Selama di rawat di rumah sakit, kulalui hari-hari tenangku dengan David, Airin dan Dave. Mereka benar-benar berubah, terutama David. Dia sekarang tidak terlalu sering marah-marah. Belakangan dia sering menceritakan kisah-kisah peperangan. Walau kadang aku tidak mengerti apa yang dia maksud, tapi mendengarnya bercerita membuatku senang.
Berbeda dengan cerita David yang penuh kisah heroik, cerita dari Airin terdengar sedikit membosankan. Itu karena Airin sibuk bercerita tentang pesta dansa, acara minum teh dan perhiasan. Di zaman sekarang siapa yang datang ke acara minum teh? Korea Selatan kan bukan negara kerajaan.
Berbeda dengan David dan Airin, cerita dari Dave lebih menjurus pada pelajaran ekonomi. Ya dia sibuk bercerita tentang cara mengelola bisnis. Mungkin dave akan suka jika berbincang dengan ayah pikirku.
padahal sudah seminggu aku di rawat di rumah sakit, tapi sekali pun ayah belum pernah datang. Pengasuhku juga tidak datang. Apa saat ini mereka semua tengah menikmati waktu tanpaku?
"jangan sedih. Kami kan ada disini. Bersamamu selalu!", Ucap David.
Mendengar perkataan David aku jadi sedikit terhibur. Dulu aku juga pernah berharap memiliki saudara atau teman untuk bercerita. Apa mereka sebenarnya jawaban untuk harapanku?
"kalian kan sering bercerita tentang keseharian kalian. Tapi jujur saja aku kurang paham. Apa kalian dari masa lalu? karena sekarang sepertinya sudah tidak ada orang yang berperang dengan menaiki kuda", ucapku penasaran.
"bisa di bilang kami dari masa lalu atau juga bisa saja kami dari tempat lain", jawab Airin.
"tempat lain? apa maksudnya dimensi lain?", sambungku segera. Rasa penasaranku akan asal usul mereka sudah mencapai puncaknya.
"kalau kau sudah sembuh dan stabil akan kami ceritakan. Sekarang lebih baik kami bercerita hal yang menyenangkan agar kau lepas sembuh", kali ini Dave yang menjawab. Karena merasa tak akan dijawab jadi aku memulai bertanya hal lain.
Begitulah keseharianku bersama teman baruku. Tak terasa ini adalah hari ke sepuluh, tepatnya hari aku keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumah. Membayangkan wajah ayah dan para pekerja di rumah membuatku tidak bersemangat.
"kenapa aku keluarnya harus di hari minggu? ayah pasti di rumah", keluhku.
"tenang saja, kami kan selalu bersamamu", ucap David. Energiku terasa terisi mendengarnya
.
.
.
Dalam perjalanan ke rumah aku asik memandangi pemandangan jalan. Padahal tidak ada juga yang bisa aku lihat. Kebanyakan hanya rumah-rumah dengan kebun kecil di halamannya. Saat mulai bosan tiba-tiba aku melihat sesosok pria yang memakai baju jirah lengkap dengan pedang di tangannya.
Apa sedang ada pertunjukan atau acara ya? pikirku. Tak ambil pusing aku segera menutup mataku. Aku harus menguatkan hatiku. Kuharap ayah pura-pura tidak tau saja aku ke rumah hari ini.
Saat memasuki gerbang rumah, aku melihat keadaan sekitar karena mengingat kalau ayah sempat berkata akan mengubah suasan rumah untukku. Tapi tak ada perubahan yang berarti. Ya tidak mungkin juga ayah mau repot-repot melakukan itu semuakan pikirku.
Ketika aku turun dari mobil, pengasuhku menghampiriku dengan muka sendu dan mata merah. Ada apa ini, jangan bilang dia terharu karena aku pulang. Aneh. Kupercepat langkahku menujudalam rumah, tapi ada hal yang aneh.
"Kenapa ada banyak koper disini?", tanyaku ketika melihat ada beberapa tumpukan koper di ruang tamu. Apa ada tamu yang datang? atau jangan-jangan ini koper pengasuhku? apa dia berhenti? sontak aku kaget.
Apa pengasuhku menangis karena akan pergi dari sini? tapi tunggu sepertinya koper ini bukan miliknya karena dua tahun yang lalu kan dia sudah tinggal di rumah sendiri, tidak lagi di rumah ini. Jadi siapa pemilik koper ini?
