Setelah mengetahu rahasia dibalik kelahiranku, rasanya aku ingin menghilang saja. Aku sangat membenci diriku sendiri. Ayah yang selama ini kubenci perlahan aku mulai merasa kasihan padanya. Dia juga korban sekaligus pelaku karena telah menipu semuanya.
Disisi lain, ibuku yang selama ini kurindukan juga merupakan korban sekaligus pelaku. Dia merupakan korban penipuan ayahku sekaligus pelaku perselingkuhan. Jadi sebenarnya ini salah siapa? apa salah ayah karena dia yang memulai semua ini. Tunggu apakah aku boleh memanggilnya ayah? kami bahkan tidak memiliki ikatan darah.
Memikirkan fakta itu membuatku sangat kesal sekaligus sakit. Apa ayah selama ini sangat dingin kepadaku karena aku bukan anaknya? jika aku terlahir sebagai anaknya apakah aku akan mendapatkan kasih sayangnya?
Pertanyaan itu terus menerus menghantuiku. Rasa bersalah sekaligus sedih. Bahkan saat ibu mengandungku dia tidak mau sering di rumah karena merasa sakit hati melihat ibu mengandung anak dari pria lain. Aku sempat berpikir kalau aku dikirim ke villa ini karena ayah mungkin merasa aku rindu dengan ibu. Ini kan villa kesukaan ibu sekaligus tempat yang sempat ibu tinggali saat mengandungku.
Tapi bagaimana kalau aku salah? bagaimana kalau sebenarnya ayah mengirimku ke sini karena sudah tidak mau melihat wajahku? atau yang paling buruk bagaimana kalau ayah mengirimku ke sini dengan harapan agar aku menghilang? seperti perbuatan ibu saat mengandungku.
Pikiran-pikiran itu kian lama kian merasukiku. Seperti racun yang dengan cepat meresap dan menyebar di tubuhku. Seiring waktu berjalan, aku semakin membenci diriku sendiri. Aku semakin tenggelam dalam pikiranku bahkan sampai tidak menyadari bahwa teman-temanku belakangan ini tidak pernah berbisik lagi padaku. Apa ada yang salah?
.
.
.
Ini hari pertama aku memasuki sekolah baruku di pinggir kota. Tempat ini dipenuhi dengan pengacau atau orang-orang yang diasingkan. Saat melewati gerbangnya aku melihat sekelompok siswa tengah memukuli siswa lainnya. Dia dikeroyok! lima orang anak menyerangnya dan tak ada yang peduli atau mau membantunya termasuk para guru disini.Seakan hal itu adalah hal yang biasa terjadi.
Saat berjalan ke lapangan belakang sekolah aku melihat sekelompok anak tengah merokok. Aku mulai mempertanyakan lagi alasan ayahku mengirimku kesini. Apa ayah menganggapku sama dengan mereka semua?
"kim Taevin?"
Suara itu menyadarkanku dari lamunanku. Itu adalah Pak Park, wali kelasku.
"Taevin, kepala sekolah ingin bertemu denganmu. Ikuti bapak", ucap pak Park sambil tersenyum. Namun senyumnya tampak menyeramkan di mataku. Ku ikuti langkah pak Park menuju ruangan kepala sekolah.
Ruangan itu berada di lantai tiga sekolah ini. Ruangannya cerah dan cukup luas. Tapi yang membuatku heran adalah kenapa kepala sekolah memanggil murid pindahan ke ruangannya? apa ini semacam kebiasaan di sini?
"Kau pasti Taevin. HAhaha ayo duduk", Kata pak kepala sekolah sambil menjabat tanganku begitu aku masuk ke ruangannya.
"Taevin kau benar-benar terlihat seperti ayahmu. Kau tau sejak lama ayahmu yang menjadi donatur di tempat ini. Bapak harap kau suka bersekolah di sini", ucapnya sambil tertawa.
Wajahku sama sekali tidak miri dengan ayah. aku juga bukan anaknya. Tapi kau bersikap ramah padaku karena berpikir aku adalah anak dari pemilik Simwoon kan?. Aku hanya bisa tersenyum kecut menanggapi perkataan pria tua di depanku.
"Pak Park, kau taukan Taevin adalah murid pindahan dari kota. Aku harap kau merawatnya dengan baik. Dia adalah putra tunggal keluarga Simwoon", ucap kepala sekolah pada Pak Park.
"Tentu saja. Saya akan merawat dan menjaga Taevin agar tak ada yang merani mengusiknya", balas Pak park sambil tersenyum. Senyumnya benar-benar mengerikan.
