Gerald tidak berencana untuk melanjutkan aksi nakalnya pada Letha yang tidak sadarkan diri. Gadis itu terlalu berharga untuk Gerald manfaatkan. Entah malaikat mana yang membuat Gerald mengurungkan niatnya. Dia sudah setengah jalan untuk menikmati tubuh Letha.
Gerald, memandangnya wajahnya di cermin kamar mandi saat tepat jam dua malam dia harus mandi air dingin untuk meredam hasrat menggebunya.
"Kamu sok suci Gerald, munafik," bisik pikiran jahat Gerald.
"Aku akan membuatnya memohon padaku di saat dia dalam keadaan sadar dan dengan senang hati memberikan tubuhnya untukku. Aku bukan pengecut," jawab Gerald pada dirinya sendiri, di depan cermin. Gerald kemudian keluar dari kamar mandi, dengan pakaian yang sudah lengkap.
Gerald menelepon layanan kamar untuk meminta extra bantal dan selimut.
Empat jam kemudian Letha terbangun dari tidurnya, kepalanya sangat pusing. Dia membuka matanya perlahan dan melihat ke sekeliling. Dirinya tidak mengenali kamar itu, aroma menyeruak dihidungnya adalah aroma khas pria.
Saat menoleh ke kanan, Letha melihat seorang laki-laki tertidur di sofa bed dekat jendela. Letha berusaha mengingat kejadian yang dialaminya, dia membuka selimutnya ternyata pakaiannya masih lengkap. Letha menghembuskan nafas lega, laki-laki yang tertidur itu tidak memanfaatkan kesempatan.
Letha kemudian bangun dan masuk ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Sambil membasuh wajahnya dan menyiram rambutnya agar segar bayangan kejadian semalam muncul dalam ingatan Letha. "Pria itu membantuku. Siapa namanya kenapa aku tidak ingat," gumam Letha sendirian.
Mendengar gemericik air dari kamar mandi Gerlad terbangun. Dilihatnya Letha sudah tidak ada di atas tempat tidur.
Merasa badannya pegal tidur di sofa, Garry berpindah tidur di tempat tidur, tidak peduli jika Letha akan tidur lagi, kalau dia sudah bangun berarti dia baik-baik saja, jadi tidak apa jika dia tidur sofa, batin Gerald dalam hatinya, kemudian tidur lagi.
Letha yang keluar dari kamar mandi tersenyum melihat Gerald sudah berpindah ke tempat tidur. Dengan rambut yang basah, Letha duduk di pinggir ranjang di depan punggung Gerald.
“Hmm, terima kasih karena sudah membantuku dan membawaku kesini. Maaf aku terlalu merepotkan kamu. Tapi siapa nama kamu, agar aku ingat siapa yang sudah menolongku.”
Gerald menggeliatkan badannya dan membalikkan badannya, dan membuka matanya, dilihatnya Letha sudah nampak lebih segar. “Kamu sudah baikkan ‘kan, tas kamu ada di atas meja itu, kalau kamu mau pulang silakan. Aku mau tidur.”
“Aku ingin tahu nama kamu,” kata Letha sebelum Gerald memejamkan matanya.
“Gerald. Sudah silahkan pulang.” Gerald menelungkupkan badannya dan memejamkan mata lagi.
“Ok, Gerald, terima kasih. Namaku Letha Subono. Aku harap aku bisa bertemu kamu lagi untuk membalas budi. Saya mohon pamit.” Letha pun mengambil tasnya dan keluar dari kamar Gerald. Dirinya harus segera pulang sebelum orang tuanya menyadari kepergiannya semalam.
*
Satu bulan kemudian, saat Gerald kembali ke Tokyo, untuk tanda tangan kontrak dengan seorang pengusaha di Tokyo juga untuk menghadiri acara amal.
Di acara amal yang digelar oleh pengusaha rekan bisnisnya, Gerald dipertemukan lagi dengan Letha. Gerald datang sendirian dalam acara pesta itu. Acara amal sekaligus lelang benda-benda koleksi dari sang pengusaha yang berupa benda-benda seni, adalah untuk mencari rekan bisnis yang memiliki solidaritas bagi sesama. Maka Gerald pun hadir dengan tujuan bisnis untuk mendapatkan proyek lain di Tokyo, karena acara itu dihadiri banyak pebisnis sukses dari Jepang.
