Gerald menyibakkan rambut yang menutupi wajah wanita itu. “Letha,” panggilnya kemudian.
Wanita itu mendongak dan menoleh ke pada Gerald yang ada di sampingnya. Letha langsung menghambur ke tubuh Gerald begitu melihat wajah yang dikenalnya itu.
Gerald membalas pelukan wanita itu yang ternyata memang Letha. Dengan cepat dia mengajak Letha berdiri. Gerald melepas jasnya dan memakaikannya pada Letha, kemudian berusaha mencari taksi. Namun karena sudah malam, susah sekali mencari taksi yang kosong melewati tempat itu. Gerald kemudian menghubungi pihak hotel tempatnya biasa menginap, minta untuk dijemput.
Sambil menunggu dijemput, Gerald mengajak Letha masuk dalam sebuah restoran, yang masih terbuka di daerah itu. Awalnya Letha menolak karena keadaan dirinya yang sudah tidak karuan. Namun Gerald, menyakinkannya untuk ikut.
Mereka berjalan berdua, begitu melewati sebuah butik, Gerald mengajak Letha masuk. Butik yang hampir menutup itu ternyata dimiliki oleh seorang berkebangsaan Malaysia, dengan senang hati wanita penjaga melayani Gerald dan Letha, wanita berhijab yang bernama Muslimah itu membantu Letha membersihkan diri, bahkan memberikan secangkir teh hangat untuk Gerald dan Letha. Akhirnya Gerald dan Letha memutuskan untuk menunggu jemputan hotel di butik milik Muslimah itu. Tidak jadi ke restoran.
“Kamu, sudah lama di kota ini?” tanya Mumu, panggilan akrab Muslimah pada Letha. Mereka berdua berada dikamar Mumu, untuk berganti pakaian.
“Hampir dua tahun, Kak. Saya mendapat beasiswa untuk kuliah di sini. Dan kebetulan ayah juga bekerja di sini, jadi kami satu keluarga pindah ke sini.”
Mumu mengangguk paham, karena kebanyaan orang melayu yang tinggal di sini juga alasan pekerjaan. Gaji yang ditawarkan untuk menjadi tenaga kerja di Jepang memang sangat menggiurkan. Dan Jepang yang terkenal juga sebagai salah satu negara maju di Asia. Menjadikan Jepang menjadi salah satu negara tujuan para pencari kerja.
“Lalu, pria yang di depan itu siapa?”
“Saya baru mengenalnya satu bulan lalu, ini kedua kalinya kami bertemu, dan kedua kalinya dia menolong saya.”
“Saya kira dia kekasih kamu.”
Letha tersenyum kecut di depan cermin. “Betapa bahagianya saya, jika saya memiliki pacar seperti dia, yang begitu menghargai wanita, Kak.”
Mumu menangkap nada kesedihan dan kekecewaan dari jawaban Letha. Dia membantu mengikat tali dari gaun yang dipakai Letha. Satu-satunya pakaian yang cukup untuk dipakai Letha yang bertubuh ramping. Karena butik Mumu menyediakan pakaian untuk wanita yang memiliki badan besar.
Gaun bertali di belakang dipilih karena bisa disesuaikan dengan badan pemakainya.
“Letha, mobil sudah menunggu,” seru Gerald dari depan pintu yang tertutup.
Letha menatap Mumu dan mengucap terima kasih. Mereka berdua kemudian keluar dari kamar. Letha membungkus gaun yang dipakainya tadi dengan kantong dari butik Mumu. Letha juga meminjam alas kaki Mumu, untuk pergi.
Tak disangka, Gerald membayar pakaian dan alas kaki yang dipakai Letha. Bahkan dua cangkir teh yang disajikan juga di bayar oleh Gerald. Meski awalnya Mumu keberatan, tapi setelah dipaksa, Mumu menerimanya dengan berat hati, hingga Mumu menawarkan persahabatan untuk pada mereka berdua.