Setelah semua basa-basi itu, aku dan pak Park turun ke lantai dua menuju ruang kelasku. Sepanjang jalan aku mencuri pandang pada ruang kelas. Keadaannya benar-benar buruk. Anak-anak sibuk bermain di dalam kelas sementara gurunya tidak peduli dan sibuk memegang ponselnya sendiri.
Apa ini benar sekolah? sangat jauh berbeda dengan sekolahku sebelumnya.
Kami pun tiba di ruang kelas. Saat pintu kelas di buka pak Park aku bisa melihat banyak anak laki-laki yang sibuk bermain dengan ponsel mereka. Sebagian lagi tampaknya tengah menggangu anak lainnya.
Sedangkan anak perempuannya kebanyakan tengah berdandan. Apa di sekolah ini kosmetik diperbolehkan?
Brak!
Aku benar-benar kaget saat pak Park tiba-tiba menggebrak meja. Anak-anak lain tampaknya sudah biasa dan dengan santai kembali ke mejanya masing-masing.
"perhatian, duduk ke meja kalian masing-masing", ucap pak Park dengan nada jengkel.
"kalian punya teman baru dari Seoul.Namanya Kim Taevin. Bapak harap kalian bersikap baik padanya. Jangan coba-coba menggangunya. Bapak peringatkan", ucap pak Park dengan nada mengintimidasi.
"Nah Kevin, di sana ada kursi kosong. Mulai sekarang itu kursimu. Jika ada yang menggangmu katakan saja pada bapak", kata pak park sambil tersenyum dengan nada ramah dan menunjuk bangku baris ke dua di lorong dekat pintu kelas. Aku rasa guru ini punya kepribadian ganda.
Aku pun segera duduk ke kursiku. Saat berjalan kulihat ada sebagain anak yang tersenyum aneh saat melihatku. Apa masalah kalian?
Pelajaran hari itu pun dimulai dengan kelas kosong. Maksudku tidak ada yang mengajar. Siswa hanya sibuk bermain. Aku pun mengambil ponselku dan bermain game.
"hei murid baru!", panggil seseorang dari belakang bangku ku. Aku pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan game ku.
"apa kau tuli?", teriaknya. Namun aku tidak tertarik untuk menjawab.
Plak!
seseorang melempar kepala ku dengan buku pelajaran. Ini pertama kalinya aku menerima perlakuan seperti ini. Maksudku selama ini aku dilebeli dengan putra tunggal konglomerat. Siapa yang kehilangan akal untuk menggangguku? Ku tolehkan kepala ku untuk melihat pelaku pelemparan buku itu.
Seorang anak laki-laki di kelasku tersenyum lebar. Dia anak yang tadi pagi kulihat tengah mengeroyok siswa di dekat gerbang sekolah. Di sebelahnya adalah anak yang tadi pagi ku lihat merokok di halaman belakang sekolah. Tapi dia bukan anak kelasku, kenapa dia disini?
"ah jadi selain tuli kau juga bisu rupanya?", tanya anak itu sambil tertawa anak-anak kelas lain ikut tertawa.
"jangan ganggu dia. Dia kan anak pindahan dari Seoul", ucap teman disebelahnya dengan nada menjengkelkan. Mereka pasti pembuat onar di sekolah ini. Padahal aku baru pindah tapi malah sekelas dengan mereka. Ya ini benar-benar tempat yang tenang untuk ku beristirahat.
"jangan ganggu aku. Kalau tidak aku akan mengadu pada pak Park", ejeknya lagi. Mereka benar-benar menyulut emosiku. Baiklah aku hanya diam di kusiku dan kau datang menggangguku. Jadi ini bukan salahku kan?
Tanpa basa-basi aku langsung berjalan ke arah mereka. Anak yang tadi melempar buku ke arahku tertawa mengejek. Ku tarik kerah bajunya dan ku layangkan tinju ku ke wajahnya. Lalu ku hempaskan tubuhnya ke lantai. Setelah tubuh itu berada di lantai aku pun melayangkan tinju ku secara bertubi-tubi ke wajahnya.
Tanganku terasa basah namun bukan karena keringan. Tanganku di penuhi darah anak laki-laki yang baru saja ku temui. Semua anak di kelas kaget melihatku.
"hentikan. Aku tau karena kau anak baru jadi kau tidak tau aku siapa. Aku anak kepala sekolah disini. Akan ku adukan perbuatanmu", ucapnya ketakutan. Namun aku tidak peduli. Ayah yang kau banggakan itu hanyalah salah satu penjilat ayahku.
