Debora sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Irfan di rumah sakit itu. Setelah beberapa tahun selalu mendampingi ibunya untuk melakukan hemodialisa, Debora baru bertemu Irfan saat ini.
“Ibu juga ada penyakit lain ya?” tanya Dokter Irfan yang tidak tahu tentang kondisi ibu Wati.
“Iya, Ibu gagal ginjal, hari ini memang waktunya untuk hemodialisa. Ibu memang menungguku pulang, untuk ditemani ke sini,” jawab Debora dengan sedih.
“Hmm, jaringan kulit di wajah Ibu kamu rusaknya cukup parah Bora, dan butuh penanganan intensif, juga kornea mata sebelah kanan,” kata Dokter Irfan menatap Debora yang duduk di depannya terlihat sedih. Dokter Irfan lebih suka memanggil Debora dengan sebutan Bora, biar lain dengan temannya yang memanggil dengan nama Deby.
Dunia Debora runtuh seketika saat mendengar ibunya akan kehilangan penglihatannya juga selain kulit yang rusak. “Jadi apa yang terbaik untuk Ibu Dok?”
Dokter Irfan terkejut dengan panggilan dari Debora yang terkesan sangat formal, dan menjadi berjarak dengannnya. “Panggil nama aja Bora, lucu deh, kamu panggil begitu,” kata Dokter Irfan dengan tatapan tidak suka.
Debora hanya tersenyum tipis menanggapi permintaan Dokter Irfan. Tapi tidak sopan baginya jika harus memanggil Irfan yang sedang bertugas hanya dengan nama saja.
“Ada pengobatan bagus Bora, tapi tidak di sini. Dan, butuh biaya banyak pastinya,” kata Dokter Irfan ragu-ragu.
“Hmm, maksudnya operasi plastik dan di luar negeri?” tanya Debora memastikan. Dalam benaknya hanya ada cara itu jika terkait dengan kerusakan jaringan kulit.
“Ya, seperti itulah. Paling dekat yaitu Singapura, kalau mau yang terbaik China untuk korneanya juga ada,” jelas Dokter Irfan menatap Debora iba. Dia tahu Debora tulang punggung keluarganya, dan Dokter Irfan juga bisa menebak berapa gaji seorang pramugari seperti Debora. Pasti Debora akan kesulitan untuk mendapatkan biayanya.
Helaan nafas yang berat dari Debora menambah pilu di telinga Dokter Irfan.
“Sekarang Ibu di mana?”
“Ibu kamu ada di ruang Hemodialisa, setelah ditangani luka bakarnya tadi,” jawab Yuli mengusap punggung Debora dengan lembut.
“Hmm, Dokter, tolong lakukan yang bisa Dokter lakukan untuk ibu, saya akan usahakan uangnya,” pinta Debora pada Dokter Irfan memohon.
“Iya Bora, aku akan koordinasi dengan Dokter yang juga menangani ibu, aku akan berusaha yang terbaik semampu kami di sini,” jawab Dokter Irfan dengan tegas.
“Kalau begitu kami pamit dulu, saya ingin melihat Ibu,” kata Debora sambil beranjak berdiri dari duduknya. Yuli pun ikut berdiri dan menyalami Dokter Irfan sebelum keluar dari ruangan sang Dokter tampan.
“Tante, terima kasih banyak ya, sudah bawa ibu ke sini. Kalau Tante mau pulang enggak apa, Debora akan jaga Ibu.”
“Nanti saja, kalau Lukman sudah pulang, Tante mau di sini dulu.”
“Terima kasih Tante, maaf merepotkan,” kata Debora dengan mata berkaca-kaca. Betapa senangnya hati Debora memiliki tetangga seperti tante Yuli dan anaknya Lukman. Mereka selalu menjaga Pancawati jika Debora harus dinas dan tidak pulang.
Keadaan Pancawati yang mengharuskan cuci darah dua kali dalam satu minggu, membuat kondisinya lemah menjelang jadwal cuci darah.
