Brandon mengalahkan Han. Zin memutar otaknya untuk menyelamatkan apapun yang tersisa. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Saat ini, Tuan Don juga sudah tahu kalau siaran langsung sudah kacau.
Krak!"Akh!" rintih Han.Jika menyangkut seseorang yang disayangi, siapapun akan kehilangan kendali. Brandon menginjak telapak tangan Han. Dia terlihat sangat kejam sekarang."Aku ingin bertanya pada kalian. Siapa yang bernama Nick Arga?" Suara Brandon begitu lantang. Renza bahkan tidak bisa mengira kalau Brandon akan langsung bertanya pada intinya."Kenapa kau mencarinya?" sahut Kiana. "Apa kau tidak merasa mulutmu menjadi kotor karena menyebut nama bajingan itu?" sambungnya.Puncak masalah menjadi tertujunpada Nick. Panggung pertarungan menjadi pembalasan dendam masa lalu."Nona, ada denganmu? Apa kau sangat benci padaku?" tanya Nick."Heuh!" Kiana yang sedari tadi hanya diam, mulai membuka kemeja Renza yang menutupi tubuhnyaDrap ... Drap ... Drap ...Brandon berlari dengan putus asa. Seluruh tubuhnya gemetaran bukan karena lukanya, melainkan karena berita yang baru saja ia dengarkan.Brandon mengutuk dirinya sendiri. Setelah sekian lama, kenapa baru sekarang dia menemukan informasinya? Andai saja ... Iya, andai saja Brandon lebih cepat, dia bisa menyelamatkan adik dan juga sahabatnya."Brandon!""Rachel!" pekik Brandon."Bolehkah aku ikut dengnmu?" tanya Rachel."Untuk apa? Untuk menertawakanku?""Ini!" Rachel memberikan sebuah kunci motor. Ia juga membawa ponsel dan senter.Danau yang Rael sebutkan cukup jauh dari sana. Apalagi danau tersebut pasti sangat gelap karena masih dini hari. Brandon membutuhkan barang yang saat ini Rachel bawa."Bagaimana kalau Han cemburu lagi?" tanya Brandon."Ini motor miliknya. Bukankah kita teman?"Tidak ada alasan lain untuk menolak. Brandon menerima bantuan Rachel dan me
Raina terbangun. Ia merasakan kepalanya sangat nyeri. Ruangan yang saat ini ia tempati telihat sangat asing. Ranjang mewah, hiasan yang tidka membosankan, juga ada obat yang diletakkan di atas meja beserta air putih.‘Minumlah obatnya kalau kepalamu terasa sakit.’Pesan singkat yang ditulis di atas kertas. Entah siapa pemiliknya. Raina turun dari ranjang. Ia berjalan terhuyug-huyung karema kesadarannya belum menjadi sadar sepenuhnya.Srash!Raina mencuci wajahnya. Ia merasakan kesegaran kembali. Raina terdiam di depan cermin. Ia mencoba berpikir. Mengingat lagi ingatannya yang terhenti terakhir kali.“Ah iya. Aku ingat. Aku sedang makan sesuatu tapi tiba-tiba saja bajingan itu menyergapku dari belakang. Tapi, apakah mungkin dia meninggalkan obat untukku? Ini terasa lebih aneh,” gumam Raina.Raina berbalik. Ia terperanjak kaget dan hampir terkejut. Naura menunggunya sampai sadar sembari menonton live anak-anaknya yang terjebak. Sa
Danau itu tidak terawat sama sekali. Danau yang dipenuhi oleh semak belukar. Di sekeliling danau seharusnya adalah taman. Tempat yang dulunya indah, sekarang menjadi tempat yang sangat kacau. Mencari jejak di tengah malam sangat tidak mudah. Untungnya, lampu taman tersebut masih ada beberapa yang nyala. Rachel memegang senter dan juga senter pada ponselnya. "Rachel, kalau kau takut kau boleh pulang. Aku akan berikan kuncinya padamu," ucap Brandon."Kalau aku takut, aku tidak akan ada di sini sekarang," tolak Rachel. Mereka memang berteman cukup lama meski tidak terlalu dekat tapi sering saling membantu sama lain. Di dekat danau ada lapangan basket. Danaunya juga sudah mengering dan berubah menjadi lumpur yang tidak terlalu dalam. Deg! Entah kenapa, Brandon tidak fokus pada danau. Malah penasaran dengan gudang yang ada di belakang lapangan basket. "Kau sungguh mau ke sana?" tanya Rachel. "Bukankan p
Bertemu dengan Renza lagi merupakan sesuatu yang tidak pernah Raina bayangkan. Ia bahkan berniat untuk pergi lebih jauh lagi. Scandal tentang Raina yang sudah dimanipulasi oleh pria yang tidak lain adalah mantan suami Raina, membuat Raina menjadi bahan pembicaraan orang yang tidak tahu akan kebenarannya. Lalu, di saat berita simpang siur tentang Raina, juga tentang penerus Naga Hitam, hadirlah sosok yang membuat Raina bisa menepis segala kesulitannya."Bertemu dengan keluargaku." Sebuah kalimat yang terdiri dari tiga kata. Sederhana tapi membuat Raina panas dingin mendengarnya. Wajah Raina memerah, ia gagu Karena tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Bukan karena Raina merasa ragu, tapi karena Raina merasa malu."Ap--apa katamu?" pekik Raina. "Ah, bukan aku membentakmu. Ak--aku hanya terkejut," imbuhnya. Suara yang terbata-bata, wajah yang merah merona, membuat Raina terlihat seperti memberikan respon yang berlebihan.