Setelah anak itu babak belur dan tak sadarkan diri karena tinju ku, aku pun bergerak meninggalkannya dan berjalan ke arah anak lain yang tadi duduk di sebelah anak itu. Wajahnya tampak pucat bagaikan mayat.
"A-apa mau mu? kau tidak tau ya? ayahku adalah kepala kepolisian di daerah ini!", bentaknya. Namun aku tau dibalik bentakan itu dia tengah menyembunyikan ketakutannya.
Bruk!
Satu tinju ku mendarat tepat diwajahnya. Dia mencoba melawan namun tenaganya kalah telak dibanding tenagaku. Mereka bena-benar lemah. Orang-orang pasti takut pada mereka karena kekuasaan orang tua mereka bukan karena kekuatan mereka.
Tiba-tiba anak itu mendorongku dan lari ke arah temannya yang sudah setengah pingsan. Dia memapah temannya itu lari keluar dari kelas. Aku pun ikut keluar kelasku untuk mencuci tanganku yang dipenuhi darah. Ntah siapa pemilik darah ini, yang pasti ini bukan darahku.
Ku lihat pantulan wajahku di cermin kelas. Aku kini benar-benar menjadi monster sepenuhnya bukan? memikirkan hal itu membuatku tersenyum. Setelah tangan ku bersih aku kembali ke kelas. Tatapan anak-anak lain di kelas benar-benar beragam.
Sebagian menatap ngeri, sebagian lagi tak peduli namun ada juga yang menunjukkan raut mengasihani. Seorang siswa mendekatiku. Dia adalah ketua kelas.
"Kau dipanggil kepala sekolah. Kalau kau tidak tau tempatnya, a-aku bisa m-mengantarmu", ucapnya gagap. Apa dia memang benar-benar gagap? atau hanya takut padaku?
Aku pun berbalik badan untuk menuju ruang kepala sekolah. Ku tebak orang tua mereka sudah datang dan akan mengamuk. Tapi bukankah waktunya terlalu singkat untuk orang tua mereka sampai ke sini?
Ketika pintu ruang kepala sekolah ku buka kulihat seorang wanita muda yang berusia sekitar di akhir umur dua puluh tagun tengah marah-marah sambil menangis. Siapa itu? bukankah dia terlalu muda untuk menjadi salah satu orang tua murid yang ku hajar tadi?
"Taevin? kenapa kau disini?", ujar kepala sekolah kaget etika melihatku membuka pintu.
Tiba-tiba wanita lain yang berada di ruang itu dengan cepat menghampiriku dan dengan cepat menamparku. Kulihat bocah yang tadi lari ketakutan kini tengah duduk dengan senyum penuh kemenangan.
"berani-beraninya kau menyentuh putraku. Kau pikir karena kau dari Seoul kau bisa berbuat sesukamu", bentak wanita itu. Tiba-tiba gerakan wanita itu seperti akan menjambak rambutku. Kepala sekolah segera berlari untuk menghentikan hal itu.
"Taevin kembali ke kelasmu. Biar bapak yang selesaikan ini", ucap kepala sekolah sambil mengibaskan tangannya seolah memberi isyarat kepada ku untuk segera keluar dari tempat itu. Muka semua orang di ruangan itu berubah kaget tak percaya dengan tindakan kepala sekolah yang membebaskan ku.
Ku langkahkan kaki ku untuk keluar dari ruangan itu. Tapi aku tidak kembali ke kelas karena penasaran apa yang kan mereka semua bicarakan di balik ku.
"Pak kepala sekolah apa maksudnya ini? anak itu sudah memukuli Jisung putraku, apa anda lupa Jisung adalah putra dari kepala kepolisian di sini?! anak itu juga sudah memukuli Wonseok putra anda sampai masuk rumah sakit!", suara itu terdengar seperti wanita yang tadi menamparku.
Jadi anak laki-laki yang pertama kupukul namanya Wonseok, putra dari kepala sekolah. Lalu anak yang satunya bernama Jisung anak kepala kepolisian di sini.
"itu benar sayang. Apa kau tidak merasa kasihan dengan putra kita Wonseok yang malang? apa kau lupa seberapa parah anak itu memukuli anak kita?", suara itu terdengar seperti wanita lain. Tapi di ruangan itu selain wanita yang menampar ku hanya ada wanita muda.
Tunggu apa wanita muda itu istri kepala sekolah? bukan anaknya? tapi wanita itu terlalu muda.