"itu milikmu", terdengar suara datar yang berasal dari mulut ayahku. Kenapa barang=barangku dikemas lalu di taruh disini? apa aku akan diusir?
"dokter bilang kau sakit karena tekanan emosionalmu tidak stabil dan menyarankan untuk mengubah suasana rumah. Tapi kau tau masalah bukan disini, tapi di dirimu sendiri. Jadi aku memutuskan untuk mengirimu ke asrama di tempat yang tenang dan asri. Tolong kendalikan dirimu disana. Jangan membuat kekacauan yang idak berarti", ucap ayahku lalu tanpa ekspresi yang berubah sedikit pun dia melangkah pergi dari ruang tamu dan menuju ruang kerjanya.
Apa itu kalimat perpisahan? hahaha, tanpa kusadari air mataku mulai mengalir. Aku benar-benar diusir. Apa aku benar-benar tak layak sebagai anak?
"tuan muda..", itu suara pengasuhku. Dia mendekatiku dengan air mata yang terus mengalir. Air matanya lebih banyak dari pada air mataku.
"anda harus kuat. Saya mohon saat di tempat itu anda harus menjaga kesehatan anda. Tolong makan dan tidur tepat waktu", Kepalaku benar-benar pusing mendengar perkataan pengasuhku. Jadi ini benar-benar kenyataan.
Kubuka mulutku untuk menjawab perkataan pengasuhku, belum sempat mengucapkan apapun, aku terkejut mendengar langkah kaki dari pintu masuk. Itu para ajudan ayahku. Apa aku bahkan akan diseret keluar?
Tidak! aku tidak mau diperlakukan seperti ini!
Kulangkah kakiku dengan cepat menuju ruang kerja ayah. Kubuka pintu ruangan itu dengan cepat dan kasar membuat ayahku yang tengah duduk di meja kerja kaget. Ekspresinya seperti mengatakan, ada apa dengan anak ini sekarang?
"ayah anda tidak boleh berbuat seperti ini pada anakmu. Kenapa aku diusir?", ucapku setengah berteriak pada ayahku. Namun ekspresi ayahku tidak berubah sama sekali. Apa yang salah pikirku.
"bukankah aku anakmu satu-satunya? jadi kenapa ayah tega berbuat seperti ini? dokter bilang untuk mengubah suasana bukan? bukan mengusirku.", ucapku sembari menahan tangis.
"anak ya...", tiba-tiba raut wajah ayahku menjadi sendu. Apa sekarang dia sadar? ya aku anakmu satu-satunya, apakah kau tega mengusirku? aku ingat mendiang nenek dari keluarga ayahku pernah bilang kalau ayah dan ibuku membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk dikaruniai anak. Beliau heran kenapa setelah ibuku melahirkanku hubungan mereka malah semakin renggang.
"apa di luar sana tidak ada orang? cepat bawa Taevin ke tempat seharusnya", teriak ayahku sembari memukul meja. Wajah sendunya kini hilang dan berubah menjadi warna merah. Dia benar-benar marah. Tapi di mana letak kesalahanku?
"tuan muda tolong ikuti kami", ucap salah seorang ajudan ayahku. Kini aku dikelilingi ajudan ayahku layaknya orang yang akan melukai ayahku. Tiap gerikku diawasi. Bukannya kelewatan menahanku dengan lima orang ajudan,
"Ayah, kumohon. Aku janji tidak akan menimbulkan kesalahan lagi. Aku akan hidup tenang seolah tak ada seperti yang selalu kau katakan", jeritku sembari berusaha menerobos ajudan-ajudan ayahku. Namun sia-sia, tenagaku benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding dengan mereka.
"apa kalian sudah tidak mau mendengarkan aku lagi?!", ayahku berteriak! Bukan cuma aku bahkan kelima ajudannya juga kaget. Ajudan ayahku pun membawa paksaku ke dalam mobil. Di mobil aku diminta untuk tenang karena ayahku bisa saja melakukan hal yang lebih kejam lainnya.
Aku pun duduk diam di dalam mobil. Mau tidak mau menuruti perintah ayahku untuk pergi ke tempat yang diinginkannya.