“Kamu mau diantar ke mana?, di mana rumah kamu?” tanya Gerald saat mereka sudah berada dalam mobil
“Aku tidak berani pulang, Gi. Bolehkah aku pulang ke tempat kamu lagi?” pinta Letha dengan memelas.
“Kenapa?”
“Orang tuaku pasti akan menghukumku jika aku pulang tidak diantar Namura.”
Gerald mengangguk seolah paham, meski ada ribuan pertanyaan yang berputar di kepalanya. Dia pun menyuruh sang sopir untuk kembali ke hotel saja.
Sesampai di Hotel, Gerald memesankan satu kamar untuk Letha, namun naas baginya. Karena masih suasana tahun baru, Hotel itu sudah fullbook. Gerald pun membawa Letha ke kamarnya.
*
“Tidurlah, aku akan mandi dulu,” kata Gerald begitu mereka sampai di kamar suite room. Gerald segera masuk dalam kamar mandi.
Letha merasa tidak enak hati, jika menempati tempat tidur Gerald. Maka, dirinya memilih duduk di sofa menunggu Gerald keluar dari kamar mandi. Tak disangka, Gerald mandi sangat lama, membuat Letha tertidur di sofa dalam posisi miring dengan kepala yang ditahan tangannya, di sandaran sofa.
Gerald keluar dari kamar mandi hanya dengan handuknya, untuk mengambil pakaian ganti. Dilihatnya Letha meringkuk di sofa. Karena kuatir, Gerald pun mendekati Letha.
“Kenapa kamu tidur di sini, tidurlah di tempat tidur,” kata Gerald duduk di depan Letha. Tidak ada tanggapan dari Letha, Gerald menyibakkan rambut Letha yang jatuh menutupi wajahnya dan menyentuh kening Letha.
Tangan dingin Gerald yang menyentuh keningnya, membuat Letha terbangun. Tatapan matanya bertemu dengan mata Gerald yang menatapnya lembut.
“Aku tidak apa-apa, aku hanya mengantuk,” jawab Letha lirih tanpa melepas tatapannya pada manik mata coklat didepannya. Pemandangan badan Gerald yang cukup berotot dan basah, mengalihkan mata Letha.
Tangan Gerald yang masih di kening Letha merambat pelan menyusuri wajah manis yang tertimpa sorot lampu berwarna kuning di atas mereka. Gerald mengagumi wajah manis itu. Nafasnya menderu begitu ibu jarinya menyentuh bibir yang terluka. Bayangan saat bibir itu dilumat paksa oleh Namura terlintas di benak Gerald. Muncul rasa ingin memyembuhkan luka itu, dan menunjukkan bagaimana seharusnya bibir manis itu diperlakukan.
Letha memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut dari tangan dingin Gerald di wajahnya. Saat jemarinya menyentuh bibirnya, Letha membuka bibirnya.
Gerald meneguk kasar salivanya saat Letha membuka bibirnya dan kemudian menggigit bibir bagian bawahnya. Gerald, lelaki normal, dan manganggap gerakan bibir Letha sebagai godaan. Gerald memiringkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya pada Letha, mengikis jarak di antara mereka berdua.
Saat Letha merasakan hembusan nafas beraroma mint di kulit wajahnya Letha membuka mata, tatapanya bersiborok dengan mata Gerald. Letha mengerjapkan matanya dan kemudian menatap bibir Gerald yang sudah siap menerkamnya. Letha menelan salivanya dan memejamkan mata, dia menyerahkan dirinya pada Gerald.
Melihat penerimaan Letha, Gerald mendaratkan bibirnya dengan lembut di bibir Letha, sekali, dua kali kecupan, Letha tidak mengindar. Dimainkannya lidahnya di mulut Letha, dan tidak ada penolakan dari Letha. Bahkan tangan Letha pun sudah berpegangan pada lengannya. Gerald melepas sebentar panggutannya, ditatapnya wajah Letha yang sudah pasrah. Letha membuka matanya lagi dan mengerjap. Seolah memberi ijin pada Gerald untuk melanjutkan permainannya.