Debora tidak ada pilihan lain selain terus merepotkan Yuli dan Lukman, karena Debora tidak punya saudara lain, dan keluarga yang perduli pada mereka.
Keluarga besar sang ibu, seolah membuang Pancawati karena memiliki anak hasil hubungan gelap dengan pejabat yang akhirnya menikahi Pancawati saat mengandung Debora meski secara di bawah tangan, namun naasnya, begitu Debora lahir, saat itu juga Pancawati diceraikan.
Debora sedikit tersenyum begitu melihat Pancawati didorong keluar dari ruang hemodialisa. Wajah sang ibu berbalut perban. Pemandangan miris bagi Debora dan Yuli.
Pancawati kemudian dibawa ke bangsal kelas satu, sesuai dengan kartu jaminan kesehatan yang di pakai oleh Pancawati, karena tertanggung oleh Debora, yang memiliki kartu dengan kelas yang sama.
Debora ikut mendorong brankar sang ibu menuju kamarnya. Kata suster yang menangani sang ibu, pancawati tertidur. Debora pun mengurungkan niatnya untuk mengajak sang ibu bercerita, karena tidak tega bila membangunkan sang ibu, yang pasti sangat menderita.
Debora dan Yuli sedang mengobrol tentang pengobatan Pancawati saat Lukman, anak dari Yuli mengetuk pintu yang sedikit terbuka.
Lukman yang diam-diam menaruh hati pada Debora tersenyum ramah saat memasuki kamar Pancawati. Di tangannya menenteng sebuah nasi kotak dan sekantong camilan juga air minum.
“Ini Deb, kata emak kamu belum makan dari tadi,” kata Lukman memberikan dua kantong bawaaannya.
Debora merasa tidak hati, dan berat menerima pemberian Lukman, hingga dengan terpaksa Lukman meletakkannya di atas meja di depan Debora.
“Tante, Mas Lukman, kenapa repot-repot sih. Kalian terlalu naik pada Debora, yang selalu merepotkan. Debora takut tidak bisa membalasnya,” jawab Debora dengan rasa tak enak hati.
“Ehh, enggak boleh begitu. Kita bertetangga Deb, yang artinya saudara dekat. Jangan merasa tidak enak ya.” Yuli menepuk bahu Debora kemudian mengambil kantong yang di letakkan Lukman di atas meja.
“Nah, kamu makan dulu, biar bertenaga untuk berpikir dan menjaga ibu kamu.” Yuli membuka kantong yang berisi nasi kotak untuk Debora.
“Tante juga belum makan,” jawab Debora menatap Yuli.
“Tante akan pulang jadi bisa makan di rumah. Kamu yang di sini harus jaga kesehatan. Ayo di makan.”
“Hmm, nanti Debora makan Tan, sekarang belum nafsu.”
“Ibu gimana keadaannya?” tanya Lukman mendekati Pancawati yang terbaring setengah duduk. Tangannya bergerak-gerak, meminta Lukman mendekat.
Pancawati tidak bisa bicara, karena efek air keras yang tertelan, juga perban yang menutupi wajahnya. Tangannya memegang tangan Lukman, untuk mengucap terima kasih.
“Deb, kalau kata Dokternya agar cepat sembuh Ibu di bawa ke Singapura, bawa saja Deb. Aku akan cari pinjaman di kantor. Bahaya nanti kalau ibu tidak cepat di tangani penglihatannya,” kata Lukman memandang Pancawati dengan sedih.
“Jangan Mas, biar aku ke bank dulu, ajukan pinjaman, untuk di potong gajiku,” jawab Debora tidak mau berhutang budi lebih banyak lagi pada keluarga Lukman.
“Kalau Lukman bisa tidak ada salahnya dia bantu. Biar Ibu kamu cepat sembuh. Pikirkan lagi ya, kamu masih butuh banyak biaya nantinya, jika kamu hutang bank, gaji kamu akan habis, dengan apa kamu akan hidup.” Yuli beranjak dari duduknya untuk berpamitan pada Pancawati.