"kenapa kalian diam saja dari tadi? kaliankan biasanya sangat berisik", ucapku dalam hati. berharap teman-temanku akan menjawab. Aku benar-benar merasa ditinggalkan karena keputusan kejam ayahku dan berharap mereka bisa menghiburku."Taevin, tak peduli kemana pun kau akan pergi kami akan selalu bersamamu", ucap David. Suaranya terdengar pilu. Apa dia merasa kasihan padaku? dia kan sudah menikah atau jangan-jangan dia juga pernah punya anak.
"kau tidak salah, yang salah ayahmu. Kuharap di tempat baru itu kau bisa menemukan kebahagianmu", ucap Airin. Suaranya terdengar bergetar.
"padahal umurmu baru dua belas tahun, tapi kenapa ayahmu melampiaskan seluruh amarahnya padamu?", timpal Dave.
"terima kasih, aku benar-benar berterima kasih pada kalian. Sekarang tampaknya aku benar-benar hanya memiliki kalian disisiku. Kuharap kalian bisa terus bersamaku", ucapku dalam hati sembari menangis.
Tangisanku pun seakan mengering ketika koper terakhir sudah selesai dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Ku alihkan pandanganku menatap sekeliling rumah. Rumah yang sudah menjadi tempat tinggalku sedari lahir. Ada banyak kenangan buruk disini, tapi tentu saja kenangan baik juga banyak.
Kuharap pikiran ayah segera berubah dan mengizinkanku segera kembali pulang ke rumah ini. Terlintas di benakku bagaimana dengan sekolahku. Padahal bulan depankan ada ujian kenaikan kelas. Apa bisa akupergi disaat seperti ini.
Ceklek
Suara pintu mobil yang terbuka menyadarkanku dari lamunanku. Seorang ajudan ayahku duduk di kursi pengemudi. Seorang lagi duduk di samping meja kemudi. Tanpa basa basi mobil yang kutumpangi melaju ke luar dari rumah.
Tapi kecemasanku tentang sekolahku tak kunjung reda. Aku harus bertanya pada mereka.
"paman, apa kalian tau sampai kapan aku harus di tempat itu?", tanyaku pada mereka. Tapi tidak ada respon sama sekali. Bahkan tatapan mereka tidak bergerak sedikit pun.
"apa kalian tau apa yang akan terjadi dengan sekolah ku? bulan depan ada ujian kenaikan kelas, jadi apa benar aku bisa pergi jauh seperti ini disaat ini?", tanyaku cemas.
mereka tetap diam tak bergerak. hei apa kalian benar-benar manusia? setidaknya jawab kalau kalian tidak tau. Kenapa kalian mengabaikanku.
"anda tidak perlu khawatir soal itu tuan muda. Kami akan mengurusnya. Untuk dua bulan ke depannya anda akan tinggal di salah satu villa milik keluarga anda. Setelah itu anda akan masuk ke sekolah di daerah sana. Anda akan tinggal di asrama", jawab ajudan yang duduk di samping kursi pengemudi.
"apa? asrama? tidak aku tidak mau tinggal di asrama. Disana pasti banyak anak-anak jahat yang akan menggangguku. Cepat putar balik mobilnya aku akan menemui ayahku dan memohon padanya", bentakku pada ajudan ayahku. Bayangan bagaimana hidup di asrama bersama-sama dengan orang asing membuat bulu kudukku naik.
"tuan muda anda tidak perlu cemas, sekolah dan asrama yang nantinya akan anda masuki adalah milik Simoon Grup, milik ayah anda. Anak-anak disana memang cukup kasar. Tapi mereka tidak akan berani mengganggu anda. Guru-guru disana pun pasti akan mendukung anda. Jadi anda benar-benar bisa bersantai disana", ucap ajutan itu lagi.
"bahkan jika anda berbuat onar disana, tidak akan ada yang akan memarahi anda", timpal ajudan yang duduk di kursi kemudi.
"jadi kalian semua dan ayahku sepakat bahwa aku pembuat onar dan sudah sudah selayaknya aku dikirim ke daerah terpencil agar perbuatanku bisa ditutup-tutupi agar reputasi ayah tidak terganggu?", tanyaku pada mereka dengan nada kesal. Mereka berdua kembali hanyut dalam diam
Benar-benar menyebalkan. Aku memang benar membuat masalah, tapi aku melakukannya bukan atas dasar kehendakku. Kepalaku. Kepalu benar-benar sakit sehinnga aku mencari pelampiasan. Tapi tidak seorang pun yang sudi bertanya kenapa aku melakukan semua itu.