Gerald tersenyum, tangannya kemudian menangkup pada pipi Letha, dan dilumatnya dengan lembut bibir Letha. Lumatan yang awalnya lembut menjadi penuh tuntutan saat Letha membalas mengulum bibir Gerald.
Kecupan dan hisapan Gerald pun turun keleher dan tengkuk Letha, satu huruf ambigu keluar dari mulut Letha, dia pun mendongak memberi akses pada mulut Gerald untuk berselancar di lehernya.
Tangan Gerald meraba punggung Letha dan menarik simpul-simpul tali yang mengikat gaun Letha, kemudian ditariknya kepala reseliting gaun itu ke bawah, tangannya yang lain menarik kain yang ada di bahu Letha dan menariknya ke bawah. Hingga entah bagaimana caranya jemari Gerald begitu terampil menurunkan gaun Letha hingga ke pinggang.
Terbukalah akses untuk menikmati bahu dan dua aset Letha yang terlihat ranum. Sambil mengecupi kulit Letha pada kedua asetnya, tangannya yang bebas menyibakkan bagian bawah gaun Letha, tangannya menelusuri paha hingga berhasil menelisip di panty yang melindungi area senstif Letha.
Rasa basah terasa di jemarinya dari balik panty. Gerald tersenyum menatap Letha, yang menggeliat dengan permainan jarinya, yang hanya mengusap dan menyentuh lembut garis tengah area sensitif itu.
Tanpa ragu, Gerald melepas semua kain yang menutupi tubuh Letha, kemudian diangkatnya badan Letha ke atas tempat tidur, king sizenya.
Seolah tidak mau polos sendirian, Letha menarik handuk yang dipakai Gerald, saat Gerald membaringkannya di tempat tidur.
Gerald dan Letha saling membisu. Mereka sarapan dalam satu meja di restoran hotel tapi tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka. Hingga sarapan mereka habis dan kembali ke kamar mereka membisu.Mereka berdua dengan pikiran masing-masing. Kejadian semalam adalah yang pertama untuk Letha Rasa penyesalan, kecewa, malu dan bingung melebur menjadi satu dalam kebisuan mereka.“Letha, aku minta maaf. Ini kartu namaku, kalau ada apa-apa kamu hubungi aku. Aku siang ini harus pulang ke Indonesia,” ucap Gerald pada akhirnya. Mereka duduk saling membelakangi di pinggir tempat tidur. Gerald tidak pernah merasa bgitu bersalah ini setelah meniduri wanita. Namun ada rasa berbeda saat melakukannya dengan Letha, apalagi Gerald tahu bahwa Letha masih perawan.Letha tidak menjawab, dalam pikirannya, dia bingung bagaimana menjelaskan pada orang tuanya tentang keadaannya yang sudah tidak
Dua Tahun KemudianGedoran di pintu sebuah rumah kontrakan di Jakarta membangunkan Pancawati yang tertidur lemas karena penyakitnya.Dengan terseok Pancawati berjalan, berpegangan pada tembok untuk membuka pintu.“Lama sekali kamu buka pintu, tidur ya,” teriak seorang wanita dengan sasak tinggi dan gelang emas gemirincing di tangannya.“Enak sekali hidup tante hanya tidur-tiduran. Dengan uang papaku,” sahut seorang gadis muda dengan penampilan tak kalah hebohnya dengan wanita yang bersamanya.“Ada apa kalian ke sini. Kalau mau cari ribut bukan di sini, saya tidak ada urusan dengan kalian,” kata Pancawati dengan sinis.“Sombong kamu, orang tidak tahu diri. Kamu beri tahu anak kamu ya. Jangan pernah temui suamiku lagi, untuk minta uang. Dia sudah besar, jadi bukan tanggung jawab suamiku lagi. Dan kamu jangan merayu suami ku lagi. Itu