Pancawati meremas tangan Yuli dan tangannya yang lain menangkup ke atas tangan Yuli. Rasa terima kasih yang amat besar Pancawati sampaikan. Tidak tahu, bagaimana mereka akan membalas kebaikan tetangganya itu.
Setelah Yuli dan anaknya pulang, tinggallah Debora dan Pancawati di kamar. Debora meminta izin pada sang ibu untuk menemui ayahnya, agar di beri pinjaman. Setidaknya, jika meminjam sang ayah, Debora akan mendapat tempo yang cukup lama untuk membayarnya, dengan cicilan yang ringan.
Gerakan tangan Pancawati melarang Debora untuk menemui ayahnya lagi. Pancawati khawatir Debora akan dihina bahkan disakiti keluarga mantan suaminya itu jika Debora muncul.
“Debora akan menemui ayah di kantornya Bu, atau akan Debora ajak bertemu di tempat lain, yang penting jangan di rumah ayah.”
Pancawati tetap tidak menerima alasan Debora, dia tetap melarang Debora dengan tangannya. Debora menjadi bingung sendiri, bagaimana mendapatkan uang yang banyak dengan cepat.
*
Gerald Noe Bernado, pengusaha muda yang sukses dengan bisnis retailnya. Gerai supermarketnya hampir tersebar di seantero nusantara, masih menggerutu bagai kumbang di dalam pesawatnya yang akan membawanya ke Surabaya. Gerald akan menghadiri peresmian salah satu cabang supermarketnya di sana.
Sambil menatap kotak mainannya yang retak, Gerald merutuki gadis yang menabraknya. Mainan yang berharga ratusan juta rupiah, sudah pecah dan menjadi barang tidak ternilai lagi.
“Ini, jalan terakhir aku untuk memiliki Genobe. Kalau sudah begini bagaimana aku bisa memiliki anakku,” gumam Gerald sedih. Otaknya membawanya pada kenangan saat bertemu Letha, saat Gerald memejamkan mata, bersandar pada kursi empuknya.
“Bos,” panggil Thomas, sang assisten pada Gerald yang nampak tidak tenang dalam tidurnya. Thomas menepuk lengan Gerald untuk membangunkan Gerald.
Gerald terkejut dan menggelengkan kepala, di lihatnya ke sekeliling, ornament kabin pesawat membuatnya sadar, dirinya masih dalam pesawat.
“Teringat lagi?” tanya Thomas menyodorkan segelas air putih pada Gerald.
“Ya, tiap aku mengingat Ginny, aku ingat potongan-potongan kisahku dengan Letha,” ucap Gerald mengusap dahinya.
“Aku harus apa lagi, untuk bisa membawa Ginny hidup denganku Thom?” tanya Gerald mengeluh pada Thomas. Gerald merasa sudah putus asa untuk mendapatkan hak asuh Ginny.
Rencana Gerald, setelah dia dari Surabaya, dia akan mengunjungi gadis kecilnya dengan membawa miniature Batman, yang dia dapat dari pelelangan di Eropa. Mainan dengan harga fantastis itu akan diberikan pada Ayah Letha, yang hoby mengkoleksi segala pernik-pernik tentang film manusia kelelawar. Namun, karena mainan itu telah rusak, Gerald harus mengubur keinginannya sementara untuk bertemu sang anak.
“Masih ada satu cara ‘kan Bos, seperti yang tuan Subono minta,” jawab Thomas mengingatkan Gerald dengan syarat pertama yang ayah Letha ajukan untuk Gerald bisa memiliki Ginny.
Syarat, bahwa Gerald harus sudah menikah dengan wanita yang lemah lembut seperti Letha, agar Ginny bisa diurus dengan baik olehnya. Agar Ginny bisa merasakan kasih sayang seorang ibu yang selama ini dirindukan Ginny, seperti yang teman-teman sekolahnya yang memiliki.
“Ahh, di mana aku dapat wanita yang seperti itu Thomas, kamu tahu sendiri, wanita yang mendekatiku mata duitan semua. Susah cari wanita yang seperti itu!” seru Gerald putus asa.