.
.
.
Setelah berkendara selama delapan jam kami berhenti di salah satu penginapan. Aku diberi tau kalau hari ini perjalanan akan dijeda dulu karena bisa saja kesehatanku memburuk. Rasanya aku ingin membalas perkataan mereka. Tapi tenagaku benar-benar habis. Aku merasa sangat lelah sehingga kuputuskan untuk langsung tidur.
Malam itu aku kembali bermimpi bertemu ibuku. Dia masi saja menagis. Saat hidup pun aku selalu mendapati ibuku tengah menangis. Bahkan dalam mimpiku sekali pun, tangisan itu tampaknya tak dapat berhenti begitu saja.
"tuan muda, mohon cepat bangun agar kita bisa melanjutkan perjalanan kita.", aku terbangun karena suara itu. Kubuka mataku dan melihat kedua ajudan ayahku sudah berada di kamarku dengan setelan jas lengkap.
"Apakah anda mau mandi dulu atau langsung sarapan?", tanyanya lagi.
"aku mau mandi dulu. Untuk sarapan siapkan saja roti lapis untuk kumakan di mobil", ucapku tak bersemangat. Siapa yang bisa makan dengan lahap ditengah kenyataan bahwa kau akan di kirim ke tempat terpencil karena membuat beberapa masalah kecil.
selepas mandi dan memakai pakaianku lengkap, kami segera menuju mobil dan perjalanan hari itu dimulai. Perutku benar-benar terasa lapar. Benar juga kapan terakhir kali aku makan? ah itu saat makan siang di rumah sakit.
Bahkan sekarang aku merindukan rumah sakit. Setidaknya disana orang-orang akan memperlakukanku dengan ramah karena tau aku anak siapa. Tapi disini ajudan ayahku memperlakukanku dengan dingin. Ya itu mungkin karena mereka sudah melihat perlakuan ayah padaku yang seperti orang asing.
Perlahan kumakan roti lapis yang memang disediakan untukku. Tidak ada selada dan tomatnya! setidaknya ajudan ini tau kalau aku paling benci kedua sayuran itu.
Setelah melaju kurang lebih lima jam lamanya, mobil kami berhenti di depan sebuah gerbang tinggi. Pintu gerbang itu kemudian di bukakan oleh seorang bapak dari sebelah dalam. Bapak itu tersenyum kearahku. Senyumannya membuatku kesal.
Mobil kembali melaju melewati gerbang. Jadi ini villanya. Villa itu dikelilingi dengan taman bunga. gedung villa itu berwarna kecoklatan. Jujur saja villa bertema klasik ini sangat cantik dan menari perhatianku.
Tapi itu semua tidak bisa menghapus fakta bahwa aku dibuang kesini oleh ayahku sendiri. Setelah turun dari mobil aku pun melihat sekeliling villa sedangkan kedua ajudan ayahku sibuk mengeluarkan barang dari mobil dan memindahkannya ke dalam villa.
Setelah melihat sekeliling, aku sadar kalau villa ini jauh lebih baik daripada yang kubayangkan. bagunannya bertema klasik, tapi jika masuk kedalam ternyata isinya modern. Ya ini tidak terlalu buruk sebenarnya. Total pekerja di villa ini ada tiga orang saja. Jauh lebih sedikit dari pada pekerja di rumah yang totalnya beserta satpam lebih dari tiga puluh lima orang. Pak choi bertugas sebagai penjaga sekaligus tukang kebun, Bu Choi bertugas memasak dan Bu Lim yang bertugas untuk bersih-bersih. Sepertinya kata-kata ayah benar juga. Tempat ini tenang danpara pekerjanya yang hanya tiga orang juga tidak membuatku terganggu. Tapi saat wajah ayah terlintas dibenakku, amarahku kembali memuncak. Menyebalkan bagaimana pun aku adalah orang yang dibuang kesini. "jangan begitu kesal, seperti kata ayahmu kau bebas berbuat apa saja disini. Bukankah itu kesempatan yang bagus?", ucap David. "kau tau ini adalah villa keluarga kesukaan ib