"aku tidak punya pilihan. Dia putra dari pemilik Sinwoon Grup. Kalian tau sendiri bagaimana kita bisa bertahan sampai saat ini karena bantuan dari ayahnya. Maafkan saya Ibu Jisung, tapi suami anda juga tunduk pada ayah dari anak itu bukan?", ucap kepala sekolah.
"kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah anak itu berpesan bahwa putranya mungkin akan membuat masalah dan memintaku beserta ayah Jisung untuk mencegah hal itu tersebar keluar. Jisung, jangan membuat persoalan dengan anak itu", sambungnya lagi.
Aku muak mendengar percakapan mereka. Mereka hanya bercerita betapa tidak adilnya aku dapat bebas setelah menghajar anak-anak mereka karena ayahku adalah orang yang berkuasa. Mereka sepertinya lupa akan kesalahan anak-anak mereka sendiri.
Setelah kembali ke kelas aku duduk di kursi ku. Semua mata di kelas menatap ku dengan tatapan tidak percaya dapat kembali secepat itu setelah menghajar anak kepala sekolah dan kepala polisi di tempat itu.
.
.
.
Keesok harinya tersebar berita bahwa aku adalah anak dari orang yang sangat berkuasa hingga kepala polisi dan kepala sekolah tidak dapat menghentikan ku. Ada juga yang mengatakan aku pindah ke sekolah di pinggir kota karena di sekolah lama ku aku terus berkelahi. Ada juga yang mengatakan bahwa aku pernah membunuh orang lain saat bertengkar. Yang paling aneh adalah bahwa aku anak seorang bos mafia. Tapi aku tidak peduli dengan dengan hal itu. Sebaliknya aku senang karena tidak ada yang berani mengajak ku bicara
Tatapan yang dilemparkan orang-orang saat melihatku seperti melihat hantu. Bahkan ada yang lari ketakutan ketika aku balas melihat.
"hei nak, apa kau suka ditakuti semua orang?", mataku terbelalak. Itu suara David. Dua bulan lamanya mereka tidak berbicara bahkan saat ku panggil tidak ada jawaban.
'aku tidak suka dengan tatapan mereka yang menatapku seperti akan membunuh mereka. Tapi aku lebih tidak suka jika mereka datang mendekat hanya untuk menyenangkan ku karena aku putra tunggal dari Simwoon grup. Dis saat kenyataannya aku bukan putra ayahku', balas ku dalam hati.
"aku mengerti perasaanmu. Tapi tidak bisakah kau sedikit membuka hati mu untuk berteman dengan anak seumuranmu? punya teman itu hal yang baikkan?", kali ini Airin yang berbicara.
'bukannya kalian temanku? kalian kan sering berkata akan selalu menemaniku. Apa sekarang kalian juga akan meninggalkanku?', balasku lagi
"Taevin bukan begitu maksud kami. Tentu saja kami akan selalu bersamamu. Tapi kau tentunya memerlukan teman di dunia nyata yang bisa berbagi cerita denganmu. Lalu...", sebelum Dave menyelesaikan perkataannya aku langsung memotongnya.
'Maksudmu kalian tidak nyata? atau kalian juga sudah tidak mau menemaniku? sudahlah diam saja. Aku juga sudah muak dengan kalian", bentakku. Tentu saja hanya aku yang bisa mendengar bentakan ku karena aku membentak dalam hati.
Hening.
Tampaknya mereka juga sudah mencampakkan ku. Sudah lah aku memang hanya sendirian di dunia ini. Memangnya apa yang kuharap kan?