Letha hadir bersama seorang pengusaha muda dari Jepang, mereka nampak sangat dekat. Jadi Gerald mengurungkan niatnya untuk menyapa Letha.
Letha yang awalnya tidak mengetahui kehadiran Gerald, hanya cuek saja dan menemani pasangannya yang juga tunangannya untuk mengikuti lelang amal.
Saat, tunangannya meninggalkan dirinya sendirian, untuk menemui teman bisnisnya, Letha berjalan menuju meja minuman, dan di sebelah meja itulah, Letha menyadari kehadiran Gerald. Letha menatap lekat pada Gerald yang sedang mengobrol di depan sebuah lukisan berjudul The Last Samurai. Letha menunggu sampai pria yang berbicara dengan Gerald pergi.
Tak berapa lama, Gerald pun terlihat sendiri, kesempatan bagi Letha untuk menghampirinya.
“Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di sini, Mister G.”
Gerald menoleh pada suara wanita yang berada dibelakangnya. Gerald pun tersenyum, “Hai.”
“Hai, Gerald. Apa Kabar?”
Obrolan yang berawal dari basa basi menanyakan kabar, berlanjut pada obrolan tentang kesukaan masing-masing. Hingga akhirnya tunangan Letha menghampiri mereka berdua.
Tatapan tidak suka Gerald dapatkan dari pria Jepang itu. Gerald berusaha tidak menggubrisnya. Namun saat pria itu menarik kasar tangan Letha untuk pergi, Gerald memberikan pembelaannya untuk Letha.
“Maaf, jangan kasar pada wanita, bos.”
“Dia tunanganku, aku berhak memperlakukannya sesukaku. Kamu tidak berhak melarangku.”
“Sebagai tunangannya harusnya kamu bisa lebih lembut padanya.”
Pria Jepang itu merasa tidak suka dengan ucapan Gerald. “Kamu siapa, kamu suka sama dia. Dia milikku.” Pria Jepang itu melumat bibir Letha di depan Gerald dengan kasarnya. “Lihat, aku berhak atas dirinya.”
Gerald mengepalkan tangannya, ingin sekali meninju wajah tunangan Letha itu, tapi di tahannya. Hingga akhirnya dia membiarkan Letha diseret paksa pergi dari hadapannya.
Seorang pria Jepang mendekati Gerald yang menatap kepergian Letha dengan rasa kesal.
“Bagus bro, jangan cari masalah dengan orang itu. Ayahnya seorang Yakuza, dia memang sangat arogan,” kata pria itu menepuk bahu Gerald. “Ayo, bro. Kita berpesta di sana, lupakan wanita itu.”
“Aku hanya kasihan sama wanita itu, kami satu negara, dan aku tidak bisa melihat penyiksaan orang sebangsa denganku oleh orang asing. Apalagi dia seorang wanita dan ini bukan di negara kami.”
“Ya, aku paham. Negara kamu memang solidaritasnya pada sesama sangat tinggi. Tapi kamu jangan cari masalah dengan anak itu.”
“Siapa dia, Hito,?”
Hito mengajak Gerald, untuk duduk di meja bar, “Namanya Namura, ayahnya Yakuza yang berpengaruh di Tokyo. Anak itu berlindung di belakang nama besar ayahnya. Jadi kalau mau selamat di sini, dan cari uang di sini, jangan cari masalah dengannya.”
Gerald mengulum senyum kemudian meneguk satu gelas kecil menimumannya. “Yah, aku berharap wanita itu baik-baik saja.”
Satu jam kemudian, acara amal itu pun berakhir, Gerald naik taksi menuju hotelnya. Di sudut sebuah restaurant, di gang yang sepi, Gerald melihat seorang wanita yang berjongkok di samping tempat sampah. Gerald meminta taksinya untuk mundur, namun sopir taksi menolak, karena daerah itu terkenal rawan perampokan.
Insting Gerald, memintanya untuk kembali pada wanita itu. Dia pun meminta untuk diturunkan di ujung gang. Gerlad membayar ongkos taksinya, dan kemudian berlari untuk melihat wanita yang tadi dilihatnya.
Saat sudah dekat, Gerald melihat baju wanita itu sudah terkoyak, dan bertelanjang kaki. Gerald mengingat pakaian wanita yang tertunduk menyembunyikan wajahnya di sela pahanya, itu seperti pakaian yang dikenakan Letha, sebuah dress hitam lengan panjang dan taburan batu di bagian depannya.