Setelah mengetahu rahasia dibalik kelahiranku, rasanya aku ingin menghilang saja. Aku sangat membenci diriku sendiri. Ayah yang selama ini kubenci perlahan aku mulai merasa kasihan padanya. Dia juga korban sekaligus pelaku karena telah menipu semuanya. Disisi lain, ibuku yang selama ini kurindukan juga merupakan korban sekaligus pelaku. Dia merupakan korban penipuan ayahku sekaligus pelaku perselingkuhan. Jadi sebenarnya ini salah siapa? apa salah ayah karena dia yang memulai semua ini. Tunggu apakah aku boleh memanggilnya ayah? kami bahkan tidak memiliki ikatan darah. Memikirkan fakta itu membuatku sangat kesal sekaligus sakit. Apa ayah selama ini sangat dingin kepadaku karena aku bukan anaknya? jika aku terlahir sebagai anaknya apakah aku akan mendapatkan kasih sayangnya? Pertanyaan itu terus menerus menghantuiku. Rasa bersalah sekaligus sedih. Bahkan saat ibu mengandungku dia tidak mau sering di rumah karena
Masa sekolah ku dihabiskan dengan perkelahian. Namun cenderung perkelahian sepihak karena tidak ada anak yang berani melawanku. Sejujurnya aku juga tidak mau menyakiti orang lain, tapi aku tidak tau cara lain untuk melampiaskan kesedihanku. Setiap kali pikiran tentang ibu atau ayahku terlintas di benak ku rasa sakit akan menjalar keseluruh tubuhku. Aku perlu pelampiasan untuk rasa sakit ini. David, Airin dan Dave tidak pernah mau berbicara denganku selama setahun ini. Aku tidak punya teman berbicara sama sekali. Tampa terasa waktu terus berjalan seperti itu. Tak ada yang berubah dalam hidup ku hingga aku lulus dari sekolah menengah atas. Ayah juga tampaknya sudah lupa dengan keberadaanku. Walau beliau sebulan sekali mengirim pesan pada ku. Tapi pesan itu tampaknya bukan pesan dari ayah pada anaknya, namun lebih pada peringatan supaya aku menjaga tingkah laku ku.'bulan ini kau sudah membuat lima orang masuk rumah sakit. Tol
Tiba-tiba sebuah tangan dijulurkan ke arah ku seakan memberi tanda bahwa tangan itu kan membantu ku berdiri. Tentu saja aku tidak mau meraih tangan itu. Dia bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya. Bagaimana caranya dia akan membantu ku berdiri? Sekujur tubuh ku terasa sangat sakit saat ku paksakan untuk berdiri. Perlahan aku berjalan ke arah tongkat yang tadi dipatahkan oleh orang-orang itu. Anehnya tadi aku benar-benar melihat tongkat ini panah, tapi sekarang kenapa tongkatnya kembali utuh? Rasa sakit di sekujur tubuh ku seakan menyadarkan ku untuk segera menyerahkan tongkat ini lalu segera pulang agar aku bisa tidur. Besok pagi-pagi sekali aku harus mengantar susu! Perlahan aku mendekat ke arah pria yang masi terduduk di tanah itu. Setelah dilihat sepertinya dia juga orang Korea seperti aku. Ku ulurkan tangan ku seperti yang dilakukannnya tadi. Sambil tersenyum diraihnya tangan ku dan berusaha untuk berdiri. Syukurlah tampakny
Pagi ini feeling ku benar-benar baik. Setelah berpikir serta memperhitungkan kebutuhan ku sepanjang semester ini uang dari pekerjaan sampingan ku tidak mungkin akan cukup. Terlebih aku harus melepas pekerjaan ku sebagai kurir karena waktunya yang bersamaan dengan jadwal kuliah ku. Sehingga aku harus menambah pekerjaan. Mungkin aku bisa mendapat sekitar lima ratus dolar jika menerima pekerjaan dari tuan Nam. Itu jauh lebih tinggi dari pada bekerja sebagai kurir yang paling digaji paling tinggi dua ratus dolar. Aku juga akan melepas pekerjaan sebagai pelayan ku yang gajinya hanya dua ratus dolar. Tapi sedikit sayang karena makan sudah ditanggung oleh pemilik restoran. Tapi aku tidak punya pilihan karena harus kuliah juga. Pekerjaan sebagai pengantar susu akan tetap aku pertahankan karena tidak menggangu jadwal lainnya. Jadi setiap subuh aku akan mengantar susu sebelum berangkat kuliah. Dalam perjalanan ke rumah salah seorang pelanggan aku