Masa sekolah ku dihabiskan dengan perkelahian. Namun cenderung perkelahian sepihak karena tidak ada anak yang berani melawanku. Sejujurnya aku juga tidak mau menyakiti orang lain, tapi aku tidak tau cara lain untuk melampiaskan kesedihanku. Setiap kali pikiran tentang ibu atau ayahku terlintas di benak ku rasa sakit akan menjalar keseluruh tubuhku. Aku perlu pelampiasan untuk rasa sakit ini. David, Airin dan Dave tidak pernah mau berbicara denganku selama setahun ini. Aku tidak punya teman berbicara sama sekali. Tampa terasa waktu terus berjalan seperti itu. Tak ada yang berubah dalam hidup ku hingga aku lulus dari sekolah menengah atas. Ayah juga tampaknya sudah lupa dengan keberadaanku. Walau beliau sebulan sekali mengirim pesan pada ku. Tapi pesan itu tampaknya bukan pesan dari ayah pada anaknya, namun lebih pada peringatan supaya aku menjaga tingkah laku ku.'bulan ini kau sudah membuat lima orang masuk rumah sakit. Tol
Tiba-tiba sebuah tangan dijulurkan ke arah ku seakan memberi tanda bahwa tangan itu kan membantu ku berdiri. Tentu saja aku tidak mau meraih tangan itu. Dia bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya. Bagaimana caranya dia akan membantu ku berdiri? Sekujur tubuh ku terasa sangat sakit saat ku paksakan untuk berdiri. Perlahan aku berjalan ke arah tongkat yang tadi dipatahkan oleh orang-orang itu. Anehnya tadi aku benar-benar melihat tongkat ini panah, tapi sekarang kenapa tongkatnya kembali utuh? Rasa sakit di sekujur tubuh ku seakan menyadarkan ku untuk segera menyerahkan tongkat ini lalu segera pulang agar aku bisa tidur. Besok pagi-pagi sekali aku harus mengantar susu! Perlahan aku mendekat ke arah pria yang masi terduduk di tanah itu. Setelah dilihat sepertinya dia juga orang Korea seperti aku. Ku ulurkan tangan ku seperti yang dilakukannnya tadi. Sambil tersenyum diraihnya tangan ku dan berusaha untuk berdiri. Syukurlah tampakny
Pagi ini feeling ku benar-benar baik. Setelah berpikir serta memperhitungkan kebutuhan ku sepanjang semester ini uang dari pekerjaan sampingan ku tidak mungkin akan cukup. Terlebih aku harus melepas pekerjaan ku sebagai kurir karena waktunya yang bersamaan dengan jadwal kuliah ku. Sehingga aku harus menambah pekerjaan. Mungkin aku bisa mendapat sekitar lima ratus dolar jika menerima pekerjaan dari tuan Nam. Itu jauh lebih tinggi dari pada bekerja sebagai kurir yang paling digaji paling tinggi dua ratus dolar. Aku juga akan melepas pekerjaan sebagai pelayan ku yang gajinya hanya dua ratus dolar. Tapi sedikit sayang karena makan sudah ditanggung oleh pemilik restoran. Tapi aku tidak punya pilihan karena harus kuliah juga. Pekerjaan sebagai pengantar susu akan tetap aku pertahankan karena tidak menggangu jadwal lainnya. Jadi setiap subuh aku akan mengantar susu sebelum berangkat kuliah. Dalam perjalanan ke rumah salah seorang pelanggan aku
Selepas dari ruang kerja tuan Nam, aku menuju ke ruang tengah. Disana aku melihat nyonya Nam tengah berbincang dengan Ki Tae hyung sambil memakan buah, aku diajak untuk bergabung dengan mereka. Nyonya Nam kembali meminta ku untuk menginap saja. Tidak ada alasan untuk menolak bukan? toh besok juga aku tidak ada kegiatan. Setelah aku setuju untuk menginap nyonya Nam meminta salah seorang pelayannya untuk membawa korak P3k. nyonya Nam lalu meminta ku untuk duduk didekatnya agar perban ku dapat diganti. Nyonya Nam bisa memikirkan hal itu disaat aku sendiri lupa. Rasa sakit dari obat yang diteteskan ke atas luka ku rasanya tidak sebanding dengan rasa senang di dalam hati ku. Sungguh baru pertama aku mendapat perlakuan penuh kasihseperti ini. Aku lalu diminta untuk tidur di kamar tamu di lantai dua yang ku pakai minggu lalu. Sebelum tidur aku sempat berbincang dengan Ki Tae hyung. Dia banyak bercerita tentang dirinya. Aku jadi tau kal