“Bos menyamar dulu deh, jadi orang miskin, seperti yang di n***l yang saya baca ini, Bos. Dia terpaksa pura-pura sakit dulu, dan jatuh miskin, baru dia bertemu cinta sejatinya,” kata Thomas menjelaskan inti cerita dari sebuah n***l yang dia pegang.
“Itu hanya ada di n***l dan sinetron, Tompel!” seru Gerald kesal dengan ide Thomas.
Gerald memandangi meja makan di depannya, name tag Debora tergeletak di atasnya. Gerald memiliki ide agar Debora bertanggung jawab atas kesalahannya.
“Cari wanita ini Thomas, dia harus bertanggung jawab atas kesalahannya membuatku menemui jalan buntu untuk memiliki Ginny. Suruh dia ganti rugi dua kali lipat dari harga batman ini,” kata Gerald memegang action figurenya. “Tunjukkan nota pembeliannya, buat surat perjanjian, jika dia tidak bisa mengantinya, dia harus mengikuti kemauanku, membantuku mendapatkan Ginny. Paksa dia dengan mengancamnya akan aku masukkan dalam penjara.”
Gerald tersenyum miring dengan rencananya, dia yakin seratus persen, Debora tidak bisa menggantinya. Dan mau tidak mau, Debora harus membantunya jika tidak ingin masuk penjara.
Pagi-pagi, setelah menyuapi sang ibu, dan memandikannya, Debora berpamitan untuk pergi ke kantornya. Debora terpaksa berbohong, tujuan asli dirinya pergi adalah ke kantor sang ayah di Senayan. Debora ingin meminta sang ayah memberi pinjaman, untuk pengobatan Pancawati sampai sembuh. Apalagi dia tahu, sang ayah masih mencintai ibunya, meski takut pada istri pertamanya.Sial bagi Debora, sang ayah sedang tidak ada di kantor yang menjadi tempat untuk menyampaiakan aspirasi rakyat jika mahasiswa berdemo, tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Sang ayah sedang berdinas keluar daerah.Bertahun-tahun sang ayah bekerja di kantor itu, setelah pensiun dari jabatannya sebagai pegawai negeri, sang ayah kemudian terjun ke politik dan mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Keberuntungan seolah selalu berpihak pada sang ayah, pencalonannya lolos selama dua periode.“Kalau pinjam ke koperasi kantor, enggak akan dapat banyak. Kalau ke ban
Debora memasuki sebuah agency model, tempat temannya bekerja. Berkali-kali temannya menawarinya pekerjaan sebagai model dan kadang menjadi pemain figuran di sebuah produksi sinetron jika Debora ada waktu senggang, belum pernah Debora terima. Kini saat sedang buuh uang, Debora berpikir butuh perkejaan sampingan. “Pagi Kak, ada yang bisa di bantu?” kata seorang wanita cantik di meja receptionis. “Pagi, saya Debora Genitri, Mbak, bisa bertemu dengan Ana, Deviana,” kata Debora berdiri di depan meja. “Oh, Kak Deviana. Sebentar ya Kak, saya hubungi dulu, sementara itu Kakak isi buku tamu dulu,” jawab sang penerima tamu, yang kemudian menekan sebuah angka di pesawat teleponnya. “Silahkan masuk Kak, kak Deviana ada di ruang kaca sebelah kanan begitu Kakak masuk. Ruangan talent,” kata sang penerima tamu sesaat setelah menutup gagang teleponya. Debora pun mendorong pintu kaca, dan memasuki ruan