Selepas dari ruang kerja tuan Nam, aku menuju ke ruang tengah. Disana aku melihat nyonya Nam tengah berbincang dengan Ki Tae hyung sambil memakan buah, aku diajak untuk bergabung dengan mereka. Nyonya Nam kembali meminta ku untuk menginap saja. Tidak ada alasan untuk menolak bukan? toh besok juga aku tidak ada kegiatan. Setelah aku setuju untuk menginap nyonya Nam meminta salah seorang pelayannya untuk membawa korak P3k. nyonya Nam lalu meminta ku untuk duduk didekatnya agar perban ku dapat diganti. Nyonya Nam bisa memikirkan hal itu disaat aku sendiri lupa. Rasa sakit dari obat yang diteteskan ke atas luka ku rasanya tidak sebanding dengan rasa senang di dalam hati ku. Sungguh baru pertama aku mendapat perlakuan penuh kasihseperti ini. Aku lalu diminta untuk tidur di kamar tamu di lantai dua yang ku pakai minggu lalu. Sebelum tidur aku sempat berbincang dengan Ki Tae hyung. Dia banyak bercerita tentang dirinya. Aku jadi tau kal
Malam yang awalnya ku lalui dalam nuansa hening tiba-tiba kacau ketika David tiba-tiba bertanya apakah aku benar-benar percaya dengan keluarga itu. Pertanyaan itu benar-benar kejam, padahal dia juga pasti ikut mendengar cerita itu secara keseluruhan. Bukannya merasa iba atau turut prihatin dia malah meragukan kisah itu? ya mungkin saja memang ceritanya sudah dilebih-lebihkan tapi bukan berarti itu semua kebohongan bukan? Airin juga ikut menimpali perkataan David dengan berkata aku seharusnya tidak lantas percaya dengan kisah itu dan sebaikna aku menjaga jarak dengan keluarga ini. Keluarga ini akan membawa pengaruh buruk dalam hidup kata Airin. Mereka berdua pasti sudah kehilangan akal sehatnya. Tak heran mereka berjodoh satu sama lain. Aku kesal dengan perkataan mereka berdua, jadi aku mencoba berbicara dengan Dave, wujud yang paling wara diantara ketiganya. Namun kata-kata dari Dave malah lebih jahat lagi. Menurutnya manusia dila
Sesampainya di restoran tuan Nam segera menyuruh ku untuk memesan makanan yang ingin ku makan. Aku hanya memesan random pada akhirnya karena masi kepikiran, sebenarnya apa yang mau dibahasa oleh tuan Nam? kenapa sampai harus makan di luar? apa aku harus merahasiakan ini dari Ki Tae hyung dan juga tante? Di tengah pikiran ku itu, tiba-tiba ponsel ku bergetar. Itu adalah telepon dari tante. Tante pasti cemas karena sudah larut tapi aku belum pulang tanpa memberi tahu sebelumnya. Tuan Nam kemudian bertanya apakah yang menelepon ku adalah istrisnya. Begitu aku mengiyakan pertanyaannya raut muka tuan Nam menjadi masam. Ada apa ini? apakah mereka habis bertengkar? Tuan Nam kemudian memintaku untuk berbohong bahwa aku sedang makan malam dengan teman baru ku dan akan segera pulang sebentar lagi. Aku tidak punya pilihan selain mengikuti kebohongan itu karena ekspresi tuan Nam kembali berubah. Kali ini ekspresi yang benar-benar serius dan t
Sebulan telah berlalu sejak aku pertama kali bangun di sini, kami secara teratur melakukan kontak lewat surat dengan Alejandro. Yang mengganggu ku adalah fakta bahwa putra mahkota hingga saat ini belum naik tahta, ia membiarkan kursi raja kosong hingga hampir dua bulan. Menurut Alejandro para petinggi kerajaan yang cemas akan kekosongan itu terus menerus mendesak putra mahkota agar dengan segera ia memegang gelar raja. Putra mahkota menolak gagasan itu dengan alasan akan membiarkan kursi raja untuk kosong selama seratus hari sebagai bentuk berkabung untuk ayahnya. Walau pun ayahnya adalah "penghianat" tapi jasa nya selama ini tak bisa diabaikan. Alasan putra mahkota bagaikan obat penenang sementara. Sedangkan pihak ratu belakangan ini terlihat tak memiliki pergerakan. Saudara ratu, paman dari putra mahkota yang baru diangkat menjadi kepala pasukan keamanan istana yang baru mengeluarkan kebijakan untuk menambah senjata prajurit. Ta