Debora sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Irfan di rumah sakit itu. Setelah beberapa tahun selalu mendampingi ibunya untuk melakukan hemodialisa, Debora baru bertemu Irfan saat ini.“Ibu juga ada penyakit lain ya?” tanya Dokter Irfan yang tidak tahu tentang kondisi ibu Wati.“Iya, Ibu gagal ginjal, hari ini memang waktunya untuk hemodialisa. Ibu memang menungguku pulang, untuk ditemani ke sini,” jawab Debora dengan sedih.“Hmm, jaringan kulit di wajah Ibu kamu rusaknya cukup parah Bora, dan butuh penanganan intensif, juga kornea mata sebelah kanan,” kata Dokter Irfan menatap Debora yang duduk di depannya terlihat sedih. Dokter Irfan lebih suka memanggil Debora dengan sebutan Bora, biar lain dengan temannya yang memanggil dengan nama Deby.Dunia Debora runtuh seketika saat mendengar ibunya akan kehilangan penglihatannya juga selain kulit yang rusak. &ld
Pagi-pagi, setelah menyuapi sang ibu, dan memandikannya, Debora berpamitan untuk pergi ke kantornya. Debora terpaksa berbohong, tujuan asli dirinya pergi adalah ke kantor sang ayah di Senayan. Debora ingin meminta sang ayah memberi pinjaman, untuk pengobatan Pancawati sampai sembuh. Apalagi dia tahu, sang ayah masih mencintai ibunya, meski takut pada istri pertamanya.Sial bagi Debora, sang ayah sedang tidak ada di kantor yang menjadi tempat untuk menyampaiakan aspirasi rakyat jika mahasiswa berdemo, tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Sang ayah sedang berdinas keluar daerah.Bertahun-tahun sang ayah bekerja di kantor itu, setelah pensiun dari jabatannya sebagai pegawai negeri, sang ayah kemudian terjun ke politik dan mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Keberuntungan seolah selalu berpihak pada sang ayah, pencalonannya lolos selama dua periode.“Kalau pinjam ke koperasi kantor, enggak akan dapat banyak. Kalau ke ban
Debora memasuki sebuah agency model, tempat temannya bekerja. Berkali-kali temannya menawarinya pekerjaan sebagai model dan kadang menjadi pemain figuran di sebuah produksi sinetron jika Debora ada waktu senggang, belum pernah Debora terima. Kini saat sedang buuh uang, Debora berpikir butuh perkejaan sampingan. “Pagi Kak, ada yang bisa di bantu?” kata seorang wanita cantik di meja receptionis. “Pagi, saya Debora Genitri, Mbak, bisa bertemu dengan Ana, Deviana,” kata Debora berdiri di depan meja. “Oh, Kak Deviana. Sebentar ya Kak, saya hubungi dulu, sementara itu Kakak isi buku tamu dulu,” jawab sang penerima tamu, yang kemudian menekan sebuah angka di pesawat teleponnya. “Silahkan masuk Kak, kak Deviana ada di ruang kaca sebelah kanan begitu Kakak masuk. Ruangan talent,” kata sang penerima tamu sesaat setelah menutup gagang teleponya. Debora pun mendorong pintu kaca, dan memasuki ruan
Dengan langkah cepat Thomas menaiki tangga rumah Gerald yang berada di kawasan perumahan elit di Jakarta Utara.Rumah besar bergaya minimalis dengan pemandangan pelabuhan yang ramai kapal-kapal cargo, menjadi pilihan Gerald, karena bisa menikmati sunset di atas teluk Jakarta itu.Penuh percaya diri, Thomas mengetuk pintu kamar Gerald yang terbuat dari kayu jati lama bercat putih. Sebenarnya bisa saja Thomas masuk, karena dia tahu kode akses masuk, semua pintu yang ada di rumah Gerald.“Kamu kemana saja, ini sudah siang?” tanya Gerald begitu pintu terbuka. Gerald sudah rapi dengan celana panjang dan kemeja yang di lipat ke siku.“Saya ke rumah sakit Bos. Mencari gadis pramugari kemarin.”Dengusan kasar keluar dari mulut Gerald sambil berjalan ke tangga. “Belum ku apa-apain sudah sakit,” gerutu Gerald kecewa.“Bukan dia, Bos. Tapi ib