Dengan langkah cepat Thomas menaiki tangga rumah Gerald yang berada di kawasan perumahan elit di Jakarta Utara.Rumah besar bergaya minimalis dengan pemandangan pelabuhan yang ramai kapal-kapal cargo, menjadi pilihan Gerald, karena bisa menikmati sunset di atas teluk Jakarta itu.Penuh percaya diri, Thomas mengetuk pintu kamar Gerald yang terbuat dari kayu jati lama bercat putih. Sebenarnya bisa saja Thomas masuk, karena dia tahu kode akses masuk, semua pintu yang ada di rumah Gerald.“Kamu kemana saja, ini sudah siang?” tanya Gerald begitu pintu terbuka. Gerald sudah rapi dengan celana panjang dan kemeja yang di lipat ke siku.“Saya ke rumah sakit Bos. Mencari gadis pramugari kemarin.”Dengusan kasar keluar dari mulut Gerald sambil berjalan ke tangga. “Belum ku apa-apain sudah sakit,” gerutu Gerald kecewa.“Bukan dia, Bos. Tapi ib
Debora berjalan dengan cepatnya di lorong rumah sakit sambil memakai giwangnya. Sebuah cardigan tersampir di lengannya yang juga menenteng tas. Sepan panjang hitam belahan samping berpadu blouse berenda dari leher turun ke bagian tengah kemeja, berwarnamerah maroon tanpa lengan mempercantik penampilannya.“Kamu mau ke mana Bora?” suara Dokter Irfan muncul dari belakang Debora.“Mau kerja Dok, Dokter mau pulang?” tanya Debora melihat Dokter Irfan yang sudah terlihat santai dengan kaos oblong dan celana denim dan sebuah ransel, di punggung, tanpa jas putihnya lagi.“Iya, sudah turun sift. Arah kamu ke mana, siapa tahu searah sama aku?”“Ke Jakarta Utara Dok,” jawab Debora tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.“Fix, aku mau ke Penjaringan. Jadi kita searah, ayo!” kata Dokter Irfan berbohong. Sebenarnya dia mau pulang, yang rumah sewanya
“Ayo masuk manis, aku sudah menunggumu,” kata sang pria bule menarik tangan Debora yang masih berdiri memastikan dirinya tidak salah nomor kamar.Dibawanya Debora masuk dalam kamar, dan dengan kakinya yang panjang, bule itu menutup pintu.“Tuan, maaf saya salah kamar, maaf,” kata Debora yang mulai sadar dirinya dijebak. Debora memberontak saat melihat kamar sepi tidak ada aktifitas yang menunjukkan orang bekerja. Pi Hanya ada sang bule di depannya dan bisa dipastikan bule itu tidak memakai apapun di balik kimononya.“Tidak-tidak, kamu tidak salah kamar. Kamu disuruh Deviana datang ke sini ‘kan?” tanya sang bule dengan senyum senang. “Kamu manis, dengan kulit eksotis. Deviana benar-benar pintar memenuhi seleraku.”Si bule mendekatkan wajahnya pada wajah Debora, dia mulai mengendus harum tubuh Debora dengan hidungnya. Cengkraman tangannya makin kuat saat Debora memalingkan wajahnya dan memi
Gerald dan Thomas saling berpandangan. Thomas pun mengangguk mengambil inisiatif untuk mengajak Debora berdiri. Thomas menuntun Debora masuk dalam mobil Gerald.“Nona tenang ya, kita pergi dari sini,” kata Thomas dengan lembut meminta Debora duduk. Seat belt pun ditarik Thomas dan diikatkan ke tubuh Debora. “Maaf, permisi Nona,” kata Thomas saat melintasi tubuh Debora untuk mengaitkan seat belt.Gerald kemudian masuk ke mobilnya di belakang kemudi. Karena mobil itu hanya ada dua kursi, dan Gerald tidak mau kena omel mamanya karena telat pulang. Gerald harus membawa mobilnya sendiri.“Bos, lalu saya gimana?” tanya Thomas bingung. Maksud dirinya, dialah yang akan membawa Debora dan Gerald menunggu jemputan sopirnya.Gerald mengangkat kedua tangannya ke udara. “Kamu mau aku menunggu di sini? Enak saja,” jawab Gerald dengan cepat. “Lihat apa yan