Malam yang awalnya ku lalui dalam nuansa hening tiba-tiba kacau ketika David tiba-tiba bertanya apakah aku benar-benar percaya dengan keluarga itu. Pertanyaan itu benar-benar kejam, padahal dia juga pasti ikut mendengar cerita itu secara keseluruhan. Bukannya merasa iba atau turut prihatin dia malah meragukan kisah itu? ya mungkin saja memang ceritanya sudah dilebih-lebihkan tapi bukan berarti itu semua kebohongan bukan? Airin juga ikut menimpali perkataan David dengan berkata aku seharusnya tidak lantas percaya dengan kisah itu dan sebaikna aku menjaga jarak dengan keluarga ini. Keluarga ini akan membawa pengaruh buruk dalam hidup kata Airin. Mereka berdua pasti sudah kehilangan akal sehatnya. Tak heran mereka berjodoh satu sama lain. Aku kesal dengan perkataan mereka berdua, jadi aku mencoba berbicara dengan Dave, wujud yang paling wara diantara ketiganya. Namun kata-kata dari Dave malah lebih jahat lagi. Menurutnya manusia dila
Sesampainya di restoran tuan Nam segera menyuruh ku untuk memesan makanan yang ingin ku makan. Aku hanya memesan random pada akhirnya karena masi kepikiran, sebenarnya apa yang mau dibahasa oleh tuan Nam? kenapa sampai harus makan di luar? apa aku harus merahasiakan ini dari Ki Tae hyung dan juga tante? Di tengah pikiran ku itu, tiba-tiba ponsel ku bergetar. Itu adalah telepon dari tante. Tante pasti cemas karena sudah larut tapi aku belum pulang tanpa memberi tahu sebelumnya. Tuan Nam kemudian bertanya apakah yang menelepon ku adalah istrisnya. Begitu aku mengiyakan pertanyaannya raut muka tuan Nam menjadi masam. Ada apa ini? apakah mereka habis bertengkar? Tuan Nam kemudian memintaku untuk berbohong bahwa aku sedang makan malam dengan teman baru ku dan akan segera pulang sebentar lagi. Aku tidak punya pilihan selain mengikuti kebohongan itu karena ekspresi tuan Nam kembali berubah. Kali ini ekspresi yang benar-benar serius dan t
Setelah acara makan bersama itu, perlahan hubungan ku dengan Ki Tae hyung semakin akrab. Ki Tae hyung juga mulai terbuka untuk bercerita beberapa hal dengan ku. Selama tiga setengah tahun aku menghabiskan waktu ku dengan keluarga Nam. Awalnya aku diminta untuk membantu mengelola kantor pemasaran perumahan yang baru, namun karena paman melihat aku memiliki bakat maka perlahan aku ditarik untuk masuk ke dalam perusahaan. Paman juga berpesan kalau berniat menjadikan ku dengan Ki Tae hyung sebagai direktur perusahaannya. Namun aku menolak tawaran itu dan meminta pada Ki Tae hyung agar aku bisa menjadi sekretarisnya saja. Aku juga masi duduk di bangku kuliah sehingga posisi direktur terlalu berlebihan untuk ku. Menurut ku posisi sekretaris dari Ki Tae hyung sudah lebih dari cukup. Kami bisa terus bersama layaknya saudara tanpa perlu memikirkan siapa yang kelak akan menduduki posisi tertinggi adalah hal yang layak ku perjuangkan. Sela
Saat kembali membuka mataku, aku merasa kepala ku sangat berat. Sekujur tubuh ku juga terasa sakit seperti habis dipukuli. Aku mulai terbatuk-batuk. Ku perhatikan sekeliling ku, tempat ini benar-benar terasa asing. Gantungan lilin yang memenuhi dinding, tempat tidur yang dikelilingi kelambu, aroma terapi dari dinding,bahkan selimut ku terasa benar-benar lembut. Ku coba menggerakkan tubuh ku, tapi tubuh ku benar-benar terasa sakit dan nyeri. Tenggorokan ku terasa panas aku sulit berbicara. Tunggu apa ini efek dari kebakaran saat itu? tapi sepertinya tubuh ku tidak ada luka bakar hanya dipenuhi rasa nyeri. Tapi kenapa tangan dan kaki ku terasa aneh? Dengan susah payah kugerakkan kakiku keluar ranjang. Ketika kaki ku menyentuh lantai aku bisa merasakan permadani yang sangat lembut. Sudah pasti pemilik tempat ini bukan sembarang orang. Apa aku ada di rumah orang paling kaya di dunia? tapi buat apa aku disini.klekk