Aku lalu melihat bagaimana cara putra mahkota dibesarkan, anak sekecil itu terlihat begitu tragis dengan tekanan dan beban yang harus dipikulnya. Setiap hari ia menghabiskan waktunya dengan belajar dan berlatih taktik perang. Ia jarang bertemu dengan orang lain selain pelatih dan gurunya. Ibunya, sang ratu sesekali menemuinya untuk melampiaskan amarahnya, setiap kali pangeran kedua mendapat pujian maka putra mahkota kecil akan mendapat tamparan dari ibunya. putra mahkota kecil juga dipaksa untuk berlatih pedang dengan pamannya, saudara laki-laki ibunya. Perbedaan usia dan pengalaman antara mereka tentunya jelas terasa dan disaat putra mahkota kecil terjatuh, pamannya lalu memukulnya habis-habisan. Tak sampai di situ, ratu datang untuk menamparnya karena menganggap dirinya tak berguna. Saat ulang tahun ke delapannya, raja menyelenggaran pesta ulang tahun putra mahkota. Bahkan di pesta ulang tahunnya sekali pun ,
"apa maksud anda, Alejandro berusaha agar saya tidak menjadi target putra mahkota?", tanya ku lagi pada Tuan Ignatius. Tuan Ignatius tak menjawa, tapi ia menganggukkan kepalanya. Alejandro, sejak awal aku merasa curiga tentang segala tindakannya dan ternyata kecurigaan ku benar. TApi ternyata ia memiliki rasa kemanusiaan tak seperti putra mahkota. Demi menyelamatkan ku, ia bahkan sampai membunuh ayah kandungnya sendiri. AKu jadi merasa sangat bersalah padanya, seharusnya dia memberitahu ku sebelumnya, kenapa ia harus menanggung semua beban ini sendirian?.."Tolong beritahu ibu dan Arrahad kalau besok saat festival dimulai, kita akan melarikan diri ke kerajaan Xavier", ujar ku."Kita tak boleh melakukan itu kak, putra mahkota tak akan tinggal diam", teriak Alejandro."Kita tak punya pilihan lain, bahkan raja rela mengorbankan dirinya sendiri", elak ku."Bagaimana kalau di perjalanan kita tak bisa selamat? a
Prak tring brakhiks sadarlahbuka mata mu! Suara barang-barang yang bergesekan yang bercampur dengan isak tangis itu mengusik ku, belum lahi rasa nyeri di lengan ku. Seperti seseorang tengah menyiram luka ku dengan sesuatu. Apa yang kau lakukan? jangan sentuh luka ku! kau membuat ku kesakitan! aku terus berteriak di dalam hati ku. Ntah apa yang salah dengan tenggorokan ku, aku tak bisa mengeluarkan suara.... Aku membuka ke dua mata ku di suatu tempat yang aneh, tempat itu memantulkan cahaya biru. Tempat ini terasa tidak asing, apakah aku telah bangun di tubuh orang lain lagi? aku harap kali ini pemilik tubuh ini tidak bernasib malamg seperti dua tubuh sebelumnya.Bukalah mata mu wahai anak ku Tiba-tiba aku mendengar suara, aku melihat ke sekeliling ku untuk mencari sumber suaranya. Namun aku tak bisa melihat siapa pun di temp
Keadaan paman dan tuan duke yang begitu mengenaskan itu membuat ku murka pada putra mahkota. Apa yang telah dilakukannya pada ayahnya sendiri? "Putra mahkota, bukan kah anda sebaiknya memperlakukan se0orang raja dari kerajaan ini lebih baik lagi?!", aku berteriak pada putra mahkota. "apa kakak tidak tau apa saja yang sudah dilakukan oleh pria tua ini?", putra mahkota bertanya balik pada ku. "Apa pun itu, tidak tidak sebanding dengan perbuatan mu sendiri", sindir ku. "Lepas kan penutup mata dan mulutnya", putra mahkota memerintahkan seorang anggota pasukan khususnya. Setelah penutup itu dilepas, aku dapat melihat sorot kecewa di mata paman, apa yang membuat mu begitu kecewa? apakah karena aku yang gagal melarikan diri atau karena putra mahkota melakukan ini semua tanpa keraguan sedikit pun? "paman maafkan aku", ujar ku spontan "kenapa kakak yang minta maaf? orang inilah yang seharusnya meminta maaf atas