Joshua menatap Debora dari atas ke bawah. Mimik wajahnya yang semula datar, menjadi lembut dan hangat.“Ini masih malam. Tidak ada kendaraan lagi. Besok saja kalau kamu mau pergi. Dan, kakakku pasti akan marah jika kamu pergi begitu saja, tanpa berpamitan dengannya,” kata Joshua sambil masuk ke pantry untuk mengambil minum.Tujuan Joshua turun dari kamarnya awalnya memang untuk mengambil air dan minum vitaminnya.“Saya perlu tas saya, tuan. Sepertinya saya tinggalkan di mobil hitam itu,” kata Debora menunjuk sebuah mobil sport hitam yang terparkir di teras. “Ponsel saya di dalam tas, setidaknya saya bisa mengabarkan pada Ibu saya kalau saya baik-baik saja.”Joshua setelah menelan vitamin penambah darah, langsung menegak habis air putih yang baru saja dia tuang dalam gelas.Glekk … glekk.Joshua menghabiskan satu gelas air di depan Debora, hingga Debora ikut merasa k
Debora ingin membantu bik War, kemudian mengambil pisau membantu bik War untuk membersihkan sayuran. Dalam hati, bik War, memandang Debora dengan takjub. Jemari lentik Debora yang terllihat terawat namun gesit dalam memainkan pisaunya saat mengupas dan memotong bawang. Debora terlihat sudah biasa memasak, membuat bik War bangga.Begitu ada Debora yang membantu bibinya, Arum keluar dari dapur untuk membersihkan rumah.“Non, dicari Mas Gerald,” kata Arum yang baru saja mengepel lantai atas.“Hah?” Debora terkejut sekaligus bingung denan perkataan Arum.“Mas, Gerald, pemilik rumah ini, mau bicara sama Nona,” kata Arum lagi dengan penuh tekanan, dan menatap Debora dengan senyum.Debora langsung meletakan pisaunya dan mencuci tangan. Baru satu langkah Debora keluar dari Dapur, dada bidang Gerald yang mengenakan kaos putih terhenti di depannya. Hampir saja Debora
“Lepas, Fatma.” Dengan kasarnya Bachtiar melepaskan tangan Fatmasari dari lengannya. Tubuh Fatmasari terdorong dan membentur dinding tangga.Bachtiar tidak mempedulikan Fatmasari, dengan langkah cepat dia mengejar Debora yang sudah keluar dari restoran. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan lagi, jika dia ketinggalan.“tunggu, Nak. Papa masih mau bicara!” seru Bachtiar tergopoh – gopoh.Debora masuk dalam mobil, begitupun Pancawati. Mereka sudah tidak sabar lagi untuk pergi dari restoran itu.“Papa untuk apa mengejar mereka? Papa mau tinggal dengan mereka?” seru Manda penuh amarah.“Iya, Papa mau tinggal dengan mereka,” jawab Bactiar dengan keras sambil terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Mobil Gerald telah berjalan meninggalkan restoran, tidak mungkin lagi baginya untuk mengejar dengan kakinya.“Papa memang tidak pernah Sayang dengan Manda,” seru M
Bachtiar merasa begitu senang mendapat kesempatan untuk mendekati Debora dan Pancwati lagi. Dia tahu jika keputusan Debora sangat berpengaruh pada kebaikan Gerald dan Pancawati. Untuk itu Bactiar akan membujuk Debora untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri menjadi ayah yang baik untuk Debora.‘Kalau Debby bisa menerimaku lagi, Gerald pasti tidak akan segan lagi untuk memberiku kekayaan. Wati saja sekarang begitu cantik dan terawat,’ gumam Bachtiar dalam hati, ‘hmm …, dia juga sudag memekai perhiasan mahal sekarang, artinya dia sudah hidup enak dalam perlindungan Gerald,’ batin Bachtiar lagi dengan menyeringai dan membayangkan akan hidup enak, dan lebih terhormat lagi bersama Pancawati sebagai mertua dari seorang Gerald.“Mau ke mana lagi Babe?” tanya Gerald menuntun Debora yang kembali masuk ke restoran.“Masuk lagi Gee, biar cepat selesai. Aku sudah malas bertemu dengan orang itu dan keluarganya. Seola