Sebulan telah berlalu sejak aku pertama kali bangun di sini, kami secara teratur melakukan kontak lewat surat dengan Alejandro. Yang mengganggu ku adalah fakta bahwa putra mahkota hingga saat ini belum naik tahta, ia membiarkan kursi raja kosong hingga hampir dua bulan. Menurut Alejandro para petinggi kerajaan yang cemas akan kekosongan itu terus menerus mendesak putra mahkota agar dengan segera ia memegang gelar raja. Putra mahkota menolak gagasan itu dengan alasan akan membiarkan kursi raja untuk kosong selama seratus hari sebagai bentuk berkabung untuk ayahnya. Walau pun ayahnya adalah "penghianat" tapi jasa nya selama ini tak bisa diabaikan. Alasan putra mahkota bagaikan obat penenang sementara. Sedangkan pihak ratu belakangan ini terlihat tak memiliki pergerakan. Saudara ratu, paman dari putra mahkota yang baru diangkat menjadi kepala pasukan keamanan istana yang baru mengeluarkan kebijakan untuk menambah senjata prajurit. Ta
Aku lalu melihat bagaimana cara putra mahkota dibesarkan, anak sekecil itu terlihat begitu tragis dengan tekanan dan beban yang harus dipikulnya. Setiap hari ia menghabiskan waktunya dengan belajar dan berlatih taktik perang. Ia jarang bertemu dengan orang lain selain pelatih dan gurunya. Ibunya, sang ratu sesekali menemuinya untuk melampiaskan amarahnya, setiap kali pangeran kedua mendapat pujian maka putra mahkota kecil akan mendapat tamparan dari ibunya. putra mahkota kecil juga dipaksa untuk berlatih pedang dengan pamannya, saudara laki-laki ibunya. Perbedaan usia dan pengalaman antara mereka tentunya jelas terasa dan disaat putra mahkota kecil terjatuh, pamannya lalu memukulnya habis-habisan. Tak sampai di situ, ratu datang untuk menamparnya karena menganggap dirinya tak berguna. Saat ulang tahun ke delapannya, raja menyelenggaran pesta ulang tahun putra mahkota. Bahkan di pesta ulang tahunnya sekali pun ,
"apa maksud anda, Alejandro berusaha agar saya tidak menjadi target putra mahkota?", tanya ku lagi pada Tuan Ignatius. Tuan Ignatius tak menjawa, tapi ia menganggukkan kepalanya. Alejandro, sejak awal aku merasa curiga tentang segala tindakannya dan ternyata kecurigaan ku benar. TApi ternyata ia memiliki rasa kemanusiaan tak seperti putra mahkota. Demi menyelamatkan ku, ia bahkan sampai membunuh ayah kandungnya sendiri. AKu jadi merasa sangat bersalah padanya, seharusnya dia memberitahu ku sebelumnya, kenapa ia harus menanggung semua beban ini sendirian?.."Tolong beritahu ibu dan Arrahad kalau besok saat festival dimulai, kita akan melarikan diri ke kerajaan Xavier", ujar ku."Kita tak boleh melakukan itu kak, putra mahkota tak akan tinggal diam", teriak Alejandro."Kita tak punya pilihan lain, bahkan raja rela mengorbankan dirinya sendiri", elak ku."Bagaimana kalau di perjalanan kita tak bisa selamat? a
Prak tring brakhiks sadarlahbuka mata mu! Suara barang-barang yang bergesekan yang bercampur dengan isak tangis itu mengusik ku, belum lahi rasa nyeri di lengan ku. Seperti seseorang tengah menyiram luka ku dengan sesuatu. Apa yang kau lakukan? jangan sentuh luka ku! kau membuat ku kesakitan! aku terus berteriak di dalam hati ku. Ntah apa yang salah dengan tenggorokan ku, aku tak bisa mengeluarkan suara.... Aku membuka ke dua mata ku di suatu tempat yang aneh, tempat itu memantulkan cahaya biru. Tempat ini terasa tidak asing, apakah aku telah bangun di tubuh orang lain lagi? aku harap kali ini pemilik tubuh ini tidak bernasib malamg seperti dua tubuh sebelumnya.Bukalah mata mu wahai anak ku Tiba-tiba aku mendengar suara, aku melihat ke sekeliling ku untuk mencari sumber suaranya. Namun aku tak bisa melihat siapa pun di temp
Keadaan paman dan tuan duke yang begitu mengenaskan itu membuat ku murka pada putra mahkota. Apa yang telah dilakukannya pada ayahnya sendiri? "Putra mahkota, bukan kah anda sebaiknya memperlakukan se0orang raja dari kerajaan ini lebih baik lagi?!", aku berteriak pada putra mahkota. "apa kakak tidak tau apa saja yang sudah dilakukan oleh pria tua ini?", putra mahkota bertanya balik pada ku. "Apa pun itu, tidak tidak sebanding dengan perbuatan mu sendiri", sindir ku. "Lepas kan penutup mata dan mulutnya", putra mahkota memerintahkan seorang anggota pasukan khususnya. Setelah penutup itu dilepas, aku dapat melihat sorot kecewa di mata paman, apa yang membuat mu begitu kecewa? apakah karena aku yang gagal melarikan diri atau karena putra mahkota melakukan ini semua tanpa keraguan sedikit pun? "paman maafkan aku", ujar ku spontan "kenapa kakak yang minta maaf? orang inilah yang seharusnya meminta maaf atas
