Benjamin mendesis sinis. “Cukup basa-basinya, keparat! Aku telah memberikan apa yang kau mau. Lantas, di mana Lyra sekarang?! Berikan kepadaku sekarang juga!”Ivory meraung marah. “Lyra milikku! Seth, jangan berani kau melukai satu helai rambut pun putriku. Bila kau menyakitinya aku bersumpah akan membunuhmu!”Seth terbahak geli. Matanya meneliti Ivory penuh obsesi. “Oh, ayolah. Lyra aman di tangan kami. Jadi, jangan cemas. Selama kalian menuruti semua perintahku, nyawanya terjaga, sayang.”Ivory membuang pandangannya, tidak sudi mendengar kata-kata Seth se
“Ini kesempatanku,” ucap Ivory setengah berbisik. “Tidak ada waktu lagi. Aku harus menemui Benjamin segera.”Ivory menimang bayinya sampai mereka tertidur. Menggendong, membaringkan Mackenzie dan Isaac di dalam ranjang bayi mereka. Helaan napas Ivory terdengar penuh beban berat. Dia telah mempertimbangkannya, memikirkan ucapan Benjamin sebelumnya dengan keputusan panjang. Hingga membawa Ivory pada jalan akhir, menyetujui kesepakatannya bersama Benjamin. Ivory tahu keputusannya ini memang gila. Memicu kemarahan terbesar Max, namun apa dayanya. Ivory tidak punya pilihan lain demi menyelamatkan nyawa Lyra, keluarga kecilnya dan menyudahi peperangan melelahkan ini. “Maafkan aku, nak. Aku hanya lelah dengan semua pertumpahan darah, pertempuran, dan pertikaian tiada berujung ini. Mungkin melalui pengorbananku, perang ini bisa dihentikan. Yang Seth inginkan hanya aku, bukan Lyra. Jika menyerahkan diri bisa menyelamatkan semuanya. Maka keputusanku ini sepadan.” Gumam Ivory mengusap puncak k