Debora berjalan dengan cepatnya di lorong rumah sakit sambil memakai giwangnya. Sebuah cardigan tersampir di lengannya yang juga menenteng tas. Sepan panjang hitam belahan samping berpadu blouse berenda dari leher turun ke bagian tengah kemeja, berwarnamerah maroon tanpa lengan mempercantik penampilannya.“Kamu mau ke mana Bora?” suara Dokter Irfan muncul dari belakang Debora.“Mau kerja Dok, Dokter mau pulang?” tanya Debora melihat Dokter Irfan yang sudah terlihat santai dengan kaos oblong dan celana denim dan sebuah ransel, di punggung, tanpa jas putihnya lagi.“Iya, sudah turun sift. Arah kamu ke mana, siapa tahu searah sama aku?”“Ke Jakarta Utara Dok,” jawab Debora tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.“Fix, aku mau ke Penjaringan. Jadi kita searah, ayo!” kata Dokter Irfan berbohong. Sebenarnya dia mau pulang, yang rumah sewanya
“Ayo masuk manis, aku sudah menunggumu,” kata sang pria bule menarik tangan Debora yang masih berdiri memastikan dirinya tidak salah nomor kamar.Dibawanya Debora masuk dalam kamar, dan dengan kakinya yang panjang, bule itu menutup pintu.“Tuan, maaf saya salah kamar, maaf,” kata Debora yang mulai sadar dirinya dijebak. Debora memberontak saat melihat kamar sepi tidak ada aktifitas yang menunjukkan orang bekerja. Pi Hanya ada sang bule di depannya dan bisa dipastikan bule itu tidak memakai apapun di balik kimononya.“Tidak-tidak, kamu tidak salah kamar. Kamu disuruh Deviana datang ke sini ‘kan?” tanya sang bule dengan senyum senang. “Kamu manis, dengan kulit eksotis. Deviana benar-benar pintar memenuhi seleraku.”Si bule mendekatkan wajahnya pada wajah Debora, dia mulai mengendus harum tubuh Debora dengan hidungnya. Cengkraman tangannya makin kuat saat Debora memalingkan wajahnya dan memi
“Lepas, Fatma.” Dengan kasarnya Bachtiar melepaskan tangan Fatmasari dari lengannya. Tubuh Fatmasari terdorong dan membentur dinding tangga.Bachtiar tidak mempedulikan Fatmasari, dengan langkah cepat dia mengejar Debora yang sudah keluar dari restoran. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan lagi, jika dia ketinggalan.“tunggu, Nak. Papa masih mau bicara!” seru Bachtiar tergopoh – gopoh.Debora masuk dalam mobil, begitupun Pancawati. Mereka sudah tidak sabar lagi untuk pergi dari restoran itu.“Papa untuk apa mengejar mereka? Papa mau tinggal dengan mereka?” seru Manda penuh amarah.“Iya, Papa mau tinggal dengan mereka,” jawab Bactiar dengan keras sambil terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Mobil Gerald telah berjalan meninggalkan restoran, tidak mungkin lagi baginya untuk mengejar dengan kakinya.“Papa memang tidak pernah Sayang dengan Manda,” seru M
Bachtiar merasa begitu senang mendapat kesempatan untuk mendekati Debora dan Pancwati lagi. Dia tahu jika keputusan Debora sangat berpengaruh pada kebaikan Gerald dan Pancawati. Untuk itu Bactiar akan membujuk Debora untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri menjadi ayah yang baik untuk Debora.‘Kalau Debby bisa menerimaku lagi, Gerald pasti tidak akan segan lagi untuk memberiku kekayaan. Wati saja sekarang begitu cantik dan terawat,’ gumam Bachtiar dalam hati, ‘hmm …, dia juga sudag memekai perhiasan mahal sekarang, artinya dia sudah hidup enak dalam perlindungan Gerald,’ batin Bachtiar lagi dengan menyeringai dan membayangkan akan hidup enak, dan lebih terhormat lagi bersama Pancawati sebagai mertua dari seorang Gerald.“Mau ke mana lagi Babe?” tanya Gerald menuntun Debora yang kembali masuk ke restoran.“Masuk lagi Gee, biar cepat selesai. Aku sudah malas bertemu dengan orang itu dan keluarganya. Seola