Tuan muda!Tuan muda sadarlah!Tuan saya mohon bukalah mata anda! Suara itu terus tergiang di kepala ku, suara siapa itu? tempat ini begitu gelap. Aku tidak bisa melihat apa pun, sejauh mata ku memandang aku hanya bisa melihat kegelapan yang tak berujung. Suara itu terasa semakin dekat."Hah", aku berteriak. Aku memperhatikan sekitar ku, tubuh ku dipenuhi dengan peluh keringat. Jantung ku berdebar tak karuan seperti habis berlari jauh, apa tadi itu hanya mimpi? Gilliard memandangi ku dengan tatapan aneh."Apa anda bermimpi buruk? dari tadi anda terus berteriak. Tapi tak peduli bagaimana saya memanggil anda, anda tak kunjung bangun", keluh Gilliard. Itu berarti aku benar-benar bermimpi, tapi kalau diingat-ingat sepertinya itu bukan lah mimpi biasa. Itu adalah ingatan seseorang, seperti ingatan ketika aku melihat ayah dan ibu ku dibunuh dulu. Tapi siapa pemilik ingatan
Esoknya, sesuai dengan rencana seluruh utusan dan tamu undangan beserta para peserta festival berburu berkumpul di halaman belakang istana. Di sana dilakukan semacam perpisahan untuk para peserta berburu yang akan bertolak ke hutan. Setiap peserta diijinkan membentuk sebuah tim yang berisikan satu orang peserta dan dua orang pengawal. Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga dari hal berbahaya mengingat kalau peserta berburu ini berasal dari kalangan bangsawan menengah dan atas. Kemanan mereka selama festival berlangsung harus dapat dipastikan. Ini pertama kalinya dalam sepuluh tahun paman ikut serta dalam festival berburu, paman dikawal oleh Tuan Duke Ophelium dan ketua pasukan kesatria kerajaan. Sedangkan aku di kawal oleh Gilliard dan Tuan Ignatius yang nantinya akan menunjukkan arah pelarian. Sebelum berangkat ke hutan, aku menemui ibu yang tengah berada di antara kerumunan nyonya bangsawan lainnya. AKu mencium
Esoknya, dengan di dampingi oleh ku dan tuan duke, paman selaku raja kerajaan ini menyambut para tamu kehormatan yang di utus dari negara tetangga. Aku mengenali beberapa wajah di antara mereka. Wajah orang-orang yang membantu putra mahkota untuk mengembangkan usahanya hingga kini. Kami menyambut mereka dengan hangat walau tau kalau mereka akan balik menyerang kami besok. Sesuai jadwal setelah semua utusan tiba di istana, kami akan melakukan acara minum teh bersama. Total orang yang hadir di acara itu adalah lima belas orang. Putra mahkota tak ikut di dalamnya, karena berdasarkan tradisi kerajaan, putra mahkota bertugas menemani para tamu yang tiba ke istana sehari sebelumnya. Walau pemimpin mereka tak ada di sini, tampaknya mereka dengan berani akan mencoba memojokkan paman."Yang mulia saya senang melihat anda sehat di usia anda sekarang. Saya harap anda akan berumur panjang", puji salah satu utusan yang merupakan penduku
Ada begitu banyak hal terjadi di luar ekspektasi ku, putra mahkota yang ternyata adalah sumbermasalah di tempat ini, paman yang memutuskan untuk berperang dengan anaknya sendiri hingga Arrahad, adik ku sendiri yang memutuskan untuk tak berkomunikasi dengan ku lagi. Semua bermula karena aku hendak memberikan "wasiat" padanya, tapi sepertinya adik ku itu belum siap untuk menerima semua kenyataan yang selama ini terpendam. Bagaimana pun aku berusaha untuk mendekatinya, ia terus menjauh. Waktu terus berjalan seakan tak peduli dengan kesiapan ku, hingga kini tinggal lima hari sebelum festival berburu diadakan dan tiga hari hingga pembukaan festival berlangsung. Aku tak bisa memastikan keselamatan ku di sana tapi Arrahad tetap menolak untuk berbicara dengan ku. Aku pun tak punya kekuatan untuk menghentikan paman atau pun putra mahkota. Tak ada yang bisa memprediksi apa yang akan dihasilkan dari festival itu, namun sa