Debora masih khawatir dengan Pancawati, meski sang Ibu sudah nampak di depan matanya. Debora tidak ingin sang Ibu terpedaya dengan ucapan Bachtiar.“Gee, kita duduk di sana aja yuk!” ajak Debora pada Gerald menunjuk sebuah bangku kosong yang tak jauh dari Pancawati dan Bachtiar berada.“Jangan Babe, kita di sini saja, kalau terjadi sesuatu yang membahayakan Ibu, baru kita mendekat,” jawab Gerald memaksa Debora untuk duduk di meja yang di pilih Gerald, “tenang saja, enggak akan terjadi apapun pada Ibu,” kata Gerald lagi menenangkan Debora yang masih khawatir.Baru sebentar Gerald dan Debora duduk, dari ujung restoran terdengar teriakan Pancawati yang marah pada Bachtiar.Semua pengunjung restoran ikut menoleh pada meja sepasang pria dan wanita yang sudah tak lagi muda itu.Pancawati terlihat mengancam Bachtiar, bahkan tangan Pancawati pun selalu menepis tangan Bachtiar yang akan menyentuh tangannya.Debora
Debora tidak menemukan ibunya di rumah. Seluruh sudut rumah Gerald sudah dia hampiri, namun belum juga menemukan Pancawati.“Mami, cari siapa?” teriak Ginny dari balkon kamarnya saat melihat Debora keluar dari taman samping rumah.“Lihat nenek, engak sayang?” jawab Debora sekaligus bertanya balik pada Ginny tentang keberadaan Pancawati.“Tadi Ginny lihat Nenek naik taxi Mi, pergi sendirian,” jawab Ginny dengan polosnya.Debora segera masuk ke rumah, mendengar jawaban Ginny. Ruang tengah menjadi tujuannya untuk mencari ponselnya yang seingat dirinya dia letakkan di atas meja untuk di tambah daya, di samping televisi.Debora menelepon Pancawati dengan rasa khawatir, tidak biasanya sang ibu pergi tanpa pamit padanya. Pesan pun tidak di tinggalkan oleh Pancawati di ponselnya.“Ada apa Babe? Gelisah banget, sampai enggak dengar aku jalan,” tanya Gerald mengecup kepala Debora yang berdiri di pinggir
Manager Manda, paham betul jika Manda sedang cemburu pada Debora. Mood Manda yang sedang buruk setelah di tolak seorang produser film, juga Manda yang baru di selingkuhi kekasihnya, melihat Debora begitu beruntung, pasti membuat Manda marah.Sang Manager mengikuti Manda dan berusaha mengajak Manda untuk keluar dari toko, sebelum Manda mempermalukan dirinya sendiri.“Kamu pergi sana, tidak perlu ikut campur urusanku!” seru Manda dengan kencang, membuat para pengunjung toko menatap pada Manda.Gerald dan Debora pun langsung mendongak ke arah Manda, yang berdiri empat meter di depannya.“Manda,” gumam Debora menyerahkan sebuah kaos dalam pada Gerald. Debora ingin berdiri untuk menghampiri Manda.“Duduk saja di sini. Bukan urusan kita Babe,” kata Gerald menahan Debora agar tidak mendekati Manda.“Begitukah?” tanya Debora meminta pendapat.“Iya. Biarkan saja. Ayo pilih lagi, mana