Tuan muda!Tuan muda sadarlah!Tuan saya mohon bukalah mata anda! Suara itu terus tergiang di kepala ku, suara siapa itu? tempat ini begitu gelap. Aku tidak bisa melihat apa pun, sejauh mata ku memandang aku hanya bisa melihat kegelapan yang tak berujung. Suara itu terasa semakin dekat."Hah", aku berteriak. Aku memperhatikan sekitar ku, tubuh ku dipenuhi dengan peluh keringat. Jantung ku berdebar tak karuan seperti habis berlari jauh, apa tadi itu hanya mimpi? Gilliard memandangi ku dengan tatapan aneh."Apa anda bermimpi buruk? dari tadi anda terus berteriak. Tapi tak peduli bagaimana saya memanggil anda, anda tak kunjung bangun", keluh Gilliard. Itu berarti aku benar-benar bermimpi, tapi kalau diingat-ingat sepertinya itu bukan lah mimpi biasa. Itu adalah ingatan seseorang, seperti ingatan ketika aku melihat ayah dan ibu ku dibunuh dulu. Tapi siapa pemilik ingatan
Esoknya, sesuai dengan rencana seluruh utusan dan tamu undangan beserta para peserta festival berburu berkumpul di halaman belakang istana. Di sana dilakukan semacam perpisahan untuk para peserta berburu yang akan bertolak ke hutan. Setiap peserta diijinkan membentuk sebuah tim yang berisikan satu orang peserta dan dua orang pengawal. Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga dari hal berbahaya mengingat kalau peserta berburu ini berasal dari kalangan bangsawan menengah dan atas. Kemanan mereka selama festival berlangsung harus dapat dipastikan. Ini pertama kalinya dalam sepuluh tahun paman ikut serta dalam festival berburu, paman dikawal oleh Tuan Duke Ophelium dan ketua pasukan kesatria kerajaan. Sedangkan aku di kawal oleh Gilliard dan Tuan Ignatius yang nantinya akan menunjukkan arah pelarian. Sebelum berangkat ke hutan, aku menemui ibu yang tengah berada di antara kerumunan nyonya bangsawan lainnya. AKu mencium
Esoknya, dengan di dampingi oleh ku dan tuan duke, paman selaku raja kerajaan ini menyambut para tamu kehormatan yang di utus dari negara tetangga. Aku mengenali beberapa wajah di antara mereka. Wajah orang-orang yang membantu putra mahkota untuk mengembangkan usahanya hingga kini. Kami menyambut mereka dengan hangat walau tau kalau mereka akan balik menyerang kami besok. Sesuai jadwal setelah semua utusan tiba di istana, kami akan melakukan acara minum teh bersama. Total orang yang hadir di acara itu adalah lima belas orang. Putra mahkota tak ikut di dalamnya, karena berdasarkan tradisi kerajaan, putra mahkota bertugas menemani para tamu yang tiba ke istana sehari sebelumnya. Walau pemimpin mereka tak ada di sini, tampaknya mereka dengan berani akan mencoba memojokkan paman."Yang mulia saya senang melihat anda sehat di usia anda sekarang. Saya harap anda akan berumur panjang", puji salah satu utusan yang merupakan penduku
Ada begitu banyak hal terjadi di luar ekspektasi ku, putra mahkota yang ternyata adalah sumbermasalah di tempat ini, paman yang memutuskan untuk berperang dengan anaknya sendiri hingga Arrahad, adik ku sendiri yang memutuskan untuk tak berkomunikasi dengan ku lagi. Semua bermula karena aku hendak memberikan "wasiat" padanya, tapi sepertinya adik ku itu belum siap untuk menerima semua kenyataan yang selama ini terpendam. Bagaimana pun aku berusaha untuk mendekatinya, ia terus menjauh. Waktu terus berjalan seakan tak peduli dengan kesiapan ku, hingga kini tinggal lima hari sebelum festival berburu diadakan dan tiga hari hingga pembukaan festival berlangsung. Aku tak bisa memastikan keselamatan ku di sana tapi Arrahad tetap menolak untuk berbicara dengan ku. Aku pun tak punya kekuatan untuk menghentikan paman atau pun putra mahkota. Tak ada yang bisa memprediksi apa yang akan dihasilkan dari festival itu, namun sa