“Hei, kamu baik-baik saja,” tanya Gerald, berjongkok di samping wanita itu. Gerald yakin wanita ini adalah Letha saat melihat gelang putih berlonceng kecil di pergelangan tangannya, yang akan menimbulkan suara riuh saat tanganya bergerak.
Gerald melihat gelang itu saat tangan Letha ditarik oleh Namura.
Gerald menyibakkan rambut yang menutupi wajah wanita itu. “Letha,” panggilnya kemudian.Wanita itu mendongak dan menoleh ke pada Gerald yang ada di sampingnya. Letha langsung menghambur ke tubuh Gerald begitu melihat wajah yang dikenalnya itu.Gerald membalas pelukan wanita itu yang ternyata memang Letha. Dengan cepat dia mengajak Letha berdiri. Gerald melepas jasnya dan memakaikannya pada Letha, kemudian berusaha mencari taksi. Namun karena sudah malam, susah sekali mencari taksi yang kosong melewati tempat itu. Gerald kemudian menghubungi pihak hotel tempatnya biasa menginap, minta untuk dijemput.Sambil menunggu dijemput, Gerald mengajak Letha masuk dalam sebuah restoran, yang masih terbuka di daerah itu. Awalnya Letha menolak karena keadaan dirinya yang sudah tidak karuan. Namun Gerald, menyakinkannya untuk ikut.Mereka berjalan berdua, begitu melewati sebuah butik, Gerald mengajak Le
Gerald dan Letha saling membisu. Mereka sarapan dalam satu meja di restoran hotel tapi tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka. Hingga sarapan mereka habis dan kembali ke kamar mereka membisu.Mereka berdua dengan pikiran masing-masing. Kejadian semalam adalah yang pertama untuk Letha Rasa penyesalan, kecewa, malu dan bingung melebur menjadi satu dalam kebisuan mereka.“Letha, aku minta maaf. Ini kartu namaku, kalau ada apa-apa kamu hubungi aku. Aku siang ini harus pulang ke Indonesia,” ucap Gerald pada akhirnya. Mereka duduk saling membelakangi di pinggir tempat tidur. Gerald tidak pernah merasa bgitu bersalah ini setelah meniduri wanita. Namun ada rasa berbeda saat melakukannya dengan Letha, apalagi Gerald tahu bahwa Letha masih perawan.Letha tidak menjawab, dalam pikirannya, dia bingung bagaimana menjelaskan pada orang tuanya tentang keadaannya yang sudah tidak
Dua Tahun KemudianGedoran di pintu sebuah rumah kontrakan di Jakarta membangunkan Pancawati yang tertidur lemas karena penyakitnya.Dengan terseok Pancawati berjalan, berpegangan pada tembok untuk membuka pintu.“Lama sekali kamu buka pintu, tidur ya,” teriak seorang wanita dengan sasak tinggi dan gelang emas gemirincing di tangannya.“Enak sekali hidup tante hanya tidur-tiduran. Dengan uang papaku,” sahut seorang gadis muda dengan penampilan tak kalah hebohnya dengan wanita yang bersamanya.“Ada apa kalian ke sini. Kalau mau cari ribut bukan di sini, saya tidak ada urusan dengan kalian,” kata Pancawati dengan sinis.“Sombong kamu, orang tidak tahu diri. Kamu beri tahu anak kamu ya. Jangan pernah temui suamiku lagi, untuk minta uang. Dia sudah besar, jadi bukan tanggung jawab suamiku lagi. Dan kamu jangan merayu suami ku lagi. Itu
Debora sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Irfan di rumah sakit itu. Setelah beberapa tahun selalu mendampingi ibunya untuk melakukan hemodialisa, Debora baru bertemu Irfan saat ini.“Ibu juga ada penyakit lain ya?” tanya Dokter Irfan yang tidak tahu tentang kondisi ibu Wati.“Iya, Ibu gagal ginjal, hari ini memang waktunya untuk hemodialisa. Ibu memang menungguku pulang, untuk ditemani ke sini,” jawab Debora dengan sedih.“Hmm, jaringan kulit di wajah Ibu kamu rusaknya cukup parah Bora, dan butuh penanganan intensif, juga kornea mata sebelah kanan,” kata Dokter Irfan menatap Debora yang duduk di depannya terlihat sedih. Dokter Irfan lebih suka memanggil Debora dengan sebutan Bora, biar lain dengan temannya yang memanggil dengan nama Deby.Dunia Debora runtuh seketika saat mendengar ibunya akan kehilangan penglihatannya juga selain kulit yang rusak. &ld