Debora masih khawatir dengan Pancawati, meski sang Ibu sudah nampak di depan matanya. Debora tidak ingin sang Ibu terpedaya dengan ucapan Bachtiar.“Gee, kita duduk di sana aja yuk!” ajak Debora pada Gerald menunjuk sebuah bangku kosong yang tak jauh dari Pancawati dan Bachtiar berada.“Jangan Babe, kita di sini saja, kalau terjadi sesuatu yang membahayakan Ibu, baru kita mendekat,” jawab Gerald memaksa Debora untuk duduk di meja yang di pilih Gerald, “tenang saja, enggak akan terjadi apapun pada Ibu,” kata Gerald lagi menenangkan Debora yang masih khawatir.Baru sebentar Gerald dan Debora duduk, dari ujung restoran terdengar teriakan Pancawati yang marah pada Bachtiar.Semua pengunjung restoran ikut menoleh pada meja sepasang pria dan wanita yang sudah tak lagi muda itu.Pancawati terlihat mengancam Bachtiar, bahkan tangan Pancawati pun selalu menepis tangan Bachtiar yang akan menyentuh tangannya.Debora
Debora tidak menemukan ibunya di rumah. Seluruh sudut rumah Gerald sudah dia hampiri, namun belum juga menemukan Pancawati.“Mami, cari siapa?” teriak Ginny dari balkon kamarnya saat melihat Debora keluar dari taman samping rumah.“Lihat nenek, engak sayang?” jawab Debora sekaligus bertanya balik pada Ginny tentang keberadaan Pancawati.“Tadi Ginny lihat Nenek naik taxi Mi, pergi sendirian,” jawab Ginny dengan polosnya.Debora segera masuk ke rumah, mendengar jawaban Ginny. Ruang tengah menjadi tujuannya untuk mencari ponselnya yang seingat dirinya dia letakkan di atas meja untuk di tambah daya, di samping televisi.Debora menelepon Pancawati dengan rasa khawatir, tidak biasanya sang ibu pergi tanpa pamit padanya. Pesan pun tidak di tinggalkan oleh Pancawati di ponselnya.“Ada apa Babe? Gelisah banget, sampai enggak dengar aku jalan,” tanya Gerald mengecup kepala Debora yang berdiri di pinggir
Manager Manda, paham betul jika Manda sedang cemburu pada Debora. Mood Manda yang sedang buruk setelah di tolak seorang produser film, juga Manda yang baru di selingkuhi kekasihnya, melihat Debora begitu beruntung, pasti membuat Manda marah.Sang Manager mengikuti Manda dan berusaha mengajak Manda untuk keluar dari toko, sebelum Manda mempermalukan dirinya sendiri.“Kamu pergi sana, tidak perlu ikut campur urusanku!” seru Manda dengan kencang, membuat para pengunjung toko menatap pada Manda.Gerald dan Debora pun langsung mendongak ke arah Manda, yang berdiri empat meter di depannya.“Manda,” gumam Debora menyerahkan sebuah kaos dalam pada Gerald. Debora ingin berdiri untuk menghampiri Manda.“Duduk saja di sini. Bukan urusan kita Babe,” kata Gerald menahan Debora agar tidak mendekati Manda.“Begitukah?” tanya Debora meminta pendapat.“Iya. Biarkan saja. Ayo pilih lagi, mana