Malam yang sangat kacau dan berantakan sudah berakhir. Menjelang fajar, Rael bersama beberapa orang yang mendampinginya, datang ke gedung yang cukup tua untuk bertemu dengan seseorang.Gedung tersebut memiliki beberapa lorong yang cukup gelap. Kali ini, entah sehancur apa perasaan Rael. Ia bahkan bertamu dengan membawa bodyguard bersenjata bersamanya."Tuan muda Rael, Anda akhirnya datang," ujarnya.Seorang pria paruh baya menunggu Rael. Ia duduk di atas kursi dengan dua laki-laki berdiri tegap di belakangnya.Pria tersebut memiliki aura yang sudah tercampur. Hidupnya tidak lagi tentang uang. Ia mulai memiliki sebuah perasaan meski enggan untuk mengakuinya."Maaf sudah membuat Anda menunggu. Anda tidak perlu bicara formal pada saya," kata Rael."Silahkan duduk, Tuan muda."Rael duduk setelah dipersilahkan. Pria yang ada di hadapannya saat ini adalah Tuan Dogam. Pria yang bekerja dan bergerak karena uang."Anda m
Renza asyik bercengkerama dengan Raina. Mereka berdua melupakan niat ingin mandi hingga matahari berada tinggi di atas jengkal jari. Sayangnya, Raina merasakan kalau Renza tidak sepenuhnya terbuka padanya. Ada beberapa hal yang Raina rasakan masih tertutupi, seperti jati diri Renza, keluarganya, hingga garis keturunannya. Raina ingin bertanya tapi ia ragu. Renza hanya menceritakan kisah hidupnya yang normal."Sayang, ada apa?" tanya Renza."Apa aku boleh bertanya apapun? Apa kau akan menjawabnya?" tanya Raina."Boleh asal tidak melebihi batasannya," jawab Renza. Batasan? Pikir Raina. Kata yang terselip dalam kalimat, namun tampak lebih menonjol dari kata lain. Seakan-akan menjadi sebuah peringatan pertama kalau Raina tidak boleh bersikap semaunya."Lupakanlah," kata Raina sembari beranjak dari tempatnya duduk. Renza memegang tangan Raina. Ia mencegah Raina untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Renz
Dawai asmara membuat keduanya bergetar. Detak jantung yang tidak karuan, belum lagi desiran darah yang membuat keduanya saling berbagi kehangatan.Bibir yang saling bersentuhan, lidah yang saling menyapa. Terasa ringan, nyaman, tapi semakin memanas.Renza melumat bibir Raina sangat rakus. Tangannya mulai meraba ke bagian-bagian sensitif Raina yang sudah berada di luar kepala.Tidak ada kata yang keluar kecuali desahan dan erangan. Renza memindahkan Raina ke atas ranjang. Keduanya saling melempar tatapan. Wajah yang sangat dekat, kembali saling menghembuskan napas gairah yang sangat lekat."Ren, kenapa kau sangat terburu-buru?" tanya Raina."Karena aku sangat merindukanmu."Jawaban singkat yang bahkan belum terdengar memuaskan. Sayangnya, Renza kembali membungkam bibir Raina menggunakan bibirnya.Raina mencengkeram lengan Renza. Renza yang masih sangat muda, sangat berenergik. Permainan kali ini, Renza sebagai pemimpinnya
Menghabiskan satu hari penuh bersama dengan orang yang memenuhi relung hati merupakan moment yang membuat perasaan puas. Sayangnya, cinta yang masih menggebu-gebu itu membuat pemiliknya serakah karena didorong oleh rindu yang tidak juga berkurang."Kenapa murung?" tanya Raina."Aku masih ingin di sini," ucap Renza."Kalau begitu, kita di sini saja," balas Raina. Ia sedikit kegirangan karena waktu kunjungan keluarga akhirnya diundur."Tapi aku mau makan malam dengan keluarga besarku. Apa kau tahu berapa lama aku tidak kembali?" ujar Renza.Raina menyumbingkan bibirnya. Renza yang sedang labil terlihat menggemaskan. Apalagi ia duduk sembari memeluk Raina yang sedang berdiri.Raina ingin sekali membuat pria muda dihadapannya menangis karena dijahili. Sayangnya, Raina masih menjaga sikap dan belum menunjukkan tentang dirinya sepenuhnya."Memangnya berapa lama? Apa lebih lama dariku yang selama ini tidak tahu apa itu rumah?"