Pagi-pagi, setelah menyuapi sang ibu, dan memandikannya, Debora berpamitan untuk pergi ke kantornya. Debora terpaksa berbohong, tujuan asli dirinya pergi adalah ke kantor sang ayah di Senayan. Debora ingin meminta sang ayah memberi pinjaman, untuk pengobatan Pancawati sampai sembuh. Apalagi dia tahu, sang ayah masih mencintai ibunya, meski takut pada istri pertamanya.Sial bagi Debora, sang ayah sedang tidak ada di kantor yang menjadi tempat untuk menyampaiakan aspirasi rakyat jika mahasiswa berdemo, tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Sang ayah sedang berdinas keluar daerah.Bertahun-tahun sang ayah bekerja di kantor itu, setelah pensiun dari jabatannya sebagai pegawai negeri, sang ayah kemudian terjun ke politik dan mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Keberuntungan seolah selalu berpihak pada sang ayah, pencalonannya lolos selama dua periode.“Kalau pinjam ke koperasi kantor, enggak akan dapat banyak. Kalau ke ban
Debora memasuki sebuah agency model, tempat temannya bekerja. Berkali-kali temannya menawarinya pekerjaan sebagai model dan kadang menjadi pemain figuran di sebuah produksi sinetron jika Debora ada waktu senggang, belum pernah Debora terima. Kini saat sedang buuh uang, Debora berpikir butuh perkejaan sampingan. “Pagi Kak, ada yang bisa di bantu?” kata seorang wanita cantik di meja receptionis. “Pagi, saya Debora Genitri, Mbak, bisa bertemu dengan Ana, Deviana,” kata Debora berdiri di depan meja. “Oh, Kak Deviana. Sebentar ya Kak, saya hubungi dulu, sementara itu Kakak isi buku tamu dulu,” jawab sang penerima tamu, yang kemudian menekan sebuah angka di pesawat teleponnya. “Silahkan masuk Kak, kak Deviana ada di ruang kaca sebelah kanan begitu Kakak masuk. Ruangan talent,” kata sang penerima tamu sesaat setelah menutup gagang teleponya. Debora pun mendorong pintu kaca, dan memasuki ruan
Dengan langkah cepat Thomas menaiki tangga rumah Gerald yang berada di kawasan perumahan elit di Jakarta Utara.Rumah besar bergaya minimalis dengan pemandangan pelabuhan yang ramai kapal-kapal cargo, menjadi pilihan Gerald, karena bisa menikmati sunset di atas teluk Jakarta itu.Penuh percaya diri, Thomas mengetuk pintu kamar Gerald yang terbuat dari kayu jati lama bercat putih. Sebenarnya bisa saja Thomas masuk, karena dia tahu kode akses masuk, semua pintu yang ada di rumah Gerald.“Kamu kemana saja, ini sudah siang?” tanya Gerald begitu pintu terbuka. Gerald sudah rapi dengan celana panjang dan kemeja yang di lipat ke siku.“Saya ke rumah sakit Bos. Mencari gadis pramugari kemarin.”Dengusan kasar keluar dari mulut Gerald sambil berjalan ke tangga. “Belum ku apa-apain sudah sakit,” gerutu Gerald kecewa.“Bukan dia, Bos. Tapi ib
Debora berjalan dengan cepatnya di lorong rumah sakit sambil memakai giwangnya. Sebuah cardigan tersampir di lengannya yang juga menenteng tas. Sepan panjang hitam belahan samping berpadu blouse berenda dari leher turun ke bagian tengah kemeja, berwarnamerah maroon tanpa lengan mempercantik penampilannya.“Kamu mau ke mana Bora?” suara Dokter Irfan muncul dari belakang Debora.“Mau kerja Dok, Dokter mau pulang?” tanya Debora melihat Dokter Irfan yang sudah terlihat santai dengan kaos oblong dan celana denim dan sebuah ransel, di punggung, tanpa jas putihnya lagi.“Iya, sudah turun sift. Arah kamu ke mana, siapa tahu searah sama aku?”“Ke Jakarta Utara Dok,” jawab Debora tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.“Fix, aku mau ke Penjaringan. Jadi kita searah, ayo!” kata Dokter Irfan berbohong. Sebenarnya dia mau pulang, yang rumah sewanya