Gerald menyambut Debora dan membantunya menuruni dua anak tangga terakhir dengan mengulurkan tangannya. Sungguh sikap seorang pangeran pujaan, yang begitu perhatian pada istrinya. Dengan tersenyum manis Debora mengucap terima kasih. Debora berjalan ke meja dapur, mendekati satu piring besar kue pukis yang dia inginkan. “Kamu beli berapa sih Gee. Banyak banget!” tanya Debora sambil mengambil piring yang lebih kecil untuk membagi kue pukisnya. “Hmm, seratus lima puluh ribu, dagangannya langsung habis aku beli,” jawab Gerald dengan tersenyum bangga. Kue pukis dengan harga dua ribu perbuah, dia borong semua. “Tadi dapat bonus lima Babe.” Debora tersenyum, tidak heran lagi dengan cara suaminya mengabiskan uang. “Enak ‘kan Josh?” “Hmm. Iya, enak. Santannya terasa, manisnya pas dan tidak eneg. Dengan selai nanasnya jadi segar,” jawab Joshua setelah menghabiskan satu potong kue. “Iya. Dulu aku sering beli di situ kalau mau berangkat terbang. U
Meski Debora yakin Gerald akan mengizinkan dirinya menerima tamu di rumah, apalagi jika orang-orang yang selalu baik dengan dirinya juga sang ibu. Namun, demi melegakan sang ibu, yang tetap merasa tidak enak hati pada Gerald, hanya karena rumah itumilik Gerald, Debora pun menelepon Gerald. “Belum ada satu jam aku pergi, kamu sudah meneleponku, kangen ya, Babe?” tanya Gerald dengan wajah sumringah keluar dari mobilnya, menerima panggilan telepon Debora. Debora tersenyum mengakui, dirinya memang sudah merindukan Gerald, terlepas dari dirinya yang ingin memberi kabar akan mengundang tetangga kontrakannya ke rumah. “Pasti lagi tersenyum sekarang ya,” kata Gerald menggoda Debora dengan hembusan nafas Debora yang terdengar oleh Gerald. Gerald sudah sangat hafal apapun tentang Debora. “Ada apa Babe?” “Aku mau minta izin Gee,” jawab Debora sambil tersenyum senang. “Untuk?” tanya Gerald sambil terus melangkah memasuki lobby gedung kantornya. “T
Gerald tidak dapat menyangkal lagi jika hatinya telah terpaut pada Debora, dia rela memberikan seluruh jiwa dan raganya pada wanita yang telah mengandung anaknya itu. Gerald begitu memanjakan Debora, membuat Debora terkadang geli sendiri. Perlakuan Ginny pada Debora pun seolah tidak mau kalah dengan daddy-nya. Seolah mereka sedang berlomba untuk menyenangkan hati Debora. “Kalian ini, jangan manjakan aku seperti ini Gee. Nanti aku jadi pemalas. Tidak kamu, tidak Ginny. Ibu juga sama saja,” protes Debora saat Gerald melayani semua kebutuhannya. Bahkan satu minggu pertama sejak Debora di rumah, Gerald semakin sering di rumah dari pada ke kantor. Gerald dengan setia menemani Debora. Menggendong Debora saat waktunya mandi, dan menjadi tugas Ginny untuk menyisir rambut Debora. “Aku tahu kamu bukan pemalas, aku manjakan kamu, karena aku sayang kamu dan anak kita,” jawab Gerald dengan senyum. “Ginny juga sudah tidak sabar ingin lihat adiknya ‘kan. Jadi
Gerald tak melepaskan pandangannya dari Debora sejak aktivitas panas mereka di kamar mandi. Dia berada di dekat Debora dengan sabarnya. “Gee, geli deh, dengan sikap kamu yang seperti ini,” kata Debora merasa risih teus di perhatikan oleh Gerald dengan pandangan mesum.“Aku ‘kan kangen kamu,” jawab Gerald dengan senyum menyimpan sejuta keinginan.“Tadi ‘kan sudah puas. Berapa kali coba, hah!” tanya Debora heran. “Ini dipasang lagi ‘kan gara-gara kamu, yang tidak bisa kontrol barang kamu,” imbuh Debora sambil memegang selang oksigennya. Debora merasa sesak, karena jantungnya yang bekerja terlalu berat dengan aktifitas gila yang Gerald lakukan padanya tanpa henti, selama satu jam di kamar mandi.“Maaf,” jawab Gerald dengan senyum dan mencium tangan Debora.Kondisi Debora yang baru sadar dari koma di paksa untuk melayani nafsu Gerald yang Debora kira hanya sebent