Gerald menyambut Debora dan membantunya menuruni dua anak tangga terakhir dengan mengulurkan tangannya. Sungguh sikap seorang pangeran pujaan, yang begitu perhatian pada istrinya. Dengan tersenyum manis Debora mengucap terima kasih. Debora berjalan ke meja dapur, mendekati satu piring besar kue pukis yang dia inginkan. “Kamu beli berapa sih Gee. Banyak banget!” tanya Debora sambil mengambil piring yang lebih kecil untuk membagi kue pukisnya. “Hmm, seratus lima puluh ribu, dagangannya langsung habis aku beli,” jawab Gerald dengan tersenyum bangga. Kue pukis dengan harga dua ribu perbuah, dia borong semua. “Tadi dapat bonus lima Babe.” Debora tersenyum, tidak heran lagi dengan cara suaminya mengabiskan uang. “Enak ‘kan Josh?” “Hmm. Iya, enak. Santannya terasa, manisnya pas dan tidak eneg. Dengan selai nanasnya jadi segar,” jawab Joshua setelah menghabiskan satu potong kue. “Iya. Dulu aku sering beli di situ kalau mau berangkat terbang. U
Meski Debora yakin Gerald akan mengizinkan dirinya menerima tamu di rumah, apalagi jika orang-orang yang selalu baik dengan dirinya juga sang ibu. Namun, demi melegakan sang ibu, yang tetap merasa tidak enak hati pada Gerald, hanya karena rumah itumilik Gerald, Debora pun menelepon Gerald. “Belum ada satu jam aku pergi, kamu sudah meneleponku, kangen ya, Babe?” tanya Gerald dengan wajah sumringah keluar dari mobilnya, menerima panggilan telepon Debora. Debora tersenyum mengakui, dirinya memang sudah merindukan Gerald, terlepas dari dirinya yang ingin memberi kabar akan mengundang tetangga kontrakannya ke rumah. “Pasti lagi tersenyum sekarang ya,” kata Gerald menggoda Debora dengan hembusan nafas Debora yang terdengar oleh Gerald. Gerald sudah sangat hafal apapun tentang Debora. “Ada apa Babe?” “Aku mau minta izin Gee,” jawab Debora sambil tersenyum senang. “Untuk?” tanya Gerald sambil terus melangkah memasuki lobby gedung kantornya. “T
Gerald tidak dapat menyangkal lagi jika hatinya telah terpaut pada Debora, dia rela memberikan seluruh jiwa dan raganya pada wanita yang telah mengandung anaknya itu. Gerald begitu memanjakan Debora, membuat Debora terkadang geli sendiri. Perlakuan Ginny pada Debora pun seolah tidak mau kalah dengan daddy-nya. Seolah mereka sedang berlomba untuk menyenangkan hati Debora. “Kalian ini, jangan manjakan aku seperti ini Gee. Nanti aku jadi pemalas. Tidak kamu, tidak Ginny. Ibu juga sama saja,” protes Debora saat Gerald melayani semua kebutuhannya. Bahkan satu minggu pertama sejak Debora di rumah, Gerald semakin sering di rumah dari pada ke kantor. Gerald dengan setia menemani Debora. Menggendong Debora saat waktunya mandi, dan menjadi tugas Ginny untuk menyisir rambut Debora. “Aku tahu kamu bukan pemalas, aku manjakan kamu, karena aku sayang kamu dan anak kita,” jawab Gerald dengan senyum. “Ginny juga sudah tidak sabar ingin lihat adiknya ‘kan. Jadi
Gerald tak melepaskan pandangannya dari Debora sejak aktivitas panas mereka di kamar mandi. Dia berada di dekat Debora dengan sabarnya. “Gee, geli deh, dengan sikap kamu yang seperti ini,” kata Debora merasa risih teus di perhatikan oleh Gerald dengan pandangan mesum.“Aku ‘kan kangen kamu,” jawab Gerald dengan senyum menyimpan sejuta keinginan.“Tadi ‘kan sudah puas. Berapa kali coba, hah!” tanya Debora heran. “Ini dipasang lagi ‘kan gara-gara kamu, yang tidak bisa kontrol barang kamu,” imbuh Debora sambil memegang selang oksigennya. Debora merasa sesak, karena jantungnya yang bekerja terlalu berat dengan aktifitas gila yang Gerald lakukan padanya tanpa henti, selama satu jam di kamar mandi.“Maaf,” jawab Gerald dengan senyum dan mencium tangan Debora.Kondisi Debora yang baru sadar dari koma di paksa untuk melayani nafsu Gerald yang Debora kira hanya sebent